oleh : Maswha Faizah
*cerita fiksi ini terinspirasi dari acara Swara Liyan
yang tayang di TVRI
Permadani hijau menghampar sepemandangan. Laksana
hamparan asa ribuan jiwa. Gumpalan awan putih menghias cakrawala yang
melengkung seolah hendak merengkuhnya. Laksana gumpalan do’a yang naik ke
langit-Mu di sepertiga malam tadi. Menggantung. Berharap Kau memperkenankannya.
Mentari telah naik ke sepenggalannnya. Bersama hangat sinarnya, membawa selaksa
harapan terkabulnya do’a.
Di sepetak tanah berdiri bangunan megah. Beratapkan
ilalang. Berdindingkan seng-seng. Beralaskan tanah. Puluhan pasang kaki kecil
tanpa alas menjejak ke setiap sudut ruang penuh sempena. Menegakkan harapan
untuk kehidupan lebih baik.
Sebelum benar-benar menjejakkan kaki di tempat ini. Mereka
terlebih dahulu harus menjejakkan kaki di jalan terjal penuh bebatuan.
Menerabas hutan. Menyusuri sungai. Menyisir tepi jurang. Bertaruh nyawa.
Para pemilik kaki kecil itu, kini duduk manis
beralaskan permadani pandan pemberian seorang dermawan tiga tahun silam. Tangan
kecil menggenggam pensil. Memangku buku tulis. Menjadikan paha sebagai
penyangga. Menggurat aksara yang juga tergurat di papan tulis hitam. Di sinilah
kami. Inilah bangunan megah tempat kami belajar. Mengeja aksara. Menghitung
angka. Merajut asa hendak menjadikannya nyata. SD Sejuta Asa. Sekolah darurat
di kaki gunung Rinjani.
Ini adalah sekolah darurat yang didirikan tiga tahun
silam oleh Kak Falah dan seorang temannya dari kota, Kak Segara. Kak Falah
adalah penduduk asli kaki gunung Rinjani yang bertuah mengenyam pendidikan
hingga sarjana di kota. Ia kembali membawa sejuta asa. mengenalkan dunia pada
generasi di kaki gunung Rinjani.
Sejuta Asa adalah satu-satunya sekolah yang ada di
desa ini. Tidak semua desa di kaki gunung Rinjani memiliki sekolah darurat.
Membuat tidak semua anak desa bisa mengenyam pendidikan. Meski sebatas
baca-tulis. Pendidikan menjadi sesuatu yang teramat mahal di sini. Sekaligus
sesuatu yang tidak dianggap penting. Bagaimana hendak merasa penting? Sudahlah
sulit didapat. Tak ada sesuatu yang membuat mereka merasa perlu akan semua
pengetahuan itu. Kami hidup dari hasil
bercocok tanam disini, tanpa aksara dan untaian kata. Untuk apa pendidikan itu?
Padahal, seandainya mereka berpendidikan. Maka 500 Ha
areal persawahan Rinjani tidak akan begitu saja jatuh ke tangan perusahaan.
Lihatlah, bukan menjadi pemilik. Penduduk Rinjani justru menjadi buruh di sana.
Seperti menjadi budak di rumah megah milik sendiri.
Maka, ketika Sejuta Asa berdiri. Bagian tersulit
bukanlah pada saat mengajari kanak-kanak itu. Melainkan meyakinkan para orang
tua tentang pentingnya pendidikan. Berbagai cara ditempuh Kak Falah dan Kak
Segara. Mulai dari mengumpulkan mereka. Hingga mendatangi mereka satu persatu.
Memberi penjelasan tentang arti pendidikan. Meyakinkan mereka tentang janji
kehidupan yang lebih baik dengan ilmu.
Barang siapa
ingin bahagia di dunia, harus dengan ilmu. Barang siapa ingin bahagia di
akhirat, harus dengan ilmu. Barang siapa ingin bahagia dunia akhirat, harus
dengan ilmu.
Pekerjaan ini memang takkan semudah membalik telapak
tangan. Tapi lihatlah, berkat kesabaran, usaha itu mulai membuahkan hasil.
Beberapa orang tua akhirnya menyadari pentingnya pendidikan. Setidaknya ada
tiga puluh anak yang merajut asa di sini. Sepuluh di antaranya berasal dari
desa tetangga. Kami menyebutnya para perajut asa. Semangat mereka bagai baja.
Tangguh tak terkalahkan. Jarak yang jauh tak lagi menjadi halangan. Tidak juga
cuaca. Meski hujan mengguyur derasnya. Meski jalan yang mereka lalui menjadi
terasa lebih jauh dan licin. Mereka tetap datang.
Jangan kira semangat itu datang dengan sendirinya.
Semangat itu adalah warisan dari Kak Falah dan Kak Segara. Mereka sengaja
menularkan semangat kepada para perajut asa. Agar semangat itu menjadi
berlipat. Menjadi kekuatan merajut harapan. Menjadikannya sejuta asa.
@
Aku Kinara. Baru dua hari lalu usiaku genap 18 tahun.
Gadis kaki gunung Rinjani yang juga bertuah mengenyam pendidikan di kota. Kota,
tempat di mana pembangunan dan kemajuan berada. Semua fasilitas, kebutuhan
hidup atau apapun bisa didapat dengan mudah –kalau punya uang-. Amat berbeda
dengan desaku. Jangankan untuk bermewah-mewahan. Untuk kebutuhan sehari-haripun
tak semua orang mampu mendapatkannya. Jangankan mengenal teknologi.
Baca-tulispun tak semua orang bisa melakukannya.
Aku tidak mengerti kenapa pembangunan itu hanya ada di
kota? Kenapa kemajuan itu hanya ada di kota? Apakah orang desa seperti kami
tidak layak mendapat itu semua? Termasuk mendapatkan pendidikan? Padahal, aku
masih ingat tentang undang-undang Pasal 31 ayat 1 yang kupelajari di sekolah.
Bunyinya, “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Sayangnya, aku tak sebertuah Kak Falah. Tamat SMA, aku
tak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikanku. Karena Sang Pemilik langit
telah memanggil ibuku. Beliau meninggalkanku dengan dua adik yang masih amat
kecil. Tak ada pilihan bagiku selain kembali ke desa. Membantu Ayah merawat dua
adikku. Menjadi sosok pengganti ibu.
Aku sungguh marah! Mengapa Dia tega sekali melakukan
ini padaku?! Walau tidak tahu harus bagaimana, tapi aku ingin menyelesaikan
pendidikanku hingga perguruan tinggi.
Ingin menunjukan pada penduduk Rinjani bahwa pendidikan itu sungguh
penting. Sekarang, musnah sudah semua asaku. Musnah tak bersisa berganti putus
asa. Saat itulah Kak Falah dan Kak Segara datang. Percaya atau tidak, kata-kata
mereka sungguh seperti sihir. Mengusir putus asa. Membangkitkan lagi semua asa.
“Tuhan sedang memberimu kesempatan untuk mewujudkan
mimpimu, Kinara. Jika kau ingin menunjukkan bahwa pendidikan itu penting,
tunjukkanlah sekarang. Kau bisa bergabung bersama kami. Bersama perajut asa.
Ayolah, kita wujudkan mimpimu! Kita tidak akan berhenti sebelum mimpimu
terwujud!”
Sejak saat itu kuputuskan untuk bergabung dengan
mereka di Sejuta Asa. Dibandingkan Kak Falah dan Kak Segara, mungkin ilmuku tak
ada apa-apanya. Yang kutahu, aku ingin melihat anak-anak desaku mengenal dunia.
Walau yang bisa kubagi hanya mengeja aksara, menghitung angka. Bukankah, sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya?
@
Para perajut asa kembali menjejakkan kaki di jalan
terjal penuh bebatuan. Menerabas hutan. Menyusuri sungai. Menyisir tepi jurang.
Bertaruh nyawa. Kembali mengeja aksara. Menghitung angka. Merajut asa.
Semua masih sama. Berjalan dengan amat baik. Sebaik
semangat baja perajut asa. Juga semangat kami bertiga. Aku, Kak Falah dan Kak
Segara. Hingga takdir kejam itu datang.
Pagi itu hujan
deras mengguyur Rinjani. Kaki-kaki kecil perajut asa, pemilik semangat baja,
tetap melangkahkan kaki menuju Sejuta Asa. Kaki kecil itu lincah melewati jalan
terjal. Menyusuri sungai. Naasnya kaki itu tidak cukup lincah saat menyisir
tepi jurang. Satu di antara mereka terperosok. Panik. Berteriak meminta tolong.
Tangannya berusaha menggapai akar pepohonan untuk menahan tubuh agar tidak
terperosok semakin dalam.
“Rinai
terperosok!” Teriak Arzak. Perajut asa berusia 10 tahun itu berusaha menggapai
tangan teman yang terperosok. Apalah daya tangan kecil itu tak sampai. Semua
ketakutan melihat ngarai yang dipenuhi belukar dan akar besar.
“Kalian pergilah
ke Sejuta Asa! Beri tahu Kakak-Kakak. Aku dan Fajar akan menunggu di sini
sambil mencari cara lain untuk menolong Rinai. Cepat!” Perintah Arzak. Yang
lain mengangguk segera melaksanakan intruksinya.
Tak lama setelah
mendapat kabar dari perajut asa. Aku dan Kak Falah bergerak cepat membawa
seutas tali ke tepian jurang. Kak Segara sejak dua minggu lalu sedang ke kota.
Mencari dermawan. Rinai masih berpegangan akar yang nyaris putus tak kuat
menahan berat tubuhnya. Kak Falah mengulurkan tali. Memerintahkan Rinai yang
takut-takut mengulurkan tangan menggapainya. Amat menegangkan. Beruntung, Rinai
berhasil terselamatkan. Masih di bawah guyuran hujan kami bersorak lega. Mengucap
syukur.
Arzak mengulurkan
tangan membantu Rinai berdiri. Ia memang perajut asa yang paling peduli dengan
teman. Saat itulah takdir kejam itu menghampiri kami. Entah kenapa tanah yang
sejak tadi dipijak Arzak runtuh tiba-tiba. Membuat Arzak terperosok.
“Arzak...!” Semua
berteriak. Aku berusaha menggapai tubuhnya. Tapi terlambat. Tubuh Arzak jatuh
semakin dalam. Tangannya tak sempat menggapai apapun. Termasuk seutas tali yang
dilemparkan cepat oleh Kak Falah. Tubuhnya terperosok semakin dalam. Membentur
akar-akar. Tubuhnya tersangkut di sana. Tak sadarkan diri.
Mendung pagi itu
terus berlanjut. Bukan hanya di langit-Nya. Tapi juga di langit-langit Sejuta
Asa. Setelah berkutat dengan peralatan sederhana. Dibantu beberapa warga. Jasad
Arzak akhirnya dapat di keluarkan.
Ya, hanya jasad.
Tidak ada lagi ruh dalam tubuh kecil itu. Ia mungkin tidak kuat menahan
sakitnya. Wajah membiru. Tubuhnya lebam. Ada sobekan di sebelah kanan perutnya.
Di pelipisnya. Kemeja putih yang dikenakannya berubah warna menjadi merah darah.
Tubuh kecil itu terlihat amat mengenaskan.
@
Hari-hari
berikutnya masih kelabu. Sejuta Asa sungguh hening meski belasan perajut asa
yang lainnya masih datang. Tidak ada canda tawa. Tidak ada yang berani
bersuara. Suasana sungguh menjadi amat kaku. Perajut asa menjadi pemurung.
Berkali kucoba mencairkan suasana. Tapi sia-sia. Gurauanku hanya menjadi
lelucon yang tak lucu. Ya, aku memang tidak sepandai Kak Falah dan Kak Segara
dalam membangkitkan semangat.
Yang membuat
suasana semakin kacau justru Kak Falah. Kak Falah menjadi pemurung nomor satu
di Sejuta Asa. Ia masih amat menyesali dirinya yang tidak bisa menyelematkan
Arzak. Ia masih bisa melihat dengan jelas tangan Arzak yang menggapai-gapai.
Wajah ketakutan itu. Masih mendengar jelas suara minta tolong Arzak yang
semakin melemah. Kak Falah amat frustasi. Kalau saja ia sedikit lebih cepat
menangkap tubuh Arzak. Kalau saja ia tidak terlalu gembira dengan selamatnya
Rinai hingga mebuatnya lengah. Kalau saja ....
Sempat kucoba
untuk bicara. Meminta Kak Falah berhenti menyesali semuanya. Memberinya kembali
semangat. Hingga memaki-makinya. Aku kesal dengannya yang tetap bergeming. Aku
menuntut semua janjinya saat aku tengah putus asa dulu, “Ayolah, kita
wujudkan mimpimu! Kita tidak akan berhenti sebelum mimpimu terwujud!”. Percuma, tidak ada perubahan!
@
Belum usai masa
berkabung kami. Siang itu, saat aku tengah mengajari perajut asa menulis. Kami dikejutkan dengan suara gaduh di luar.
Lamat-lamat kudengar teriakan-teriakan itu, “Falah, keluar kau!”. Kontan aku,
Kak Falah dan 29 perajut asa keluar. Terkejut.
Puluhan bapak
berwajah beringas membawa senjata digenggamannya. Golok. Kayu. Bambu. Cerulit.
Entah apalagi. Kami amat mengenali siapa
mereka. Termasuk seorang bapak yang sedari tadi berteriak menyuruh Kak Falah
keluar. Beliau adalah Ayah Arzak dan sekitar dua belas orang yang juga ayah
dari perajut asa lainnya.
“Sejak awal kami
tidak pernah setuju denganmu! Dengan sekolahmu ini!” Teriak salah seorang dari
mereka.
“Kami tidak butuh
pendidikan! Pendidikan tidak akan membuat hidup kami lebih baik! Buktinya, kau!
Katanya kau sarjana! Tapi hidupmu tak jauh lebih baik dari kami! Untuk apa
anak-anak kami bisa memegang pensil? Dewasa kelak, yang mereka pegang tetap
cangkul seperti ayahnya!”
“Demi percaya
dengan angan-angan kosongmu tentang kehidupan yang lebih baik jika mereka
berpendidikan, anakku menjadi korban! Arzak seharusnya tetap hidup jika tak
pergi ke tempat busuk ini! Tempat orang gila berhayal!” Teriak Ayah Arzak.
Sementara mereka
berteriak. Perajut asa menangis ketakutan. Aku
juga menangis. Menggeleng lemah atas semua hardikan mereka.
Mengguncang-guncang tubuh Kak Falah. Memintanya menjawab. Tapi, Kak Falah tetap
saja diam.
Kesal tidak
mendapat respon, Ayah Arzak menarik kerah kemeja Kak Falah. “Apa kau ingin
anak-anak lainnya itu juga menjadi korban!”
Buk! Ayah Arzak
menonjok wajah Kak Falah hingga membuatnya tersungkur. Kami berteriak
ketakutan. Aku dan perajut asa langsung mendekati Kak Falah yang tak berdaya.
Membantunya duduk. Hidungnya berdarah.
Tidak ada lagi
kompromi. Dengan arogannya mereka membongkar dinding seng. Memukul-mukulnya
dengan kayu dan golok. Hancur. Merobohkan plang nama Sejuta Asa. Mematahkan
tiang penyangga atap. Membuat atapnya seketika jatuh. Rata dengan tanah. Tidak
puas, mereka juga membakarnya. Sejuta Asa kami.
Para perajut asa
menangis ketakutan. Aku dan Kak Falah menatap nanar peristiwa itu. Mimpi kami
hancur bersama dinding seng yang mereka hancurkan. Harapan kami roboh bersama
plang yang mereka robohkan. Semangat kami patah bersama tiang penyangga yang
mereka patahkan. Cita-cita kami jatuh bersama atap yang seketika jatuh ke tanah
karena tidak ada lagi penyangga. Sejuta Asa kami lenyap bersama api yang
melahap.
@
Sejuta Asa luluh
lantak. Tak ada yang tersisa kecuali abu pembakaran, aku dan Kak Falah. Setelah
pertistiwa tadi aku sengaja menyuruh para perajut asa pulang. Meski awalnya
mereka menolak dan ingin tetap menemani kami di sini. Kami terdiam cukup lama.
Hingga sebuah suara memecah keheningan.
“Ada apa ini?!” Seru
Kak Segara. Ah, aku bahkan lupa bahwa hari ini jadwal Kak Segara kembali dari
kota. Kak segara menatapku dan Kak Falah secara bergantian. Menatap tidak
mengerti Sejuta Asa.
Kak Segara
membanting dua buah kardus yang dibawanya. Itu pasti buku-buku dari para
donatur. Sebelum berangkat Kak Segara bercerita akan mengambil buku sumbangan
dari teman-temannya. “Ada apa?!”
“Kita akan
membangunnya lagi kan, Kak? Kita akan membangun lagi Sejuta Asa. Iya, kan?”
Tanyaku tanpa berharap mendapat jawaban. Aku tak sanggup lagi jika harus
menceritakan semua yang terjadi selama kepergian Kak Segara. Itu amat
menyakitkan.
Kak Segara
terdiam. Bingung. Tidak mengerti. Entahlah!
Kak Falah
menatapku lalu menggeleng. Aku terisak melihat jawaban itu. “Kenapa?! Bukankah Kak
Falah yang bilang bahwa kita tidak akan berhenti sebelum mimpi kita terwujud?!”
“Tidak, jika demi
mimpi itu aku harus membunuh seseorang,” sahut Kak Falah pelan.
“Tidak ada yang
membunuh! Arzak meninggal karena terperosok di tepi jurang. Bukan karena Sejuta
Asa, apalagi karena Kak Falah! Bahkan, tepi jurang itu sudah ada sejak dulu.
Kak Falah tahu itu, kan?!”
Kak Segara
terperanjat mendengarnya. Melotot menatapku, “apa kau bilang, Kinara? Arzak
meninggal?”
Kak Falah
mendengus, “ya. Arzak terperosok di tepi jurang seminggu yang lalu. Kalau saja
aku lebih cepat menangkap tubuhnya. Lebih cepat melemparkan tali pada bocah
itu. Arzak pasti tidak akan meninggal, kalau saja....”
“Cukup, Kak
Falah! Berhenti menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang menduga bahwa tanah
yang dipijak Arzak akan runtuh tiba-tiba.”
“Bagaimana bisa
aku berhenti! Arzak terperosok karena memaksakan diri datang ke tempat ini saat
hujan deras! Arzak jatuh di depan mataku tanpa aku bisa menolongnya! Mereka
semua datang bertaruh nyawa hanya untuk mengeja aksara dan menghitung angka!”
Kak Falah tersenyum kecut, “mahal sekali pendidikan di desa ini! Sekarang,
semua orang menyalahkanku! Menyalahkan Sejuta Asa!
Untuk apa membuat
mereka bisa baca-tulis? Mungkin orang tua mereka benar. Untuk bertahan hidup,
yang mereka butuhkan hanyalah belajar memegang cangkul! Untuk apa kita peduli.
Bukankah orang lain tak pernah peduli? Bahkan penguasa negeri inipun tak
peduli!”
“Lalu bagaimana
dengan mimpi kita?!”
“Mimpi? Persetan
dengan mimpi itu! Ayah Arzak benar, itu hanya angan-angan kosong!”
Buk! Aku mendekap
mulut. Terkejut. Tanpa kuduga Kak Segara menonjok wajah Kak Falah. Aku segera
menahan tangan Kak Segara yang siap melayang lagi ke wajah Kak Falah. Kak
Segara menatap tajam Kak Falah. Nafasnya tersengal menahan emosi. “Apa kau
bilang! Persetan dengan mimpi itu! Kau lupa, mengapa kita menamakan sekolah
darurat ini Sejuta Asa?! Karena jika kita kehilangan satu asa, kita masih punya
sejuta asa lainnya! Kau ingat itu?!
Kematian seorang
manusia bukan berada di tangan seseorang yang lain. Sekeras apapun kau
berusaha, jika ajal itu sudah tiba, maka kau tidak akan pernah bisa
memundurkannya atau memajukannya walau sedetikpun!
Aku tidak
mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, seharusnya kita masih memiliki
sejuta asa itu! Kau dan Kinara harusnya punya asa lebih dariku. Karena ini
tempat kalian! Kau lupa dengan janji kita pada Kinara waktu itu? Kita tidak
akan pernah berhenti sebelum mimpi kita terwujud! Kau ingat, hah?!”
Kak Falah
berdiri. Mendorong Kak Segara hingga terjatuh. Bahkan aku yang sedang berdiri
di sampingnya ikut terjatuh. Aku meringis menahan sakit. Kak Falah melangkah
tidak peduli seraya berkata, “sudahlah! Anggap saja aku tidak pernah ikut andil
dalam Sejuta Asa!”
Aku menatap
lamat-lamat Kak Falah yang berjalan gontai. Menjauh hingga tak terlihat lagi.
Kak Segara berdiri mendekati abu Sejuta Asa. Memaki-maki. Mengumpat. Menendang
apa saja yang bisa ditendangnya. Membuat abu berhamburan. Membuat sisa-sisa
seng melayang. Bahkan kemudian menendang dua dus yang dibawanya. Membuat
buku-buku di dalamnya berserakan. Aku menangis. Menggeleng, tidak percaya akan
semua ini. Berharap ini hanya mimpi buruk. Dan aku segera terbangun. Sayangnya,
ini semua terlalu nyata untuk dikatakan mimpi buruk.
Hari ini, sejak
pagi Rinjani memang amat berbeda. Permadani hijau tertutup kabut. Gelap.
Segelap asa ribuan jiwa. Gumpalan awan putih di cakrawalapun ikut kelabu.
Sekelabu hati pemanjat do’a. Matahari enggan menyapa. Seolah pertanda tertundanya
do’a.
@
Pasal 31 ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak
mendapatkan pendidikan”.
Sekarang, aku benar-benar bertanya. Dan aku
benar-benar membutuhkan jawaban. Untuk apakah undang-undang ini kalian buat?
Apakah sekedar untuk menyenangkan kami, rakyat kecil? Jika ya, maka kami
sungguh tidak butuh omong kosong ini!
Kalian tidak bisa menutup mata dan telinga.
Realitanya, kami tidak menikmati apa yang disebutkan dalam pasal itu. Di mana
kalian saat kami tengah berjuang mengenalkan aksara dan angka? Bahkan hampir
putus asa karenanya! Kami tidak meminta fasilitas yang sama dengan mereka di
kota. Setidaknya, berikan kami kemudahan mendapat pendidikan. Meski sekedar
mengenal aksara dan angka.
Atau , memang kami yang salah, terlalu naif berharap
pada kalian?!
Ah ya, memang benar. Hanya pada-Nya lah kami pantas
menggantungkan harapan.
*kalau mau copy-paste harap
mencatumkan nama penulis dan sumber aslinya. ok....
RSS Feed
Twitter
Senin, Desember 30, 2013
Unknown

Posted in