Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 15.50 WIB
Aia
belum juga bergeser dari duduknya usai
sholat
Asar. Ia baru saja selesai membaca
beberapa ayat Al-Qur’an. Tiba-tiba teringat masa-masa sibuk bersama rohis di
sekolah sejak akhir
tahun lalu. Masa di mana
semangatnya begitu tinggi. Mengkaji Islam, mengorganisir agenda dakwah di sekolah dan lainnya. Masa di
mana akhirnya cahaya menemukan lagi cahayanya.
Februari
2012
Makin
hari Aia memang semakin tenggelam dengan dunia rohis. Kajian rohis di setiap
Sabtu sudah menjadi rutinitas. Tidak hanya kajian, Aia juga ikut bergabung
dengan Raras dan Azki sebagai pengurus GARIS. Tambah sibuklah Aia dengan agenda
rapat setiap awal bulan. Seperti hari ini.
Memanfaatkan waktu
istirahat, anak-anak GARIS mengadakan rapat di awal Februari 2012.
“Jadi
teman-teman, sesuai rencana kita bulan lalu. Insya Allah tanggal 11 Februari
ini kita akan mengadakan acara yang berkaitan dengan valentine. Dan kemarin
kita semua sudah sepakat ya, tema acaranya ‘Let’s Find The True Love’. Lewat
acara ini kita ingin menyampaikan ke teman-teman yang lain, gimana pandangan Islam
terkait hari kasih sayang itu,” itu suara Panji, sang ketua rohis memimpin
rapat. Tangannya membentuk tanda petik di akhir kalimat. “Dan mengarahkan
mereka pada cinta hakiki, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya,” lanjutnya.
Di
sebelah kanan ada Ari, Rizky, Kamal dan Iqbal. Di sebelah kiri, Aia, Raras,
Azki, Ayu dan Fiya. Semua mendengarkan dengan saksama. “Alhamdulillah Azki sudah
buat publikasi. Tinggal
dipasang di mading. Hari
ini bisa kan, Ki?” Panji melempar pandangan ke arah Azki yang segera mengangguk
siap. “Yang lain gimana, persiapan untuk acara kita? Sepuluh hari lagi lho
...,” lanjutnya.
“Dekorasi
Alhamdulillah udah dapet konsepnya, Nji,” Rizky menanggapi. “Kemungkinan kita
bakal banyak pakai media styrofoam ...,” jelasnya.
“Untuk
video dan keperluan visualisasi di screen gimana, Ai?” Panji melemparkan
pertanyaan pada Aia.
“Oh,
iya. Maaf ya, baru lima puluh per-seen,” sahut Aia meringis.
“Yee
... gimana sih Ai, masa dari kemaren lima
puluh persen terus? Nggak dikerjain, ya?” celetuk
Ari yang duduk paling ujung disambut tawa kecil teman-teman yang lain.
“Eh,
enak aja! Bukan gitu! Pembicaranya kan juga belum kasih slide ke aku!” bantah
Aia dengan nada tinggi dan mata melotot.
Azki
yang duduk di samping kanan Aia menyenggol pelan bahunya. Raras juga
melambaikan tangannya. “Sabar ...,” bisiknya.
“Tau
nih Aia, bercanda juga!” timpal Ari lalu tertawa kecil.
Aia
menarik napas dalam-dalam. Meredam
emosi. “Iya.
Maaf,”
gumamnya lalu Mengembungkan pipi.
“Oke. Jadi kapan kira-kira
bisa selesai, Ai?” Panji bersuara. Memaksa teman-temannya untuk kembali fokus
pada rapat.
***
Memanfaatkan
sisa waktu istirahat yang tinggal beberapa menit lagi, usai rapat, Aia, Raras
dan Azki menempel publikasi acara rohis di mading sekolah. Karena Azki salah
satu pengurus mading, jadi tidak perlu lagi mengurus perizinan. Beberapa orang
segera mendekat dan membaca publikasi yang baru saja ditempel tersebut.
Tidak
hanya memasang publikasi di mading, mereka bertiga juga membagikan selebaran agenda
tersebut pada tiap siswi yang mereka temui. Kebetulan sudah ada Ari dan Rizky
yang ditugaskan menyebar publikasi ke siswa laki-laki.
“Makanya,
nanti datang ya,” ujar Raras yang dengan semangat mempromosikan acara itu pada
lima adik kelas yang mengelilinginya.
“Iya.
Insya Allah, Kak,” sahut salah satu adik kelas disambut anggukan yang lain.
Oke, cukup. Saatnya mencari
target yang lain.
