Jakarta, 28 Oktober
2012
| Pkl 08.00 WIB
Matahari baru saja naik ke permukaan. Cahaya lembutnya
kembali menyapa manusia, makhluk panjang angan. Hangatnya menjadikan kemarin
sebagai kenangan. Bagi orang-orang yang berpikir, tentu juga ada pelajaran. Lewat
hangatnya, Allah beri lagi satu hari kehidupan. Menghidupkan
lagi satu harapan yang kemarin nyaris ingin dilupakan. Apa lagi? Bukankah hanya
syukur yang pantas diucapkan?
Cahaya lembut
itu mulai menerpa kaca gedung-gedung pencakar langit ibukota. Kemilaunya kian
membuat gedung-gedung itu terlihat kokoh nan megah. Kontras dengan pemukiman
kumuh penduduk yang tepat berada di baliknya. Apa itu istilahnya? Ah ya, kesenjangan sosial. Bagai langit dengan sumur!
Cahaya lembut
itu juga menelisik gorden sebuah rumah di selatan ibukota, di jalan Gandaria
Tengah, gang Damai nomor 25. Rumah yang enam bulan lalu baru saja direnovasi bergaya minimalis. Di depan
terparkir camry hitam keluaran 2006. Kebetulan pemiliknya sedang keluar kota
satu minggu ini. Biasanya di sebelah camry juga ikut terparkir motor sport
hijau yang pagi
ini kebetulan juga sudah keluar bersama pemiliknya. Di kanan rumah terdengar
suara merdu gemericik air yang mengalir di relief vertikal yang kemudian jatuh
ke kolam ikan berukuran 1,5 x 1 m. Dan di paling depan –di pinggir jalan-,
tepatnya di pojok kiri rumah tanpa pagar itu terdapat sebuah bak sampah yang
tiap sore sampahnya akan diangkut oleh Mang Jo, petugas kebersihan.
Masuklah ke
dalam rumah
yang didominasi oleh warna abu-abu dan hijau itu, kalian akan disambut dengan ruang tamu minimalis. Sofa
letter L lengkap
dengan meja kaca persegi panjang. Di dinding sebelah kiri, foto
keluarga beranggotakan 3 orang berukuran A3 menggantung
di sana. Masuk lebih dalam, sofa bed hijau muda dengan meja kayu putih di ruang tengah menyambut
hangat di sana. TV LED 32 inch juga
melengkapi ruang yang berseberangan dengan mushollah tersebut.
Di satu dari
tiga kamar yang ada di rumah itu, salah satu pintunya kebetulan tengah terbuka.
Di balik pintu kamar, tergantung seragam SMA. Di bawah bingkai jendela kamar
yang dibiarkan terbuka, berdiri seorang gadis dengan jilbab salem dan kerudung
senada.
Ia sedianya
hendak berangkat sekolah. Tapi, pukul 06.30 ada sebuah
pesan masuk
yang membuatnya urung
berangkat.
Dan
sejak lima belas menit yang lalu ia berdiri di sana. Menikmati cahaya lembut
yang masuk lewat jendela kamar. Meski
pandangannya sedikit terhalang karena camry hitam terparkir tepat di depan
kamar.
Gadis itu memang menyukai cahaya.
Mulanya karena itu adalah namanya, Cahaya Ramadhani -Ya, ya, kalian benar. Gadis ini memang lahir di bulan
Ramadhan-. Namun, seiring waktu ia mulai
memaknainya lebih dalam.
Bukan lagi karena namanya. Melainkan karena menurutnya segala sesuatu memiliki
“cahaya” masing-masing. Dan dengan “cahaya” itulah segala sesuatu menjadi lebih
bermakna. Sebaliknya, tanpa “cahaya” segala sesuatu tidak akan bermakna. Seperti lilin tanpa api.
Lihat saja bumi. Bukankah dengan cahaya
matahari dan bulan yang bergantian menyinari, Allah menjadikannya sebagai tempat
tinggal milyaran manusia? Tanpa cahaya, masihkah ada kehidupan di dalamnya?
Lihat lah matahari, bulan dan bintang. Mereka semua menjadi indah serta punya
peran dalam kehidupan karena bercahaya, bukan?
