Januari
2012
Adzan
subuh sudah menggema dari berbagai penjuru. Aia terbangun. Baru sadar kalau ia masih mengenakan
mukena. Sepertiga malam tadi sebenarnya sudah
bangun, tapi ketiduran lagi.
Setelah berhasil “mengumpulkan nyawa”, Aia
beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu.
Melangkah seraya memperhatikan pintu kamar Bunda di seberang. Meski jemari
sudah menggenggam gagang pintu kamar mandi dan siap membukanya. Namun, mata Aia masih tertuju pada pintu kamar Bunda. Ini tidak seperti biasanya. Kamar Bunda masih
sepi.
Apa
Bunda belum bangun? Biasanya jam segini sudah
terdengar suara Bunda yang tengah melakukan sesuatu, persiapan kerja. Aia maju
beberapa langkah dan berhenti tepat di depan pintu kamar Bunda. Mereka-reka
dalam hati. Buka? Tidak? Perlahan akhirnya diraihnya juga gagang pintu dan
mendorongnya, “Bun ....”
“Bunda
kenapa?” Aia melangkah cepat ketika melihat Bunda hanya menoleh lemah di tempat
tidurnya. Duduk
di tepi tempat tidur Bunda. Dengan raut
wajah berubah panik. Tangannya refleks memegang lengan
dan dahi Bunda guna mengecek suhu badan. Panas.
Bunda
beringsut duduk. Aia sigap membantu. “Bunda nggak apa-apa. Tadi habis sholat
kepala Bunda pusing, jadi tidur lagi.”
“Pasti
karena Bunda pulang malam terus dua minggu ini,” duga Aia, “semalam Bunda
pulang jam berapa?” tanyanya.
Semalam Aia tidur cepat karena lelah dengan aktivitas di sekolah seharian.
Jadi, dia tidak tahu kapan Bunda pulang.
Aia
menatap cemas Bunda. Lihat, tidakkah
sekarang Bunda benar-benar mencintai pekerjaannya?
Jika dulu Bunda bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sekarang,
Aia merasa itu semua sudah berubah menjadi ambisi pencapaian karir. Sama
seperti wanita-wanita karir lainnya. Dua minggu ini secara berturut-turut Bunda
lembur. Seolah tubuhnya tidak perlu istirahat.
Bunda
hanya tersenyum melihat Aia mencemaskannya. Pasti selalu Aia yang paling panik
saat ia sakit.
“Atau
hari ini Aia nggak usah sekolah, ya? Aia temani Bunda ke dokter?” Aia
menawarkan diri.
Saking
sibuknya Bunda, Aia tidak ingat lagi kapan terakhir mereka punya waktu berdua,
jalan bersama atau apalah. Selain saat sarapan, rasanya sulit bertemu Bunda. Padahal,
ada saat di mana Aia ingin menceritakan sesuatu yang memang hanya ingin ia bagi
pada Bunda. Bukan Bi Tiah atau Adam. Ada saat di mana Aia merasa sendiri dan
hanya ingin ditemani Bunda. Tapi, tidak bisa. Sepertinya waktu Bunda terlalu
berharga untuk melakukan itu. Dan hari ini, Aia akan sangat senang meski hanya
mengantar Bunda ke dokter atau sekadar memenemaninya di rumah seharian.
Sayangnya Bunda
menggeleng, “Bunda cuma kecapek-an.
Paling-paling dokter juga cuma suruh Bunda istirahat.”
Aia
cemberut. Mengembungkan pipi. Bukan karena Bunda tidak mau ke dokter. Melainkan
karena kalimat Bunda barusan juga memusnahkan harapannya bisa menghabiskan
waktu bersama Bunda.
“Kenapa?”
tanya Bunda seraya tersenyum melihat
Aia. Sejak kecil ekspresinya selalu begitu jika ada sesuatu yang tidak sesuai
ekspektasi.
Ganti
Aia yang menggeleng. Mengganti pipi menggembungnya dengan senyum tipis. Sengaja.
Sengaja tidak mengatakan apa
yang membuatnya cemberut. Khawatir jika ia katakan hanya membuat Bunda tambah
pusing. Bunda butuh istirahat sekarang.
“Sudah.
Bunda nggak apa-apa,” ucap Bunda sambil mengelus lembut lengan Aia lalu menoleh
jam dinding di belakangnya. “Sana, sholat dulu.”
Aia
ikut menoleh. Matanya terbuka lebar saat melihat jam sudah menunjukkan pukul
05.15. “Aia sholat dulu, Bun!” serunya buru-buru keluar dari kamar Bunda.
Bunda
geleng kepala melihat kelakuan Aia.
Brak!
Pintu kamar kembali di
buka. Kepala Aia muncul dari balik sana. “Jadi, Bunda nggak ke kantor kan hari
ini?! Aia mau
pulang cepat deh
hari ini! Supaya bisa temani Bunda.”
Bunda
menghembuskan napas. Sempat
kaget tadi. “Iya ...,” sahut Bunda lemah.
Bunda
menghela napas lagi. Kali ini helaannya terdengar lebih berat. Kecemasan Aia
padanya membuat perasaan itu kembali menghampiri, perasaan bersalah. Sejak
bekerja apalagi setelah kehadiran Bi Tiah di rumah. Bunda (terpaksa) tidak
merasa harus menemani Aia atau Adam jika mereka sedang sakit. Alasannya selalu
sama, pekerjaan. Bunda menggeleng,
mengusir perasaan mengganggu itu. Kenapa
harus merasa bersalah? Bukankah ia lakukan
itu juga demi Aia dan Adam?
***
Riuh
rendah suasana sekolah kian ramai ketika pukul 10.30 pihak sekolah, lewat
pengeras suara, mengumumkan bahwa siswa diperbolehkan pulang. Minggu ini
kegiatan belajar mengajar memang belum eketif. Mungkin karena baru masuk awal
semester genap. Di kelas XI IPA saja tidak ada guru yang masuk dari pagi.
Membuat Aia bersungut kesal, “Tahu begini aku nggak masuk hari ini!”
“Alhamdulillah
...,” Raras dengan sengaja berbicara dekat di telinga Aia.
“Iya,
Alhamdulillah .... Astaghfirullah ...,” sahut Aia begitu sadar. Harusnya ia
bersyukur. Dengan begini ia bisa pulang lebih awal, kan? “Ya sudah, aku pulang
duluan, ya? Mau temani Bunda di rumah.”
“Oke.
Salam ya, buat Bunda. Syafahallah
...,” ujar Azki.
Aia
bergegas. Merangsek masuk ke dalam bus yang sudah berjejal dengan siswa lain yang
sama-sama ingin segera pulang.
***
Aia
mempercepat langkahnya setelah turun dari bus. Dan sepuluh
menit kemudian Aia tiba. Sayangnya, hanya bisa mematung begitu kedua kakinya
tepat berada di depan pintu. Urung masuk karena samar-samar terdengar suara dari ruang
tamu. Satu suara amat Aia kenali. Sedangkan satu suara lagi terdengar asing.
Siapa? Teman Bunda? Seingat Aia
sudah lama tidak ada teman yang berkunjung. Aia jadi lupa siapa saja teman
Bunda. Dan sekarang ia semakin segan untuk masuk lantaran perlahan suara di
dalam terdengar seperti suara orang yang sedang menangis.
Sebenarnya Aia
tertarik untuk menguping lebih lanjut. Tapi, ia teringat saat kajian dengan Zia
minggu kemarin. “Ada haditsnya lho, barangsiapa menguping omongan orang
lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada
telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat,” ucap Zia. Mendengarnya, forum berisi dua puluh orang itu tiba-tiba ramai dengan suara bergidik Aia dan teman-teman.
Aia kembali
bergidik bahkan refleks menutup telinga dengan kedua tangannya. Tidak sanggup bahkan untuk
sekedar membayangkan cairan tembaga dimasukkan ke telinga. Tobat! Tobat! Aia menghela napas lalu beristighfar. Lagi pula, perutnya sudah terasa
lapar. Aia meraih
gagang pintu. Bersiap masuk dan mengucap salam.
“Aku sudah coba, Mbak! Tapi, dia sama sekali nggak
terima!” tiba-tiba suara dari dalam meninggi. Membuat Aia
kaget dan urung membuka pintu. Rasanya tidak lucu di tengah-tengah obrolan penuh
emosi, tiba-tiba ia muncul. Bunda dan temannya pasti langsung menoleh dan Aia
hanya bisa cengengesan. Garing!
Baiklah, kalau
begitu ketuk pintu dulu baru masuk. Supaya tidak terlalu mengagetkan yang ada
di dalam, pikir Aia seraya tersenyum lebar seolah baru saja menemukan ide
brilian. Dan saat ia mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu ….
“Tidak ada lagi alasan bertahan, Mbak. Buat apa?!” lagi-lagi suara dari dalam kembali meninggi. Membuat ayunan tangan
Aia terhenti tepat 5 cm dari pintu.
Sepertinya teman
Bunda benar-benar sedang mengalami masalah berat. Membuat Aia juga ingin menangis lantaran tidak berani masuk. Masalahnya, perutnya
kembali terasa lapar. Mau sampai kapan ia di
depan? Tidak
ada jalan untuk memutar lewat pintu belakang. Kanan-kiri rumah sudah menempel
dengan rumah tetangga.
Aia memutar otak. Mencari cara. “Oh, ya! Jendela kamar!” serunya
dengan amat pelan. Perlahan berjinjit ke kanan, menuju kamarnya dengan penuh
harap.
