Sabtu, 07 Januari 2017

Lama-lama perubahan itu semakin nyata. Karir Bunda di kantor ternyata cukup mulus. Setelah menjadi Junior Account Executive, Bunda diangkat menjadi Senior Account Executive. Jika kinerjanya semakin baik, posisi Account Manager menantinya di depan. Tanpa sadar, Bunda mulai menikmati dunia barunya sebagai wanita karir. Tenggelam dalam pekerjaan. Semakin tidak punya waktu untuk mengurus rumah. Semakin tidak punya waktu untuk memberi perhatian pada dua buah hatinya. Pergi pagi-pagi untuk menghindari macetnya Ibukota. Pulang malam karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka, Bunda memutuskan mencari seorang pembantu sekaligus yang bisa menemani Adam dan Aia di rumah.

Bi Tiah hadir menjadi penghuni baru di rumah. Bertugas mengurus rumah juga Adam dan Aia. Wanita paruh baya itulah yang kini menemani aktivitas Adam dan Aia. Menyediakan sarapan. Mengantar-jemput sekolah, kebetulan Bi Tiah pandai mengendarai motor. Menemani belajar. Memang cuma menemani, karena Bi Tiah juga tidak mengerti pelajaran sekolah Adam dan Aia. Ia hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Satu-satunya keahlian yang ia dapat dari sekolah adalah membaca, menulis dan menghitung (uang). Pokoknya, hampir semua urusan rumah, Adam dan Aia diambil alih oleh Bi Tiah.

Karena Bunda juga tidak punya banyak waktu lagi untuk mengajari kedua buah hatinya, Bunda memutuskan memanggil guru private untuk mengajari Adam dan Aia.

Ya, lama kelamaan perubahan itu semakin nyata. Adam dan Aia adalah orang yang paling merasakannya. Berkali-kali kecewa karena Bunda tidak punya waktu untuk mereka. Bahkan hanya sekedar untuk mengambilkan raport. Seakan waktu Bunda terlalu berharga jika dihabiskan untuk hal-hal seperti itu.

Aia dan Adam rindu pada Bunda yang dulu. Sangat rindu. Cukuplah bagi mereka tiba-tiba berpisah dengan Ayah. Kenapa sekarang Bunda ikut “menghilang” dari hari-hari mereka?

***

Satu waktu Adam yang sudah duduk di kelas 6 pernah meminta Bunda untuk menghadiri acara di sekolah.

“Bunda, besok kan ulang tahun Abang. Abang boleh minta hadiah?” pinta Adam saat sarapan.

“Hm, iya, ya. Besok Abang ulang tahun yang ke-12. Memangnya Abang mau hadiah apa dari Bunda? Mau dirayain sama temen-temen, ya?” terka Bunda.

Adam menggeleng, “Minggu depan ada pentas di sekolah untuk memperingati hari ibu, Bunda hadir ya, soalnya semua ibu temen-temen Abang juga hadir, Bun. Nanti Abang juga tampil!”

Bunda diam sejenak. Menggigit bibir teringat minggu depan ia harus pergi ke Medan untuk pekerjaannya. “Minggu depan? Insya Allah Bunda hadir ya, Bang.”

“Aia mau ikut ya, Bun,” pinta Aia sambil menyuap makanannya.

“Iya ...,” sahut Bunda lembut. Lalu tersenyum. Getir. Ya Allah, bagaimana ini? Tidak mungkin kan, kalau ia bilang tidak pada Adam?

Adam tersenyum sumringah, “Benar ya, Bun. Awas lho, kalo Bunda nggak datang ....”

“Insya Allah Bunda usahakan datang ya, Bang,” jawab Bunda sekali lagi sambil tersenyum. Sedetik kemudian wajahnya berubah bingung.

***

Hari yang dinanti Adam akhirnya tiba. Sudah 30 menit Adam berdiri di depan aula sekolah, tempat acara pentas dilaksanakan. Tadi pagi, saat bangun, kata Bi Tiah Bunda sudah pergi. Entah kemana. Tapi Adam yakin Bunda pasti datang. Bunda kan, sudah janji.

“Dam, buruan acaranya udah mau mulai!” teriak Alvin, teman sekelasnya, seraya menghampiri Adam.

Adam menoleh, “Iya, sebentar!”

“Udah dipanggil sama Bu Erlin!” tanpa peduli lagi Alvin malah menggaet leher Adam dengan lengan lalu menyeretnya ke dalam.

Adam bersungut kesal. Kesal karena Alvin sembarangan menyeretnya masuk. Kesal karena sampai tiba gilirannya tampil membawakan puisi untuk Bunda, Bunda justru entah di mana. Adam hanya melihat Bi Tiah dan Aia di deretan kedua bertepuk tangan setelah Adam tampil. Lebih kesal lagi saat ia tahu kenapa Bunda tidak hadir.

“Tadi, habis Bang Adam berangkat, Bunda telepon, katanya harus pergi ke Medan. Jadi, Bi Tiah sama Dek Aia disuruh hadir,” aku Bi Tiah apa adanya.

***

Lama kelamaan perubahan itu benar-benar semakin nyata. Termasuk perubahan sikap Adam karena kekecewaannya terhadap Bunda. Kejadian kecil itu ternyata berdampak besar pada psikologis Adam. Bunda pikir kesalahannya itu cukup ia tebus dengan hadiah mobil RC yang selama ini Adam inginkan. Bunda salah!

Di rumah, Adam yang periang kini berubah menjadi introvert. Jarang bicara pada Bunda. Lebih senang menyendiri. Di sekolah, ia justru sering mencari perhatian. Sering iseng, penyakit jailnya kian akut. Mendadak Bunda mendapat banyak laporan mengenai Adam. Adam menjahili si A, mengganggu si B, si C ... si Z. Adam juga berubah jadi lebih sensitif. Sedikit saja ada yang cari masalah dengannya, Adam langsung membalas. Guru private-nya kualahan menghadapi Adam yang tidak mau ikut belajar. Terlebih Bi Tiah yang setiap hari harus menghadapi kejahilan Adam. Amat melelahkan.

Bahkan Aia pun ikut memprotes, “Abang kenapa sih, kok sekarang jadi nakal?! Kata Ayah, kita kan nggak boleh nakal!” Aia mengingatkan nasihat Ayah, “Nanti kalau Ayah datang, Dede laporin ke Ayah, lho!” ancamnya.

“Sekarang nggak apa-apa De, kalo kita mau nakal. Bunda juga nakal, sering bohong sama kita!” sahut Adam ketus lalu santai ngeloyor masuk kamar.

Aia hanya diam, Aia juga kecewa dengan Bunda. Tapi, bukankah waktu itu Adam sendiri yang mengatakan kalau Bunda bekerja supaya keluarga mereka bisa makan dan sekolah? Jadi, Aia berusaha memakluminya. Lagi pula, memangnya boleh jadi anak nakal? Ah, Bang Adam ngaco! Mana boleh jadi anak nakal! Sudahlah! Aia memutuskan untuk melupakan kata-kata Adam barusan. Memilih kembali main bersama boneka beruang kesayangannya.

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 11.00 WIB
Aia menekan tombol smartphone-nya, membuat layarnya menyala seketika. Pukul 11.00. Waktu bergulir tanpa terasa tiap kali mengingat masa lalu. Dulu, Aia tidak mengerti mengapa kakaknya tiba-tiba menjadi nakal. Tapi, sekarang Aia mengerti kekecewaan itu. Entah kenapa sejak saat itu Bunda jadi seperti caleg, capres atau apalah namanya! Yang senang memberi janji. Tapi, janjinya menguap begitu saja tanpa bukti. Terutama kalau itu soal waktu.

Adam tumbuh menjadi anak yang haus perhatian. Sejak duduk di bangku SMP Adam mulai menggores catatan hitam di sekolah. Bolos, sering datang terlambat, kepergok saat merokok dan sederet kenakalan remaja seusianya. Membuat Bunda rutin satu-dua bulan sekali datang memenuhi panggilan Kepala Sekolah.

Maret 2006

Beranjak SMA, kecuali postur tubuhnya yang makin tinggi, tidak ada perubahan lain pada Adam. Ia masih terus memperpanjang daftar kenakalan di sekolah. Hampir-hampir buku kasus guru BK penuh hanya dengan catatan Adam. Sejak kelas 2 ia memang sudah bergaul dengan pelajar yang jika dicek isi tasnya, kita akan menemukan gir, penggaris stainless, kopel sabuk dan aneka senjata tajam lainnya. Tawuran.

Adam sudah pengalaman tawuran. Kalau ada sabuk untuk setiap tingkatan level tawuran, pasti Adam sudah memakai sabuk hitam. Puncaknya, saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA awal. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepertinya ungkapan ini sangat tepat untuk Adam yang sedang apes. Tawuran kali ini, polisi berhasil mengamankan puluhan pelajar, termasuk Adam. Ia tidak sempat melarikan diri.

Sebenarnya Adam sudah bersembunyi di gorong-gorong. Tapi ada seorang siswi, adik kelasnya, yang melihat. Adam sudah mengancamnya agar tidak memberitahu siapapun. Bukannya menurut, saat seorang polisi yang berlari ke arahnya lalu bertanya apakah ia melihat siswa yang tawuran bersembunyi, adik kelasnya itu malah sengaja memberitahu polisi itu, “Iya, Pak. Di bawah ada satu lagi, tuh,” lapornya. Jadilah Adam tertangkap. Adam tidak akan lupa wajah menyebalkan adik kelas yang selalu memakai kerudung lebar itu.

***

“Ya Allah, Bang! Kenapa sih Abang masih saja buat masalah?!” keluh Bunda yang baru masuk mobil usai mengurus administrasi Adam. Terlihat raut wajah stress Bunda menghadapinya. “Bunda sudah capek harus bolak-balik dipanggil Kepala Sekolah! Sekarang kantor polisi? Tawuran? Ya Allah, kapan Bunda pernah mengajari Abang jadi seorang kriminal?!”

“Ya ... memang Bunda nggak pernah mengajari Abang apa-apa,” Adam malah santai mengubah posisi sandaran jok mobil supaya lebih nyaman untuk tiduran. Dan tanpa rasa bersalah ia berkata, “Bunda kan cuma mau datang ke sekolah kalo Kepala Sekolah yang panggil. Lagian Kepala Sekolahnya aja kerajinan, bikin surat panggilan tiap bulan.”

Bunda menghela napas, “Ya Abang juga! Nggak ada bosannya cari masalah! Sekarang kantor polisi! Abang nggak malu?!”

“Yang malu itu kalau setiap rapat orang tua, pengambilan raport, bukan orang tua sendiri yang datang!” sahut Adam ketus.

Awalnya Adam sama sekali tidak memedulikan Bunda dan apa yang dikatakannya. Namun sepersekian detik kemudian terdiam melihat air muka Bunda berubah sendu seraya tangan kanannya menyeka sudut mata. Sesal merangsek ke dalam hati. Tapi, itu hanya sepersekian detik. Sejurus kemudian ia malah balik badan membelakangi Bunda, memilih tidak peduli. Bukankah selama ini Bunda juga tidak peduli padanya?

“Ya, Allah,” lirih Bunda. Tiba-tiba muncul perasaan yang amat mengganggu. Hh, bertahun-tahun perasaan ini selalu menghantuinya. Perasaan bersalah. Perasaan bahwa ia gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya. Ya Allah, lihatlah Adam ....

***

“Abang nggak bosan apa, buat masalah terus di sekolah? Pakai acara ditangkap polisi segala lagi!” sambil sarapan Aia membuka pembicaraan. Kebetulan Bunda sudah pergi sejak subuh tadi. “Aia saja bosan mendengarnya!”

“Hm, Abang tuh harusnya nggak ketangkap, De!” sahutnya sambil mengunyah nasi goreng. “Gara-gara ada cewek, anak kelas satu tuh! Berani-beraninya ngelaporin tempat sembunyi Abang ke polisi! Lihat saja, Abang bakal buat perhitungan sama dia!”

“Ya udahlah, Bang. Jangan buat masalah lagi. Memang Abang yang salah, kok! Kasihan Bunda!”

Bi Tiah yang sedang sibuk mencuci piring senyum-senyum sendiri mendengar percakapan adik-kakak di belakangnya. Aia sering kali terlihat lebih dewasa dibanding Adam.

Adam berhenti menyendok makanannya, “Bunda yang nggak ngerti. Abang cuma mau Bunda punya waktu buat kita. Sedikiiit aja! Dede nggak malu, tiap ambil raport selalu Bi Tiah? Kayak udah nggak punya orang tua aja!

Aia tertegun. Ada benarnya juga sih, selama ini Bunda juga tidak pernah ke sekolah. Jika ada pertemuan atau semacamnya di sekolah, Bi Tiah jadi andalan sebagai badal. Yang paling menyebalkan adalah ketika teman atau guru bertanya, ke mana Ayah-Ibunya? Tentu Aia akan menjawab apa adanya. Hanya saja, menjawab pertanyaan itu seperti menggoreskan sesuatu di hati.

Tapi, itu tidak menjadi alasan untuk Aia tumbuh menjadi sama seperti Adam. Melihat bagaimana susahnya Bunda karena Adam, membuat Aia justru bertekad akan menjadi anak yang baik. Ia tidak ingin membuat Bunda susah. Tidak akan!

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 15.00 WIB

Aia masih duduk di depan cermin. Meski sudah sebelas tahun berlalu, rasa kehilangan cahaya hidup itu masih amat membekas. Dan meski sebelas tahun berlalu, ia masih amat berharap cahaya itu kembali.

Aia Melirik salah satu post it berwarna biru muda di bingkai cermin yang bertuliskan “Don’t miss it. Jemput Bunda di bandara!” yang sengaja ia tempel di bingkai cermin. Seketika membuatnya lupa pada sakitnya kehilangan cahaya hidup di masa lalu.

Inilah yang membuat Aia urung ke sekolah. Karena saat hendak bersiap-siap tadi pagi, Yasti, teman kerja Bunda, mengirimkan pesan padanya. Mengabarinya tentang jadwal kepulangan Bunda yang tengah melakukan perjalanan kerja ke luar kota. Katanya, Bunda akan tiba di Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 11.00. Tapi, saat Aia siap-siap berangkat, sebuah pesan masuk mengabarinya jadwal Bunda berubah. Bunda baru tiba di bandara pukul 19.00 malam ini.

Tanpa terasa, ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin. Bahkan sekarang jarum jam sudah berada di angka tiga. Waktu Asar hampir tiba, lebih baik ia bersiap-siap untuk shalat. Lanjut siap-siap untuk menjemput Bunda. Aia bangkit dari duduknya, menghapus air mata yang masih tersisa di pipi. Menatap lekat-lekat wajahnya di cermin, “Insya Allah semua akan kembali baik!” hatinya berbisik meyakinkan diri sendiri.

***

0 komentar:

Posting Komentar