Sebelum memutuskan bergabung dengan rohis di
sekolah, Aia sempat meminta pendapat Bunda semalam. Semenjak Bunda menjadi
super sibuk dengan pekerjaannya, Aia sudah tidak terlalu sering bicara berdua, curhat. Apalagi setelah Aia menemukan dunianya
sendiri bersama teman-teman. Tapi, kali ini Aia sengaja menunggu Bunda yang
pulang larut karena harus lembur. Ah, makin
hari Bunda makin cinta dengan pekerjaannya.
“Bunda, Aia pengin deh gabung sama temen-temen GARIS,
rohis di sekolah. Habis, Aia lebih nyaman sama mereka,” aku Aia sambil
membuatkan teh hangat untuk Bunda. Bunda mendengarkan sambil duduk di ruang
makan yang bersebelahan dengan dapur. “Aia pikir ya, mereka itu anak-anak kuper
yang nggak asyik, nggak bisa gaul. Ternyata salah! Aia malah merasa lebih klik gaul sama mereka ketimbang sama Feby!”
“Ya sudah, gabung saja.
Bunda setuju. Anak-anak rohis itu kan baik, mengerti agama, Bunda nggak
khawatir jadinya dengan pergaulanmu. Jangan seperti Abang yang bikin Bunda khawatir dengan pergaulannya waktu sekolah.”
Aia nyengir ingat Bunda yang harus selalu
bolak-balik ke sekolah Adam. Untungnya setelah kuliah Adam tidak melakukannya
lagi. “Ini tehnya, Bun,” Aia menyodorkan secangkir teh.
Bunda langsung menerima dan menyeruput teh buatan
putrinya.
Aia melingkarkan tangan ke leher Bunda, meletakkan dagu di bahunya. “Tapi, Bunda … kalau Aia gabung dengan mereka, itu artinya Aia juga
harus kerudungan seperti mereka,” keluh Aia manja. Hm, inilah yang membuat Aia
gusar. Berkerudung?
“Ya iyalah, masa anak rohis auratnya kemana-mana,”
sahut Bunda enteng.
“Tapi, Aia
belum siap kalau harus pakai kerudung Bunda .... Lagian, Aia malu juga kalau
tiba-tiba berubah penampilan. Apa kata orang-orang nanti? Pasti Abang juga ketawain, belum lagi temen-temen di kelas!”
“Sini,” Bunda menarik tangan Aia, menyuruhnya duduk. Aia menurut. “Dulu, Bunda juga sama seperti
Aia. Waktu disuruh berkerudung sama Kakek-Nenek,
Bunda gak mau. Bilangnya belum siap. Padahal, Bunda malu! Takut diketawain, apa kata orang-orang nanti kalau
Bunda pakai kerudung? Tapi, saat belajar di pesantren
akhirnya Bunda mengerti menutup aurat itu tidak menunggu kita siap atau tidak.
Karena menutup aurat itu kewajiban yang sudah menjadi
konsekuensi kita sebagai muslimah. Lagipula, kerudung itu kan juga simbol kalau
kita orang Islam. Masa kita malu menunjukan bahwa kita orang Islam?”
Aia takzim mendengarkan. Sempat ingin protes, tapi
Bunda tidak memberinya kesempatan. Bunda membelai lembut pipi Aia dengan kedua
tangannya. “Dengarkan Bunda, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan
kata orang tentang Aia. Kita nggak akan pernah
maju jika terus mendengarkan kata orang. Bahkan, kadang kita sebenarnya terjebak
dengan ketakutan yang kita buat-buat sendiri, padahal itu belum tentu terjadi.
Takut ditertawakan teman-teman, dicibir, tapi itu belum tentu terjadi, kan?
Mana tahu kalau ternyata mereka justru mensupport pilihan Aia. Jadi, cukup yakinkan hati, berdo’a agar Allah menguatkan
Aia menghadapi semua. Bismillah, Insya Allah Aia bisa.”
Bunda membelai rambut Aia. Tersenyum, memberi
dukungan. Sesaat tersadar, Ya Allah, harusnya sedari dulu aku pahamkan Aia
tentang ini. Kesibukkannya membuat ia bahkan lupa mengingatkan Aia tentang
kewajibannya sebagai seorang muslimah. Dan sesaat perasaan itu muncul lagi,
perasaan bahwa ia gagal menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya.
Aia beranjak memeluk Bunda, pelukan pertamanya beberapa
bulan ini. “Menurut Bunda, apa Aia sudah pantas, sudah cukup baik untuk memakai
kerudung?”
