Sabtu, 07 Januari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 08.00 WIB
Matahari baru saja naik ke permukaan. Cahaya lembutnya kembali menyapa manusia, makhluk panjang angan. Hangatnya menjadikan kemarin sebagai kenangan. Bagi orang-orang yang berpikir, tentu juga ada pelajaran. Lewat hangatnya, Allah beri lagi satu hari kehidupan. Menghidupkan lagi satu harapan yang kemarin nyaris ingin dilupakan. Apa lagi? Bukankah hanya syukur yang pantas diucapkan?

Cahaya lembut itu mulai menerpa kaca gedung-gedung pencakar langit ibukota. Kemilaunya kian membuat gedung-gedung itu terlihat kokoh nan megah. Kontras dengan pemukiman kumuh penduduk yang tepat berada di baliknya. Apa itu istilahnya? Ah ya, kesenjangan sosial. Bagai langit dengan sumur!

Cahaya lembut itu juga menelisik gorden sebuah rumah di selatan ibukota, di jalan Gandaria Tengah, gang Damai nomor 25. Rumah yang enam bulan lalu baru saja direnovasi bergaya minimalis. Di depan terparkir camry hitam keluaran 2006. Kebetulan pemiliknya sedang keluar kota satu minggu ini. Biasanya di sebelah camry juga ikut terparkir motor sport hijau yang pagi ini kebetulan juga sudah keluar bersama pemiliknya. Di kanan rumah terdengar suara merdu gemericik air yang mengalir di relief vertikal yang kemudian jatuh ke kolam ikan berukuran 1,5 x 1 m. Dan di paling depan –di pinggir jalan-, tepatnya di pojok kiri rumah tanpa pagar itu terdapat sebuah bak sampah yang tiap sore sampahnya akan diangkut oleh Mang Jo, petugas kebersihan.

Masuklah ke dalam rumah yang didominasi oleh warna abu-abu dan hijau itu, kalian akan disambut dengan ruang tamu minimalis. Sofa letter L lengkap dengan meja kaca persegi panjang. Di dinding sebelah kiri, foto keluarga beranggotakan 3 orang berukuran A3 menggantung di sana. Masuk lebih dalam, sofa bed hijau muda dengan meja kayu putih di ruang tengah menyambut hangat di sana. TV LED 32 inch juga melengkapi ruang yang berseberangan dengan mushollah tersebut.

Di satu dari tiga kamar yang ada di rumah itu, salah satu pintunya kebetulan tengah terbuka. Di balik pintu kamar, tergantung seragam SMA. Di bawah bingkai jendela kamar yang dibiarkan terbuka, berdiri seorang gadis dengan jilbab salem dan kerudung senada.

Ia sedianya hendak berangkat sekolah. Tapi, pukul 06.30 ada sebuah pesan masuk yang membuatnya urung berangkat. Dan sejak lima belas menit yang lalu ia berdiri di sana. Menikmati cahaya lembut yang masuk lewat jendela kamar. Meski pandangannya sedikit terhalang karena camry hitam terparkir tepat di depan kamar.

Gadis itu memang menyukai cahaya. Mulanya karena itu adalah namanya, Cahaya Ramadhani -Ya, ya, kalian benar. Gadis ini memang lahir di bulan Ramadhan-. Namun, seiring waktu ia mulai memaknainya lebih dalam. Bukan lagi karena namanya. Melainkan karena menurutnya segala sesuatu memiliki “cahaya” masing-masing. Dan dengan “cahaya” itulah segala sesuatu menjadi lebih bermakna. Sebaliknya, tanpa “cahaya” segala sesuatu tidak akan bermakna. Seperti lilin tanpa api.

Lihat saja bumi. Bukankah dengan cahaya matahari dan bulan yang bergantian menyinari, Allah menjadikannya sebagai tempat tinggal milyaran manusia? Tanpa cahaya, masihkah ada kehidupan di dalamnya? Lihat lah matahari, bulan dan bintang. Mereka semua menjadi indah serta punya peran dalam kehidupan karena bercahaya, bukan?

Pun begitu dengan manusia. Tiap orang pasti punya “cahaya”. Atau mungkin ia menjadi “cahaya” bagi yang lain. Mungkin saja, kan? Bagaimana dengan kalian? Kalian punya “cahaya”? Bisa jadi seseorang. Sesuatu. Ilmu misalnya? Bukankah ilmu itu cahaya? Ya, apapun itu. Sesuatu yang menjadikan hidup kalian lebih bermakna. Atau bahkan karenanya kalian menjadi tahu tujuan hidup.
Baik. Anggap saja kalian sudah punya jawabnya. Pertanyaan selanjutnya, pernahkah kalian merasakan cahaya hidup itu meredup lalu sirna? Kehilangan cahaya hidup. Pernahkah kalian mengalaminya? Bagaimana rasanya?

Maka begitulah yang Cahaya rasakan. Cahaya merasa cahaya hidupnya meredup.

Perlahan ia beranjak ke meja belajar. Berdiri di depan cermin yang menggantung di dinding di atas meja, bingkainya tertutup oleh post it warna-warni. Kedua tangannya bertumpu di meja, menyangga tubuh. Perlahan duduk, kemudian lama menatap wajah sendunya di cermin. Tiba-tiba merasakan sesuatu yang membuat sesak. Ditatap lagi lekat-lekat wajahnya, seolah tengah berdialog dengan bayangnya sendiri. Perlahan matanya mulai berkaca-kaca. Bulir bening muncul dari sudut mata. Namun, segera ia seka. Nggak, nggak boleh nangis!

Diliriknya jam beker motif garis berwarna kuning-pink-biru, warna favoritnya. Pukul 08.00 pagi. “Hhh,” Cahaya menghela napas berat. Ini bukan kali pertama ia merasakan cahaya hidupnya meredup. Di tahun-tahun sebelumnya, ia sudah pernah kehilangan sesuatu yang ia anggap sebagai cahaya hidup. Cahaya masih bisa merasakannya, sakit sekali. Bahkan dampaknya masih terasa hingga hari ini.

Cahaya terduduk lemah. Perlahan pandangannya beralih pada foto keluarga yang ia pajang di meja belajar. Foto keluarga yang ini berbeda dengan yang ada di ruang tamu. Ada empat orang di sana. Ada Ayahnya, Awaludin Muhammad. Bundanya, Alya. Kakaknya, Adam. Dan ia sendiri yang waktu itu masih berusia empat tahun. Bagi Cahaya, mereka adalah cahaya hidup.

Cahaya atau Aia, begitu ia biasa dipanggil sekarang sudah menjelma remaja 17 tahun. Remaja supel, saking supelnya ia mudah mengikuti apa pun yang teman-temannya lakukan. Sebenarnya  ia masih terkategori teliti dengan rasa ingin tahu yang besar a.k.a banyak tanya. Hanya saja dua tahun sebelumnya, sifat telitinya jarang ia fungsikan saat bergaul. Dengan begitu di mata teman-teman, Aia adalah sosok yang menyenangkan. Walaupun, kadang bisa berubah menyebalkan lantaran sering kali tidak bisa menguasai emosi alias gampang marah. Apalagi pada orang terdekatnya.

Oh ya, jika kalian bertanya bagaimana Aia secara fisik, biasanya, kalau kebetulan bisa jalan dengan Bunda dan tidak sengaja bertemu dengan teman Bunda, mereka akan bilang, kalian mirip banget!.
Akhirnya sebuah senyum terukir di wajah murung itu. Tersenyum lantaran mengingat potongan-potongan memori saat kanak-kanak bersama keluarga. Cahaya hidupnya.

***

Februari 2000

Ayah adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan. Dulu, saat usia empat tahun hanya itu yang Aia ketahui tentang Ayah. Tentang Ayah bekerja di mana, perusahaan apa, Aia tidak peduli. Yang ia tahu, setiap Ayah pulang, maka Aia dan Adam akan menyambut Ayah dengan gembira. Sementara Bunda sigap menyiapkan secangkir kopi untuk Ayah, melayaninya. Dulu, menyenangkan sekali bisa menghabiskan sore bersama keluarga, bersama Ayah ....

Mungkin Ayah tidak jauh berbeda dengan kebanyakan para Ayah lainnya. Namun, di mata Aia Ayah tetap berbeda. Ayah adalah sosok yang amat menyenangkan. Yang paling Aia suka adalah “Waktunya Ayah Bercerita”, ini adalah waktu untuk Ayah bercerita yang sengaja diberi nama acaranya. Ayah bercerita tentang apa saja, bahkan kadang ia sendiri yang mengarangnya. Lewat cerita-ceritanya, Ayah selalu memberi nasihat untuk Aia dan Adam.

“Akhirnya si Cimut mengaku sambil menangis, huhuhu, iya teman-teman, sebenernya emang Cimut yang bikin tumpah semua minumannya. Soalnya tadi Cimut buru-buru larinya, terus nyenggol minumannya. Tumpah, deh. Maafin ya teman-teman, gara-gara Cimut semua jadi berantakan,” cerita Ayah dengan suara yang ia ubah seperti suara tokoh kartun sambil menggerak-gerakkan boneka beruang.

“Si Umbo geleng-geleng kepala sambil bilang, ya sudah, kali ini kita maafkan. Tapi, jangan diulangi lagi ya!” sambung Ayah menirukan suara lainnya. Mendengar suaranya saja sudah membuat Aia dan Adam tergelak. Ayah, Ayah ....

Bunda? Ah, wanita itu selalu ada saat Aia dan Adam membutuhkan. Selalu sabar menghadapi ulah mereka berdua. Selalu menjawab pertanyaan Aia dan Adam yang banyak ingin tahu. Mengajari banyak hal. Mengaji, shalat, membaca, menulis, bernyanyi, pokoknya Bunda selalu berusaha memberi yang terbaik untuk kedua buah hatinya. Setiap habis Maghrib hingga Isya’ adalah waktu untuk Aia dan Adam belajar membaca Al-Qur’an. Ayah dan Bunda langsung yang mengajari mereka.
Dengan balutan kerudung, wajah Bunda terlihat teduh. Apalagi kalau Bunda tersenyum. Dulu, saat Aia menangis pelukan hangat Bunda selalu ampuh menjadi penenangnya. Sorot mata, sentuhan dan kata-kata Bunda selalu lembut. Bunda cuma marah kalau Aia dan Adam sudah kelewat batas. Tidak seperti ibu-ibu gendut, tetangga sebelah. Setiap hari kerjanya memarahi anaknya. Oh ya, jika kalian mendengar Ayah atau Bunda memanggil Aia dengan nama lengkapnya, Cahaya. Itu artinya mereka sedang marah atau tidak suka atas sesuatu yang dilakukan Aia.

Aia juga bersyukur punya kakak seperti Adam. Walaupun terbilang cuek dan jail, tapi Aia sangat dekat dengan Adam. Saking dekatnya, Adam memanggil Aia dengan panggilan khusus, “Dede” dan tidak boleh ada yang memanggilnya begitu selain Adam. Termasuk Ayah dan Bunda. Dulu, jika ada teman yang mengganggu, Adam siap pasang badan melindunginya.

Sejak kecil Aia memang sudah banyak tanya. Ada saja hal yang ia tanyakan. Bahkan kadang mengundang gelak tawa. Membuat Ayah dan Bunda geleng kepala atas pertanyaannya. Seperti malam itu, saat Ayah sedang bercerita tentang binatang yang ada di kapal nabi Nuh. Adam terlihat sudah terlelap. Tapi Aia masih serius mendengarkan cerita Ayah. Tiba-tiba Aia nyeletuk, “Ayah, Ayah, babi itu kan haram, terus ngapain dong Allah ciptain babi?”

Ayah dan Bunda langsung bersitatap sejenak. Bengong. Tidak tahu mau menjawab apa. Ayah garuk-garuk kepala, mencoba berpikir. Tapi, belum sempat Ayah menjawab. Aia sudah nyeletuk lagi sambil manggut-manggut dan memasang mimik wajah serius. “Jadi, babi itu binatang ujian buat manusia ya, Yah?”

Ayah dan Bunda langsung bersitatap lagi. Bengong. Sejurus kemudian keduanya tertawa. “Iya, iya, babi itu binatang ujian,” sahut Ayah sambil geleng-geleng kepala.

Tidak ada yang istimewa dari keluarga Aia. Ayah yang hari-harinya mencari nafkah untuk keluarga. Bunda yang hari-harinya menjalani karir sebagai manajer rumah tangga. Ditambah Adam dan Aia, “duo monster” yang membuat ramai seisi rumah. Dulu ....

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 09.00 WIB

Aia masih duduk di depan cermin sambil menatap foto keluarga. Masih tersenyum kecil mengingat potongan masa lalu. Namun, sedetik kemudian senyumnya raib. Ganti pipinya yang menggembung. Raut wajahnya kian sendu saat potongan memori lain berkelebat di benak. Saat cahaya hidup itu mulai meredup.

April 2001

Roda kehidupan selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Pepatah ini memang berlaku sepanjang masa dan bisa terjadi pada siapa saja. Itu juga yang terjadi pada keluarga Aia. Perlahan roda kehidupan berputar.

Dulu, Aia yang baru masuk TK A tidak mengerti. Yang ia ingat saat itu tiba-tiba Ayah tidak pernah pergi ke kantor. “Ayah sedang libur kerja, Nak,” itu jawab Ayah saat Aia bertanya, kenapa?

Sejak Ayah libur bekerja, sayup-sayup, sering terdengar Ayah dan Bunda bertengkar di dalam kamar. Aia tidak tahu apa yang mereka ributkan. Meski hanya terdengar sayup-sayup, suara ribut itu tetap membuat Aia merasa tidak nyaman, bingung bahkan takut. Kalau sudah begitu, ia akan lari ke pojok ruang tamu agar tidak mendengar suara itu. Sementara Adam akan langsung main keluar rumah. Agar ia sama sekali tidak mendengar apa pun. Dan bisa menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Sebab ia tidak suka kalau harus menganggapnya benar-benar terjadi.

Dan saat Ayah belum juga selesai libur bekerja, justru Bunda yang setiap hari pergi pagi dan baru pulang jam lima sore atau bahkan malam, ke kantor katanya. Sesekali Bunda juga pergi ke luar kota, perjalanan dinas. Aia mana tahu kalau Bunda baru saja diterima di sebuah perusahaan advertising sebagai Junior Account Executive. Saat itu Aia justru semakin bingung. Lho, bukan harusnya yang ke kantor itu Ayah? Kenapa malah Bunda? Kalau Bunda ke kantor, nanti siapa yang buat makan siang untuknya dan Adam setiap pulang dari sekolah? Masa Ayah yang buat? Ayah mana bisa masak?

Bahkan hingga berbulan-bulan kemudian, Ayah dan Bunda tetap seperti itu. Suara ribut-ribut itu pun masih sering Aia dengar. Seperti malam itu, saat Aia terbangun dari tidurnya kemudian keluar kamar, hendak ke kamar mandi. Kebetulan, pintu kamar Bunda sedikit terbuka.

“Sudahlah, Al! Mau sampai kapan terus begini?! Kasihan Adam dan Aia,” ucap Ayah yang duduk di sisian tempat tidur.Aku lihat, kamu lebih mementingkan pekerjaan ketimbang mereka sekarang,” tambahnya.

Bunda yang tengah duduk di bangku bulat depan meja rias menghadap Ayah, menghela nafas, “Aku tahu! Aku juga maunya jadi ibu yang baik buat mereka,” sahut Bunda, “seandainya Mas juga bisa jadi Ayah dan suami yang baik!” lanjutnya sinis seraya balik badan membelakangi Ayah.

Kamu tahu kan, aku sedang berusaha!” sahut Ayah dengan nada penuh penekanan.

“Tapi, sampai saat ini belum ada hasilnya, kan?!” tuding Bunda tanpa menoleh. “Akui saja lah! Kalau bukan dari penghasilanku, bagaimana bisa kita bertahan?!”

Hening. Bunda menelungkupkan kedua tangannya ke wajah. Menyesal. Mungkin seharusnya kalimat itu tidak keluar dari mulutnya. Bagaimanapun ia adalah Istri yang harus menghormati suami. Ia ikhlas meski harus bekerja untuk keluarga. Tapi, suaminya selalu saja menyuruhnya berhenti. Seolah usahanya selama ini tak berarti apa-apa. Sungguh, jika bukan karena terpaksa, Bunda pun tidak akan bekerja.

Sementara Ayah tak bergerak sedikitpun. Hanya nafasnya yang naik turun. Kalimat Bunda terakhir baru saja memelesatkan harga dirinya jauh ke dasar. Hingga tak lagi berharga.

Sudah. Pasca di PHK oleh perusahaan lantaran hampir bangkrut, ia sudah bolak-balik mencari pekerjaan. Mengajukan CV dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Istrinya benar, hingga saat ini belum ada hasilnya. Sepertinya perusahaan lebih tertarik merekrut karyawan perempuan ketimbang laki-laki. Buktinya, istrinya bisa langsung mendapat kerja hanya dengan satu kali mengajukan lamaran. Ah, mengapa di negeri yang katanya kaya ini, masih saja warga negaranya kesulitan mencari pekerjaan untuk sekedar menafkahi anak-istrinya? Entah ada berapa juta kepala keluarga yang bernasib sama dengannya? Membuat para istri terpaksa ikut bekerja.

Aia kecil yang bingung menyaksikan keheningan antara Ayah dan Bunda dari balik pintu akhirnya bersuara, “Bunda ....”

Ayah dan Bunda menoleh ke arah suara yang amat mereka kenali itu. Tentu saja terkejut, sejak kapan anak itu ada di sana? Jangan bilang, ia mendengar semua percakapan Ayah dan Bundanya?!  Bunda segera menghampiri dengan ekspresi setenang mungkin. Berlutut di hadapan Aia, agar sejajar. Membelai rambut lurus putrinya. “Aia kok bangun, kenapa sayang?” tanya Bunda yang mulai berkaca-kaca. Tidak seharusnya Aia menyaksikan ini, batinnya.

“Hm ...,” Aia menatap Bunda sambil sesekali melirik Ayah. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres. “Aia mau tidur sama Bunda, sama Ayah,” cetusnya. Ingin memastikan bahwa semua baik-baik saja. Bahkan ia sudah lupa soal kamar mandi.

Bunda mengangguk tersenyum.

Terlihat Ayah beranjak dari duduknya, menghampiri Aia. “Tuan putri mau tidur …,” serunya seraya mengangkat tubuh Aia dan membawanya ke tempat tidur. Membuat Aia tertawa gembira sekaligus lega. Ia salah, tidak ada yang tidak beres. Buktinya Ayah dan Bunda masih tertawa bersamanya sekarang, pikirnya.

“Bobo, ya. Jangan lupa baca do’a ...,” Bunda mengingatkan seraya menyelimuti Aia.

Aia mengangguk, “Aia mau bobo, ya. Ayah sama Bunda jangan ribut lagi, ya.” ucapnya lalu memejamkan mata.

Ayah dan Bunda diam seketika. Bunda menatap lekat-lekat putrinya. Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak seharusnya Aia tahu apa yang terjadi antara Ayah dan Bundanya. Bunda sempat melirik Ayah sebelum akhirnya berbaring, mencium pipi Aia lalu memeluknya seraya memejamkan mata.
Ayah hanya menunduk. Perlahan beranjak keluar kamar.


***

0 komentar:

Posting Komentar