Pun begitu dengan manusia. Tiap orang
pasti punya “cahaya”. Atau mungkin ia menjadi “cahaya” bagi yang lain. Mungkin
saja, kan? Bagaimana
dengan kalian? Kalian punya “cahaya”? Bisa jadi seseorang. Sesuatu.
Ilmu misalnya? Bukankah ilmu itu cahaya? Ya, apapun itu. Sesuatu yang
menjadikan hidup kalian lebih bermakna. Atau bahkan karenanya kalian menjadi
tahu tujuan hidup.
Baik. Anggap
saja kalian sudah punya jawabnya. Pertanyaan selanjutnya, pernahkah kalian
merasakan cahaya hidup itu meredup lalu sirna? Kehilangan cahaya hidup.
Pernahkah kalian mengalaminya? Bagaimana rasanya?
Maka begitulah
yang Cahaya rasakan. Cahaya merasa cahaya hidupnya meredup.
Perlahan ia
beranjak ke meja belajar. Berdiri di depan
cermin yang menggantung di dinding di atas meja, bingkainya tertutup oleh post
it warna-warni. Kedua tangannya bertumpu di meja,
menyangga tubuh. Perlahan duduk, kemudian lama menatap
wajah sendunya di cermin. Tiba-tiba merasakan sesuatu
yang membuat sesak. Ditatap lagi lekat-lekat
wajahnya, seolah tengah berdialog dengan bayangnya sendiri. Perlahan matanya mulai
berkaca-kaca. Bulir bening muncul dari sudut mata. Namun, segera ia seka. Nggak,
nggak boleh nangis!
Diliriknya
jam beker motif
garis berwarna
kuning-pink-biru, warna favoritnya. Pukul
08.00 pagi. “Hhh,” Cahaya menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ia
merasakan cahaya hidupnya meredup. Di tahun-tahun sebelumnya, ia sudah pernah
kehilangan sesuatu yang ia anggap sebagai cahaya hidup. Cahaya masih bisa merasakannya, sakit sekali. Bahkan
dampaknya masih terasa hingga hari ini.
Cahaya
terduduk lemah.
Perlahan pandangannya beralih pada foto keluarga yang ia pajang di meja
belajar. Foto keluarga yang ini berbeda dengan yang ada di ruang tamu. Ada
empat orang di sana. Ada Ayahnya, Awaludin Muhammad. Bundanya, Alya. Kakaknya,
Adam. Dan ia sendiri yang waktu itu masih berusia empat tahun. Bagi Cahaya,
mereka adalah cahaya hidup.
Cahaya atau Aia,
begitu ia biasa dipanggil sekarang sudah menjelma remaja 17 tahun. Remaja
supel, saking supelnya ia mudah mengikuti apa pun yang teman-temannya lakukan.
Sebenarnya ia masih terkategori teliti
dengan rasa ingin tahu yang besar a.k.a banyak tanya. Hanya saja dua tahun
sebelumnya, sifat telitinya jarang ia fungsikan saat bergaul. Dengan begitu di
mata teman-teman, Aia adalah sosok yang menyenangkan. Walaupun, kadang bisa berubah menyebalkan lantaran sering
kali tidak bisa menguasai emosi alias gampang marah. Apalagi pada orang
terdekatnya.
Oh ya, jika
kalian bertanya bagaimana Aia secara fisik, biasanya, kalau kebetulan bisa
jalan dengan Bunda dan tidak sengaja bertemu dengan teman Bunda, mereka akan
bilang, “kalian mirip banget!”.
Akhirnya sebuah
senyum terukir di wajah murung itu. Tersenyum lantaran mengingat
potongan-potongan memori saat kanak-kanak bersama keluarga. Cahaya hidupnya.
***
Februari 2000
Ayah adalah
seorang karyawan di sebuah perusahaan. Dulu, saat usia empat tahun hanya itu
yang Aia ketahui tentang Ayah. Tentang Ayah bekerja di mana, perusahaan apa, Aia tidak peduli. Yang ia tahu, setiap
Ayah pulang, maka Aia dan Adam akan menyambut Ayah dengan gembira. Sementara
Bunda sigap menyiapkan secangkir kopi untuk Ayah, melayaninya. Dulu,
menyenangkan sekali bisa menghabiskan sore bersama keluarga, bersama Ayah ....
Mungkin Ayah
tidak jauh berbeda dengan kebanyakan para Ayah lainnya. Namun, di mata Aia Ayah
tetap berbeda. Ayah adalah sosok yang amat menyenangkan. Yang paling Aia suka
adalah “Waktunya Ayah Bercerita”, ini adalah waktu untuk Ayah bercerita yang
sengaja diberi nama acaranya. Ayah bercerita tentang apa saja, bahkan kadang ia
sendiri yang mengarangnya. Lewat cerita-ceritanya, Ayah selalu memberi nasihat
untuk Aia dan Adam.
“Akhirnya si
Cimut mengaku sambil menangis, huhuhu,
iya teman-teman, sebenernya emang Cimut yang bikin tumpah semua minumannya.
Soalnya tadi Cimut buru-buru larinya, terus nyenggol minumannya. Tumpah, deh. Maafin
ya teman-teman, gara-gara Cimut semua jadi berantakan,” cerita Ayah
dengan suara yang ia ubah seperti suara tokoh kartun sambil menggerak-gerakkan
boneka beruang.
“Si Umbo
geleng-geleng kepala sambil bilang, ya
sudah, kali ini kita maafkan. Tapi, jangan diulangi lagi ya!” sambung Ayah
menirukan suara lainnya. Mendengar suaranya saja sudah membuat Aia dan Adam
tergelak. Ayah, Ayah ....
Bunda? Ah,
wanita itu selalu ada saat Aia dan Adam membutuhkan. Selalu sabar menghadapi
ulah mereka berdua. Selalu menjawab pertanyaan Aia dan Adam yang banyak ingin
tahu. Mengajari banyak hal. Mengaji, shalat, membaca, menulis, bernyanyi,
pokoknya Bunda selalu berusaha memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Setiap habis Maghrib hingga Isya’
adalah waktu untuk Aia dan Adam belajar membaca Al-Qur’an. Ayah dan Bunda
langsung yang mengajari mereka.
Dengan balutan
kerudung, wajah Bunda terlihat teduh. Apalagi kalau Bunda tersenyum. Dulu, saat
Aia menangis pelukan hangat Bunda selalu ampuh menjadi penenangnya. Sorot mata,
sentuhan dan kata-kata Bunda selalu lembut. Bunda cuma marah kalau Aia dan Adam
sudah kelewat batas. Tidak seperti ibu-ibu gendut, tetangga sebelah. Setiap hari
kerjanya memarahi anaknya. Oh ya, jika kalian mendengar Ayah atau Bunda
memanggil Aia dengan nama lengkapnya, Cahaya. Itu artinya mereka sedang marah
atau tidak suka atas sesuatu yang dilakukan Aia.
Aia juga
bersyukur punya kakak seperti Adam. Walaupun terbilang cuek dan jail, tapi Aia
sangat dekat dengan Adam. Saking dekatnya, Adam memanggil Aia dengan panggilan khusus, “Dede” dan tidak boleh ada yang
memanggilnya begitu selain Adam. Termasuk Ayah
dan Bunda. Dulu, jika ada teman yang mengganggu, Adam siap pasang badan
melindunginya.
Sejak kecil Aia
memang sudah banyak tanya. Ada saja hal yang ia tanyakan. Bahkan kadang
mengundang gelak tawa. Membuat Ayah dan Bunda geleng kepala atas pertanyaannya.
Seperti malam itu, saat Ayah sedang bercerita tentang binatang yang ada di
kapal nabi Nuh. Adam terlihat sudah terlelap. Tapi Aia masih serius
mendengarkan cerita Ayah. Tiba-tiba Aia nyeletuk, “Ayah, Ayah, babi itu kan
haram, terus ngapain dong Allah ciptain babi?”
Ayah dan Bunda
langsung bersitatap sejenak. Bengong. Tidak tahu mau menjawab apa. Ayah
garuk-garuk kepala, mencoba berpikir. Tapi, belum sempat Ayah menjawab. Aia
sudah nyeletuk lagi sambil manggut-manggut dan memasang mimik wajah serius.
“Jadi, babi itu binatang ujian buat manusia ya, Yah?”
Ayah dan Bunda
langsung bersitatap lagi. Bengong. Sejurus kemudian keduanya tertawa. “Iya,
iya, babi itu binatang ujian,” sahut Ayah sambil
geleng-geleng kepala.
Tidak ada yang
istimewa dari keluarga Aia. Ayah yang hari-harinya mencari nafkah untuk
keluarga. Bunda yang hari-harinya menjalani karir sebagai manajer rumah tangga.
Ditambah Adam dan Aia, “duo monster” yang membuat ramai seisi rumah. Dulu ....
***
Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 09.00 WIB
Aia masih duduk
di depan cermin sambil menatap foto keluarga. Masih tersenyum kecil mengingat
potongan masa lalu. Namun, sedetik kemudian
senyumnya raib. Ganti pipinya yang menggembung. Raut wajahnya kian sendu saat
potongan memori lain berkelebat di benak. Saat cahaya hidup itu mulai meredup.
April 2001
Roda kehidupan
selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Pepatah ini memang berlaku
sepanjang masa dan bisa terjadi pada siapa saja. Itu juga yang terjadi pada
keluarga Aia. Perlahan roda kehidupan berputar.
Dulu, Aia yang
baru masuk TK A tidak mengerti. Yang ia ingat saat itu
tiba-tiba Ayah tidak pernah pergi ke kantor. “Ayah sedang libur kerja, Nak,”
itu jawab Ayah saat Aia bertanya, kenapa?
Sejak Ayah libur
bekerja, sayup-sayup, sering terdengar Ayah dan Bunda bertengkar di dalam
kamar. Aia tidak tahu apa yang mereka ributkan. Meski hanya terdengar
sayup-sayup, suara ribut itu tetap membuat Aia merasa tidak nyaman, bingung
bahkan takut. Kalau sudah begitu, ia akan lari ke pojok ruang tamu agar tidak
mendengar suara itu. Sementara Adam akan langsung main keluar rumah. Agar ia
sama sekali tidak mendengar apa pun. Dan bisa menganggap tidak pernah terjadi
apa-apa. Sebab ia tidak suka kalau harus menganggapnya benar-benar terjadi.
Dan saat Ayah belum
juga selesai libur bekerja, justru Bunda yang setiap hari pergi pagi dan baru
pulang jam lima sore atau bahkan malam,
ke kantor katanya. Sesekali Bunda juga pergi ke luar kota, perjalanan dinas. Aia mana tahu kalau Bunda baru saja diterima di sebuah
perusahaan advertising sebagai Junior Account Executive. Saat itu Aia justru semakin bingung. Lho, bukan harusnya
yang ke kantor itu Ayah? Kenapa malah Bunda? Kalau Bunda ke kantor, nanti siapa
yang buat makan siang untuknya dan Adam setiap pulang dari sekolah? Masa Ayah
yang buat? Ayah mana bisa masak?
Bahkan hingga berbulan-bulan kemudian, Ayah dan Bunda tetap
seperti itu. Suara ribut-ribut itu pun masih sering Aia dengar. Seperti malam
itu, saat Aia terbangun dari tidurnya kemudian keluar kamar, hendak ke kamar
mandi. Kebetulan, pintu kamar Bunda sedikit terbuka.
“Sudahlah, Al!
Mau sampai kapan terus begini?! Kasihan Adam dan Aia,”
ucap Ayah yang duduk di sisian tempat tidur. “Aku
lihat, kamu lebih mementingkan pekerjaan ketimbang mereka sekarang,” tambahnya.
Bunda yang
tengah duduk di bangku bulat depan meja rias
menghadap Ayah, menghela nafas, “Aku tahu!
Aku juga maunya jadi ibu yang baik buat mereka,” sahut Bunda, “seandainya Mas
juga bisa jadi Ayah dan suami yang baik!” lanjutnya sinis seraya balik badan
membelakangi Ayah.
“Kamu tahu kan, aku sedang berusaha!” sahut Ayah dengan nada penuh penekanan.
“Tapi, sampai saat ini belum ada hasilnya, kan?!” tuding
Bunda tanpa menoleh. “Akui saja lah! Kalau
bukan dari penghasilanku, bagaimana bisa kita bertahan?!”
Hening. Bunda
menelungkupkan kedua tangannya ke wajah. Menyesal. Mungkin seharusnya kalimat
itu tidak keluar dari mulutnya. Bagaimanapun ia
adalah Istri yang harus menghormati suami. Ia ikhlas meski harus bekerja untuk
keluarga. Tapi, suaminya selalu saja menyuruhnya berhenti. Seolah usahanya selama ini tak berarti apa-apa. Sungguh, jika bukan
karena terpaksa, Bunda pun tidak akan bekerja.
Sementara Ayah
tak bergerak sedikitpun. Hanya nafasnya yang naik turun. Kalimat Bunda terakhir
baru saja memelesatkan harga dirinya jauh ke dasar. Hingga tak lagi berharga.
Sudah. Pasca di
PHK oleh perusahaan lantaran hampir bangkrut, ia sudah bolak-balik mencari
pekerjaan. Mengajukan CV dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Istrinya
benar, hingga saat ini belum ada hasilnya. Sepertinya perusahaan lebih tertarik
merekrut karyawan perempuan ketimbang laki-laki. Buktinya, istrinya bisa
langsung mendapat kerja hanya dengan satu kali mengajukan lamaran. Ah, mengapa
di negeri yang katanya kaya ini, masih saja warga negaranya kesulitan mencari
pekerjaan untuk sekedar menafkahi anak-istrinya? Entah ada berapa juta kepala
keluarga yang bernasib sama dengannya? Membuat para istri terpaksa ikut
bekerja.
Aia kecil yang
bingung menyaksikan keheningan antara Ayah dan Bunda dari balik pintu akhirnya
bersuara, “Bunda ....”
Ayah dan Bunda
menoleh ke arah suara yang amat mereka kenali itu. Tentu saja terkejut, sejak
kapan anak itu ada di sana? Jangan bilang, ia mendengar semua percakapan Ayah
dan Bundanya?! Bunda segera
menghampiri dengan ekspresi setenang mungkin. Berlutut di hadapan Aia, agar
sejajar. Membelai rambut lurus putrinya. “Aia kok bangun, kenapa sayang?” tanya
Bunda yang mulai berkaca-kaca.
Tidak seharusnya Aia menyaksikan ini, batinnya.
“Hm ...,” Aia
menatap Bunda sambil sesekali melirik Ayah. Ia merasakan sesuatu yang tidak
beres. “Aia mau tidur sama Bunda, sama Ayah,” cetusnya. Ingin memastikan bahwa
semua baik-baik saja. Bahkan ia sudah lupa soal kamar mandi.
Bunda mengangguk
tersenyum.
Terlihat Ayah
beranjak dari duduknya, menghampiri Aia. “Tuan putri mau tidur …,” serunya seraya mengangkat tubuh Aia dan membawanya
ke tempat tidur. Membuat Aia tertawa gembira sekaligus lega. Ia salah, tidak
ada yang tidak beres. Buktinya Ayah dan Bunda masih tertawa bersamanya
sekarang, pikirnya.
“Bobo, ya.
Jangan lupa baca do’a ...,” Bunda mengingatkan seraya menyelimuti Aia.
Aia mengangguk,
“Aia mau bobo, ya. Ayah sama Bunda jangan ribut lagi, ya.” ucapnya lalu
memejamkan mata.
Ayah dan Bunda
diam seketika. Bunda menatap lekat-lekat putrinya. Matanya mulai berkaca-kaca.
Tidak seharusnya Aia tahu apa yang terjadi antara Ayah dan Bundanya. Bunda
sempat melirik Ayah sebelum akhirnya berbaring, mencium pipi Aia lalu
memeluknya seraya memejamkan mata.
Ayah hanya menunduk.
Perlahan beranjak keluar kamar.
***
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 07, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar