Sabtu, 07 Januari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 10.00 WIB
Aia masih terduduk di depan cermin meraba wajah Ayah di foto. Mengingat masa pahit itu, bulir-bulir bening kembali muncul di sudut mata. Masa pahit? Ya, bagi Aia, itu adalah salah satu masa pahit dalam hidupnya. Karena malam itu adalah malam terakhir Aia melihat Ayah dan Bunda bersama. Beberapa bulan setelahnya, Aia ingat betul hari ketika Ayah memeluknya dan Adam begitu lama.

Adam hanya diam dengan wajah yang terlihat marah. Sementara Aia dengan wajah bingung terus bertanya, “Ayah mau kemana?”

Setelah hari itu Aia tidak lagi meilhat Ayah di rumah. Beberapa tahun terakhir baru Aia mengerti bahwa rumah ini adalah pemberian orang tua Bunda. Maka, hari itu dengan tahu diri Ayah yang pergi.

Agustus 2001

“Hm ... Ayah sekarang pindah ke rumah Eyang. Jadi, nggak tinggal sama kita lagi.” Jawab Bunda terbata-bata saat Aia menanyakan Ayah. Ini yang Bunda khawatirkan. Bagaimana cara terbaik menjelaskan semua pada putri kecilnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Tenggorokannya mulai tercekat.

“Kok Ayah nggak bilang ke Aia kalau Ayah pindah? Kok Ayah nggak ajak kita, Bunda? Nanti kalau Aia, Bang Adam dan Bunda kangen sama Ayah gimana?” tanya Aia yang mulai tersedu. Kenapa tiba-tiba Ayah pindah? Kalau saja waktu ia tahu Ayah mau pindah. Aia pasti akan menahannya.

Bunda memeluk Aia dan mengelus punggungnya. Lama. “Nanti, Ayah datang ke sini buat jenguk Aia sama Bang Adam, ya?” sahut Bunda sekenanya seraya melirik putranya yang sejak tadi hanya diam dengan wajah cemberut seraya menatap kosong layar televisi. Bunda justru lebih mengkhawatirkan Adam. Karena dibanding Aia, Adam sudah lebih mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Adam juga tahu kalau sebenarnya kedua orang tuanya sudah ... cerai.

Malam sebelum sidang terakhir, Adam sempat mendatangi Bunda. Merengek, meminta Bunda untuk tidak berpisah dengan Ayah. “Memang, Ayah dan Bunda mau pisah?” tanya Adam. Seminggu terakhir, tiap kali ia pergi bermain. Pasti ada saja satu-dua atau sekelompok ibu-ibu yang membicarakan Ayah dan Bunda.

Bunda menekuk lutut. Hanya bisa menatap Adam tanpa bisa mengatakan apapun. Adam langsung menghambur ke pelukannya. “Bunda nggak pisah sama Ayah, kan? Bunda jangan pisah sama Ayah, ya?” pintanya.

Bunda semakin terhenyak. Ia tahu, ia tidak akan bisa menyembunyikan masalah ini. Hanya saja, Bunda tidak tahu bahasa apa yang harus ia gunakan untuk memberi penjelasan pada anak-anaknya.
Suami-istri mana yang menginginkan pernikahannya berakhir dengan kata cerai? Tapi, kesepakatan ini tidak mungkin dihentikan. Ia merasa tidak bisa lagi melanjutkan ini semua. Apa artinya hidup bersama bila tidak lagi menghargai. Ia sudah berusaha untuk mempertahankan keluarga ini. Tapi, lihat! Suaminya sama sekali tidak menghargai semua yang sudah ia lakukan. Bunda akan membuktikan bahwa meski tanpanya, Bunda mampu menghidupi Aia dan Adam. Bahkan jauh lebih baik dari yang bisa Ayahnya berikan.

Melihat kedua buah hatinya sekarang, sesal dan rasa bersalah mulai merambati hati. Bukankah Adam dan Aia ikut terluka karena keputusan ia dan (mantan) suaminya?

Itu pula yang sebenarnya Ayah rasakan saat memeluk Adam dan Aia. Tidakkah mereka telah menjadi orang tua yang egois? Memutuskan berpisah tanpa mempertimbangkan Adam dan Aia lebih jauh lagi. Mungkin seharusnya mereka tidak ....

***

Dan sejak itu, kehidupan Aia kian berubah drastis. Bunda resmi menjalankan peran ganda, sebagai ibu juga sebagai tulang punggung keluarga.

“Adam, Aia, ayo cepat! Sarapannya sudah siap!” sambil menyiapkan sarapan Bunda meneriaki Adam dan Aia yang masih berada di kamar. Setelah diteriaki beberapa kali, barulah Adam dan Aia keluar. Duduk di meja makan.

“Hari ini, hari pertama Bunda masuk kerja lagi. Jadi, sarapannya jangan lama-lama, ya. Karena Bunda harus antar kalian dulu ke sekolah, habis itu baru Bunda berangkat kerja. Dan mulai hari ini, Aia dan Abang harus belajar mandiri. Harus bangun pagi-pagi, mandi, siapkan keperluan sekolah sendiri. Kalian harus cepat. Karena kalau kalian lambat, nanti Bunda juga ikutan telat. Kalau Bunda telat, Bunda bisa dipecat, itu artinya kita tidak punya uang untuk kebutuhan sehari-hari,” Bunda terus “berkhotbah” sambil mengambilkan sarapan untuk Adam dan Aia. Lalu mondar-mandir mengambil air minum. “Lho, kok malah diem?! Kalian denger kan, apa yang barusan Bunda bilang?! Ayo, cepat dihabiskan sarapannya!” seru Bunda saat melihat Adam dan Aia malah bengong menatapnya.
“I, iya, Bun,” sahut Adam dan Aia yang merasa aneh dengan Bunda. Sejak kapan Bunda jadi begitu cerewet?

Sejak hari itu Bunda semakin sibuk. Pagi hari Bunda sibuk merapikan rumah, menyiapkan sarapan, mengantar Adam dan Aia ke sekolah, pergi ke kantor dan baru pulang saat sore hari. Semua kesibukan itu memaksa Bunda berubah.

Sekarang tidak ada lagi jadwal mengaji selesai Maghrib hingga Isya’. Tidak ada lagi Bunda yang mengajari banyak hal. Juga tidak ada Bunda yang selalu meladeni pertanyaan-pertanyaan Adam dan Aia. Yang ada sekarang adalah Bunda yang sibuk. Yang tidak punya banyak waktu untuk mereka berdua. Belakangan Bunda malah terlihat lebih sensitif. Mudah marah karena hal-hal kecil yang tidak disengaja. Seperti saat Adam tak sengaja menjatuhkan gelas saat sarapan.

Abang, hati-hati dong! Bunda lagi buru-buru, kamu malah buat berantakan lagi!” bentak Bunda.
Adam tertunduk. Sesekali melirik sebal ke arah Bunda yang masih mengomel sambil membersihkan serpihan beling gelas yang ia jatuhkan. Dalam hati bertanya-tanya sendiri, kenapa Bunda marah-marah? Ia kan tidak sengaja menjatuhkannya?

Dulu, kalau ada kejadian seperti ini, Bunda hanya tersenyum pada Adam. “Iya, Bunda tahu, Abang nggak sengaja. Makanya lain kali hati-hati ya,” senyuman Bunda ampuh menghilangkan rasa takut Adam seketika. “Tolong ambil sapu Bang, bantu Bunda bersihkan belingnya, ya?”
Adam mengangguk lantas bergegas membantu Bunda.

Tapi, hari ini tak sedikit pun Adam ingin membantu Bunda membersihkan beling yang berserakan itu. Adam masih melirik sebal ke arah Bunda. Sejak Bunda mulai bekerja, Bunda mulai rajin mengomel. Bosan sekali mendengarnya. Hatinya masih bertanya, kenapa Bunda harus memarahinya? Dulu, Bunda tidak pernah memarahinya hanya karena gelas yang jatuh.

Selain itu, Bunda juga tidak seperhatian dulu. Dulu, Bunda selalu bertanya tentang bagaimana hari Adam dan Aia di sekolah, ada PR atau tidak, tidak lupa memberi apresiasi  walau hanya sekedar ucapan selamat atas nilai mereka yang bagus. Sekarang? Jangankan bertanya bagaimana hari mereka di sekolah, hari ini sekolah atau tidakpun Bunda hampir tidak pernah bertanya.

Aia ingat betul kejadian malam itu. Saat Aia kesulitan mengerjakan PR matematika. Aia menghampiri Bunda yang terlihat sibuk dengan laptop dan setumpuk kertas di ruang tamu.

“Bunda ...,” panggil Aia pelan dari balik sofa. Takut suaranya mengganggu Bunda. Juga takut dimarahi seperti Adam yang tadi pagi tidak sengaja menjatuhkan gelas.

Bunda menoleh seraya tersenyum melihat wajah Aia yang ditutupi dengan buku. “Kenapa, sayang?”
Aia mendekat, “Aia nggak ngerti ngerjain PR yang ini, Bun.”

“Hm, mana, coba Bunda lihat PR-nya?”

“Yang ini, nomer tiganya Aia nggak ngerti,” Aia menyerahkan bukunya pada Bunda sambil tersenyum senang karena akhirnya malam ini bisa belajar sama Bunda.

Bunda memeriksa buku Aia sebentar kemudian membelai rambut Aia dan berkata, “Aduh maaf ya, sayang, Bunda lagi banyak kerjaan. Aia minta tolong sama Abang, ya.”

Seketika raut wajah Aia berubah kecewa. Aia mengembungkan pipi, “Tapi, Aia maunya sama Bunda ....”

“Aia … Bunda lagi banyak kerjaan. Malam ini sama Abang dulu, ya.”

“Gak mau! Aia mau sama Bunda!” Teriak Aia. Pipinya kembali mengembung. Marah.

“Cahaya! Bunda lagi banyak kerjaan!” Sahut Bunda sambil berusaha mengendalikan emosi. Tapi yang terjadi tetap nada tinggi yang keluar.

“Kenapa sih, sekarang Bunda gak mau nemenin Aia belajar lagi?! Bunda udah nggak sayang lagi ya, sama Aia?! Aia mau ke rumah Eyang! Aia mau ikut Ayah aja!” teriak Aia lagi seraya melempar bukunya sembarangan. Marah. Kecewa.

“Cahaya, Bunda nggak suka ya, kamu marah-marah! Sekarang masuk kamar!” bentak Bunda.

“Tapi, Bun …,” Aia berusaha protes.

“Bunda bilang masuk kamar!”

Tidak. Aia tidak bisa protes lagi. Bunda sudah menyebut nama lengkapnya dua kali. Itu artinya Bunda benar-benar marah padanya. Aia terkejut dengan sikap Bunda malam itu. Kontan ia segera berlari masuk kamar, membanting pintu sekuat-kuatnya. Aia benci Bunda! Dulu, Bunda tidak pernah memarahinya hanya karena meminta bantuan mengerjakan tugas sekolah.

Sementara di ruang tamu Bunda masih menatap pintu kamar Aia yang sudah tertutup. Membenamkan bahunya di sandaran sofa, memejamkan mata.

“Astaghfirullahal ‘adzhiim ...,” Bunda menyesal. Mengapa ia harus membentak Aia? Apa susahnya kalau tadi ia luangkan waktu sebentar untuk menemani Aia belajar? Ah, urusan pekerjaan benar-benar menyita waktunya!

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 10.30 WIB

Di kamar, Aia masih tetap duduk di depan cermin menatap foto keluarga. Sesekali air matanya jatuh mengingat masa lalu. Masa cahaya hidupnya tak hanya meredup namun sirna. Sejak Ayah dan Bunda berpisah, yang Aia rasakan bukan hanya kehilangan Ayah. Tapi, juga kehilangan sosok Bunda. Saat itu hanya Adam tempatnya bercerita.

Oktober 2001

“Bang, kenapa ya Bunda sekarang berubah? Nggak pernah temani kita belajar lagi. Sering marah-marah. Aia benci sama Bunda!” keluh Aia sore itu pada Adam yang sedang asyik melipat origami. Sambil menunggu Bunda pulang, mereka bermain di teras depan. “Kemarin Aia dimarahi cuma gara-gara pengin belajar sama Bunda!” tambahnya lalu mengembungkan pipi.

Adam berhenti sejenak melipat origami kemudian berkata, “Mungkin karena sekarang Bunda capek, De. Sekarang kan Ayah nggak tinggal sama kita lagi, nggak ada yang cari uang. Jadinya, Bunda deh yang cari uang.”

Adam berusaha menjawab “sebijak” mungkin pada Aia. Sementara Aia diam mendengarkan kalimat  kakaknya. “Abang juga nggak suka Bunda berubah. Tapi, kita nggak boleh benci sama Bunda. Bunda pernah bilang ke Abang, Bunda itu kerja buat kita, De. Supaya kita bisa makan. Bisa sekolah. Jadi, kalo Dede mau belajar, sama Bang Adam aja, ya.” Ujar Adam sambil terus melipat origaminya. “Oh ya, nanti Dede harus minta maaf ya, sama Bunda. Kan kata Ayah, kalau kita punya salah kita harus minta maaf.”

Aia masih diam. Belum bisa menerima kata-kata Adam. Kenapa nggak boleh benci sama Bunda? Bunda kan sekarang nggak sayang lagi sama Aia dan Abang.

“Nah, ini dia udah jadi!” seru Adam sambil mengangkat hasil lipatan origami berbentuk angsa. “Nih, buat Dede!”

“Wah, kok bisa jadi angsa, Bang! Gimana caranya? Aia juga mau buat!” seru Aia yang takjub melihat origami Adam. Seakan lupa kalau tadi ia baru saja mengeluhkan tentang Bunda.

“Dede mau bikin juga?” tanya Adam. Aia mengangguk antusias. “Ya udah, Abang ajarin. Nih, kertas origaminya. Dede mau warna apa?”

“Biru!”

“Jangan. Biru itu warna Abang. Dede warna pink saja, ya?”

***

“Bunda,” jam sepuluh malam Aia berdiri di depan pintu kamar Bunda. Tadi, Aia sudah menunggu Bunda pulang. Tapi, karena lama. Aia malah ketiduran di kamar. “Bun ...,” panggilnya sekali lagi. Aia tidak berani mengetuk pintu, takut mengganggu Bunda. Nanti, Bunda marah lagi ....

Akhirnya Bunda membuka pintu kamar. Seperti biasa, Bunda menekuk lutut agar sejajar dengan Aia, membelai lembut rambutnya. “Lho, Aia bukannya sudah tidur tadi? Kok bangun?”. Tadi, sepulangnya dari kantor, Bunda sempat menengok Aia dan Adam yang sudah terlelap di kamar masing-masing.

“Aia tadi tunggu Bunda, tapi Bunda nggak pulang-pulang. Aia mau minta maaf, soalnya semalem Aia marah-marah sama Bunda.”

Bunda tersenyum. Semua lelah luruh seketika mendengarnya. Matanya menatap penuh arti wajah polos itu kemudian memeluknya. Ya Allah, hanya karena satu kalimatnya semalam, putrinya meminta maaf. Sebenarnya Aia tidak bersalah. Ia yang salah, terlalu egois dengan pekerjaannya. Dari sudut matanya sebulir air bening menetes, haru. Tenggorokannya tercekat. Lisannya kelu.

“Bunda, kok diam saja? Bunda nggak mau maafin Aia, ya?”

Bunda menggeleng seraya menghapus air mata, “ya, sayang. Maafin Bunda juga, ya.”

“Yeeay!” Aia berseru senang. “Bunda, malam ini Aia boleh tidur sama Bunda?”

Bunda mengangguk. Aia makin tersenyum girang.

***

“Bunda, kata Abang karena sekarang Ayah nggak tinggal sama kita lagi, jadi sekarang Bunda yang cari uang ya? Buat makan, buat Aia sama Bang Adam sekolah. Emang gitu ya, Bun?” tanya Aia yang sudah berada di pelukan Bunda sambil berbaring di tempat tidur bertemankan selimut hangat.

“Iya. Bunda minta maaf ya, kalau sekarang Bunda jarang temani Aia dan Bang Adam. Karena sekarang Bunda harus kerja.”

Aia mengangguk, “Iya, Bun. Tadi, Abang bilang Aia nggak boleh benci sama Bunda. Terus Abang bilang Aia harus minta maaf sama Bunda.”

Sekali lagi Bunda tertegun mendengar kalimat Aia. Kembali terharu. Adam mengatakan itu semua? Ia tidak pernah menyangka Adam bisa “sebijak” itu menyikapi perubahan Bundanya yang bekerja. Sudah menjadi kakak yang baik untuk Aia. Kalimat puji-pujian untuk-Nya tak henti Bunda ucapkan dalam hati. Terima kasih Rabb, atas kemurahanMu menghadiahkanku dua buah hati yang begitu manis.

“Memangnya kalau kerja itu harus tiap hari? Terus sering pulang malam juga ya, Bun?” Aia bertanya lagi. Ah, Aia memang selalu banyak pertanyaan.

“Nggak setiap hari, sayang. Aia lihat, Sabtu-Minggu Bunda ada di rumah, kan?”

Aia memanyunkan bibirnya dengan ekspresi muka serius, berpikir. “Tapi ... kok Bunda juga masih kerja di rumah?” Seingatnya, meski hari Sabtu dan Minggu Bunda ada di rumah, tidak jarang ia melihat Bunda masih saja sibuk dengan laptopnya. Bukankah waktu kemarin Bunda memarahinya juga karena Bunda sedang banyak pekerjaan?

Bunda menyeka dahi. Ah, putrinya  benar. Posisinya sebagai karyawan membuat Bunda tidak bisa banyak berbuat soal jam kerja. Ia bukan pemilik perusahaan yang bisa mengatur jam kerjanya sendiri. Belum lagi perusahaan tempatnya bekerja masih tergolong baru. Belum bisa mempekerjakan banyak karyawan. Alhasil, Bunda sering kali merangkap dua-tiga pekerjaan. Pekerjaan menumpuk itulah yang memaksanya untuk lembur. Pulang malam. Juga tidak jarang harus membawa pekerjaan itu ke rumah.

Mencari pekerjaan yang baru? Ah, zaman sekarang mencari pekerjaan bukan hal yang mudah. Masalahnya, lapangan pekerjaan yang ada tidak sebanding dengan jumlah usia kerja. Belum lagi, perusahaan yang sering kali mencari fresh graduate. Ia sudah merasa beruntung mendapat pekerjaan ini. Apa pun akan Bunda lakukan demi menghidupi anak-anaknya.

“Sebenarnya Aia sedih, Bun. Soalnya Bunda jadi jarang di rumah. Padahal, Aia kan pengin kayak dulu. Ngaji bareng Bunda, main, belajar ...,” ungkap Aia.

Bunda mencium kening Aia. Sejak tadi air matanya menetes. Namun segera ia hapus sebelum Aia melihat. Ia pun merindukan masa-masa itu. Sama rindunya dengan Aia. Seandainya boleh memilih, maka Bunda juga akan memilih berada di rumah bersama anak-anaknya.

“Oh ya, Bunda!” seru Aia tiba-tiba, “Bunda kan cari uang karena sekarang Ayah nggak tinggal sama kita lagi. Suruh Ayah pulang saja, Bun! Tinggal sama kita lagi. Jadi Bunda kan, nggak perlu cari uang lagi. Terus, kita bisa sering sama-sama lagi, deh!”

Bunda terkejut mendengarnya. Bagaimana ia harus menjawab?

“Sudah malam sayang, waktunya tidur. Besok Aia sekolah kan?” Bunda memutuskan menghentikan obrolan malam itu. Kalau diladeni sampai pagi pun Aia akan terus bertanya banyak hal. Bunda membetulkan posisi bantal dan selimut Aia. “Jangan lupa baca do’a, ya,” Bunda mengingatkan.

Aia mengangguk lantas segera membaca do’a. Bunda mematikan lampu kamar. Gelap. Setidaknya malam itu Aia merasakan kembali hangatnya pelukan Bunda. Senaang sekali rasanya. Ya, malam itu.


***

0 komentar:

Posting Komentar