Bagi
Raras dan Azki, ini sudah kesekian kalinya mereka lakukan. Tapi, bagi Aia ini
pengalaman pertama. Ternyata amat menyenangkan melakukannya. Semangatnya kian bertambah tiap kali mendengar ucapan “Iya,
Insya Allah,” dari teman-teman yang ia bagikan selebaran. Aia optimis agenda
kali ini akan banyak yang menghadiri.
Hei,
tiba-tiba Aia teringat sesuatu. Tanpa banyak bicara, ia ambil 3 lembar
publikasi dari tangan Azki.
“Bentar, ya,” ucap Aia yang langsung pergi tanpa memberi Raras dan Azki
kesempatan untuk sekedar bertanya, mau kemana? Akhirnya mereka berdua
hanya bisa melongo seraya memandang penuh tanya satu sama lain.
***
Sementara
itu, Aia setengah berlari
menuju satu tempat yang dulu hampir tak pernah absen ia datangi saat istirahat,
kantin. Setibanya di kantin Aia tidak
perlu mencari. Cukup mengarahkan pandangan ke meja ketiga di sebelah kanan. Ah,
itu dia mereka!
“Assalamu’alaikum,”
sapa Aia dengan salam dan senyum seramah mungkin. Aia tahu sejak tadi mereka sudah
saling sikut begitu tahu Aia berjalan ke arah mereka.
“Kumsalam!”
Feby menyahut ketus.
“Eh,
ada Ustadzah! Tumben banget ke kantin, biasanya tempat nongkrongnya di
musholla!” timpal Lita tak kalah ketus.
Aia
menarik napas dalam-dalam seraya meremas
ujung kemeja putihnya,
mengalihkan emosi. Aku
kan menyapa baik-baik, kenapa jawaban mereka ketus?!
“Jangan
gitu dong .... Kalian masih marah ya sama gue? Maaf deh ...,” ucap Aia setelah
berhasil meredam emosi. Kalau saja tidak ingat tujuan awal menemui mereka, sudah
sejak tadi ia ledakkan emosinya. Tapi,
Aia harus melatih kesabarannya. Demi mengundang mereka ke agenda rohis
pekan depan. Aia ingin sekali melihat ketiganya berubah lebih baik. Mengajak ketiganya sama-sama mengenal agama yang
selama ini hanya jadi identitas belaka.
Aia
menarik kursi dan memilih duduk di sebelah Rindy.
“Ada
apa, Ai?” tanya Rindy yang memang
lebih kalem dari Feby dan Lita.
Sebagai
bentuk jawaban, Aia segera membagikan publikasi yang sejak tadi digenggamnya.
“Let’s
- find - the true love. Wiih, acara apaan nih?!” tanya Rindy, “tumben rohis
ngomongin love,” gumamnya.
“Yaelah!
Palingan juga ngaji! Apa lagi sih acara rohis kalo bukan ngaji!” celetuk Lita
seraya melirik sinis pada Aia.
Feby
mengiyakan.
Aia
kembali menarik napas dalam-dalam sambil garuk-garuk kepala. “Iya, tapi ini
acaranya beda, kok. Jadi nanti acaranya ....”
Nee
... et. Bel masuk memotong kalimat Aia
yang kembali menarik napas dalam-dalam. “Jadi ... nanti
kalian datang,
ya,” ucap Aia singkat.
“Hm
... karena lo yang undang,
Insya Allah deh ya,
Ai!” sahut Feby seraya menggeser kursi. Beranjak dari duduk
diikuti Lita dan Rindy.
Rindy menepuk bahu Aia sebagai ganti kalimat kita
duluan, ya.
Sementara
Aia hanya memandangi tiga temannya hingga menghilang dari pandangan. Tersenyum lebar tak
percaya dengan apa yang didengarnya
barusan. Telinganya tidak rusak, kan? Mereka bilang Insya Allah?! Padahal, selama
Aia berteman dengan mereka, mana pernah mereka peduli apalagi hadir di
acara-acara rohis. Ah, sungguh segala puji hanya bagi-Mu, Rabb!
***
Aia
bergegas menyelesaikan sarapan seorang diri. Meski begitu, tetap saja jarum jam
berputar lebih cepat darinya. Sama cepat dengan berlalunya hari. Tak terasa
sudah H-1. Dan subuh tadi ia menerima pesan dari Panji untuk rapat pagi ini
sebelum masuk kelas. Entah apa yang membuat ketua GARIS menggelar rapat dadakan.
“Pelan-pelan
makannya, Ai,” tegur Bunda yang baru datang ke meja makan. Menggeser kursi lalu
duduk di seberang Aia.
Bukannya
mengindahkan teguran Bunda, Aia malah bertanya, “Bunda mau berangkat kapan?”
“Selesai
sarapan. Kenapa? Mau berangkat bareng?”
Aia
manyun. Padahal, ia berharap Bunda akan bilang berangkat sekarang. Aia harus secepat mungkin
tiba di sekolah. Tapi, Aia langsung tersenyum lebar ketika Adam muncul, sudah
terlihat rapi dengan gaya kasualnya lengkap dengan tas kamera menggelayut di bahu.
Sempat jail menggoda Bi Tiah yang tengah asyik mencuci piring sebelum akhirnya
duduk di sebelah Aia lalu meneguk segelas air putih.
“Abang
mau berangkat sekarang, ya?!”
tanya Aia penuh harap.
“Nggak
sarapan dulu, Bang?” Bunda ikut
bertanya.
“Nggak.
Mau berangkat sekarang. Ada pemotretan,” Adam menjawab dua pertanyaan
sekaligus.
“Aia
ikut bareng ya, Bang?!”
Aia berseru girang.
“Nggak
ada kuliah hari ini, Bang?”
Bunda bertanya lagi.
“Udah
nitip absen sama temen tadi,” sahut Adam cuek tanpa menoleh ke arah Bunda.
Malah sok sibuk dengan kameranya.
Malas sekali kalau harus membahas ini lebih jauh. Masalahnya,
Adam sudah bosan duduk berjam-jam mendengar ceramah di kelas.
“Titip
absen itu bukan kuliah, Bang,” ujar Bunda menatap anak laki-lakinya yang tetap
saja tidak menoleh ke arahnya.
“Iya,
tahu!” sahut Adam ketus. Mendadak moodnya rusak mendengar kalimat Bunda. Tangan Adam terampil memasukkan kamera ke
tas lalu bangkit dari duduk.
“Ayo
De, buruan kalau mau bareng!” buru Adam, “berangkat ya, Bun.” Adam
berlalu.
Aia
yang sedikit bengong pun akhirnya ikut bergegas. “Berangkat ya, Bun.
Assalamu’alaikum,” Aia beranjak
mencium tangan Bunda.
“Wa’alaikumussalam. Bilang sama Abang, hati-hati di jalan,
ya,” pesan Bunda.
“Oke,
Bun,” sahut Aia seraya membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. Sedetik
kemudian terdengar suara motor Adam. “Abang, tunggu!” teriak Aia panik lalu setengah berlari meninggalkan Bunda yang hanya
bisa terdiam. Merasakan perasaan bersalah yang selalu mengusik tiap kali Adam bersikap
dingin padanya.
***
“Ada
apa sih? Kok rapat dadakan pagi-pagi?” enam orang yang sudah hadir di ruang GARIS
bertanya satu sama lain.
Tidak
lama kemudian Panji akhirnya datang menjawab semua pertanyaan. “Maaf ya, udah
nyuruh kalian ngumpul pagi-pagi. Tadinya mau habis Jum’at-an. Tapi, kita yang ikhwan
kan mau dekor ruang acara buat besok.
Cuma mau memastikan lagi jumlah peserta yang konfirmasi hadir berapa? Persiapan
slide, video?”
“Cuma
itu, Nji?” tanya Ari kecewa, “ana kira mau rapat penting apa!”
“Ya,
memang cuma itu. Tapi, tetap lebih enak kalau kita ketemu langsung,” tegas Panji, “oh ya, satu
lagi kabar baru.
Ternyata kita nggak dapet izin pakai kamera sekolah. Mau dipakai buat acara apa gitu. Nggak tau, deh,”
tambahnya lalu mengangkat bahu.
“Lho,
bukannya kemarin kita udah dapet izin?!” tanya Azki.
“Iya,
awalnya begitu. Tapi, tiba-tiba
nggak dapet izin!” sahut Iqbal yang bertugas mendokumentasikan acara. Tangannya
menggebrak meja, kesal.
“Keep
calm, bro! Inna ma’al usri yusroo. Makanya ana ajak rapat pagi ini, supaya
kita bisa cari jalan keluarnya sama-sama,” Panji menenangkan.
Hening.
Semua diam. Mendadak raut muka sumringah itu berubah kecewa. Namun tetap
berpikir. Mencari jalan keluar.
“Eh,
bukannya Abangmu fotografer, Ai?!” seru Raras tiba-tiba.
Kontan
tujuh pasang mata tertuju pada Aia yang nampak terkejut. “I, iya, sih ....”
“Kebetulan
banget! Bisa dong Ai, pinjem buat besok,” celetuk Rizky seraya mengangkat alis.
“Hah?
Bissa ... nggak, ya?” Aia meringis. Berpikir
apakah Adam mau meminjamkan kameranya. Selama ini ia saja cuma sesekali bisa
menyentuh kamera itu. Abangnya paling strict kalau soal kamera. Tapi,
tentu saja Aia juga merasa tidak enak hati pada teman-teman yang seolah tengah
menggantung harapan padanya.
“Jadi,
bisa atau nggak?” tegas Ari.
Aia belum juga menjawab. Hanya bola matanya yang
bergerak. Menandakan kalau ia sedang berpikir.
“Atau
begini saja, Aia tetap coba usahakan pinjam ke Abangnya. Kalau nggak bisa juga,
ya sudah, kita pakai kamera HP aja. Yang penting kan acara kita terdokumentasikan.
Gimana?” Usul Azki seraya menatap teman-temannya bergantian. Meminta pendapat.
“Setuju! Nanti aku usahakan ya,”
sahut Aia. Yang lain mengangguk setuju.
“Oke. Kamera kita anggap
selesai,” ucap Panji. “Lanjut. Berapa
peserta yang konfirmasi mau hadir besok?”
***
“Abang
... ayo dong, Bang. Boleh ya, Aia pinjem kameranya buat acara rohis besok? Plis,
plis, plis ...,” Aia terus merengek pada Adam yang sebenarnya sudah bosan
mendengar rengekkannya sejak tadi. Padahal ia masih amat lelah selesai pemotretan
seharian.
Tapi,
mau bagaimana lagi? Adam sudah berusaha menghindar. Masalahnya Aia terus membuntuti.
Adam ke ruang tengah
lalu menyalakan TV, Aia ikut. Adam ke teras depan menikmati suasana sepi malam
ini, Aia juga ikut. Adam lari ke dapur bahkan hampir menabrak Bi Tiah yang
hendak ke kamar, Aia masih setia membuntuti. Malahan Aia juga ikut-ikutan hampir
menabrak Bi Tiah.
“Bang
...,” Aia kembali membujuk dengan wajah memelas manja ala anak bungsu.
Adam
yang sedang minum hampir tersedak dibuatnya. “Aduh .... Jangan deh, De. Bukan
apa-apa, nanti kalau rusak siapa yang mau tanggung jawab?” sahutnya lalu
kembali meneguk air putihnya.
“Insya
Allah nggak akan rusak kok, Bang. Aia bakal suppeer hati-hati pakainya,” sahut Aia tak
menyerah. “Ini buat dakwah lho, Bang! Ada pahalanya ....”
“Beuh,
ustadzah bau kencur! Pahala dibawa-bawa!” Adam menoyor kepala Aia. Beruntung
Aia sempat menghindar.
“Emang
kenyataannya gitu, kok! Makanya ngaji!” cetus Aia dengan nada tinggi, gemas.
Tapi sesaat kemudian Aia tersadar kalau caranya barusan tidak tepat. Akhirnya,
ia kembali memelankan suaranya, “makanya ... boleh ya, bang?”
Adam
menarik napas panjang. Kalau sudah bicara soal rohis, Adam yakin Aia tidak akan
meyerah. Begitulah adiknya sejak menyandang gelar “anak rohis”, seolah rohis
segalanya buat Aia. “Ya udah, boleh,” ucap Adam akhirnya.
Aia
melonjak kegirangan. Tapi Adam buru-buru mengangkat jarinya, “TA-PI ... JA-NGAN
SAM-PE RU-SAK!”
“Oke,
oke. Aia bakal jaga baik-baik kameranya Abang,” Aia membentuk lingkaran dengan
jari telunjuk dan ibu jarinya. “Sekalian lensa wide-nya ya, Bang?”
“Nggak!
Acara begituan aja pake lensa wide! Kayak
bisa aja pake-nya!” teriak Adam yang langsung pergi.
“Abang
mau kemana?”
“Keluar!”
sahut Adam yang sudah menghilang dari pandangan Aia.
“Bentar
lagi Bunda pulang lho, Bang!” seru Aia setengah berlari mengejar Adam.
“Terus
kenapa?” lagi-lagi Adam bernada
cuek seraya meraih gagang pintu. Dan terpaku
sesaat setelah membuka pintu.
“Eh,
Bunda,” gumam Aia pelan.
“Mau
kemana, Bang?” tanya Bunda lembut.
“Keluar
dulu ya, Bun,” sahut Adam pelan dan kaku.
“Hati-hati ya,” pesan Bunda lalu bergeser memberi
ruang untuk Adam jalan.
Sementara
Adam melangkah tanpa menyahut lagi. Selang beberapa detik kemudian, hanya suara
motornya yang terdengar kian menjauh.
Aia
menatap Bunda yang masih berdiri di depan pintu. Ia sering melihat ekspresi
yang sama tiap kali Bunda selesai bicara dengan Adam. Seperti sendu atau apalah
namanya ekspresi itu. Yang jelas, iba rasanya tiap kali Aia melihat ekspresi
itu. Entahlah. Aia tidak begitu paham kenapa
di usianya yang sekarang, Adam
masih saja bersikap dingin pada
Bunda?
***
Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 28, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar