Lama-lama perubahan itu semakin nyata. Karir Bunda di kantor
ternyata cukup mulus. Setelah menjadi Junior Account Executive, Bunda diangkat menjadi Senior
Account Executive. Jika kinerjanya semakin
baik, posisi Account Manager menantinya di depan.
Tanpa sadar, Bunda mulai menikmati dunia barunya sebagai wanita
karir. Tenggelam
dalam pekerjaan. Semakin
tidak punya waktu untuk mengurus rumah. Semakin tidak punya waktu untuk memberi
perhatian pada dua buah hatinya. Pergi
pagi-pagi untuk menghindari macetnya Ibukota. Pulang malam karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Maka, Bunda memutuskan mencari seorang
pembantu sekaligus yang bisa menemani Adam dan Aia di rumah.
Bi Tiah hadir
menjadi penghuni baru di rumah. Bertugas mengurus rumah juga Adam dan Aia.
Wanita paruh baya itulah yang kini menemani aktivitas Adam dan Aia. Menyediakan
sarapan. Mengantar-jemput sekolah, kebetulan Bi Tiah pandai mengendarai motor.
Menemani belajar. Memang cuma menemani, karena Bi Tiah juga tidak mengerti
pelajaran sekolah Adam dan Aia. Ia hanya sekolah sampai kelas 3 SD. Satu-satunya keahlian yang ia dapat dari sekolah
adalah membaca, menulis dan menghitung (uang). Pokoknya, hampir semua urusan
rumah, Adam dan Aia diambil alih oleh Bi Tiah.
Karena Bunda
juga tidak punya banyak waktu lagi untuk mengajari kedua buah hatinya, Bunda
memutuskan memanggil guru private untuk mengajari Adam dan Aia.
Ya, lama
kelamaan perubahan itu semakin nyata. Adam dan Aia adalah orang yang paling
merasakannya. Berkali-kali kecewa karena Bunda tidak
punya waktu untuk mereka. Bahkan hanya sekedar untuk mengambilkan raport.
Seakan waktu Bunda terlalu berharga jika dihabiskan untuk hal-hal seperti itu.
Aia
dan Adam rindu pada Bunda yang
dulu. Sangat rindu. Cukuplah bagi mereka tiba-tiba berpisah dengan Ayah. Kenapa sekarang Bunda ikut
“menghilang” dari hari-hari mereka?
***
Satu waktu Adam
yang sudah duduk di kelas 6 pernah meminta Bunda untuk menghadiri acara di
sekolah.
“Bunda, besok
kan ulang tahun Abang. Abang boleh minta hadiah?” pinta Adam saat sarapan.
“Hm, iya, ya.
Besok Abang ulang tahun yang ke-12.
Memangnya Abang mau hadiah apa dari Bunda? Mau dirayain sama temen-temen, ya?” terka Bunda.
Adam menggeleng,
“Minggu depan ada pentas di sekolah untuk memperingati hari ibu, Bunda hadir
ya, soalnya semua ibu temen-temen Abang juga hadir, Bun. Nanti Abang juga
tampil!”
Bunda diam
sejenak. Menggigit bibir teringat minggu depan ia harus
pergi ke Medan untuk pekerjaannya. “Minggu depan? Insya Allah Bunda hadir ya,
Bang.”
“Aia mau ikut
ya, Bun,” pinta Aia sambil menyuap makanannya.
“Iya ...,” sahut
Bunda lembut.
Lalu tersenyum. Getir. Ya
Allah, bagaimana ini? Tidak mungkin kan, kalau ia bilang tidak pada Adam?
Adam tersenyum
sumringah, “Benar ya, Bun. Awas lho, kalo Bunda nggak datang ....”
“Insya Allah Bunda usahakan datang ya,
Bang,” jawab Bunda sekali
lagi sambil tersenyum. Sedetik kemudian wajahnya berubah bingung.
***
Hari yang
dinanti Adam akhirnya tiba. Sudah 30 menit Adam berdiri di depan aula sekolah,
tempat acara pentas dilaksanakan. Tadi pagi, saat bangun, kata Bi Tiah Bunda
sudah pergi. Entah kemana. Tapi Adam yakin Bunda pasti datang. Bunda kan, sudah
janji.
“Dam, buruan
acaranya udah mau mulai!” teriak Alvin,
teman sekelasnya,
seraya menghampiri
Adam.
Adam menoleh,
“Iya, sebentar!”
“Udah dipanggil
sama Bu Erlin!” tanpa peduli lagi Alvin
malah menggaet leher Adam dengan lengan lalu menyeretnya
ke dalam.
Adam bersungut
kesal. Kesal karena Alvin sembarangan
menyeretnya masuk. Kesal karena sampai tiba gilirannya tampil membawakan puisi
untuk Bunda, Bunda justru entah di mana. Adam hanya melihat Bi Tiah dan Aia di
deretan kedua bertepuk tangan setelah Adam tampil. Lebih kesal lagi saat ia
tahu kenapa Bunda tidak hadir.
“Tadi, habis
Bang Adam berangkat, Bunda telepon, katanya harus pergi ke Medan. Jadi, Bi Tiah
sama Dek Aia disuruh hadir,” aku Bi Tiah apa adanya.
***
Lama kelamaan
perubahan itu benar-benar semakin nyata. Termasuk perubahan sikap Adam karena
kekecewaannya terhadap Bunda. Kejadian kecil itu ternyata berdampak besar pada
psikologis Adam. Bunda pikir kesalahannya itu cukup ia tebus dengan hadiah
mobil RC yang selama ini Adam inginkan. Bunda salah!
Di rumah, Adam yang periang kini berubah menjadi introvert. Jarang bicara pada Bunda. Lebih senang menyendiri.
Di sekolah, ia justru sering mencari perhatian. Sering iseng, penyakit jailnya
kian akut. Mendadak Bunda mendapat banyak laporan mengenai Adam. Adam menjahili
si A, mengganggu si B, si C ... si Z. Adam juga berubah jadi lebih sensitif.
Sedikit saja ada yang cari masalah dengannya, Adam langsung membalas. Guru private-nya kualahan menghadapi Adam yang
tidak mau ikut belajar. Terlebih Bi Tiah yang setiap hari harus menghadapi
kejahilan Adam. Amat melelahkan.
Bahkan Aia pun
ikut memprotes, “Abang kenapa sih, kok sekarang jadi nakal?! Kata Ayah, kita kan nggak boleh nakal!” Aia
mengingatkan nasihat Ayah, “Nanti kalau Ayah datang, Dede laporin ke Ayah,
lho!” ancamnya.
“Sekarang nggak
apa-apa De, kalo kita mau nakal. Bunda juga nakal, sering bohong sama kita!”
sahut Adam ketus lalu santai ngeloyor masuk kamar.
Aia hanya diam,
Aia juga kecewa dengan Bunda. Tapi, bukankah waktu itu Adam sendiri yang
mengatakan kalau Bunda bekerja supaya keluarga mereka bisa makan dan sekolah? Jadi, Aia berusaha memakluminya. Lagi
pula, memangnya boleh jadi anak nakal? Ah, Bang Adam ngaco! Mana boleh jadi
anak nakal! Sudahlah! Aia memutuskan untuk melupakan kata-kata Adam
barusan. Memilih kembali main bersama boneka beruang kesayangannya.
***
Jakarta, 28 Oktober
2012
| Pkl 11.00 WIB
Aia menekan
tombol smartphone-nya, membuat layarnya menyala seketika. Pukul 11.00. Waktu bergulir tanpa terasa tiap kali mengingat masa lalu. Dulu, Aia tidak
mengerti mengapa kakaknya tiba-tiba menjadi nakal. Tapi, sekarang Aia mengerti kekecewaan itu. Entah kenapa
sejak saat itu Bunda jadi seperti caleg, capres atau apalah namanya! Yang
senang memberi janji. Tapi, janjinya menguap begitu saja tanpa bukti. Terutama kalau itu soal
waktu.
Adam tumbuh
menjadi anak yang haus perhatian. Sejak duduk di bangku SMP Adam mulai
menggores catatan hitam di sekolah. Bolos, sering datang terlambat, kepergok
saat merokok dan sederet kenakalan remaja seusianya. Membuat Bunda rutin
satu-dua bulan sekali datang memenuhi panggilan Kepala Sekolah.
Maret
2006
Beranjak SMA,
kecuali postur tubuhnya yang makin tinggi, tidak ada perubahan lain pada Adam.
Ia masih terus memperpanjang daftar kenakalan di sekolah. Hampir-hampir buku
kasus guru BK penuh
hanya dengan catatan Adam. Sejak kelas 2 ia memang sudah
bergaul dengan pelajar yang jika dicek isi tasnya, kita akan menemukan gir,
penggaris stainless, kopel sabuk dan aneka senjata tajam lainnya. Tawuran.
Adam sudah
pengalaman tawuran. Kalau ada sabuk untuk setiap tingkatan level tawuran, pasti
Adam sudah memakai sabuk hitam. Puncaknya, saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA
awal. Sepandai-pandai tupai melompat, pasti
akan jatuh juga.
Sepertinya ungkapan ini
sangat tepat untuk Adam yang sedang apes. Tawuran kali ini, polisi berhasil
mengamankan puluhan pelajar, termasuk Adam. Ia tidak sempat melarikan diri.
Sebenarnya Adam
sudah bersembunyi di gorong-gorong. Tapi ada seorang siswi, adik kelasnya, yang
melihat. Adam sudah mengancamnya agar tidak memberitahu siapapun. Bukannya
menurut, saat seorang polisi yang berlari ke arahnya lalu bertanya apakah ia
melihat siswa yang tawuran bersembunyi, adik kelasnya itu malah sengaja
memberitahu polisi itu, “Iya, Pak. Di bawah ada satu lagi, tuh,” lapornya.
Jadilah Adam tertangkap. Adam tidak akan lupa wajah menyebalkan adik kelas yang
selalu memakai kerudung lebar itu.
***
“Ya Allah, Bang! Kenapa sih Abang masih
saja buat masalah?!” keluh Bunda yang baru masuk mobil usai mengurus
administrasi Adam. Terlihat raut wajah stress Bunda menghadapinya. “Bunda sudah capek harus bolak-balik dipanggil
Kepala Sekolah! Sekarang kantor polisi? Tawuran? Ya Allah, kapan Bunda pernah
mengajari Abang jadi seorang kriminal?!”
“Ya ... memang Bunda
nggak pernah mengajari Abang apa-apa,” Adam malah santai mengubah posisi
sandaran jok mobil supaya lebih nyaman untuk tiduran. Dan tanpa rasa bersalah
ia berkata, “Bunda kan cuma mau datang ke sekolah kalo Kepala Sekolah yang
panggil. Lagian Kepala Sekolahnya aja kerajinan,
bikin surat panggilan tiap bulan.”
Bunda menghela
napas, “Ya Abang juga! Nggak
ada bosannya cari masalah! Sekarang kantor polisi! Abang nggak malu?!”
“Yang malu itu
kalau setiap rapat orang tua, pengambilan raport, bukan orang tua sendiri yang
datang!” sahut Adam ketus.
Awalnya Adam
sama sekali tidak memedulikan Bunda dan apa yang dikatakannya. Namun
sepersekian detik kemudian terdiam melihat air muka Bunda berubah sendu seraya
tangan kanannya menyeka sudut mata. Sesal merangsek ke dalam hati. Tapi, itu
hanya sepersekian detik. Sejurus kemudian ia malah balik badan membelakangi
Bunda, memilih tidak peduli. Bukankah selama ini Bunda juga tidak peduli
padanya?
“Ya, Allah,”
lirih Bunda. Tiba-tiba muncul perasaan yang amat mengganggu. Hh, bertahun-tahun
perasaan ini selalu menghantuinya. Perasaan bersalah. Perasaan bahwa ia gagal menjadi ibu yang baik
untuk anak-anaknya. Ya Allah, lihatlah Adam ....
***
“Abang nggak
bosan apa, buat masalah terus di sekolah? Pakai acara ditangkap polisi segala
lagi!” sambil sarapan Aia membuka pembicaraan. Kebetulan Bunda sudah pergi
sejak subuh tadi. “Aia saja bosan mendengarnya!”
“Hm, Abang tuh
harusnya nggak ketangkap, De!” sahutnya sambil mengunyah nasi goreng.
“Gara-gara ada cewek, anak kelas satu tuh! Berani-beraninya ngelaporin tempat sembunyi Abang ke polisi! Lihat
saja, Abang bakal buat perhitungan sama dia!”
“Ya udahlah, Bang. Jangan buat masalah lagi. Memang Abang yang
salah, kok!
Kasihan Bunda!”
Bi Tiah yang
sedang sibuk mencuci piring senyum-senyum sendiri mendengar percakapan
adik-kakak di belakangnya. Aia sering kali terlihat lebih dewasa dibanding
Adam.
Adam berhenti
menyendok makanannya, “Bunda yang nggak ngerti. Abang cuma mau Bunda punya waktu buat kita. Sedikiiit aja! Dede nggak malu, tiap ambil raport selalu Bi Tiah? Kayak udah nggak punya orang tua aja!”
Aia tertegun.
Ada benarnya juga sih, selama ini Bunda juga tidak pernah ke sekolah. Jika ada
pertemuan atau semacamnya di sekolah, Bi Tiah jadi andalan sebagai badal. Yang
paling menyebalkan adalah ketika teman atau guru bertanya, ke mana Ayah-Ibunya?
Tentu Aia akan menjawab apa adanya. Hanya saja, menjawab pertanyaan itu seperti
menggoreskan sesuatu di hati.
Tapi, itu tidak
menjadi alasan untuk Aia tumbuh menjadi sama seperti Adam. Melihat bagaimana
susahnya Bunda karena Adam, membuat Aia justru bertekad akan menjadi anak yang
baik. Ia tidak ingin membuat Bunda susah. Tidak akan!
***
Jakarta,
28 Oktober 2012 | Pkl 15.00 WIB
Aia masih duduk
di depan cermin. Meski sudah sebelas tahun berlalu,
rasa kehilangan cahaya hidup itu masih amat membekas. Dan meski sebelas tahun berlalu, ia masih amat berharap cahaya itu
kembali.
Aia Melirik
salah satu post it berwarna biru muda di bingkai cermin yang bertuliskan “Don’t
miss it. Jemput Bunda di bandara!” yang sengaja ia tempel di bingkai
cermin. Seketika membuatnya lupa pada sakitnya kehilangan cahaya hidup di masa
lalu.
Inilah yang
membuat Aia urung ke sekolah. Karena saat hendak bersiap-siap tadi pagi, Yasti,
teman kerja Bunda, mengirimkan pesan padanya. Mengabarinya tentang jadwal kepulangan Bunda yang
tengah melakukan perjalanan kerja ke luar kota. Katanya, Bunda akan tiba di
Bandara Soekarno Hatta sekitar pukul 11.00. Tapi, saat Aia siap-siap berangkat,
sebuah pesan masuk mengabarinya jadwal Bunda berubah. Bunda baru tiba di
bandara pukul 19.00 malam ini.
Tanpa
terasa, ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam di depan cermin. Bahkan sekarang
jarum jam sudah berada di angka tiga. Waktu
Asar hampir tiba, lebih baik ia bersiap-siap
untuk shalat. Lanjut
siap-siap untuk menjemput Bunda. Aia
bangkit dari duduknya, menghapus air mata yang masih tersisa di pipi. Menatap
lekat-lekat wajahnya di cermin, “Insya Allah semua akan kembali baik!”
hatinya berbisik meyakinkan diri sendiri.
***
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 07, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar