Jumat, 16 Juni 2017

Jarum jam saling susul mengitari 12 angka di sekelilingnya. Membenamkan matahari. Mensenjakan langit. Memanggil burung-burung kembali ke sarang seraya bertasbih kepada-Nya lewat sayap yang mengepak. Sebagian penduduk bumi dengan predikat sempurna pun ikut menghentikan aktivitas sejenak. Bertasbih? Sebagian bertasbih kepada-Nya sepenuh hati yang khusyu’. Sebagian lagi justru tengah mengingkari dan berusaha membuat yang lain ingkar kepada-Nya.

Aia duduk termenung di ruang tengah usai membaca al-Matsurat. Merenungi kata-kata Zia pagi tadi. “Dunia ini fana, Ai. Semua yang kita miliki. Orang-orang terdekat. Semua akan pergi. Menghilang. Meninggalkan kita. Kalau kamu menjadikan mereka sebagai cahaya hidup. Maka kamu akan selalu kehilangan. Tapi ... ada satu cahaya di dunia ini yang tidak akan pernah redup.

Allahu nuurus samaawaati wa al-ardh. Allah pemberi cahaya pada langit dan bumi. Cahaya Allah itu seperti sebuah lubang yang tidak tembus. Di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca. Dan kaca itu seakan-akan bintang yang bercahaya seperti mutiara. Yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, Zaitun. Yang bahkan, minyaknya saja hampir-hampir menerangi walau tidak disentuh api. Nuurun ‘alaa nuur. Cahaya di atas cahaya.

Begitu kata Allah di surah an-Nur ayat tiga puluh lima. Cukuplah Allah yang menjadi cahaya hidup kita. Keluarga, sahabat atau apapun itu. Mereka bintang, yang ketika salah satunya menghilang, kita tidak sepenuhnya merasa kehilangan. Karena cahaya hidup yang sesungguhnya tetap menerangi.”

“Tapi Kak, ridho Allah ridho orang tua, kan? Bagaimana Aia akan mendapat ridho Allah kalau Bunda tidak meridhoi Aia?”

“Lalu, apa Allah akan ridho kalau Aia mendapat ridho Bunda dengan melalaikan kewajiban sebagai muslim?” Zia bertanya balik.

Skakmat! Aia tertunduk. Ia tidak pernah berpikir seperti itu. Selama ini, ia hanya berpikir bahwa menjadi anak yang baik untuk Bunda adalah dengan menuruti semua perintah Bunda. Tentang bagaimana caranya agar tidak kehilangan Bunda.

Zia berusaha menangkap wajah tertunduk itu lalu tersenyum, “Sa’ad bin Abi Waqqash.”

“Hm?” Aia menoleh. Siapa nama yang Zia sebutkan barusan?

“Sa’ad bin Abi Waqqash. Salah satu sahabat nabi yang ibunya tidak rela kalau dia masuk Islam. Ibunya bahkan mogok makan agar Sa’ad kembali ke agama nenek moyang mereka. Tapi, itu tidak lantas membuat Sa’ad goyah. Ia tetap memegang teguh agamanya. Di saat yang bersamaan ia juga tetap membujuk sang Ibu dengan lemah lembut agar menghentikan aksinya. Setelah itu turunlah wahyu, surah Luqman ayat 14 dan 15.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu turuti keduanya, dan bergaullah dengan keduanya didunia dengan baik .... Taat pada Allah dan berbuat baik terhadap orang tua bukan kewajiban yang bisa kita pilih, Ai. Tapi harus dilakukan bersamaan.”

Aia menghela napas. Membenamkan tubuhnya di sofa. Kalimat Zia, membuat Aia berpikir keras akan keputusan yang telah ia buat. Apa yang sebenarnya ia cari? Ridho Allah? Atau hanya karena takut kehilangan Bunda?

Hari ini benar-benar melelahkan. Hatinya juga lelah. Tidak tenang sejak tahu Bunda pergi pagi tadi. Dan semakin gelisah begitu melihat Bunda pulang. Apa yang Bunda lakukan seharian bersama Tante Nur? Aia membatin.

“De,” tegur Adam yang muncul dari kamar dan membanting diri ke sofa. Duduk merebah santai di sebelah Aia.

“Hm,” sahut Aia malas tanpa merasa perlu menoleh. Lebih suka melihat lembaran-lembaran buku saku al-Matsurat ketimbang Adam.

“Kemarin Zia menemui Abang di kampus, lho,” aku Adam.

Mendengar kalimatnya membuat Aia menegakkan tubuh dan menoleh cepat. Sedikit tidak percaya. Kak Zia menemui Abang? Masa? Untuk apa?

“Serius …,” Adam membaca pikiran Aia dengan baik rupanya. “Jangan buat orang khawatir gitu dong, De. Kalau pun memang nggak mau ikut kajian lagi, bukan berarti silaturahmi juga putus, kan?”

Aia menghela napas, sedikit menyesal. “Bukan mau memutus silaturahmi, Bang. Ya … Aia malu saja dengan Kak Zia dan teman-teman karena keputusan yang Aia pilih,” sahutnya kemudian mengerling, kenapa Kak Zia tidak cerita kalau menemui Abang? Pikir Aia.

Adam hanya mengangkat alis tanpa berkomentar lagi.

Aia kembali menenggelamkan bahu di sofa seraya memeluk bantal. Baru ingat kalau tadi pagi, usai drama penuh air mata, Zia justru cerita bahwa Adam yang pernah menemuinya.

“Abang menemui Kakak? Kapan? Ngapain?”

Zia mengangguk, “Waktu surat panggilan kedua dari sekolah itu. Kak Adam minta Kakak untuk menguatkanmu.”

Mendengar hal itu, Aia tersadar. Ternyata ia tidak sendiri. Masih ada Adam yang peduli. Sekarang senyumnya semakin mengembang begitu tahu bukan hanya Adam, tapi Zia pun peduli.

“Tapi, Aia sudah bertemu Kak Zia, kok,” aku Aia pelan. Tidak ingin Bunda yang sedang di kamar mendengar.

“Oh, ya? Kapan? Di mana?” Adam membalikkan tubuh menghadap Aia. Wajahnya berubah antusias. “Terus Zia cerita nggak, soal dia menemui Abang?”

Aia mengerutkan dahi. Antusiasme Adam mencurigakan. “Apa sih, Abang?! Orang Aia ke rumah Kak Zia buat minta maaf, curhat sekaligus cari solusi!” jelas Aia dengan suara tertahan. Khawatir Bunda yang tengah di kamar mendengar.

Adam membalikkan tubuhnya ke posisi semula. Memeluk bantal sofa. Menatap langit-langit. Entah apa yang dilihat, namun senyum mengembang di wajahnya, “Hm ... memang harusnya Dede punya kakak seperti Zia ya De, ya?”

“Iya! Kenapa Aia harus punya kakak seperti Abang, ya?!” sungut Aia.

“Yee, bukan itu maksudnya!” sergah Adam. “Dede harus tetap bersyukur dong punya kakak seganteng Abang ini. Masa Dede nggak mengerti ... ?” gumamnya lalu mengangkat-angkat alis ke arah Aia. Kode.

”Mengerti apa?” Aia mengernyit. Menduga-duga apa yang Adam maksud. Sementara Adam masih cengengesan. Siapa pun akan menaruh curiga jika melihat wajahnya sekarang. “Bang?!” Aia refleks menegakkan posisi duduknya. Terperanjat begitu berhasil menangkap maksud sang kakak. “Abang ... ?”

Adam diam. Namun, jelas sekali diamnya justru membenarkan kecurigaan Aia.

“Tahu diri kali, Bang!”

“Kenapa?!” Adam protes dengan suara yang refleks meninggi.

“Dengarkan nasihat Aia ya, Bang,” ucap Aia sok tua. Menatap penuh Adam layaknya orang tua yang hendak menasihati anaknya. “Perempuan baik itu untuk laki-laki yang baik.”

“Memang Abang nggak baik?!” tanya Adam.

“Memang orang yang punya riwayat pernah masuk kantor polisi, masih bisa dibilang baik?” Aia bertanya balik.

“Halah! Itu kan SMA. Masa lalu,” Adam mengibaskan tangan.

“Masa lalu itu mempengaruhi masa depan seseorang, Bang,” sahut Aia bijak. Bahkan sendirinya saja heran tiba-tiba mengeluarkan kalimat itu.

“Lagian, itu kan gara-gara cewek sialan yang kasih tahu polisi tempat sembunyi Abang!” Adam berargumen. Membela diri.

“Tetap saja Abang salah karena ikut tawuran!” dengan mudah Aia patahkan argumen Adam. Aia mengerling, teringat sesuatu. Apa Abang tidak ingat siapa Kak Zia? Padahal ....

***

Waktu berputar mundur beberapa jam. Kembali ke pagi tadi saat Aia di rumah Zia. Setelah berhasil menenangkan diri, Aia melihat-lihat sebuah bingkai foto bersama sederet siswa SMA yang menggantung di dinding kamar. Mengernyit. “Lho, Kak Zia alumni SMA Tri Arga?”

Zia mengangguk seraya menghampiri Aia. Ikut memandangi foto penuh kenangan itu.

“Abang juga! Atau jangan-jangan Kak Zia sudah kenal Abang sebelumnya?”

“Iya, Abangmu kakak kelas Kakak. Lagian, siapa sih yang nggak kenal Kak Adam,” sahut Zia. Menoleh Aia sejenak. Sejurus kemudian kembali menatap foto. “Abangmu itu populer, Ai.”

“Populer buat masalah?” desis Aia, “rekor terakhir, masuk kantor polisi karena ikut tawuran.”

Zia tersenyum tipis. Menimbang sejenak sebelum akhirnya berkata, “Itu Kakak penyebabnya.”

Aia tercenung untuk beberapa detik kemudian menatap Aia penuh tanya, apa Kak Zia bilang? Penyebab? Apa maksudnya?

“Iya. Abangmu harusnya bisa lolos dari kejaran polisi. Tapi, Kakak malah memberitahukan tempat persembunyiannya ke polisi. Padahal, Kakak sudah diancam agar tidak memberitahukannya,” Zia menjawab semua pertanyaan Aia. “Siapa sangka, ternyata itu Abangmu,” desisnya terbayang saat pertama kali tahu kalau Adam adalah kakak dari Aia.

Aia tercengang mendengar pengakuan itu. Ia paksa otaknya memutar memori beberapa tahun lalu. Adam. Tawuran. Polisi. Bunda. Ah, ya! Aia ingat sekarang. Adam pernah bilang bahwa ada anak kelas satu yang melaporkannya ke polisi. Jadi, itu Kak Zia?!

“Kok bisa, sih?” gumam Aia masih tidak percaya.

“Setelah itu, Kakak nggak berani muncul di depan Kak Adam. Soalnya, teman-teman bilang dia marah besar dan mau buat perhitungan sama Kakak,” cerita Zia. Ia ingat betul bagaimana teman-teman bahkan kakak kelas selalu mengingatkan untuk hati-hati. Membuat ia yang awalnya biasa saja, akhirnya takut juga. “Untungnya, waktu itu Abangmu sudah kelas tiga. Jadi, setelah dia lulus kita sudah nggak ada peluang bertemu lagi di sekolah.”

Ah, ini benar-benar gila! Sungguh, Aia masih tidak percaya! Sampai-sampai tidak tahu harus bicara apa. Tapi, mana mungkin Zia berbohong.

“Dan karena kejadian itu, Kakak merasa bersalah,” ini yang sejak dulu ingin Zia akui.

“Merasa bersalah? Sama Abang?” Aia keheranan, untuk apa merasa bersalah?

“Bukan,” sergah Zia. Ia sama sekali tidak merasa bahwa melaporkan siswa yang tawuran adalah perbuatan yang harus disesali. Bahkan sudah seharusnya dilakukan, agar mereka jera. “Tapi Bundamu,” lanjutnya.

“Bunda?” Aia semakin heran. Apa hubungannya dengan Bunda?

“Satu sekolahan tahu kalau Bundamu sering bolak-balik ke sekolah karena Kak Adam buat ulah. Dan hari itu, Kakak sudah membuat Bunda harus menjemput anaknya di kantor polisi. Itu pasti menambah beban atau bahkan menyakiti hati Bunda, ya, kan?”

Abang memang benar-benar keterlaluan! Aia menghela napas. Hati Bunda tersakiti? Sepertinya ya. Sudah terlalu panjang daftar masalah yang Abang buat selama masa sekolah.

Tapi, jujur kadang Aia tidak ingin sepenuhnya menyalahkan sang Kakak. Karena seingatnya itu semua terjadi setelah perpisahan Ayah dan Bunda. Setelah ia dan Adam tidak lagi mendapat perhatian dan kasih sayang sepenuhnya dari mereka. Tidakkah ia dan Adam hanya korban dari perceraian orang tua?

***

Waktu kembali berjalan normal. Aia tersentak oleh satu pertanyaan yang terbersit di benak. Yaitu, “Terus, kalau Abang ketemu sama cewek itu lagi gimana? Abang mau ngapain?”

“Abang mau buat perhitungan lah sama dia!”

“Astaghfirullah!” Aia melempari Adam dengan bantal. Sebal. Adam refleks menghindar. “Awas masih berani suka sama Kak Zia! Aia nggak rela Kak Zia disukai sama orang pendendam kayak Abang!” ancamnya sungguh-sungguh.

“E, ehm,” Bunda tiba-tiba muncul melintasi ruang tengah menuju dapur.

Membuat Adam urung membalas kalimat adiknya. Keheningan kaku menyambangi ruang tengah. Aia menatap punggung Bunda yang sejak pulang sore tadi belum menyapa. Bahkan Bunda sama sekali tidak menoleh padahal kedua anaknya tengah duduk di sana. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Bagaimana caranya agar Bunda berhenti memercayai Tante Nur?

***      

30 Januari 2013

Aia melangkah gontai begitu turun dari bus. Capek, karena harus berdiri dari awal naik hingga turun. Juga malas, mengingat Pak Kepala Sekolah pasti sudah menunggu di depan gerbang. Hampir satu bulan sudah hukuman lari keliling lapangan itu berlaku. Pak Kepala Sekolah benar-benar konsisten. Tidak ada satu hari pun yang terlewat, kecuali dengan hukuman sebelum masuk kelas.

Di depan, terlihat Raras dan Azki sudah tiba lebih dulu. Namun, keduanya belum memulai hukuman. Hanya berdiri mematung di sebelah pos security. Mungkin sengaja menunggu Aia. Karena sudah dua minggu ini Aia (sengaja) tidak menjalani hukuman bersama mereka.

Aia diam di tempat-memandangi punggung kedua sahabatnya. Ia sudah pikirkan masak-masak semalam. Tersadar betapa naifnya ia dengan keputusannya selama ini. Berharap Bunda akan mendengarkannya? Nyatanya, hingga saat ini Bunda tetap percaya pada Nur dan semua pemikiran liberalnya. Bukan menjaga jarak, justru kian terlibat jauh dalam kesetaraan gender.

Jika begini jadinya, maka tidak ada alasan lagi baginya untuk tetap mempertahankan keputusan bodoh itu. Jika Bunda tetap pada pendiriannya. Ia pun akan tetap pada pendiriannya dan mencari jalan lain untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada Bunda.

Aia sudah belajar sekarang. Jika hidup adalah pilihan, maka sesungguhnya hidup adalah tentang keputusan. Apapun keputusan yang kalian pilih. Percayalah, tidak ada keputusan melainkan dengan konsekuensi. Yang tidak boleh terlupa adalah untuk selalu menyertai keputusan dengan ketaatan pada-Nya. Sebab, kelak Dia akan memintai pertanggungjawaban atas keputusan yang kita buat.

Dan inilah keputusan yang Aia buat. Pertama, Aia akan kembali mengkaji Islam dan mempertahankan jilbabnya. Kedua, tidak akan lagi menghindar dari Raras dan Azki. Dan ketiga, ia akan mencari cara untuk memperlihatkan kekeliruan Nur pada Bunda. Bismillah ....

“Assalamu’alaikum,” sapa Aia sedikit kikuk.

“Wa’alaikumsalam,” Raras dan Azki kompak menjawab dengan sedikit terperangah. Suara itu. Suara itu akhirnya kembali menyapa! Keduanya menoleh.

Aia tersenyum kikuk sambil memandangi keduanya secara bergantian.

“Ai?!” seru keduanya dengan wajah girang.

Aia tersenyum lega sekarang, “Kemarin-kemarin, maaf, ya.”

Raras tersenyum tulus. Merangkul Aia. “Ya sudah, sekarang kita ke kelas, yuk,” ajak Raras. Masalah ini sebaiknya dibicarakan di kelas.

“Lho, hukumannya?” tanya Aia.

“Pak Kepala Sekolah nggak ada. Jadi, kata Pak Edi kita boleh langsung masuk,” sahut Azki sumringah.

Aia masih melongo. “Benar, Pak Edi?” tanyanya pada Pak Edi yang masih asyik minum kopi tubruk di posnya.

“Iya! Pak Kepala Sekolah bosan menghukum kalian. Nggak kapok-kapok soalnya!” seloroh Pak Edi lalu tertawa sambil geleng kepala. Mengacungkan jempol. Salut dengan kegigihan tiga siswi di hadapnya mempertahankan jilbab.

Aia menghela napas lega. Amat lega. Senyumnya mengembang. Benarkah begitu? Jika benar, mungkinkah ini jawaban atas kesabaran menghadapi Kepala Sekolah? Apapun itu, Aia selalu percaya bahwa Allah bersama orang-orang yang sabar.


***
Sebelumnya

0 komentar:

Posting Komentar