Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.00 WIB
Waktu berlalu dengan cepat. Hanya
mengingat kegiatan bersama rohis sebentar saja, jarum jam sudah bergeser di
titik 16.00. Dua puluh menit lagi
Aia harus menjemput
Bunda di bandara. Sebenarnya Bunda tidak minta dijemput. Bunda sudah terbiasa
bolak-balik bandara sendirian.
Hanya saja, kali ini Aia sengaja ingin melakukannya.
Beberapa
bulan terakhir hubungan Aia dan Bunda menjadi
rumit. Sempat
ada perselisihan sebelum Bunda berangkat ke Medan beberapa hari yang lalu. Itulah alasan kenapa ia menjemput Bunda sore ini.
Semoga hati Bunda sedikit melunak dan
bisa memaafkannya
sekarang. Aia bergegas merapikan mukena. Keluar
dari ruang sholat menuju kamar untuk berganti pakaian.
Tidak butuh waktu lama untuk Aia
bersiap-siap. Dalam hitungan menit ia sudah kembali duduk menghadap meja belajar. Menatap bayang diri
di cermin. Tersenyum untuk menyemangati diri sendiri. Lalu seuntai do’a terucap, duhai Allah, Pemilik hati
setiap hamba, kumohon, lunakkanlah hati Bunda.
Aia mengerjap begitu ujung-ujung mata mulai terasa
berair. Tidak ingin air mata kembali jatuh. Beringsut mengubah posisi duduk.
Berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain. Lantas, tanpa sengaja matanya menangkap
wajah di foto keluarga. Ayah.
Sejak berpisah dengan Bunda, Ayah
tinggal di Yogyakarta. Jarak membuat
Aia tidak bisa setiap saat. Hanya saat liburan biasanya bertemu. Kalau tidak
Ayah yang datang lalu bertemu di suatu tempat, maka Aia dan Adam yang menginap
beberapa hari di Yogyakarta. Tapi, waktu itu sedikit aneh. Ayah menelepon dan
meminta bertemu di hari kerja, bukan
di hari libur.
***
Rabu,
22 Februari 2012
“Aneh
deh, Bun. Masa semalam Ayah telepon, katanya mau datang ke Jakarta hari ini. Mau ketemu katanya. Padahal, ini kan bukan hari libur,” cerita Aia pada Bunda
di meja makan. Sarapan.
“Ya nggak aneh dong, Ai.
Masa harus selalu tunggu hari libur baru ketemu?” sahut Bunda enteng. “Abang sudah tahu?”
“Udah,” Adam yang baru
keluar dari kamar menjawab sambil menguap dan garuk-garuk kepala. Duduk di sebelah Aia dan tanpa bertanya langsung meneguk
air putih yang baru saja dituang Aia.
“Ah,
Abang!!” sungut Aia. “Lagian, sikat gigi dulu kali,
Bang!” tambahnya. Melihat tampilan Adam
masih lecek, Aia yakin abangnya itu belum ke kamar mandi.
“Udah!”
sahut Adam enteng sambil meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu.
“Kapan?”
“Barusan.”
“Ih,
jorok!” ucap Aia ketus sekaligus jijik. Kenapa ia
harus punya Abang macam ini?!
Adam
nyengir, “Bercanda!” cetusnya
seraya jail menarik ujung kerudung atas Aia.
Tentu saja Aia refleks memukul
bahu Adam lalu dengan cepat memperbaiki
kerudung. Perlu dicatat.
Untuk hal yang satu ini,
Aia sudah expert melakukannya meski tanpa bantuan kaca. Maka cukup
dengan beberapa gerakan kerudungnya kembali rapi.
Bunda
hanya tersenyum melihat kelakuan dua anaknya.
“Kata
Ayah ada yang mau diomongin,”
aku Adam yang tetap dengan gaya cueknya. Tangannya sibuk mengambil
roti lalu mengolesinya dengan
selai cokelat.
Bunda
mengangguk. Sebenarnya Bunda sudah
tahu apa yang akan dibicarakan. Beberapa bulan yang lalu, saat perjalanan kerja
ke Yogyakarta mereka sempat bertemu. Mantan suaminya sudah menceritakan semua. Hanya saja masih mencari waktu yang tepat untuk
memberi tahu Aia dan Adam. Ya ... mungkin sekarang sudah
waktunya mereka tahu.
“Bunda
ikut, yuk?!”
celetuk Aia. Sebenarnya ini ajakan serius. Sejak Ayah dan Bunda berpisah.
Mereka tidak pernah lagi kumpul berempat.
“Bunda
harus kerja, Ai,” sahut Bunda.
“Emang
Bunda nggak kangen sama Ayah?” gumam Aia. Iseng
menggoda Bunda. “Kali aja Ayah mau ngajak Bunda balikan lagi, ya kan, Bang?” tambahnya. Kali ini dengan nada
yang lebih pelan tapi dalam hati penuh kesungguhan. Aia masih sangat berharap
orang tuanya bisa kembali
bersama. Berharap keluarganya kembali utuh.
“Nggak
tahu ya, De!” sahut Adam ketus. Dulu
Adam
juga menaruh harapan yang sama.
Namun, waktu membuatnya berpikir realistis dan
memutuskan untuk tidak lagi berharap. Tidak ingin kecewa lebih
tepatnya.
“Cahaya!” tegur Bunda. Tidak suka dengan
gurauan Aia.
“Iya,
Bun. Maaf.”
***
Aia
tidak sabar ingin segera bertemu Ayah. Penasaran dengan apa yang akan Ayah
bicarakan. Pasti ada sesuatu yang penting sampai-sampai Ayah datang di hari
kerja. Siapa tahu Ayah benar-benar mau meminta pendapat ia dan Adam untuk
kembali dengan Bunda, pikirnya.
Maka, Aia bergegas setelah
bel pulang berbunyi.
Empat
puluh lima menit kemudian, diantar angkutan umum, Aia akhirnya tiba di Foodtopia, tempat mereka
bertemu. Hei, ternyata Ayah sudah duduk bersama Adam di meja nomor 17. Mereka terlihat
tengah berbincang serius. Aia segera menghampiri.
“Assalamu’alaikum
...,” sapa Aia sumringah.
“Wa’alaikumussalam,”
Ayah berdiri memeluk Aia. “Akhirnya
datang juga anak rohis, ya?” goda Ayah. Kebetulan
liburan akhir tahun kemarin Aia sempat bercerita tentang kegiatannya di rohis.
“Apa
sih, Ayah! Godain aja terus! Di telepon juga gitu!” Aia ketus. Pipinya terlihat
mengembung.
Ayah
malah tertawa. Rindu sekali melihat pipi mengembung Aia tiap kali marah. “Gimana kabarnya? Baik?”
Pertemuan
hari ini diisi penuh dengan obrolan panjang lebar antara Ayah dan dua anaknya.
Senyum juga tawa sesekali mengiringi. Hingga tiba-tiba itu semua terhenti. Obrolan santai satu
setengah jam yang lalu berubah serius. Benar dugaan Aia, ada sesuatu yang
penting.
“Itulah
kenapa Ayah ajak Aia dan Abang bertemu hari ini,” ucap Ayah seraya menggenggam
tangan Aia. Berusaha menyampaikan sebaik
mungkin maksudnya. “Tadi, Ayah juga
sempat bicarakan sama Abang sebelum Aia datang. Abang bilang kalau memang itu
yang terbaik, Abang setuju. Tinggal Aia, Ayah ingin dengar pendapat Aia tentang
keputusan Ayah. Bagaimana?”
Aia
terdiam lama. Adam tidak banyak komentar. Hanya sibuk memutar cangkir kopi. Sebenarnya Aia
sudah menduga
bahwa cepat atau lambat hal semacam ini kemungkinan besar akan terjadi. Entah Ayah atau Bunda. Hanya saja, harapan itu selalu
melebihi segalanya.
Ayah
masih setia menunggu jawaban Aia.
Ini tidak akan mudah, Ayah tahu itu.
“Memang kalau Aia nggak setuju, Ayah akan batalkan
pernikahan Ayah yang tinggal dua minggu lagi itu?!”
“Bukan itu maksud Ayah,”
Ayah berusaha memberi pengertian.
Aia
menunduk. Lagi-lagi kenyataan di luar ekspektasi. Pantas saja Ayah datang tidak
seperti biasanya. Ternyata ini tujuan Ayah datang menemuinya hari ini?! Meminta persetujuan
darinya dan Adam untuk menikah
dengan seorang janda beranak dua. Tak ayal kabar dari Ayah memupuskan harapannya
selama ini. Ah, mungkin karena harapan yang terlalu besar lah yang membuat
hatinya amat sesak sekarang.
“Cahaya,
Ayah ingin ....”
“Terserah
Ayah!” Aia memotong kalimat Ayah dengan tetap menunduk. Apa gunanya ia setuju
atau tidak? Aia yakin andai kata ia katakan tidak setuju pun, Ayah akan tetap
melangsungkan pernikahannya dengan wanita itu.
Ayah
sontak merangkul Aia. Membenamkan kepalanya
di dada. Aia belum benar-benar bisa
menerima keputusannya, Ayah bisa melihat itu dari ekspresinya. Kata “terserah”
yang terucap menambah gundah. Ini yang membuatnya selalu gagal menyampaikan
kabar lebih awal. Tidak ingin melihat wajah kecewa putrinya yang masih amat
berharap kedua orang tuanya kembali bersama. Akan
tetapi, ada hal yang tak bisa dijelaskan
yang membuat ia dan mantan istrinya tidak
bisa memenuhi harapan itu.
Sementara
Aia masih diam dalam pelukan yang semakin
lama semakin hambar. Kedua pipi itu kembali mengembung, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan terhadap keputusan Ayah. Hanya sempat menatap Adam, bertanya, gimana nih,
Bang?
Adam
tersenyum simpul, nggak
apa-apa, semua akan baik-baik saja.
Tiba-tiba
saja rasa takut menyergap hati Aia.
Ya Allah, bagaimana? Bagaimana jika setelah menikah Ayah akan sibuk dengan
keluarga barunya? Bagaimana jika setelah menikah Ayah melupakanku? Ia sudah
kehilangan sosok Ayah di rumah, Aia takut kali ini benar-benar akan kehilangan.
Cahaya yang redup itu sebentar lagi akan benar-benar sirna, pikir Aia.
Aia
memeluk Ayah erat seolah tak ingin melepasnya lagi. Takut.
***
Bagian 5 - Ayah [Part II]
Bagian 4 - Insya Allah, ya .... [Part I]
Bagian 4 - Insya Allah, ya .... [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 04, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar