Aia
lari terburu-buru menuju aula sekolah. Saking banyaknya petuah dari Adam yang
harus ia dengarkan mengenai kamera, Aia harus terlambat 30 menit. Langkahnya sempat terhenti saat
melihat lapangan, tempat acara anak-anak pecinta alam, nampak ramai. Acara
rohis juga pasti seramai itu, pikir Aia optimis. Ia segera berlari menaiki
tangga menuju aula di lantai dua. Tidak sabar ingin segera melihat suasana
acara.
“Tadaa!”
Aia yang akhirnya tiba di depan aula mengejutkan anak-anak GARIS dengan kamera di
genggamannya.
“Alhamdulillah
...!” yang lain menyambut gembira.
“Berhasil,
Kak Aia?!” Fiya dan Ayu langsung mendekat. Takjub. Takjub dengan kameranya.
Tapi lebih besar lagi rasa takjub mereka akan janji Allah. Selalu ada kemudahan
setelah kesulitan.
“Alhamdulillah
Abangku lagi baik hari ini. He ...,” Aia nyengir lalu iseng menjepret
sembarangan.
“Kameranya
keren banget, Ai!” seru Iqbal yang muncul dari dalam aula, tempat acara
dilaksanakan. Kebetulan Iqbal memang tahu banyak soal kamera. Termasuk tahu
kalau kamera yang Aia pegang, walaupun bukan keluaran terbaru, tapi berspesifikasi
tinggi.
“Ini,”
Aia menyerahkan kamera pada Iqbal dengan hati-hati, “bisa kan, pakai kamera
ini?” tanya Aia memastikan.
Iqbal
mengangguk, “Insya Allah bisa.”
“O
ya, Abangku pesan, hati-hati sama kameranya. Jangan sampai kenapa-kenapa. Kalau
sampai kenapa-kenapa, habis aku dimarahi Abang,” Aia mempersingkat petuah Adam.
“Dengerin
tuh, Kak Iqbal!” celetuk Ayu.
Iqbal
mengangguk pasti sambil mengacungkan jempol lalu melangkah ke meja registrasi
ikhwan. Matanya tetap terfokus pada kamera. Kagum.
“Eh,
Raras sama Azki mana?” Aia celingukan. Baru sadar kalau dua temannya tidak
bersama mereka.
“Tadi
sih di dalam. Eh, tuh di meja registrasi,” jawab Fiya. Melempar pandangan ke
arah meja registrasi yang ada di pojok sebelah kanan.
“Oh,
ada Kak Zia sama Kak Nisa juga,” celetuk Ayu.
Aia
mengerutkan dahi, “Kak Nisa? Siapa?”
***
“Kak
Nisa ini mentor rohis kita juga, Ai. Sayangnya, pas kamu masuk, Kak Nisa mau pindah ke
luar kota,” jelas Zia.
“Oh,
gitu. Kenapa pindah, Kak?” tanya Aia.
“Iya.
Ikut keluarga, Ai,” sahut Nisa.
Aia
mengangguk tersenyum. Melihat Ayu dan Fiya sedang mengecek form registrasi, Aia
jadi ingin melihat ke ruang acara. Apakah Feby, Rindy dan Lita sudah datang.
Aia maju beberapa langkah, melongok ke ruang acara. Lalu cepat-cepat memeriksa
form registrasi. Kembali melongok ke ruang acara.
“Kenapa,
Ai?” tanya Zia.
“Ini
sudah setengah sembilan lho, Kak! Masa baru sembilan belas orang yang datang?
Padahal kemarin banyak kan yang bilang Insya Allah mau datang?” Aia setengah tidak percaya melihat
daftar hadir peserta akhwat yang baru sembilan belas orang. Sementara peserta
ikhwannya lebih parah lagi, hanya ada sekitar sepuluh orang.
Aia
menatap Raras dan Azki, “Feby, Lita, Rindy, mereka belum datang?”
Raras
dan Azki hanya saling pandang lalu menggeleng bersamaan.
Aia
menghembuskan napas kecewa. Ini di luar ekspektasinya. Bahkan Feby, Lita dan
Rindy yang juga sudah bilang Insya Allah akan datang pun tak kelihatan batang
hidungnya. Sementara yang lain hanya tersenyum.
“Ya
... memang begitu, Ai,” ujar Azki. Ini bukan hal baru di agenda GARIS. Banyak
yang bilang Insya Allah mau
datang. Tapi, di hari H cuma
sekian orang yang datang.”
“Ya. Tapi.
Masa dari ribuan siswa
di sekolah ini cuma 29 orang?!” protesnya lagi sambil tetap melongok ke ruang
acara. “Acaranya anak-anak pecinta alam aja lebih rame dari acara kita?!”
Zia
merangkul Aia, “Sabar, Ai. Ngajak
orang ngaji itu memang nggak segampang ngajakin mereka jalan-jalan.”
“Padahal,
banyak yang bilang Insya Allah mau datang lho, Kak,” terang Aia.
“Ya.
Sadar atau nggak, di masyarakat kita sekarang memang sudah banyak yang menyalahartikan
kata Insya Allah,” Nisa menambahkan. “Orang banyak pakai kata Insya Allah
justru ketika mereka merasa, ‘hm, kayaknya nggak bisa datang deh’. Padahal,
Insya Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya ketika
mengucapkan Insya Allah, kita tetap berusaha datang. Kita mengucapkan Insya
Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan Allah yang menentukan bukan
karena sudah berencana nggak bisa
datang.”
Dahi
Aia berkerut sejenak, kemudian mengangguk. Berpikir lalu membenarkan. Jadi
ingat, waktu kelas satu dulu, Aia juga pernah menerima selebaran agenda seperti
ini dari Raras dan Azki. Dan pernah juga bilang Insya Allah. Tapi, sekali pun
belum pernah ia menghadirinya. Jadi ... seperti ini rasanya?
“Udah …. Jangan patah semangat
gitu, dong.” Azki merangkul Aia, “yang penting kan kita sudah berusaha maksimal
untuk agenda ini. Yang Allah lihat usaha kita, bukan hasilnya. Dan sebenarnya 29
orang itu sudah termasuk banyak untuk agenda kita, Ai. Kecuali acara PHBI. Karena
sekolah mewajibkan seluruh siswa muslim untuk hadir.”
Aia
menghembuskan napas sekaligus menghembuskan rasa kecewanya, “Iya, iya ….”
“Ke
dalam yuk, acaranya sebentar lagi mulai,” Raras menutup map registrasi bermotif
batik dan meletakkan pulpen di atasnya.
Meski
di luar ekspektasi, Aia tetap bersyukur. Setidaknya, acara rohis tetap berjalan
lancar. Satu yang masih mengganjal dihati. Ingin
sekali ia segera bertemu Feby, Lita dan Rindy. Bertanya kenapa mereka tidak datang hari ini?
***
Dan
waktu berputar cepat. Matahari kembali menyapa dari ufuk timur. Cahaya pagi yang sebenarnya hangat
berubah panas bagi Aia yang baru saja turun dari bus umum. Bersama serombongan
siswa yang lain, Aia menyeberangi jalan. Berjalan lagi beberapa langkah,
tibalah di sekolah.
Aia
Mengembungkan pipi seraya menarik napas panjang saat melihat Feby, Rindy dan
Lita yang sedang berjalan beberapa langkah di depannya. Mengingat mereka tidak
datang kemarin, Aia jadi kesal. Lihatlah, tingkah mereka selalu begitu.
Tiap pagi berjalan sambil cekikikan lalu
menuju kantin sekolah. Aia mempercepat langkahnya, berusaha menyamai langkah
mereka.
“Ehm,”
Aia berdehem.
Feby,
Rindy dan Lita menoleh. “Oh, Aia.”
Aia
menoleh seraya (terpaksa)
menyunggingkan
senyum, “Kalian kemana kemarin? Katanya mau datang?”
“Oh,
iya. Sorry, Ai!” sahut Feby dengan nada seolah-olah menyesal. “Kemarin
ada film baru di bioskop soalnya. Jadi, kita pergi nonton, deh!” lanjutnya.
Rindy dan Lita ikut mengiyakan.
Aia
melebarkan senyumnya, “Oh, ngak
apa-apa. Tapi, sayang banget ya, kalian nggak datang. Padahal acaranya seru dan
bermanfaat banget, lho.”
“Lain
kali Insya Allah kita datang deh, Ai,” sahut
Rindy.
Aia
mengangguk lalu sedetik kemudian tiba-tiba
menghentikan langkahnya. Membuat ketiga temannya refleks ikut berhenti. “Mudah-mudahan
sebenarnya kalian udah tahu, ya. Insya
Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya kita tetap berusaha
datang. Kita mengucapkan Insya Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan
Allah yang menentukan bukan karena nggak bisa datang terus bilang Insya Allah!”
Feby,
Rindy dan Lita melongo sejenak mendengar
kalimat Aia. Selang beberapa detik
kemudian tertawa. “You know we
so well lah, Ai …,” Feby mengibaskan tangan.
Sebenarnya
Aia super gondok dengan tawa
tiga temannya itu. Tapi, sudahlah. Ia
kan sedang belajar sabar. Ditariknya napas dalam-dalam dan memaksa wajahnya
memasang senyum. “Terserah kalian, deh! Yang penting gue udah nyampein! Duluan,
ya. Assalamu’alaikum!”
ucapnya kemudian berlalu meningalkan Feby, Rindy dan Lita yang bersungut kesal lantaran pagi-pagi merasa diceramahi
Aia.
***
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 28, 2017
Unknown

Posted in