“Aia sudah baligh, jadi bukan cuma pantas, tapi
memang sudah waktunya. Jangan menunggu kita baik, kapan kita menutup aurat
kalau harus menunggu kita baik. Pakai kerudungnya, sambil terus memperbaiki
diri.”
“Jadi, Bunda setuju Aia masuk rohis?” tanya Aia
lagi. Sebenarnya ia yang masih bimbang.
“Iya ...,” sahut Bunda pasti. Meyakinkan putrinya.
Baiklah. Itu sudah cukup memantapkan hati Aia untuk
gabung bersama rohis.
***
Aia sudah mempersiapkan segalanya. Diantar Bi Tiah, Aia membeli
kemeja putih lengan
panjang, rok abu-abu rempel yang juga panjang lengkap dengan kerudung putihnya.
Dan yang paling penting Aia sudah menyiapkan mental, kalau-kalau akan terjadi
sesuatu yang Aia yang tidak diinginkan –tapi sudah dibayangkannya-. Sudah
menyiapkan telinga yang tebal, alias siap mendengarkan cibiran, cemoohan atau
apalah itu. Bismillah
….
Hingga tiba saatnya ....
Kepala Aia muncul dari balik pintu kamar. Melongok kanan-kiri
sebelum benar-benar keluar. Setelah merasa aman Aia segera melangkah cepat ke
meja makan. Rasanya ... malu! Malu sekali!
Satu menit. Tiga menit. Lima menit. Aia menghela
napas lega. Tidak seekstrem yang Aia bayangkan
ternyata. Memang, Adam sempat menertawai. Namun, sesaat
kemudian memberi dukungan, “Tapi nggak apa-apa De, Abang suka kok sama cewek
yang berkerudung. Itu menandakan dia cewek baik-baik!”
Aia tersenyum lebar mendengarnya. Surprise
sekali mendengar Adam malah memberinya dukungan. Ditambah Bi Tiah juga bilang,
“Iya, benar yang dibilang Bang Adam. Lagian, Dek
Aia tambah cantik kalo pakai kerudung. Kenapa nggak
dari kemarin-kemarin saja pakai kerudungnya Dek?”
Adam tertawa melihat wajah adiknya bersemu, “Segitu
aja geer! Ketahuan selama ini belum pernah ada
yang muji!”
Seketika raut wajah Aia berubah. Cemberut.
***
Wajah cemberut itu kembali terpasang saat Feby, Rindy dan Lita menghampirinya di kelas. Berdiri
mengelilingi Aia yang tengah duduk. “Duh, Aia! Baru kita tinggalin tiga bulanan
aja lu udah berubah begini. Gimana kalau setahun apa lagi selamanya,
jangan-jangan jadi teroris juga nih anak!” cibir Feby .
Panasnya hati Aia mendengar itu semua. Mana Raras dan
Azki belum datang pula. Jadilah Aia sendirian menghadapi mereka.
“Tahu nih Aia, kenapa sih lu, Ai?! Kok jadi berubah begini? Hati-hati lho,
nanti ikutan kuper kayak mereka, kerjaannya ngajiii aja saban hari!” timpal Lita.
Aia menarik napas panjang, menahan emosi. Mengingat nasihat Bunda, selama Aia ada
dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia. “Terserah kalian
mau bilang apa, yang jelas ini adalah pilihan gue sekarang. Gue mau jalanin
kewajiban gue sebagai orang Islam, oke?”
“Alah! Sok alim lu, Ai,” sela Feby santai sambil
meletakkan tasnya di meja.
“Bukan sok alim, Feb. Gue cuma,” belum selesai Aia
bicara, Feby cs sudah pergi meninggalkannya. “Ih! Bikin emosi aja pagi-pagi!” gerutu
Aia pelan sambil menghentakkan kakinya ke
lantai. Kesal. Sebal. Benci. Aargh!!
***
Tinggalkan Feby cs yang
membuatnya kesal. Nyatanya, respons orang-orang di sekitarnya tidak melulu
seperti mereka. Tetap ada orang-orang yang menghargai bahkan mendukung
keputusannya. Seperti Mang Jo misalnya, “Masya
Allah, sugan
teh saha! Neng Aia?! Cantik pisan euy
kerudungan. Lain dari kemarin atuh!”
“Terimakasih, Mang Jo ...,” ujar Aia lalu tersenyum. Ia tidak berterimakasih
lantaran Mang Jo memujinya cantik.
“Cantik mah sudah turunan, Mang. He ...,” guraunya.
***
Raras dan Azki benar. Aia tidak salah ambil
keputusan. Semakin lama bergabung dengan teman-teman GARIS, Aia semakin nyaman.
Kak Zia, mahasiswi yang menjadi salah satu mentor rohis di sekolah. Dialah yang
memberi banyak pelajaran pada Aia. Membuat Aia mengenal agamanya, Islam. Bahkan
membuat Aia mengenal siapa dirinya yang sebenarnya.
“Ya, itu dia. Makanya kita harus kenal dulu siapa
diri kita sebenarnya?” kata Kak Zia menjawab sebuah pertanyaan dari salah satu
peserta kajian.
“Lho, maksudnya mengenal gimana, Kak? Nggak mungkin
dong, kita nggak kenal diri sendiri?” merasa menerima kalimat yang ganjil, Aia
langsung menyela bertanya.
Kak Zia tersenyum, “Kalau yang kamu maksud mengenal
itu hanya sebatas identitas diri, nama siapa, tempat tanggal lahir kapan, orang
tuanya siapa, rumah di mana, sekolah di mana, kelas berapa? Ya jelas kita sudah
tahu itu. Maksud Kakak, kita mengenal hakikatnya diri kita ini siapa?”
Aia mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang
dimaksud Zia. “Terus, gimana caranya kita mengenal hakikat diri kita ini siapa,
Kak?”
“Caranya gampang, Aia dan teman-teman semua tinggal
jawab tiga pertanyaan dari Kakak. Pertama, dari mana kalian berasal? Kedua,
untuk apa kalian hidup? Ketiga, mau kemana kalian setelah kita meninggalkan
dunia ini?”
Aia ingat sekali pertanyaan itu. Tiga pertanyaan simple
yang ternyata tidak bisa dijawab dengan simple. Harus mendalami,
berpikir. Tidak hanya berpikir, untuk menjawabnya kita juga harus membuka
wasiat yang ditinggalkan Rasul untuk umatnya, Al-Qur’an dan sunah.
Kata
Kak Zia, seandainya kita menjawab bahwa kita berasal dari Allah. Tapi tujuan
hidup kita hanya untuk melakukan semua
yang kita mau. Mengatakan bahwa Allah hanya ada saat
kita shalat, puasa atau saat kita di masjid. Sedang dalam kehidupan kita tidak mau menjalankan perintah
Allah. Tidak mau menutup aurat. Masih senang berghibah.
Senang melakukan riba. Korupsi. Tidak mau diatur oleh Allah. Dan menjawab
pertanyaan terakhir dengan mengatakan, “akhirat
itu urusan nanti!”. Itu namanya kita sekuler. Memisahkan agama dari kehidupan. Mengakui
Allah sebagai pencipta kita, tapi melarang-Nya mengatur kehidupan kita. Tidakkah
kita menjadi makhluk yang amat sombong?
Seandainya
kita menjawab bahwa kita berasal dari pertemuan dua materi (sel telur dan
sperma). Dan tujuan hidup kita hanya untuk mencari materi, kesenangan yang
sebenarnya hanya semu belaka. Lalu berkata bahwa setelah hidup di dunia kita
akan kembali menjadi materi (tanah). Dari materi kembali ke materi. Itu namanya
kita sama seperti para sosialis?
Tidak mau diatur oleh Sang Pencipta. Bahkan tidak mempercayai keberadaan-Nya.
Tidakkah kita menjadi makhluk yang teramat sombong dan tidak tahu diri?
Kak
Zia mulai menjelaskan, “Dari mana kita berasal? Mungkin sebagian kita akan
menjawab bahwa kita berasal dari orang tua. Orang tua kita berasal dari
Kakek-Nenek kita. Dan seterusnya hingga berujung pada manusia pertama, Nabi Adam.
Lalu, siapa yang menciptakan Adam? Jawabnya sudah pasti, Allah. Maka pada
hakikatnya kita berasal dari Allah SWT. Allah
yang menciptakan kita. Bukan orang tua apa lagi materi. Itu semua hanya perantara.
Untuk
apa kita hidup di dunia ini? Untuk bersenang-senang? Mencari kekayaan?
Kekuasaan? Dan masih banyak lagi. Ya,
kalau pertanyaan ini dilemparkan pada manusia pasti akan beragam jawabnya.”
Kak
Zia benar. Bahkan Aia saja menyebutkan banyak hal yang ia anggap sebagai tujuan
hidupnya. Mau membahagiakan orang tua, menggapai
cita-cita, cari uang yang banyak buat keliling dunia dan lain-lain. Tapi,
Kak Zia meluruskan. “Karena Allah yang menciptakan kita, maka sudah sepatutnya
kita bertanya pada-Nya. Jauh lebih baik, kan? Bahkan itu yang terbaik bagi kita.
Kenapa? Karena Allah sudah pasti tahu apa yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Dan
Allah menjawab dalam surah Al-Hujurat
ayat 56, “Dan tidaklah Aku menciptakan
jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.”. Ya, hidup kita ini untuk beribadah
pada-Nya.
Terakhir, akan kemana kita setelah
kehidupan di dunia? Kita juga harus tanya pada Allah. Dan Allah mengabarkan
pada kita melalui firman-Nya dalam surah Al-Mudatsir ayat 38, “Setiap manusia akan dimintai pertanggung
jawaban atas apa yang telah dikerjakan.” Kita akan menghadap pada Allah.
Mempertanggungjawabkan semua yang telah kita lakukan di dunia. Pada akhirnya
akan membawa kita pada salah satu diantara dua final destination. Surga? Neraka? Semua tergantung amal kita.
Karena
kita sudah sepakat bahwa manusia diciptakan oleh Allah. Dan hidup pun untuk
beribadah pada Allah. Maka nggak
ada pilihan lain, kita harus hidup sesuai dengan aturan yang telah Allah
tetapkan. Karena kita akan mempertanggung jawabkannya di akhirat kelak.”
Tiba-tiba
teringat lagi pertanyaannya dulu saat ia sedang berselisih dengan Feby cs, kalian
tuh hidup mau ngapain, sih? Sekarang Aia bisa tersenyum, ia sudah tahu
jawabannya. Ya, sekarang Aia mengerti. Siapa dirinya? Ia adalah makhluk yang
diciptakan oleh Sang Pencipta, yakni Allah Swt. Yang hidup untuk beribadah
kepada-Nya. Kelak akan menghadap-Nya. Mempertanggungjawabkan semua yang telah
ia lakukan di dunia.
GARIS
adalah cahayanya sekarang. Ya. Aia yakin ia tidak salah lagi seperti saat
menganggap Feby, Rindi dan Lita sebagai cahayanya. Kali ini cahayanya tidak
akan meredup. Ia tidak akan kehilangan GARIS seperti ia kehilangan keluarganya
yang utuh atau sahabat yang menjauh.
***
Sore yang cerah. Semilir angin memainkan ujung
kerudung Aia yang berjalan melewati pintu depan. Hendak keluar. Di dalam sepi, tidak ada siapa-siapa
kecuali dia. Keluar rumah adalah cara efektif menghilangkan bosan.
“Bi, Bi Tiah, sekarang usianya berapa tahun?” tanya
Aia seraya duduk di teras. Menonton Bi Tiah yang sedang memberi makan ikan-ikan
di kolam. Karena tidak ada Bunda ataupun Adam. Jadi, teman ngobrol Aia, ya Bi Tiah. Bi Tiah kan, memang
selalu jadi badalnya Bunda dalam banyak hal. Beruntung Bi
Tiah selalu siap menjadi pendengar setia saat Aia bercerita. Aia menghela napas,
apakah Bunda tidak tahu betapa kehadirannya tetap tak tergantikan dengan siapa pun dan dengan apa pun?
“Lima puluh. Kenapa emangnya Dek?” jawab Bi Tiah
meski sedikit heran dengan pertanyaan Aia.
Aia menggeleng, “Berarti Bi Tiah udah jadi orang
Islam selama 50 tahun?”
“Ya iya Dek
Aia, Bibi udah lama jadi orang Islam. Orang dari lahir
udah jadi orang Islam,” sahut Bi Tiah.
“Terus, selama ini menurut Bibi, Islam itu apa?”
“Eh, Islam itu ....” Bi Tiah
bingung sendiri. Seumur-umur jadi orang Islam, baru kali ini ada yang bertanya seperti
itu padanya.
“Katanya udah lama jadi orang Islam, mana buktinya?”
“Yah, Dek
Aia gimana, Islam itu ya agama,” sahut Bi Tiah
yang tersenyum bangga karena berhasil menemukan jawaban yang tepat –menurutnya-.
“Anak kecil juga tahu Islam itu agama, Bi,” celetuk
Aia seraya meluruskan kaki. Sudah ia duga akan
begitu jawabnya.
Sama dengan jawabannya waktu itu.
Bi Tiah menyudahi memberi makan ikan. Ikut duduk
termenung di sebelah Aia. Wajahnya sih, terlihat seperti sedang berpikir. Entah
apa yang sedang dipikirkan. Aia menegurnya, “Kenapa, Bi?!”
“Eh, oh, eng, nggak kenapa-kenapa,” Bi Tiah
terkejut. “Bibi baru kepikiran, sudah lima
puluh tahun jadi orang Islam, tapi Bibi nggak pernah tahu, apa itu Islam?”
Aia tersenyum tipis. Dalam hati bersyukur bahwa ia
mengenal Islam di usianya yang masih muda. “Aia juga baru dapat dari Kak Zia
Bi, mentor di rohis. Awalnya Aia juga jawab kalo Islam itu agama. Tapi ternyata
bukan sekedar itu, Bi. Ya memang, Islam itu agama.
Tapi, Islam adalah agama yang Allah turunkan kepada
Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril untuk seluruh umat manusia, untuk
mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan sesama manusia juga
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Gitu, Bi! Udah gitu Bi, Islam juga
turun sebagai penyempurna agama sebelumnya,” jelas Aia sambil iseng memainkan
ujung-ujung kerudungnya.
“Oh, gitu ya, Dek?”
Bi Tiah nyengir, panjang ya ternyata pengertian agama itu? Aia
mengangguk. “Emang ya, Dek, kalo kita nggak belajar, nggak cari tahu ilmunya, sampai
kapan pun kita nggak tahu.”
“Iya, Bi. Aia jadi makin bersyukur bisa gabung sama
temen-temen rohis,” ujar Aia seraya
tersenyum tipis mengingat Raras, Azki, Kak Zia, dan teman-teman lainnya di
rohis. Hatinya berbisik, segala puji hanya bagi-Mu, Rabb ....
“Oh iya, tadi Dek
Aia bilang Allah turunin Islam buat apa tadi? Mengatur hubungan ...,” Bi Tiah
sedikit lupa.
“Hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia dan
dirinya sendiri,” Aia membantu mengingatkan.
“Nah, iya, apa tuh maksudnya, Dek? Bi Tiah belum paham. Maklum suka lola, he ....”
“Bibi, apaan sih!” Aia tertawa kecil mendengarnya.
Kadang, Bi Tiah memang suka sok muda. “Kalau hubungan manusia dengan Allah, ya
hubungan kita dengan pencipta kita, dengan Allah langsung. Contohnya lewat shalat,
puasa, zakat, haji. Kalau hubungan manusia dengan sesama manusia itu maksudnya
Allah mengatur interaksi kita dengan sesama. Kita ini kan, makhluk sosial, yang
butuh orang lain, misalnya dalam urusan jual-beli, belajar-mengajar, pergaulan,
ekonomi sampai urusan pemerintahan, Islam punya aturannya Bi.”
Bi Tiah manggut-manggut mulai paham, “Oh, maksudnya
kayak kalo kita jual-beli nggak boleh curang begitu, ya? Ngurang-ngurangin timbangan.”
“Iya, benar tuh, Bi! Sekarang kan, banyak orang yang
menghalalkan segala cara buat dapat uang,” Aia
membenarkan. “Atau kalau dalam pergaulan Islam, laki-laki dan perempuan nggak
boleh campur baur, kecuali dalam muamalah. Kayak jual-beli tadi, atau belajar.”
“Oh, begitu .... Terus maksudnya hubungan manusia
sama dirinya sendiri, maksudnya gimana? Bi Tiah paling nggak ngerti nih maksudnya apa?”
“Itu maksudnya Allah mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan diri kita. Contohnya kita makan-minum, harus yang halal. Akhlak kita
harus baik. Menutup aurat. Yang kayak gitu lho, Bi. Jadi, Islam punya semua
aturan kehidupan kita. Istilahnya nih, dari kita bangung tidur sampe tidur
lagi, ada aturannya.”
“Iya, ya. Lengkap, ya?” Bi Tiah manggut-manggut
lagi. Ya Allah, ternyata banyak banget yang baru saya tahu tentang agama saya
sendiri. “Coba Dek Aia dari dulu masuk rohisnya! Bibi juga udah dari dulu
tahunya.”
“Do’ain ya
Bi, mudah-mudahan Aia tetap istiqomah belajarnya. Jadi, bisa sering sharing
ke Bibi. ”
“Saring? Apanya yang disaring ke Bibi, Dek?”
Aia menepuk dahi, lupa peraturan bicara dengan Bi
Tiah. Jangan gunakan bahasa planet tetangga. Sinyal pembicaraan langsung
terganggu. “Sharing Bi, berbagi maksudnya, bukan saring!”
Bi Tiah ber-o ria.
Hei, ternyata asyik ya berbagi itu. Senang sekali
rasanya ketika Bi Tiah paham apa yang ia sampaikan. Seperti ini rupanya yang
sering dibicarakan teman-teman GARIS. Dakwah.
***
Bagian 2 - Garis [Part III]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Januari 13, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar