Sabtu, 28 Januari 2017

Aia lari terburu-buru menuju aula sekolah. Saking banyaknya petuah dari Adam yang harus ia dengarkan mengenai kamera, Aia harus terlambat 30 menit. Langkahnya sempat terhenti saat melihat lapangan, tempat acara anak-anak pecinta alam, nampak ramai. Acara rohis juga pasti seramai itu, pikir Aia optimis. Ia segera berlari menaiki tangga menuju aula di lantai dua. Tidak sabar ingin segera melihat suasana acara.

“Tadaa!” Aia yang akhirnya tiba di depan aula mengejutkan anak-anak GARIS dengan kamera di genggamannya.

“Alhamdulillah ...!” yang lain menyambut gembira.

“Berhasil, Kak Aia?!” Fiya dan Ayu langsung mendekat. Takjub. Takjub dengan kameranya. Tapi lebih besar lagi rasa takjub mereka akan janji Allah. Selalu ada kemudahan setelah kesulitan.

“Alhamdulillah Abangku lagi baik hari ini. He ...,” Aia nyengir lalu iseng menjepret sembarangan.

“Kameranya keren banget, Ai!” seru Iqbal yang muncul dari dalam aula, tempat acara dilaksanakan. Kebetulan Iqbal memang tahu banyak soal kamera. Termasuk tahu kalau kamera yang Aia pegang, walaupun bukan keluaran terbaru, tapi berspesifikasi tinggi.

“Ini,” Aia menyerahkan kamera pada Iqbal dengan hati-hati, “bisa kan, pakai kamera ini?” tanya Aia memastikan.

Iqbal mengangguk, “Insya Allah bisa.”

“O ya, Abangku pesan, hati-hati sama kameranya. Jangan sampai kenapa-kenapa. Kalau sampai kenapa-kenapa, habis aku dimarahi Abang,” Aia mempersingkat petuah Adam.

“Dengerin tuh, Kak Iqbal!” celetuk Ayu.

Iqbal mengangguk pasti sambil mengacungkan jempol lalu melangkah ke meja registrasi ikhwan. Matanya tetap terfokus pada kamera. Kagum.

“Eh, Raras sama Azki mana?” Aia celingukan. Baru sadar kalau dua temannya tidak bersama mereka.
“Tadi sih di dalam. Eh, tuh di meja registrasi,” jawab Fiya. Melempar pandangan ke arah meja registrasi yang ada di pojok sebelah kanan.

“Oh, ada Kak Zia sama Kak Nisa juga,” celetuk Ayu.

Aia mengerutkan dahi, “Kak Nisa? Siapa?”

***

“Kak Nisa ini mentor rohis kita juga, Ai. Sayangnya, pas kamu masuk, Kak Nisa mau pindah ke luar kota,” jelas Zia.

“Oh, gitu. Kenapa pindah, Kak?” tanya Aia.

“Iya. Ikut keluarga, Ai,” sahut Nisa.

Aia mengangguk tersenyum. Melihat Ayu dan Fiya sedang mengecek form registrasi, Aia jadi ingin melihat ke ruang acara. Apakah Feby, Rindy dan Lita sudah datang. Aia maju beberapa langkah, melongok ke ruang acara. Lalu cepat-cepat memeriksa form registrasi. Kembali melongok ke ruang acara.

“Kenapa, Ai?” tanya Zia.

“Ini sudah setengah sembilan lho, Kak! Masa baru sembilan belas orang yang datang? Padahal kemarin banyak kan yang bilang Insya Allah mau datang?” Aia setengah tidak percaya melihat daftar hadir peserta akhwat yang baru sembilan belas orang. Sementara peserta ikhwannya lebih parah lagi, hanya ada sekitar sepuluh orang.

Aia menatap Raras dan Azki, “Feby, Lita, Rindy, mereka belum datang?”

Raras dan Azki hanya saling pandang lalu menggeleng bersamaan.

Aia menghembuskan napas kecewa. Ini di luar ekspektasinya. Bahkan Feby, Lita dan Rindy yang juga sudah bilang Insya Allah akan datang pun tak kelihatan batang hidungnya. Sementara yang lain hanya tersenyum.

“Ya ... memang begitu, Ai,” ujar Azki. Ini bukan hal baru di agenda GARIS. Banyak yang bilang Insya Allah mau datang. Tapi, di hari H cuma sekian orang yang datang.”

“Ya. Tapi. Masa dari ribuan siswa di sekolah ini cuma 29 orang?!” protesnya lagi sambil tetap melongok ke ruang acara. “Acaranya anak-anak pecinta alam aja lebih rame dari acara kita?!”

Zia merangkul Aia, “Sabar, Ai. Ngajak orang ngaji itu memang nggak segampang ngajakin mereka jalan-jalan.”

“Padahal, banyak yang bilang Insya Allah mau datang lho, Kak,” terang Aia.

“Ya. Sadar atau nggak, di masyarakat kita sekarang memang sudah banyak yang menyalahartikan kata Insya Allah,” Nisa menambahkan. “Orang banyak pakai kata Insya Allah justru ketika mereka merasa, ‘hm, kayaknya nggak bisa datang deh’. Padahal, Insya Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya ketika mengucapkan Insya Allah, kita tetap berusaha datang. Kita mengucapkan Insya Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan Allah yang menentukan bukan karena sudah berencana nggak bisa datang.”

Dahi Aia berkerut sejenak, kemudian mengangguk. Berpikir lalu membenarkan. Jadi ingat, waktu kelas satu dulu, Aia juga pernah menerima selebaran agenda seperti ini dari Raras dan Azki. Dan pernah juga bilang Insya Allah. Tapi, sekali pun belum pernah ia menghadirinya. Jadi ... seperti ini rasanya?

Udah. Jangan patah semangat gitu, dong.” Azki merangkul Aia, “yang penting kan kita sudah berusaha maksimal untuk agenda ini. Yang Allah lihat usaha kita, bukan hasilnya. Dan sebenarnya 29 orang itu sudah termasuk banyak untuk agenda kita, Ai. Kecuali acara PHBI. Karena sekolah mewajibkan seluruh siswa muslim untuk hadir.”

Aia menghembuskan napas sekaligus menghembuskan rasa kecewanya, “Iya, iya.”

“Ke dalam yuk, acaranya sebentar lagi mulai,” Raras menutup map registrasi bermotif batik dan meletakkan pulpen di atasnya.

Meski di luar ekspektasi, Aia tetap bersyukur. Setidaknya, acara rohis tetap berjalan lancar. Satu yang masih mengganjal dihati. Ingin sekali ia segera bertemu Feby, Lita dan Rindy. Bertanya kenapa mereka tidak datang hari ini?

***

Dan waktu berputar cepat. Matahari kembali menyapa dari ufuk timur. Cahaya pagi yang sebenarnya hangat berubah panas bagi Aia yang baru saja turun dari bus umum. Bersama serombongan siswa yang lain, Aia menyeberangi jalan. Berjalan lagi beberapa langkah, tibalah di sekolah.

Aia Mengembungkan pipi seraya menarik napas panjang saat melihat Feby, Rindy dan Lita yang sedang berjalan beberapa langkah di depannya. Mengingat mereka tidak datang kemarin, Aia jadi kesal. Lihatlah, tingkah mereka selalu begitu. Tiap  pagi berjalan sambil cekikikan lalu menuju kantin sekolah. Aia mempercepat langkahnya, berusaha menyamai langkah mereka.

“Ehm,” Aia berdehem.

Feby, Rindy dan Lita menoleh. “Oh, Aia.”

Aia menoleh seraya (terpaksa) menyunggingkan senyum, “Kalian kemana kemarin? Katanya mau datang?”

“Oh, iya. Sorry, Ai!” sahut Feby dengan nada seolah-olah menyesal. “Kemarin ada film baru di bioskop soalnya. Jadi, kita pergi nonton, deh!” lanjutnya. Rindy dan Lita ikut mengiyakan.

Aia melebarkan senyumnya, “Oh, ngak apa-apa. Tapi, sayang banget ya, kalian nggak datang. Padahal acaranya seru dan bermanfaat banget, lho.”

“Lain kali Insya Allah kita datang deh, Ai,” sahut Rindy.

Aia mengangguk lalu sedetik kemudian tiba-tiba menghentikan langkahnya. Membuat ketiga temannya refleks ikut berhenti. “Mudah-mudahan sebenarnya kalian udah tahu, ya. Insya Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya kita tetap berusaha datang. Kita mengucapkan Insya Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan Allah yang menentukan bukan karena nggak bisa datang terus bilang Insya Allah!”

Feby, Rindy dan Lita melongo sejenak mendengar kalimat Aia. Selang beberapa detik kemudian tertawa. You know we so well lah, Ai …,” Feby mengibaskan tangan.

Sebenarnya Aia super gondok dengan tawa tiga temannya itu. Tapi, sudahlah. Ia kan sedang belajar sabar. Ditariknya napas dalam-dalam dan memaksa wajahnya memasang senyum. “Terserah kalian, deh! Yang penting gue udah nyampein! Duluan, ya. Assalamu’alaikum!” ucapnya kemudian berlalu meningalkan Feby, Rindy dan Lita yang bersungut kesal lantaran pagi-pagi merasa diceramahi Aia.
***

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.