“Hhh,” Aia
benar-benar ingin menangis. Lupa kalau dirinya selalu mengunci jendela sebelum
meninggalkan rumah. Aia kembali berpikir. Pasti ada jalan bagi orang yang punya kemauan.
Ya, ada! Aia kembali berjinjit ke arah kiri. Menuju kamar Adam.
Bingo! Jendela
kamar Adam terbuka lebar lantaran penghuni kamar sering kali lupa menguncinya. Beruntung hari ini Bi Tiah tidak mengunci
jendela itu. Senyum Aia merekah. Aia bergerak cepat. Melompat-lompatkan
tubuh untuk bisa masuk. Dan, voila! Berhasil! Sekarang Aia
mengerti makna hadits yang sedang populer itu, man jadda wa jadda!
***
Bunda melangkah
menuju dapur. Hendak mengambil segelas air putih. Tangannya terus menyeka dahi,
pusing. Dan sekarang terasa makin pusing setelah berjam-jam mendengarkan cerita
rekan kerjanya, Yasti yang baru saja pamit pulang. Apa semua laki-laki memang
begitu? Tidak bisa menghargai perempuan. Tidak suaminya. Tidak juga suami
Yasti. Ah, bukan! Bagaimana bisa Bunda lupa?! Maksudnya, tidak mantan suaminya.
Tidak juga suami Yasti.
“Astaghfirullah!”
Bunda berseru kaget melihat ada orang di meja makan. Sejak pagi tadi hanya ia
yang di rumah. Bi Tiah pamit ke rumah anaknya sampai sore nanti. Namun, Bunda menghela
napas lega setelah tahu kalau itu Aia. “Aia! Bikin Bunda kaget aja!” Bunda
mengurut dada.
Aia nyengir sejurus meringis.
Bunda mengernyit, “Lho, Aia masuk
lewat mana? Bunda nggak lihat.”
“Pinjem pintu
ajaibnya Doraemon!” sahut Aia asal.
Bunda mengibaskan
tangan. Mengabaikan jawaban asal Aia. Kadang-kadang imajinasi putrinya memang berlebihan.
“Aia masuk lewat
jendela kamar Abang tadi,” aku Aia sambil
terus melanjutkan makan. Telur mata sapi dan tumis brokoli kesukaannya mana boleh terlalu lama
menunggu.
Bunda yang sedang
menuangkan air ke gelas refleks menoleh, “Kenapa?”
“Habis tadi sepertinya ada yang nangis. Jadi, Aia nggak berani
masuk lewat pintu depan. Takut merusak suasana,” terangnya pada Bunda.
Bunda tertawa
sambil geleng kepala lalu duduk di sebelah Aia, “Astaghfirullah ....”
Aia manyun melihat tawa Bunda. Harusnya Bunda menyaksikan perjuangannya
untuk masuk rumah tadi. “Tadi itu siapa sih, Bun?”
“Tadi itu Tante
Yasti, teman kerja Bunda. Sebenarnya ke sini karena mau ambil file yang ada di
Bunda.”
Aia hanya ber-o
ria. Ia tidak begitu hafal siapa saja teman Bunda, khususnya teman kerja. Tidak terlalu tertarik
membicarakan pekerjaan Bunda. Baginya, pekerjaan Bunda adalah saingan. Saingan untuk mendapat perhatian dari
Bunda. Dan kesalnya, selalu pekerjaan itu yang menang. Lihat, bahkan saat sakit
pun tetap pekerjaan yang dibicarakan.
“Tapi, malah
lanjut curhat soal proses sidang cerainya,” lanjut Bunda seraya duduk di
sebelah Aia kemudian meneguk air putihnya.
“Cerai?! Kenapa?!” tanya Aia dengan nada tinggi. Tanpa sadar ekspresinya
berlebihan. Sejak sebelas tahun yang lalu, Aia benci dengan kosakata tersebut.
“Suaminya nggak suka Tante Yasti kerja. Karena tetap bekerja, suaminya
malah melakukan KDRT,” jawab Bunda jujur.
“KDRT?” baru kali ini Aia mendengar langsung
tentang KDRT (Kekerasan dalam
Rumah Tangga). Selama ini hanya melihatnya di berita-berita.
“Bunda masih
pusing?” tanya Aia begitu melihat Bunda memijit-mijit
kepala.
Bunda mengangguk,
“Bunda ke kamar dulu, ya.”
Bunda berdiri. Membuat kursi yang
diduduki berderit, tergeser. Melangkah menuju kamar sambil tetap menyeka dahi. Mata Aia mengawasi
gerak Bunda. Khawatir. Padahal, Aia masih menunggu cerita selanjutnya. Ingin
tahu, sebagai orang yang pernah bercerai, apa yang Bunda katakan pada orang
yang akan bercerai?
***
Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 21, 2017
Unknown

Posted in