Sabtu, 04 Februari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.00 WIB
Waktu berlalu dengan cepat. Hanya mengingat kegiatan bersama rohis sebentar saja, jarum jam sudah bergeser di titik 16.00. Dua puluh menit lagi Aia harus menjemput Bunda di bandara. Sebenarnya Bunda tidak minta dijemput. Bunda sudah terbiasa bolak-balik bandara sendirian. Hanya saja, kali ini Aia sengaja ingin melakukannya.


Beberapa bulan terakhir hubungan Aia dan Bunda menjadi rumit. Sempat ada perselisihan sebelum Bunda berangkat ke Medan beberapa hari yang lalu. Itulah alasan kenapa ia menjemput Bunda sore ini. Semoga hati Bunda sedikit melunak dan bisa memaafkannya sekarang. Aia bergegas merapikan mukena. Keluar dari ruang sholat menuju kamar untuk berganti pakaian.

Tidak butuh waktu lama untuk Aia bersiap-siap. Dalam hitungan menit ia sudah kembali duduk menghadap meja belajar. Menatap bayang diri di cermin. Tersenyum untuk menyemangati diri sendiri. Lalu seuntai do’a terucap, duhai Allah, Pemilik hati setiap hamba, kumohon, lunakkanlah hati Bunda.

Aia mengerjap begitu ujung-ujung mata mulai terasa berair. Tidak ingin air mata kembali jatuh. Beringsut mengubah posisi duduk. Berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain. Lantas, tanpa sengaja matanya menangkap wajah di foto keluarga. Ayah.

Sejak berpisah dengan Bunda, Ayah tinggal di Yogyakarta. Jarak membuat Aia tidak bisa setiap saat. Hanya saat liburan biasanya bertemu. Kalau tidak Ayah yang datang lalu bertemu di suatu tempat, maka Aia dan Adam yang menginap beberapa hari di Yogyakarta. Tapi, waktu itu sedikit aneh. Ayah menelepon dan meminta bertemu di hari kerja, bukan di hari libur.

***

Rabu, 22 Februari 2012
“Aneh deh, Bun. Masa semalam Ayah telepon, katanya mau datang ke Jakarta hari ini. Mau ketemu katanya. Padahal, ini kan bukan hari libur,” cerita Aia pada Bunda di meja makan. Sarapan.

Ya nggak aneh dong, Ai. Masa harus selalu tunggu hari libur baru ketemu?” sahut Bunda enteng. “Abang sudah tahu?”

Udah,” Adam yang baru keluar dari kamar menjawab sambil menguap dan garuk-garuk kepala. Duduk di sebelah Aia dan tanpa bertanya langsung meneguk air putih yang baru saja dituang Aia.

“Ah, Abang!!” sungut Aia. Lagian, sikat gigi dulu kali, Bang!” tambahnya. Melihat tampilan Adam masih lecek, Aia yakin abangnya itu belum ke kamar mandi.

“Udah!” sahut Adam enteng sambil meletakkan kembali gelas yang sudah kosong itu.

“Kapan?”

“Barusan.”

“Ih, jorok!”  ucap Aia ketus sekaligus jijik. Kenapa ia harus punya Abang macam ini?!

Adam nyengir, “Bercanda!” cetusnya seraya jail menarik ujung kerudung atas Aia.

Tentu saja Aia refleks memukul bahu Adam lalu dengan cepat memperbaiki kerudung. Perlu dicatat. Untuk hal yang satu ini, Aia sudah expert melakukannya meski tanpa bantuan kaca. Maka cukup dengan beberapa gerakan kerudungnya kembali rapi.

Bunda hanya tersenyum melihat kelakuan dua anaknya.

“Kata Ayah ada yang mau diomongin,” aku Adam yang tetap dengan gaya cueknya. Tangannya sibuk mengambil roti lalu mengolesinya dengan selai cokelat.

Bunda mengangguk. Sebenarnya Bunda sudah tahu apa yang akan dibicarakan. Beberapa bulan yang lalu, saat perjalanan kerja ke Yogyakarta mereka sempat bertemu. Mantan suaminya sudah menceritakan semua. Hanya saja masih mencari waktu yang tepat untuk memberi tahu Aia dan Adam. Ya ... mungkin sekarang sudah waktunya mereka tahu.

“Bunda ikut, yuk?!” celetuk Aia. Sebenarnya ini ajakan serius. Sejak Ayah dan Bunda berpisah. Mereka tidak pernah lagi kumpul berempat.

“Bunda harus kerja, Ai,” sahut Bunda.

“Emang Bunda nggak kangen sama Ayah?” gumam Aia. Iseng menggoda Bunda. “Kali aja Ayah mau ngajak Bunda balikan lagi, ya kan, Bang?” tambahnya. Kali ini dengan nada yang lebih pelan tapi dalam hati penuh kesungguhan. Aia masih sangat berharap orang tuanya bisa kembali bersama. Berharap keluarganya kembali utuh.

“Nggak tahu ya, De!” sahut Adam ketus. Dulu Adam juga menaruh harapan yang sama. Namun, waktu membuatnya berpikir realistis dan memutuskan untuk tidak lagi berharap. Tidak ingin kecewa lebih tepatnya.

“Cahaya!” tegur Bunda. Tidak suka dengan gurauan Aia.

“Iya, Bun. Maaf.

***

Aia tidak sabar ingin segera bertemu Ayah. Penasaran dengan apa yang akan Ayah bicarakan. Pasti ada sesuatu yang penting sampai-sampai Ayah datang di hari kerja. Siapa tahu Ayah benar-benar mau meminta pendapat ia dan Adam untuk kembali dengan Bunda, pikirnya.

Maka, Aia bergegas setelah bel pulang berbunyi.

Empat puluh lima menit kemudian, diantar angkutan umum, Aia akhirnya tiba di Foodtopia, tempat mereka bertemu. Hei, ternyata Ayah sudah duduk bersama Adam di meja nomor 17. Mereka terlihat tengah berbincang serius. Aia segera menghampiri.

“Assalamu’alaikum ...,” sapa Aia sumringah.

“Wa’alaikumussalam,” Ayah berdiri memeluk Aia. “Akhirnya datang juga anak rohis, ya?” goda Ayah. Kebetulan liburan akhir tahun kemarin Aia sempat bercerita tentang kegiatannya di rohis.

“Apa sih, Ayah! Godain aja terus! Di telepon juga gitu!” Aia ketus. Pipinya terlihat mengembung.

Ayah malah tertawa. Rindu sekali melihat pipi mengembung Aia tiap kali marah. “Gimana kabarnya? Baik?”

Pertemuan hari ini diisi penuh dengan obrolan panjang lebar antara Ayah dan dua anaknya. Senyum juga tawa sesekali mengiringi. Hingga tiba-tiba itu semua terhenti. Obrolan santai satu setengah jam yang lalu berubah serius. Benar dugaan Aia, ada sesuatu yang penting.

“Itulah kenapa Ayah ajak Aia dan Abang bertemu hari ini,” ucap Ayah seraya menggenggam tangan Aia. Berusaha menyampaikan sebaik mungkin maksudnya. “Tadi, Ayah juga sempat bicarakan sama Abang sebelum Aia datang. Abang bilang kalau memang itu yang terbaik, Abang setuju. Tinggal Aia, Ayah ingin dengar pendapat Aia tentang keputusan Ayah. Bagaimana?”

Aia terdiam lama. Adam tidak banyak komentar. Hanya sibuk memutar cangkir kopi. Sebenarnya Aia sudah menduga bahwa cepat atau lambat hal semacam ini kemungkinan besar akan terjadi. Entah Ayah atau Bunda. Hanya saja, harapan itu selalu melebihi segalanya.

Ayah masih setia menunggu jawaban Aia. Ini tidak akan mudah, Ayah tahu itu.

“Memang kalau Aia nggak setuju, Ayah akan batalkan pernikahan Ayah yang tinggal dua minggu lagi itu?!

Bukan itu maksud Ayah,” Ayah berusaha memberi pengertian.

Aia menunduk. Lagi-lagi kenyataan di luar ekspektasi. Pantas saja Ayah datang tidak seperti biasanya. Ternyata ini tujuan Ayah datang menemuinya hari ini?! Meminta persetujuan darinya dan Adam untuk menikah dengan seorang janda beranak dua. Tak ayal kabar dari Ayah memupuskan harapannya selama ini. Ah, mungkin karena harapan yang terlalu besar lah yang membuat hatinya amat sesak sekarang.

“Cahaya, Ayah ingin ....”

“Terserah Ayah!” Aia memotong kalimat Ayah dengan tetap menunduk. Apa gunanya ia setuju atau tidak? Aia yakin andai kata ia katakan tidak setuju pun, Ayah akan tetap melangsungkan pernikahannya dengan wanita itu.

Ayah sontak merangkul Aia. Membenamkan kepalanya di dada. Aia belum benar-benar bisa menerima keputusannya, Ayah bisa melihat itu dari ekspresinya. Kata “terserah” yang terucap menambah gundah. Ini yang membuatnya selalu gagal menyampaikan kabar lebih awal. Tidak ingin melihat wajah kecewa putrinya yang masih amat berharap kedua orang tuanya kembali bersama. Akan tetapi, ada hal yang tak bisa dijelaskan yang membuat ia dan mantan istrinya  tidak bisa memenuhi harapan itu.

Sementara Aia masih diam dalam pelukan yang semakin lama semakin hambar. Kedua pipi itu kembali mengembung, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan terhadap keputusan Ayah. Hanya sempat menatap Adam, bertanya, gimana nih, Bang?

Adam tersenyum simpul, nggak apa-apa, semua akan baik-baik saja.

Tiba-tiba saja rasa takut menyergap hati Aia. Ya Allah, bagaimana? Bagaimana jika setelah menikah Ayah akan sibuk dengan keluarga barunya? Bagaimana jika setelah menikah Ayah melupakanku? Ia sudah kehilangan sosok Ayah di rumah, Aia takut kali ini benar-benar akan kehilangan. Cahaya yang redup itu sebentar lagi akan benar-benar sirna, pikir Aia.

Aia memeluk Ayah erat seolah tak ingin melepasnya lagi. Takut.

***

Bagian 5 - Ayah [Part II]
Bagian 4 - Insya Allah, ya .... [Part I]
Bagian 4 - Insya Allah, ya .... [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar