Jumat, 13 Januari 2017

Sebelum memutuskan bergabung dengan rohis di sekolah, Aia sempat meminta pendapat Bunda semalam. Semenjak Bunda menjadi super sibuk dengan pekerjaannya, Aia sudah tidak terlalu sering bicara berdua, curhat. Apalagi setelah Aia menemukan dunianya sendiri bersama teman-teman. Tapi, kali ini Aia sengaja menunggu Bunda yang pulang larut karena harus lembur. Ah, makin hari Bunda makin cinta dengan pekerjaannya.

“Bunda, Aia pengin deh gabung sama temen-temen GARIS, rohis di sekolah. Habis, Aia lebih nyaman sama mereka,” aku Aia sambil membuatkan teh hangat untuk Bunda. Bunda mendengarkan sambil duduk di ruang makan yang bersebelahan dengan dapur. “Aia pikir ya, mereka itu anak-anak kuper yang nggak asyik, nggak bisa gaul. Ternyata salah! Aia malah merasa lebih klik gaul sama mereka ketimbang sama Feby!”

Ya sudah, gabung saja. Bunda setuju. Anak-anak rohis itu kan baik, mengerti agama, Bunda nggak khawatir jadinya dengan pergaulanmu. Jangan seperti Abang yang bikin Bunda khawatir dengan pergaulannya waktu sekolah.”

Aia nyengir ingat Bunda yang harus selalu bolak-balik ke sekolah Adam. Untungnya setelah kuliah Adam tidak melakukannya lagi. “Ini tehnya, Bun,” Aia menyodorkan secangkir teh.

Bunda langsung menerima dan menyeruput teh buatan putrinya.

Aia melingkarkan tangan ke leher Bunda, meletakkan dagu di bahunya. “Tapi, Bunda kalau Aia gabung dengan mereka, itu artinya Aia juga harus kerudungan seperti mereka,” keluh Aia manja. Hm, inilah yang membuat Aia gusar. Berkerudung?

“Ya iyalah, masa anak rohis auratnya kemana-mana,” sahut Bunda enteng.

“Tapi, Aia belum siap kalau harus pakai kerudung Bunda .... Lagian, Aia malu juga kalau tiba-tiba berubah penampilan. Apa kata orang-orang nanti? Pasti Abang juga ketawain, belum lagi temen-temen di kelas!”

“Sini,” Bunda menarik tangan Aia, menyuruhnya duduk. Aia menurut. “Dulu, Bunda juga sama seperti Aia. Waktu disuruh berkerudung sama Kakek-Nenek, Bunda gak mau. Bilangnya belum siap. Padahal, Bunda malu! Takut diketawain, apa kata orang-orang nanti kalau Bunda pakai kerudung? Tapi, saat belajar di pesantren akhirnya Bunda mengerti menutup aurat itu tidak menunggu kita siap atau tidak. Karena menutup aurat itu kewajiban yang sudah menjadi konsekuensi kita sebagai muslimah. Lagipula, kerudung itu kan juga simbol kalau kita orang Islam. Masa kita malu menunjukan bahwa kita orang Islam?”

Aia takzim mendengarkan. Sempat ingin protes, tapi Bunda tidak memberinya kesempatan. Bunda membelai lembut pipi Aia dengan kedua tangannya. “Dengarkan Bunda, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia. Kita nggak akan pernah maju jika terus mendengarkan kata orang. Bahkan, kadang kita sebenarnya terjebak dengan ketakutan yang kita buat-buat sendiri, padahal itu belum tentu terjadi. Takut ditertawakan teman-teman, dicibir, tapi itu belum tentu terjadi, kan? Mana tahu kalau ternyata mereka justru mensupport pilihan Aia. Jadi, cukup yakinkan hati, berdo’a agar Allah menguatkan Aia menghadapi semua. Bismillah, Insya Allah Aia bisa.”

Bunda membelai rambut Aia. Tersenyum, memberi dukungan. Sesaat tersadar, Ya Allah, harusnya sedari dulu aku pahamkan Aia tentang ini. Kesibukkannya membuat ia bahkan lupa mengingatkan Aia tentang kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dan sesaat perasaan itu muncul lagi, perasaan bahwa ia gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.

Aia beranjak memeluk Bunda, pelukan pertamanya beberapa bulan ini. “Menurut Bunda, apa Aia sudah pantas, sudah cukup baik untuk memakai kerudung?”

“Aia sudah baligh, jadi bukan cuma pantas, tapi memang sudah waktunya. Jangan menunggu kita baik, kapan kita menutup aurat kalau harus menunggu kita baik. Pakai kerudungnya, sambil terus memperbaiki diri.”

“Jadi, Bunda setuju Aia masuk rohis?” tanya Aia lagi. Sebenarnya ia yang masih bimbang.
“Iya ...,” sahut Bunda pasti. Meyakinkan putrinya.

Baiklah. Itu sudah cukup memantapkan hati Aia untuk gabung bersama rohis.

***

Aia sudah mempersiapkan segalanya. Diantar Bi Tiah, Aia membeli kemeja putih lengan panjang, rok abu-abu rempel yang juga panjang lengkap dengan kerudung putihnya. Dan yang paling penting Aia sudah menyiapkan mental, kalau-kalau akan terjadi sesuatu yang Aia yang tidak diinginkan –tapi sudah dibayangkannya-. Sudah menyiapkan telinga yang tebal, alias siap mendengarkan cibiran, cemoohan atau apalah itu. Bismillah ….

Hingga tiba saatnya ....

Kepala Aia muncul dari balik pintu kamar. Melongok kanan-kiri sebelum benar-benar keluar. Setelah merasa aman Aia segera melangkah cepat ke meja makan. Rasanya ... malu! Malu sekali!

Satu menit. Tiga menit. Lima menit. Aia menghela napas lega. Tidak seekstrem yang Aia bayangkan ternyata. Memang, Adam sempat menertawai. Namun, sesaat kemudian memberi dukungan, “Tapi nggak apa-apa De, Abang suka kok sama cewek yang berkerudung. Itu menandakan dia cewek baik-baik!”

Aia tersenyum lebar mendengarnya. Surprise sekali mendengar Adam malah memberinya dukungan. Ditambah Bi Tiah juga bilang, “Iya, benar yang dibilang Bang Adam. Lagian, Dek Aia tambah cantik kalo pakai kerudung. Kenapa nggak dari kemarin-kemarin saja pakai kerudungnya Dek?”

Adam tertawa melihat wajah adiknya bersemu, “Segitu aja geer! Ketahuan selama ini belum pernah ada yang muji!”

Seketika raut wajah Aia berubah. Cemberut.

***

Wajah cemberut itu kembali terpasang saat Feby, Rindy dan Lita menghampirinya di kelas. Berdiri mengelilingi Aia yang tengah duduk. “Duh, Aia! Baru kita tinggalin tiga bulanan aja lu udah berubah begini. Gimana kalau setahun apa lagi selamanya, jangan-jangan jadi teroris juga nih anak!” cibir Feby .

Panasnya hati Aia mendengar itu semua. Mana Raras dan Azki belum datang pula. Jadilah Aia sendirian menghadapi mereka.

“Tahu nih Aia, kenapa sih lu, Ai?! Kok jadi berubah begini? Hati-hati lho, nanti ikutan kuper kayak mereka, kerjaannya ngajiii aja saban hari!” timpal Lita.

Aia menarik napas panjang, menahan emosi. Mengingat nasihat Bunda, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia. “Terserah kalian mau bilang apa, yang jelas ini adalah pilihan gue sekarang. Gue mau jalanin kewajiban gue sebagai orang Islam, oke?”

“Alah! Sok alim lu, Ai,” sela Feby santai sambil meletakkan tasnya di meja.

“Bukan sok alim, Feb. Gue cuma,” belum selesai Aia bicara, Feby cs sudah pergi meninggalkannya. “Ih! Bikin emosi aja pagi-pagi!” gerutu Aia pelan sambil menghentakkan kakinya ke lantai. Kesal. Sebal. Benci. Aargh!!

***

Tinggalkan Feby cs yang membuatnya kesal. Nyatanya, respons orang-orang di sekitarnya tidak melulu seperti mereka. Tetap ada orang-orang yang menghargai bahkan mendukung keputusannya. Seperti Mang Jo misalnya, “Masya Allah, sugan teh saha! Neng Aia?! Cantik pisan euy kerudungan. Lain dari kemarin atuh!”

“Terimakasih, Mang Jo ...,” ujar Aia lalu tersenyum. Ia tidak berterimakasih lantaran Mang Jo memujinya cantik. “Cantik mah sudah turunan, Mang. He ...,” guraunya.

***

Raras dan Azki benar. Aia tidak salah ambil keputusan. Semakin lama bergabung dengan teman-teman GARIS, Aia semakin nyaman. Kak Zia, mahasiswi yang menjadi salah satu mentor rohis di sekolah. Dialah yang memberi banyak pelajaran pada Aia. Membuat Aia mengenal agamanya, Islam. Bahkan membuat Aia mengenal siapa dirinya yang sebenarnya.

“Ya, itu dia. Makanya kita harus kenal dulu siapa diri kita sebenarnya?” kata Kak Zia menjawab sebuah pertanyaan dari salah satu peserta kajian.

“Lho, maksudnya mengenal gimana, Kak? Nggak mungkin dong, kita nggak kenal diri sendiri?” merasa menerima kalimat yang ganjil, Aia langsung menyela bertanya.

Kak Zia tersenyum, “Kalau yang kamu maksud mengenal itu hanya sebatas identitas diri, nama siapa, tempat tanggal lahir kapan, orang tuanya siapa, rumah di mana, sekolah di mana, kelas berapa? Ya jelas kita sudah tahu itu. Maksud Kakak, kita mengenal hakikatnya diri kita ini siapa?”

Aia mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang dimaksud Zia. “Terus, gimana caranya kita mengenal hakikat diri kita ini siapa, Kak?”

“Caranya gampang, Aia dan teman-teman semua tinggal jawab tiga pertanyaan dari Kakak. Pertama, dari mana kalian berasal? Kedua, untuk apa kalian hidup? Ketiga, mau kemana kalian setelah kita meninggalkan dunia ini?”

Aia ingat sekali pertanyaan itu. Tiga pertanyaan simple yang ternyata tidak bisa dijawab dengan simple. Harus mendalami, berpikir. Tidak hanya berpikir, untuk menjawabnya kita juga harus membuka wasiat yang ditinggalkan Rasul untuk umatnya, Al-Qur’an dan sunah.

Kata Kak Zia, seandainya kita menjawab bahwa kita berasal dari Allah. Tapi tujuan hidup kita hanya untuk melakukan semua yang kita mau. Mengatakan bahwa Allah hanya ada saat kita shalat, puasa atau saat kita di masjid. Sedang dalam kehidupan kita tidak mau menjalankan perintah Allah. Tidak mau menutup aurat. Masih senang berghibah. Senang melakukan riba. Korupsi. Tidak mau diatur oleh Allah. Dan menjawab pertanyaan terakhir dengan mengatakan, “akhirat itu urusan nanti!”. Itu namanya kita sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan. Mengakui Allah sebagai pencipta kita, tapi melarang-Nya mengatur kehidupan kita. Tidakkah kita menjadi makhluk yang amat sombong?

Seandainya kita menjawab bahwa kita berasal dari pertemuan dua materi (sel telur dan sperma). Dan tujuan hidup kita hanya untuk mencari materi, kesenangan yang sebenarnya hanya semu belaka. Lalu berkata bahwa setelah hidup di dunia kita akan kembali menjadi materi (tanah). Dari materi kembali ke materi. Itu namanya kita sama seperti para sosialis? Tidak mau diatur oleh Sang Pencipta. Bahkan tidak mempercayai keberadaan-Nya. Tidakkah kita menjadi makhluk yang teramat sombong dan tidak tahu diri?

Kak Zia mulai menjelaskan, “Dari mana kita berasal? Mungkin sebagian kita akan menjawab bahwa kita berasal dari orang tua. Orang tua kita berasal dari Kakek-Nenek kita. Dan seterusnya hingga berujung pada manusia pertama, Nabi Adam. Lalu, siapa yang menciptakan Adam? Jawabnya sudah pasti, Allah. Maka pada hakikatnya kita berasal dari Allah SWT. Allah yang menciptakan kita. Bukan orang tua apa lagi materi. Itu semua hanya perantara.

Untuk apa kita hidup di dunia ini? Untuk bersenang-senang? Mencari kekayaan? Kekuasaan? Dan masih banyak lagi. Ya, kalau pertanyaan ini dilemparkan pada manusia pasti akan beragam jawabnya.”

Kak Zia benar. Bahkan Aia saja menyebutkan banyak hal yang ia anggap sebagai tujuan hidupnya. Mau membahagiakan orang tua, menggapai cita-cita, cari uang yang banyak buat keliling dunia dan lain-lain. Tapi, Kak Zia meluruskan. “Karena Allah yang menciptakan kita, maka sudah sepatutnya kita bertanya pada-Nya. Jauh lebih baik, kan? Bahkan itu yang terbaik bagi kita. Kenapa? Karena Allah sudah pasti tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Dan Allah menjawab dalam surah Al-Hujurat ayat 56, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”. Ya, hidup kita ini untuk beribadah pada-Nya.

Terakhir, akan kemana kita setelah kehidupan di dunia? Kita juga harus tanya pada Allah. Dan Allah mengabarkan pada kita melalui firman-Nya dalam surah Al-Mudatsir ayat 38, “Setiap manusia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah dikerjakan.” Kita akan menghadap pada Allah. Mempertanggungjawabkan semua yang telah kita lakukan di dunia. Pada akhirnya akan membawa kita pada salah satu diantara dua final destination. Surga? Neraka? Semua tergantung amal kita.

Karena kita sudah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah. Dan hidup pun untuk beribadah pada Allah. Maka nggak ada pilihan lain, kita harus hidup sesuai dengan aturan yang telah Allah tetapkan. Karena kita akan mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak.”

Tiba-tiba teringat lagi pertanyaannya dulu saat ia sedang berselisih dengan Feby cs, kalian tuh hidup mau ngapain, sih? Sekarang Aia bisa tersenyum, ia sudah tahu jawabannya. Ya, sekarang Aia mengerti. Siapa dirinya? Ia adalah makhluk yang diciptakan oleh Sang Pencipta, yakni Allah Swt. Yang hidup untuk beribadah kepada-Nya. Kelak akan menghadap-Nya. Mempertanggungjawabkan semua yang telah ia lakukan di dunia.

GARIS adalah cahayanya sekarang. Ya. Aia yakin ia tidak salah lagi seperti saat menganggap Feby, Rindi dan Lita sebagai cahayanya. Kali ini cahayanya tidak akan meredup. Ia tidak akan kehilangan GARIS seperti ia kehilangan keluarganya yang utuh atau sahabat yang menjauh.

***

Sore yang cerah. Semilir angin memainkan ujung kerudung Aia yang berjalan melewati pintu depan. Hendak keluar. Di dalam sepi, tidak ada siapa-siapa kecuali dia. Keluar rumah adalah cara efektif menghilangkan bosan.

“Bi, Bi Tiah, sekarang usianya berapa tahun?” tanya Aia seraya duduk di teras. Menonton Bi Tiah yang sedang memberi makan ikan-ikan di kolam. Karena tidak ada Bunda ataupun Adam. Jadi, teman ngobrol Aia, ya Bi Tiah. Bi Tiah kan, memang selalu jadi badalnya Bunda dalam banyak hal. Beruntung Bi Tiah selalu siap menjadi pendengar setia saat Aia bercerita. Aia menghela napas, apakah Bunda tidak tahu betapa kehadirannya tetap tak tergantikan dengan siapa pun dan dengan apa pun?

“Lima puluh. Kenapa emangnya Dek?” jawab Bi Tiah meski sedikit heran dengan pertanyaan Aia.
Aia menggeleng, “Berarti Bi Tiah udah jadi orang Islam selama 50 tahun?”

“Ya iya Dek Aia, Bibi udah lama jadi orang Islam. Orang dari lahir udah jadi orang Islam,” sahut Bi Tiah.

“Terus, selama ini menurut Bibi, Islam itu apa?”

“Eh, Islam itu ....” Bi Tiah bingung sendiri. Seumur-umur jadi orang Islam, baru kali ini ada yang bertanya seperti itu padanya.

“Katanya udah lama jadi orang Islam, mana buktinya?”

“Yah, Dek Aia gimana, Islam itu ya agama,” sahut Bi Tiah yang tersenyum bangga karena berhasil menemukan jawaban yang tepat –menurutnya-.

“Anak kecil juga tahu Islam itu agama, Bi,” celetuk Aia seraya meluruskan kaki. Sudah ia duga akan begitu jawabnya. Sama dengan jawabannya waktu itu.

Bi Tiah menyudahi memberi makan ikan. Ikut duduk termenung di sebelah Aia. Wajahnya sih, terlihat seperti sedang berpikir. Entah apa yang sedang dipikirkan. Aia menegurnya, “Kenapa, Bi?!”
“Eh, oh, eng, nggak kenapa-kenapa,” Bi Tiah terkejut. “Bibi baru kepikiran, sudah lima puluh tahun jadi orang Islam, tapi Bibi nggak pernah tahu, apa itu Islam?”

Aia tersenyum tipis. Dalam hati bersyukur bahwa ia mengenal Islam di usianya yang masih muda. “Aia juga baru dapat dari Kak Zia Bi, mentor di rohis. Awalnya Aia juga jawab kalo Islam itu agama. Tapi ternyata bukan sekedar itu, Bi. Ya memang, Islam itu agama.

Tapi, Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril untuk seluruh umat manusia, untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia juga hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Gitu, Bi! Udah gitu Bi, Islam juga turun sebagai penyempurna agama sebelumnya,” jelas Aia sambil iseng memainkan ujung-ujung kerudungnya.

“Oh, gitu ya, Dek?” Bi Tiah nyengir, panjang ya ternyata pengertian agama itu? Aia mengangguk. “Emang ya, Dek, kalo kita nggak belajar, nggak cari tahu ilmunya, sampai kapan pun kita nggak tahu.”

“Iya, Bi. Aia jadi makin bersyukur bisa gabung sama temen-temen rohis,” ujar Aia seraya tersenyum tipis mengingat Raras, Azki, Kak Zia, dan teman-teman lainnya di rohis. Hatinya berbisik, segala puji hanya bagi-Mu, Rabb ....

“Oh iya, tadi Dek Aia bilang Allah turunin Islam buat apa tadi? Mengatur hubungan ...,” Bi Tiah sedikit lupa.

“Hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan dirinya sendiri,” Aia membantu mengingatkan.

“Nah, iya, apa tuh maksudnya, Dek? Bi Tiah belum paham. Maklum suka lola, he ....”

“Bibi, apaan sih!” Aia tertawa kecil mendengarnya. Kadang, Bi Tiah memang suka sok muda. “Kalau hubungan manusia dengan Allah, ya hubungan kita dengan pencipta kita, dengan Allah langsung. Contohnya lewat shalat, puasa, zakat, haji. Kalau hubungan manusia dengan sesama manusia itu maksudnya Allah mengatur interaksi kita dengan sesama. Kita ini kan, makhluk sosial, yang butuh orang lain, misalnya dalam urusan jual-beli, belajar-mengajar, pergaulan, ekonomi sampai urusan pemerintahan, Islam punya aturannya Bi.”

Bi Tiah manggut-manggut mulai paham, “Oh, maksudnya kayak kalo kita jual-beli nggak boleh curang begitu, ya? Ngurang-ngurangin timbangan.”

“Iya, benar tuh, Bi! Sekarang kan, banyak orang yang menghalalkan segala cara buat dapat uang,” Aia membenarkan. “Atau kalau dalam pergaulan Islam, laki-laki dan perempuan nggak boleh campur baur, kecuali dalam muamalah. Kayak jual-beli tadi, atau belajar.”

“Oh, begitu .... Terus maksudnya hubungan manusia sama dirinya sendiri, maksudnya gimana? Bi Tiah paling nggak ngerti nih maksudnya apa?”

“Itu maksudnya Allah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan diri kita. Contohnya kita makan-minum, harus yang halal. Akhlak kita harus baik. Menutup aurat. Yang kayak gitu lho, Bi. Jadi, Islam punya semua aturan kehidupan kita. Istilahnya nih, dari kita bangung tidur sampe tidur lagi, ada aturannya.”

“Iya, ya. Lengkap, ya?” Bi Tiah manggut-manggut lagi. Ya Allah, ternyata banyak banget yang baru saya tahu tentang agama saya sendiri. “Coba Dek Aia dari dulu masuk rohisnya! Bibi juga udah dari dulu tahunya.”

“Do’ain ya Bi, mudah-mudahan Aia tetap istiqomah belajarnya. Jadi, bisa sering sharing ke Bibi. ”
“Saring? Apanya yang disaring ke Bibi, Dek?”

Aia menepuk dahi, lupa peraturan bicara dengan Bi Tiah. Jangan gunakan bahasa planet tetangga. Sinyal pembicaraan langsung terganggu. “Sharing Bi, berbagi maksudnya, bukan saring!

Bi Tiah ber-o ria.

Hei, ternyata asyik ya berbagi itu. Senang sekali rasanya ketika Bi Tiah paham apa yang ia sampaikan. Seperti ini rupanya yang sering dibicarakan teman-teman GARIS. Dakwah.

***
Bagian 2 - Garis [Part III]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar