Jarum jam saling susul mengitari 12 angka di
sekelilingnya. Membenamkan matahari. Mensenjakan langit. Memanggil
burung-burung kembali ke sarang seraya bertasbih kepada-Nya lewat sayap yang
mengepak. Sebagian penduduk bumi dengan predikat sempurna pun ikut menghentikan
aktivitas sejenak. Bertasbih? Sebagian bertasbih kepada-Nya sepenuh hati yang
khusyu’. Sebagian lagi justru tengah mengingkari dan berusaha membuat yang lain
ingkar kepada-Nya.
Aia duduk termenung di ruang tengah usai membaca
al-Matsurat. Merenungi kata-kata Zia pagi tadi. “Dunia
ini fana, Ai. Semua yang kita miliki. Orang-orang terdekat. Semua akan pergi.
Menghilang. Meninggalkan kita. Kalau kamu menjadikan mereka sebagai cahaya
hidup. Maka kamu akan selalu kehilangan. Tapi ... ada satu cahaya di dunia ini
yang tidak akan pernah redup.
Allahu
nuurus samaawaati wa al-ardh. Allah pemberi cahaya
pada langit dan bumi. Cahaya Allah itu seperti sebuah lubang yang tidak tembus.
Di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Dan kaca itu
seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara. Yang dinyalakan dengan
minyak dari pohon yang banyak berkahnya, Zaitun. Yang bahkan, minyaknya saja
hampir-hampir menerangi walau tidak disentuh api. Nuurun ‘alaa nuur.
Cahaya di atas cahaya.
Begitu
kata Allah di surah an-Nur ayat tiga puluh lima. Cukuplah Allah yang menjadi
cahaya hidup kita. Keluarga, sahabat atau apapun itu. Mereka bintang, yang
ketika salah satunya menghilang, kita tidak sepenuhnya merasa kehilangan.
Karena cahaya hidup yang sesungguhnya tetap menerangi.”
“Tapi
Kak, ridho Allah ridho orang tua, kan? Bagaimana Aia akan mendapat ridho Allah
kalau Bunda tidak meridhoi Aia?”
“Lalu,
apa Allah akan ridho kalau Aia mendapat ridho Bunda dengan melalaikan kewajiban
sebagai muslim?” Zia bertanya balik.
Skakmat!
Aia tertunduk. Ia tidak pernah berpikir seperti itu. Selama ini, ia hanya
berpikir bahwa menjadi anak yang baik untuk Bunda adalah dengan menuruti semua
perintah Bunda. Tentang bagaimana caranya agar tidak kehilangan Bunda.
Zia
berusaha menangkap wajah tertunduk itu lalu tersenyum, “Sa’ad bin Abi Waqqash.”
“Hm?”
Aia menoleh. Siapa nama yang Zia sebutkan barusan?
“Sa’ad
bin Abi Waqqash. Salah satu sahabat nabi yang ibunya tidak rela kalau dia masuk
Islam. Ibunya bahkan mogok makan agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyang
mereka. Tapi, itu tidak lantas membuat Sa’ad goyah. Ia tetap memegang teguh
agamanya. Di saat yang bersamaan ia juga tetap membujuk sang Ibu dengan lemah
lembut agar menghentikan aksinya. Setelah itu turunlah wahyu, surah Luqman ayat
14 dan 15.
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan
bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik .... Taat pada Allah dan berbuat baik terhadap orang tua bukan kewajiban yang
bisa kita pilih, Ai. Tapi harus dilakukan bersamaan.”
Aia
menghela napas. Membenamkan tubuhnya di sofa. Kalimat Zia, membuat Aia berpikir
keras akan keputusan yang telah ia buat. Apa yang sebenarnya ia cari? Ridho
Allah? Atau hanya karena takut kehilangan Bunda?
Hari
ini benar-benar melelahkan. Hatinya juga lelah. Tidak tenang sejak tahu Bunda
pergi pagi tadi. Dan semakin gelisah begitu melihat Bunda pulang. Apa yang
Bunda lakukan seharian bersama
Tante Nur? Aia membatin.
“De,” tegur Adam yang muncul dari kamar dan membanting
diri ke sofa. Duduk merebah santai di sebelah Aia.
“Hm,” sahut Aia malas tanpa merasa perlu menoleh.
Lebih suka melihat lembaran-lembaran buku saku al-Matsurat ketimbang Adam.
“Kemarin Zia menemui Abang
di kampus, lho,” aku Adam.
Mendengar kalimatnya membuat Aia menegakkan tubuh dan menoleh cepat. Sedikit tidak percaya. Kak Zia menemui Abang?
Masa? Untuk apa?
“Serius …,” Adam membaca pikiran Aia dengan baik
rupanya. “Jangan buat orang khawatir gitu dong, De. Kalau pun memang nggak mau
ikut kajian lagi, bukan berarti silaturahmi juga putus, kan?”
Aia menghela napas, sedikit menyesal. “Bukan mau
memutus silaturahmi, Bang. Ya … Aia malu saja dengan Kak Zia dan teman-teman karena keputusan yang Aia pilih,” sahutnya kemudian
mengerling, kenapa Kak Zia tidak cerita kalau menemui Abang? Pikir Aia.
Adam hanya mengangkat alis tanpa berkomentar lagi.
Aia kembali menenggelamkan bahu di sofa seraya memeluk bantal.
Baru ingat kalau tadi pagi, usai drama penuh air mata, Zia justru cerita bahwa
Adam yang pernah menemuinya.
“Abang
menemui Kakak? Kapan? Ngapain?”
Zia
mengangguk, “Waktu surat panggilan kedua dari sekolah itu. Kak Adam minta Kakak
untuk menguatkanmu.”
Mendengar
hal itu, Aia tersadar. Ternyata ia tidak sendiri. Masih ada Adam yang peduli.
Sekarang senyumnya semakin mengembang begitu tahu bukan hanya Adam, tapi Zia
pun peduli.
“Tapi, Aia sudah bertemu Kak Zia, kok,” aku Aia pelan.
Tidak ingin Bunda yang sedang di kamar mendengar.
“Oh, ya? Kapan? Di mana?” Adam membalikkan tubuh menghadap Aia. Wajahnya
berubah antusias. “Terus Zia cerita nggak, soal dia menemui Abang?”
Aia mengerutkan dahi. Antusiasme
Adam mencurigakan. “Apa sih,
Abang?! Orang Aia ke rumah Kak Zia buat minta
maaf, curhat sekaligus cari solusi!” jelas Aia dengan suara tertahan. Khawatir
Bunda yang tengah di kamar mendengar.
Adam
membalikkan tubuhnya ke posisi semula. Memeluk bantal sofa. Menatap
langit-langit. Entah apa yang dilihat, namun senyum mengembang di wajahnya, “Hm
... memang harusnya Dede punya kakak seperti Zia ya De, ya?”
“Iya!
Kenapa Aia harus punya kakak seperti Abang, ya?!” sungut Aia.
“Yee,
bukan itu maksudnya!” sergah Adam. “Dede harus tetap bersyukur dong punya kakak
seganteng Abang ini. Masa Dede nggak mengerti ... ?” gumamnya lalu
mengangkat-angkat alis ke arah Aia. Kode.
”Mengerti
apa?” Aia mengernyit. Menduga-duga apa yang Adam maksud. Sementara Adam masih
cengengesan. Siapa pun akan menaruh curiga jika melihat wajahnya sekarang.
“Bang?!” Aia refleks menegakkan posisi duduknya. Terperanjat begitu berhasil
menangkap maksud sang kakak. “Abang ... ?”
Adam
diam. Namun, jelas sekali diamnya justru membenarkan kecurigaan Aia.
“Tahu
diri kali, Bang!”
“Kenapa?!”
Adam protes dengan suara yang refleks meninggi.
“Dengarkan
nasihat Aia ya, Bang,” ucap Aia sok tua. Menatap penuh Adam layaknya orang tua
yang hendak menasihati anaknya. “Perempuan baik itu untuk laki-laki yang baik.”
“Memang
Abang nggak baik?!” tanya Adam.
“Memang
orang yang punya riwayat pernah masuk kantor polisi, masih bisa dibilang baik?”
Aia bertanya balik.
“Halah!
Itu kan SMA. Masa lalu,” Adam mengibaskan tangan.
“Masa
lalu itu mempengaruhi masa depan seseorang, Bang,” sahut Aia bijak. Bahkan
sendirinya saja heran tiba-tiba mengeluarkan kalimat itu.
“Lagian,
itu kan gara-gara cewek sialan yang kasih tahu polisi tempat sembunyi Abang!”
Adam berargumen. Membela diri.
“Tetap
saja Abang salah karena ikut tawuran!” dengan mudah Aia patahkan argumen Adam. Aia
mengerling, teringat sesuatu. Apa Abang tidak ingat siapa Kak Zia? Padahal
....
***
Waktu
berputar mundur beberapa jam. Kembali ke pagi tadi saat Aia di rumah Zia.
Setelah berhasil menenangkan diri, Aia melihat-lihat sebuah bingkai foto
bersama sederet siswa SMA yang menggantung di dinding kamar. Mengernyit. “Lho,
Kak Zia alumni SMA Tri Arga?”
Zia
mengangguk seraya menghampiri Aia. Ikut memandangi foto penuh kenangan itu.
“Abang
juga! Atau jangan-jangan Kak Zia sudah kenal Abang sebelumnya?”
“Iya,
Abangmu kakak kelas Kakak. Lagian, siapa sih yang nggak kenal Kak Adam,” sahut
Zia. Menoleh Aia sejenak. Sejurus kemudian kembali menatap foto. “Abangmu itu
populer, Ai.”
“Populer
buat masalah?” desis Aia, “rekor terakhir, masuk kantor polisi karena ikut
tawuran.”
Zia
tersenyum tipis. Menimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, “Itu Kakak
penyebabnya.”
Aia
tercenung untuk beberapa detik kemudian menatap Aia penuh tanya, apa Kak Zia
bilang? Penyebab? Apa maksudnya?
“Iya.
Abangmu harusnya bisa lolos dari kejaran polisi. Tapi, Kakak malah
memberitahukan tempat persembunyiannya ke polisi. Padahal, Kakak sudah diancam
agar tidak memberitahukannya,” Zia menjawab semua pertanyaan Aia. “Siapa sangka,
ternyata itu Abangmu,” desisnya terbayang saat pertama kali tahu kalau Adam
adalah kakak dari Aia.
Aia
tercengang mendengar pengakuan itu. Ia paksa otaknya memutar memori beberapa
tahun lalu. Adam. Tawuran. Polisi. Bunda. Ah, ya! Aia ingat sekarang. Adam
pernah bilang bahwa ada anak kelas satu yang melaporkannya ke polisi. Jadi,
itu Kak Zia?!
“Kok
bisa, sih?” gumam Aia masih tidak percaya.
“Setelah
itu, Kakak nggak berani muncul di depan Kak Adam. Soalnya, teman-teman bilang dia marah
besar dan mau buat perhitungan sama Kakak,” cerita Zia. Ia ingat betul
bagaimana teman-teman bahkan kakak kelas selalu mengingatkan untuk hati-hati.
Membuat ia yang awalnya biasa saja, akhirnya takut juga. “Untungnya, waktu itu
Abangmu sudah kelas tiga. Jadi, setelah dia lulus kita sudah nggak ada peluang
bertemu lagi di sekolah.”
Ah,
ini benar-benar gila! Sungguh, Aia masih tidak percaya! Sampai-sampai tidak
tahu harus bicara apa. Tapi, mana mungkin Zia berbohong.
“Dan
karena kejadian itu, Kakak merasa bersalah,” ini yang sejak dulu ingin Zia
akui.
“Merasa
bersalah? Sama Abang?” Aia keheranan, untuk apa merasa bersalah?
“Bukan,”
sergah Zia. Ia sama sekali tidak merasa bahwa melaporkan siswa yang tawuran
adalah perbuatan yang harus disesali. Bahkan sudah seharusnya dilakukan, agar
mereka jera. “Tapi Bundamu,” lanjutnya.
“Bunda?”
Aia semakin heran. Apa hubungannya dengan Bunda?
“Satu
sekolahan tahu kalau Bundamu sering bolak-balik ke sekolah karena Kak Adam buat
ulah. Dan hari itu, Kakak sudah membuat Bunda harus menjemput anaknya di kantor
polisi. Itu pasti menambah beban atau bahkan menyakiti hati Bunda, ya, kan?”
Abang
memang benar-benar keterlaluan! Aia menghela napas. Hati
Bunda tersakiti? Sepertinya ya. Sudah terlalu panjang daftar masalah yang Abang
buat selama masa sekolah.
Tapi,
jujur kadang Aia tidak ingin sepenuhnya menyalahkan sang Kakak. Karena
seingatnya itu semua terjadi setelah perpisahan Ayah dan Bunda. Setelah ia dan
Adam tidak lagi mendapat perhatian dan kasih sayang sepenuhnya dari mereka.
Tidakkah ia dan Adam hanya korban dari perceraian orang tua?
***
Waktu
kembali berjalan normal. Aia tersentak oleh satu pertanyaan yang terbersit di
benak. Yaitu, “Terus, kalau Abang ketemu sama cewek itu lagi gimana? Abang mau
ngapain?”
“Abang
mau buat perhitungan lah sama dia!”
“Astaghfirullah!”
Aia melempari Adam dengan bantal. Sebal. Adam refleks menghindar. “Awas masih
berani suka sama Kak Zia! Aia nggak rela Kak Zia disukai sama orang pendendam
kayak Abang!” ancamnya sungguh-sungguh.
“E,
ehm,” Bunda tiba-tiba muncul melintasi ruang tengah menuju dapur.
Membuat
Adam urung membalas kalimat adiknya. Keheningan kaku menyambangi ruang tengah.
Aia menatap punggung Bunda yang sejak pulang sore tadi belum menyapa. Bahkan
Bunda sama sekali tidak menoleh padahal kedua anaknya tengah duduk di sana. Ya
Allah, apa yang harus kulakukan? Bagaimana caranya agar Bunda berhenti
memercayai Tante Nur?
***
30
Januari 2013
Aia
melangkah gontai begitu turun dari bus. Capek, karena harus berdiri dari awal
naik hingga turun. Juga malas, mengingat Pak Kepala Sekolah pasti sudah
menunggu di depan gerbang. Hampir satu bulan sudah hukuman lari keliling
lapangan itu berlaku. Pak Kepala Sekolah benar-benar konsisten. Tidak ada satu
hari pun yang terlewat, kecuali dengan hukuman sebelum masuk kelas.
Di
depan, terlihat Raras dan Azki sudah tiba lebih dulu. Namun, keduanya belum
memulai hukuman. Hanya berdiri mematung di sebelah pos security. Mungkin
sengaja menunggu Aia. Karena sudah dua minggu ini Aia (sengaja) tidak menjalani
hukuman bersama mereka.
Aia
diam di tempat-memandangi punggung kedua sahabatnya. Ia sudah pikirkan
masak-masak semalam. Tersadar betapa naifnya ia dengan keputusannya selama ini. Berharap Bunda akan
mendengarkannya? Nyatanya, hingga saat ini Bunda tetap percaya pada Nur dan
semua pemikiran liberalnya. Bukan menjaga jarak, justru kian terlibat jauh
dalam kesetaraan gender.
Jika
begini jadinya, maka
tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap mempertahankan keputusan bodoh itu.
Jika Bunda tetap pada pendiriannya. Ia pun akan tetap pada pendiriannya dan
mencari jalan lain untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada Bunda.
Aia
sudah belajar sekarang. Jika hidup adalah pilihan, maka sesungguhnya hidup
adalah tentang keputusan. Apapun keputusan yang kalian pilih. Percayalah, tidak
ada keputusan melainkan dengan konsekuensi.
Yang tidak boleh terlupa adalah untuk selalu menyertai keputusan dengan
ketaatan pada-Nya. Sebab, kelak Dia akan memintai pertanggungjawaban atas
keputusan yang kita buat.
Dan
inilah keputusan yang Aia buat. Pertama, Aia akan kembali mengkaji Islam dan
mempertahankan jilbabnya. Kedua, tidak akan lagi menghindar dari Raras dan
Azki. Dan ketiga, ia akan mencari cara untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada
Bunda. Bismillah ....
“Assalamu’alaikum,”
sapa Aia sedikit kikuk.
“Wa’alaikumsalam,”
Raras dan Azki kompak menjawab dengan sedikit terperangah. Suara itu. Suara itu
akhirnya kembali menyapa! Keduanya menoleh.
Aia
tersenyum kikuk sambil memandangi keduanya secara bergantian.
“Ai?!”
seru keduanya dengan wajah girang.
Aia
tersenyum lega sekarang, “Kemarin-kemarin, maaf, ya.”
Raras
tersenyum tulus. Merangkul Aia. “Ya sudah, sekarang kita ke kelas, yuk,” ajak
Raras. Masalah ini sebaiknya dibicarakan di kelas.
“Lho,
hukumannya?” tanya Aia.
“Pak
Kepala Sekolah nggak ada. Jadi, kata Pak Edi kita boleh langsung masuk,” sahut
Azki sumringah.
Aia
masih melongo. “Benar, Pak Edi?” tanyanya pada Pak Edi yang masih asyik minum
kopi tubruk di posnya.
“Iya!
Pak Kepala Sekolah bosan menghukum kalian. Nggak kapok-kapok soalnya!” seloroh
Pak Edi lalu tertawa sambil geleng kepala. Mengacungkan jempol. Salut dengan
kegigihan tiga siswi di hadapnya mempertahankan jilbab.
Aia
menghela napas lega. Amat lega. Senyumnya mengembang. Benarkah begitu? Jika
benar, mungkinkah ini jawaban atas kesabaran menghadapi Kepala Sekolah? Apapun
itu, Aia selalu percaya bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.
***
Sebelumnya
RSS Feed
Twitter
Jumat, Juni 16, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar