Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 10.00 WIB
Aia masih
terduduk di depan cermin meraba wajah Ayah di foto. Mengingat masa pahit itu,
bulir-bulir bening kembali muncul di sudut mata. Masa pahit? Ya, bagi Aia, itu
adalah salah satu masa pahit dalam hidupnya. Karena malam itu adalah malam
terakhir Aia melihat Ayah dan Bunda bersama. Beberapa bulan setelahnya,
Aia ingat betul hari ketika Ayah memeluknya dan Adam begitu lama.
Adam hanya diam dengan wajah yang terlihat marah. Sementara Aia
dengan wajah bingung terus bertanya, “Ayah mau kemana?”
Setelah hari itu Aia tidak lagi meilhat Ayah di rumah. Beberapa tahun terakhir baru Aia
mengerti bahwa rumah ini adalah pemberian orang tua Bunda. Maka, hari itu dengan tahu
diri Ayah yang pergi.
Agustus
2001
“Hm ... Ayah
sekarang pindah ke rumah Eyang. Jadi, nggak tinggal sama kita lagi.” Jawab
Bunda terbata-bata saat Aia menanyakan Ayah. Ini yang Bunda khawatirkan.
Bagaimana cara terbaik menjelaskan semua pada putri kecilnya. Matanya mulai
berkaca-kaca. Tenggorokannya mulai tercekat.
“Kok Ayah nggak
bilang ke Aia kalau Ayah pindah? Kok Ayah nggak ajak kita, Bunda? Nanti kalau
Aia, Bang Adam dan Bunda kangen sama Ayah gimana?” tanya
Aia yang mulai tersedu. Kenapa tiba-tiba Ayah pindah? Kalau saja waktu ia
tahu Ayah mau pindah. Aia pasti akan menahannya.
Bunda memeluk
Aia dan mengelus punggungnya. Lama. “Nanti, Ayah datang ke sini buat jenguk Aia
sama Bang Adam, ya?” sahut Bunda sekenanya seraya melirik putranya yang sejak
tadi hanya diam dengan wajah cemberut seraya menatap kosong layar televisi.
Bunda justru lebih mengkhawatirkan Adam. Karena dibanding Aia, Adam sudah lebih
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Adam juga tahu kalau sebenarnya kedua orang
tuanya sudah ... cerai.
Malam sebelum
sidang terakhir, Adam sempat mendatangi Bunda. Merengek,
meminta Bunda untuk tidak berpisah dengan Ayah. “Memang, Ayah dan Bunda mau pisah?” tanya Adam.
Seminggu terakhir, tiap kali ia pergi bermain. Pasti ada saja satu-dua atau
sekelompok ibu-ibu yang membicarakan Ayah dan Bunda.
Bunda
menekuk lutut. Hanya bisa menatap Adam tanpa bisa mengatakan apapun. Adam
langsung menghambur ke pelukannya. “Bunda nggak pisah sama Ayah, kan? Bunda
jangan pisah sama Ayah, ya?” pintanya.
Bunda
semakin terhenyak. Ia tahu, ia tidak akan bisa menyembunyikan masalah ini.
Hanya saja, Bunda tidak tahu bahasa apa yang harus ia gunakan untuk memberi
penjelasan pada anak-anaknya.
Suami-istri
mana yang menginginkan pernikahannya berakhir dengan kata cerai? Tapi, kesepakatan ini tidak mungkin
dihentikan. Ia merasa tidak bisa lagi melanjutkan ini semua. Apa artinya hidup
bersama bila tidak lagi menghargai. Ia sudah berusaha untuk mempertahankan
keluarga ini. Tapi, lihat! Suaminya sama sekali tidak
menghargai semua yang sudah ia lakukan. Bunda akan membuktikan bahwa meski
tanpanya, Bunda mampu menghidupi Aia dan Adam. Bahkan jauh lebih baik dari yang
bisa Ayahnya berikan.
Melihat kedua
buah hatinya sekarang, sesal dan rasa bersalah mulai merambati hati. Bukankah
Adam dan Aia ikut terluka karena keputusan ia dan (mantan) suaminya?
Itu pula yang
sebenarnya Ayah rasakan saat memeluk Adam dan Aia. Tidakkah mereka telah menjadi orang tua yang egois? Memutuskan berpisah tanpa
mempertimbangkan Adam dan Aia lebih jauh lagi. Mungkin seharusnya mereka tidak
....
***
Dan sejak itu,
kehidupan Aia kian berubah drastis. Bunda resmi menjalankan peran ganda,
sebagai ibu juga sebagai tulang punggung keluarga.
“Adam, Aia, ayo
cepat! Sarapannya sudah siap!” sambil menyiapkan sarapan Bunda meneriaki Adam
dan Aia yang masih berada di kamar. Setelah diteriaki
beberapa kali, barulah
Adam dan Aia keluar. Duduk di meja makan.
“Hari ini, hari
pertama Bunda masuk kerja lagi. Jadi, sarapannya jangan lama-lama, ya. Karena
Bunda harus antar kalian dulu ke sekolah, habis itu baru Bunda berangkat kerja.
Dan mulai hari ini, Aia dan Abang harus belajar
mandiri. Harus bangun pagi-pagi, mandi, siapkan keperluan sekolah sendiri.
Kalian harus cepat. Karena kalau kalian lambat, nanti Bunda juga ikutan telat.
Kalau Bunda telat, Bunda bisa dipecat, itu artinya kita tidak punya uang untuk
kebutuhan sehari-hari,” Bunda terus “berkhotbah” sambil mengambilkan sarapan untuk
Adam dan Aia. Lalu mondar-mandir mengambil air minum. “Lho, kok malah diem?!
Kalian denger kan, apa yang barusan Bunda bilang?! Ayo, cepat dihabiskan sarapannya!” seru Bunda saat melihat Adam dan Aia
malah bengong menatapnya.
“I, iya, Bun,”
sahut Adam dan Aia yang merasa aneh dengan Bunda. Sejak kapan Bunda jadi
begitu cerewet?
Sejak hari itu
Bunda semakin sibuk. Pagi hari Bunda sibuk merapikan rumah, menyiapkan sarapan,
mengantar Adam dan Aia ke sekolah, pergi ke kantor dan baru pulang saat sore
hari. Semua kesibukan itu memaksa Bunda berubah.
Sekarang tidak
ada lagi jadwal mengaji selesai Maghrib hingga Isya’. Tidak ada lagi Bunda yang
mengajari banyak hal. Juga tidak ada Bunda yang selalu meladeni
pertanyaan-pertanyaan Adam dan Aia. Yang ada sekarang adalah Bunda yang sibuk. Yang tidak punya banyak waktu untuk mereka berdua. Belakangan
Bunda malah terlihat lebih sensitif. Mudah marah karena hal-hal kecil yang
tidak disengaja. Seperti saat Adam tak sengaja menjatuhkan gelas saat sarapan.
“Abang, hati-hati dong! Bunda lagi buru-buru, kamu malah
buat berantakan lagi!” bentak Bunda.
Adam tertunduk.
Sesekali melirik sebal ke arah Bunda yang masih mengomel sambil membersihkan
serpihan beling gelas yang ia jatuhkan. Dalam hati bertanya-tanya sendiri, kenapa
Bunda marah-marah? Ia kan tidak sengaja menjatuhkannya?
Dulu, kalau ada kejadian seperti ini, Bunda hanya tersenyum pada Adam. “Iya, Bunda tahu, Abang
nggak sengaja. Makanya lain kali hati-hati ya,” senyuman Bunda ampuh
menghilangkan rasa takut Adam seketika. “Tolong ambil sapu Bang, bantu Bunda
bersihkan belingnya, ya?”
Adam mengangguk
lantas bergegas membantu Bunda.
Tapi, hari ini
tak sedikit pun Adam ingin membantu Bunda membersihkan beling yang berserakan
itu. Adam masih melirik sebal ke arah Bunda. Sejak Bunda mulai bekerja, Bunda
mulai rajin mengomel. Bosan sekali mendengarnya. Hatinya masih bertanya, kenapa
Bunda harus memarahinya? Dulu, Bunda tidak pernah memarahinya hanya karena
gelas yang jatuh.
Selain itu,
Bunda juga tidak seperhatian dulu. Dulu, Bunda selalu bertanya tentang
bagaimana hari Adam dan Aia di sekolah, ada PR atau tidak, tidak lupa memberi
apresiasi walau hanya sekedar ucapan
selamat atas nilai mereka yang bagus. Sekarang? Jangankan bertanya bagaimana
hari mereka di sekolah, hari ini sekolah atau tidakpun Bunda hampir tidak pernah bertanya.
Aia ingat betul
kejadian malam itu. Saat Aia kesulitan mengerjakan PR matematika. Aia
menghampiri Bunda yang terlihat sibuk dengan laptop dan setumpuk kertas di
ruang tamu.
“Bunda ...,”
panggil Aia pelan dari balik sofa. Takut suaranya mengganggu Bunda. Juga takut
dimarahi seperti Adam yang tadi pagi tidak sengaja menjatuhkan gelas.
Bunda menoleh
seraya tersenyum melihat wajah Aia yang ditutupi dengan buku. “Kenapa, sayang?”
Aia mendekat,
“Aia … nggak ngerti ngerjain PR yang ini,
Bun.”
“Hm, mana, coba
Bunda lihat PR-nya?”
“Yang ini, nomer
tiganya Aia nggak ngerti,” Aia menyerahkan bukunya pada Bunda sambil tersenyum
senang karena akhirnya malam ini bisa belajar sama Bunda.
Bunda memeriksa
buku Aia sebentar kemudian membelai rambut Aia dan berkata, “Aduh maaf ya,
sayang, Bunda lagi banyak kerjaan. Aia
minta tolong sama Abang, ya.”
Seketika raut
wajah Aia berubah kecewa. Aia mengembungkan pipi, “Tapi, Aia maunya sama Bunda
....”
“Aia … Bunda
lagi banyak kerjaan. Malam ini sama Abang dulu, ya.”
“Gak mau! Aia
mau sama Bunda!” Teriak Aia. Pipinya kembali mengembung.
Marah.
“Cahaya! Bunda
lagi banyak kerjaan!” Sahut Bunda sambil
berusaha mengendalikan emosi. Tapi yang terjadi tetap nada tinggi yang keluar.
“Kenapa sih,
sekarang Bunda gak mau nemenin Aia belajar lagi?! Bunda udah nggak sayang lagi
ya, sama Aia?! Aia mau ke rumah Eyang! Aia mau ikut Ayah aja!” teriak Aia lagi
seraya melempar bukunya sembarangan. Marah. Kecewa.
“Cahaya, Bunda nggak
suka ya, kamu marah-marah! Sekarang masuk kamar!” bentak Bunda.
“Tapi, Bun …,” Aia berusaha protes.
“Bunda bilang
masuk kamar!”
Tidak. Aia tidak
bisa protes lagi. Bunda sudah menyebut nama lengkapnya dua kali. Itu artinya
Bunda benar-benar marah padanya. Aia terkejut dengan sikap Bunda malam itu.
Kontan ia segera berlari masuk kamar, membanting pintu sekuat-kuatnya. Aia benci Bunda! Dulu, Bunda tidak
pernah memarahinya hanya karena meminta bantuan mengerjakan tugas sekolah.
Sementara di
ruang tamu Bunda masih menatap pintu kamar Aia yang sudah tertutup. Membenamkan
bahunya di sandaran sofa, memejamkan mata.
“Astaghfirullahal
‘adzhiim ...,” Bunda menyesal. Mengapa ia harus membentak Aia? Apa susahnya
kalau tadi ia luangkan waktu sebentar untuk menemani Aia belajar? Ah, urusan
pekerjaan benar-benar menyita waktunya!
***
Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 10.30 WIB
Di kamar, Aia
masih tetap duduk di depan cermin menatap foto keluarga. Sesekali air matanya
jatuh mengingat masa lalu. Masa cahaya hidupnya tak hanya meredup namun sirna.
Sejak Ayah dan Bunda berpisah, yang Aia rasakan bukan
hanya kehilangan Ayah. Tapi, juga kehilangan sosok
Bunda. Saat itu hanya Adam tempatnya bercerita.
Oktober
2001
“Bang, kenapa ya
Bunda sekarang berubah? Nggak pernah temani kita belajar lagi. Sering
marah-marah. Aia benci sama Bunda!” keluh Aia sore itu pada Adam yang sedang
asyik melipat origami. Sambil menunggu Bunda pulang, mereka bermain di teras
depan. “Kemarin Aia dimarahi
cuma gara-gara pengin belajar sama Bunda!” tambahnya lalu mengembungkan pipi.
Adam berhenti
sejenak melipat origami kemudian berkata, “Mungkin
karena sekarang Bunda capek, De. Sekarang kan Ayah nggak tinggal sama kita
lagi, nggak ada yang cari uang. Jadinya, Bunda
deh yang cari uang.”
Adam berusaha
menjawab “sebijak” mungkin pada Aia. Sementara Aia diam mendengarkan
kalimat kakaknya. “Abang juga nggak suka Bunda berubah. Tapi, kita
nggak boleh benci sama Bunda. Bunda pernah bilang ke Abang, Bunda itu kerja
buat kita, De. Supaya kita bisa makan. Bisa
sekolah. Jadi, kalo Dede mau belajar, sama Bang Adam aja, ya.” Ujar Adam sambil
terus melipat origaminya. “Oh ya, nanti Dede harus minta maaf ya, sama Bunda. Kan kata Ayah,
kalau kita punya salah kita harus minta
maaf.”
Aia masih diam. Belum bisa menerima kata-kata Adam. Kenapa nggak boleh benci sama Bunda? Bunda kan
sekarang nggak sayang lagi sama Aia dan Abang.
“Nah, ini dia
udah jadi!” seru Adam sambil mengangkat hasil lipatan origami berbentuk angsa.
“Nih, buat Dede!”
“Wah, kok bisa
jadi angsa, Bang! Gimana caranya? Aia juga mau buat!” seru Aia yang takjub
melihat origami Adam. Seakan lupa kalau tadi ia baru saja mengeluhkan tentang
Bunda.
“Dede mau bikin
juga?” tanya Adam. Aia mengangguk antusias. “Ya udah, Abang ajarin. Nih, kertas
origaminya. Dede mau warna apa?”
“Biru!”
“Jangan. Biru itu warna Abang. Dede warna pink saja, ya?”
***
“Bunda,” jam
sepuluh malam Aia berdiri di depan pintu kamar Bunda. Tadi, Aia sudah menunggu
Bunda pulang. Tapi, karena lama. Aia malah ketiduran di kamar. “Bun ...,”
panggilnya sekali lagi. Aia tidak berani mengetuk pintu, takut mengganggu
Bunda. Nanti, Bunda marah
lagi ....
Akhirnya Bunda
membuka pintu kamar. Seperti biasa, Bunda menekuk lutut agar sejajar dengan
Aia, membelai lembut rambutnya. “Lho, Aia bukannya sudah tidur tadi? Kok
bangun?”. Tadi, sepulangnya dari kantor, Bunda sempat menengok Aia dan Adam
yang sudah terlelap di kamar masing-masing.
“Aia tadi tunggu
Bunda, tapi Bunda nggak pulang-pulang. Aia mau minta maaf, soalnya semalem Aia
marah-marah sama Bunda.”
Bunda tersenyum.
Semua lelah luruh seketika mendengarnya. Matanya menatap penuh arti wajah polos
itu kemudian memeluknya. Ya Allah, hanya
karena satu kalimatnya semalam, putrinya meminta maaf. Sebenarnya Aia tidak
bersalah. Ia yang salah, terlalu egois dengan pekerjaannya. Dari sudut matanya
sebulir air bening menetes, haru. Tenggorokannya tercekat. Lisannya kelu.
“Bunda, kok diam
saja? Bunda nggak mau maafin Aia, ya?”
Bunda menggeleng
seraya menghapus air mata, “ya, sayang. Maafin Bunda juga, ya.”
“Yeeay!” Aia
berseru senang. “Bunda, malam ini Aia boleh tidur sama Bunda?”
Bunda
mengangguk. Aia makin tersenyum girang.
***
“Bunda, kata Abang karena sekarang Ayah nggak tinggal sama kita lagi,
jadi sekarang Bunda yang cari uang ya? Buat makan, buat Aia sama Bang Adam
sekolah. Emang gitu ya, Bun?” tanya Aia yang sudah berada di pelukan Bunda
sambil berbaring di tempat tidur bertemankan selimut hangat.
“Iya. Bunda
minta maaf ya, kalau sekarang Bunda jarang temani Aia dan
Bang Adam. Karena sekarang Bunda harus kerja.”
Aia mengangguk,
“Iya, Bun. Tadi, Abang bilang Aia nggak
boleh benci sama Bunda. Terus Abang bilang Aia harus minta
maaf sama Bunda.”
Sekali lagi
Bunda tertegun mendengar kalimat Aia. Kembali terharu. Adam mengatakan itu
semua? Ia tidak pernah menyangka Adam bisa “sebijak” itu menyikapi
perubahan Bundanya yang bekerja. Sudah menjadi
kakak yang baik untuk Aia. Kalimat puji-pujian untuk-Nya tak henti Bunda
ucapkan dalam hati. Terima kasih Rabb, atas kemurahanMu menghadiahkanku dua
buah hati yang begitu manis.
“Memangnya kalau
kerja itu harus tiap hari? Terus sering pulang malam juga ya, Bun?” Aia bertanya
lagi. Ah, Aia memang selalu banyak pertanyaan.
“Nggak setiap
hari, sayang. Aia lihat, Sabtu-Minggu Bunda ada di rumah, kan?”
Aia memanyunkan
bibirnya dengan ekspresi muka serius, berpikir. “Tapi ... kok Bunda juga masih
kerja di rumah?” Seingatnya, meski hari Sabtu dan Minggu Bunda ada di rumah,
tidak jarang ia melihat Bunda masih saja sibuk dengan laptopnya. Bukankah waktu
kemarin Bunda memarahinya juga karena Bunda sedang banyak pekerjaan?
Bunda menyeka
dahi. Ah, putrinya benar. Posisinya
sebagai karyawan membuat Bunda tidak bisa banyak berbuat soal jam kerja. Ia
bukan pemilik perusahaan yang bisa mengatur jam kerjanya sendiri. Belum lagi
perusahaan tempatnya bekerja masih tergolong baru. Belum bisa mempekerjakan
banyak karyawan. Alhasil, Bunda sering kali merangkap dua-tiga pekerjaan.
Pekerjaan menumpuk itulah yang memaksanya untuk lembur. Pulang malam. Juga
tidak jarang harus membawa pekerjaan itu ke rumah.
Mencari
pekerjaan yang baru? Ah, zaman sekarang mencari pekerjaan bukan hal yang mudah.
Masalahnya, lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah usia
kerja. Belum lagi, perusahaan yang sering kali mencari
fresh graduate. Ia sudah merasa
beruntung mendapat pekerjaan ini. Apa pun akan Bunda lakukan demi menghidupi
anak-anaknya.
“Sebenarnya Aia
sedih, Bun. Soalnya Bunda jadi jarang di rumah. Padahal, Aia kan pengin kayak
dulu. Ngaji bareng Bunda, main, belajar ...,” ungkap Aia.
Bunda mencium
kening Aia. Sejak tadi air matanya menetes. Namun segera ia hapus sebelum Aia melihat. Ia pun merindukan masa-masa
itu. Sama rindunya dengan Aia. Seandainya boleh memilih, maka Bunda juga akan
memilih berada di rumah bersama anak-anaknya.
“Oh ya, Bunda!”
seru Aia tiba-tiba, “Bunda kan cari uang karena sekarang Ayah nggak tinggal
sama kita lagi. Suruh Ayah pulang saja, Bun! Tinggal sama kita lagi. Jadi Bunda
kan, nggak perlu cari uang lagi. Terus, kita bisa sering sama-sama lagi, deh!”
Bunda terkejut
mendengarnya. Bagaimana ia harus menjawab?
“Sudah malam
sayang, waktunya tidur. Besok Aia sekolah kan?” Bunda memutuskan menghentikan
obrolan malam itu. Kalau diladeni sampai pagi pun Aia akan terus bertanya
banyak hal. Bunda membetulkan posisi bantal dan selimut Aia. “Jangan lupa baca
do’a, ya,” Bunda mengingatkan.
Aia mengangguk
lantas segera membaca do’a. Bunda mematikan lampu kamar. Gelap. Setidaknya
malam itu Aia merasakan kembali hangatnya pelukan Bunda. Senaang sekali
rasanya. Ya, malam itu.
***
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 07, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar