Sabtu, 21 Januari 2017

Januari 2012
Adzan subuh sudah menggema dari berbagai penjuru. Aia terbangun. Baru sadar kalau ia masih mengenakan mukena. Sepertiga malam tadi sebenarnya sudah bangun, tapi ketiduran lagi.

Setelah berhasil “mengumpulkan nyawa”, Aia beranjak ke kamar mandi untuk berwudhu. Melangkah seraya memperhatikan pintu kamar Bunda di seberang. Meski jemari sudah menggenggam gagang pintu kamar mandi dan siap membukanya. Namun, mata Aia masih tertuju pada pintu kamar Bunda. Ini tidak seperti biasanya. Kamar Bunda masih sepi.

Apa Bunda belum bangun? Biasanya jam segini sudah terdengar suara Bunda yang tengah melakukan sesuatu, persiapan kerja. Aia maju beberapa langkah dan berhenti tepat di depan pintu kamar Bunda. Mereka-reka dalam hati. Buka? Tidak? Perlahan akhirnya diraihnya juga gagang pintu dan mendorongnya, “Bun ....”

“Bunda kenapa?” Aia melangkah cepat ketika melihat Bunda hanya menoleh lemah di tempat tidurnya. Duduk di tepi tempat tidur Bunda. Dengan raut wajah berubah panik. Tangannya refleks memegang lengan dan dahi Bunda guna mengecek suhu badan. Panas.

Bunda beringsut duduk. Aia sigap membantu. “Bunda nggak apa-apa. Tadi habis sholat kepala Bunda pusing, jadi tidur lagi.”

“Pasti karena Bunda pulang malam terus dua minggu ini,” duga Aia, “semalam Bunda pulang jam berapa?” tanyanya. Semalam Aia tidur cepat karena lelah dengan aktivitas di sekolah seharian. Jadi, dia tidak tahu kapan Bunda pulang.

Aia menatap cemas Bunda. Lihat, tidakkah sekarang Bunda benar-benar mencintai pekerjaannya? Jika dulu Bunda bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sekarang, Aia merasa itu semua sudah berubah menjadi ambisi pencapaian karir. Sama seperti wanita-wanita karir lainnya. Dua minggu ini secara berturut-turut Bunda lembur. Seolah tubuhnya tidak perlu istirahat.

Bunda hanya tersenyum melihat Aia mencemaskannya. Pasti selalu Aia yang paling panik saat ia sakit.

“Atau hari ini Aia nggak usah sekolah, ya? Aia temani Bunda ke dokter?” Aia menawarkan diri.

Saking sibuknya Bunda, Aia tidak ingat lagi kapan terakhir mereka punya waktu berdua, jalan bersama atau apalah. Selain saat sarapan, rasanya sulit bertemu Bunda. Padahal, ada saat di mana Aia ingin menceritakan sesuatu yang memang hanya ingin ia bagi pada Bunda. Bukan Bi Tiah atau Adam. Ada saat di mana Aia merasa sendiri dan hanya ingin ditemani Bunda. Tapi, tidak bisa. Sepertinya waktu Bunda terlalu berharga untuk melakukan itu. Dan hari ini, Aia akan sangat senang meski hanya mengantar Bunda ke dokter atau sekadar memenemaninya di rumah seharian.

Sayangnya Bunda menggeleng, “Bunda cuma kecapek-an. Paling-paling dokter juga cuma suruh Bunda istirahat.”

Aia cemberut. Mengembungkan pipi. Bukan karena Bunda tidak mau ke dokter. Melainkan karena kalimat Bunda barusan juga memusnahkan harapannya bisa menghabiskan waktu bersama Bunda.

“Kenapa?” tanya Bunda seraya tersenyum melihat Aia. Sejak kecil ekspresinya selalu begitu jika ada sesuatu yang tidak sesuai ekspektasi.

Ganti Aia yang menggeleng. Mengganti pipi menggembungnya dengan senyum tipis. Sengaja. Sengaja tidak mengatakan apa yang membuatnya cemberut. Khawatir jika ia katakan hanya membuat Bunda tambah pusing. Bunda butuh istirahat sekarang.

“Sudah. Bunda nggak apa-apa,” ucap Bunda sambil mengelus lembut lengan Aia lalu menoleh jam dinding di belakangnya. “Sana, sholat dulu.”

Aia ikut menoleh. Matanya terbuka lebar saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 05.15. “Aia sholat dulu, Bun!” serunya buru-buru keluar dari kamar Bunda.

Bunda geleng kepala melihat kelakuan Aia.

Brak! Pintu kamar kembali di buka. Kepala Aia muncul dari balik sana. “Jadi, Bunda nggak ke kantor kan hari ini?! Aia mau pulang cepat deh hari ini! Supaya bisa temani Bunda.”

Bunda menghembuskan napas. Sempat kaget tadi. “Iya ...,” sahut Bunda lemah.

Bunda menghela napas lagi. Kali ini helaannya terdengar lebih berat. Kecemasan Aia padanya membuat perasaan itu kembali menghampiri, perasaan bersalah. Sejak bekerja apalagi setelah kehadiran Bi Tiah di rumah. Bunda (terpaksa) tidak merasa harus menemani Aia atau Adam jika mereka sedang sakit. Alasannya selalu sama, pekerjaan. Bunda menggeleng, mengusir perasaan mengganggu itu. Kenapa harus merasa bersalah? Bukankah ia lakukan itu juga demi Aia dan Adam?

***

Riuh rendah suasana sekolah kian ramai ketika pukul 10.30 pihak sekolah, lewat pengeras suara, mengumumkan bahwa siswa diperbolehkan pulang. Minggu ini kegiatan belajar mengajar memang belum eketif. Mungkin karena baru masuk awal semester genap. Di kelas XI IPA saja tidak ada guru yang masuk dari pagi. Membuat Aia bersungut kesal, “Tahu begini aku nggak masuk hari ini!”
“Alhamdulillah ...,” Raras dengan sengaja berbicara dekat di telinga Aia.

“Iya, Alhamdulillah .... Astaghfirullah ...,” sahut Aia begitu sadar. Harusnya ia bersyukur. Dengan begini ia bisa pulang lebih awal, kan? “Ya sudah, aku pulang duluan, ya? Mau temani Bunda di rumah.”

“Oke. Salam ya, buat Bunda. Syafahallah ...,” ujar Azki.

Aia bergegas. Merangsek masuk ke dalam bus yang sudah berjejal dengan siswa lain yang sama-sama ingin segera pulang.

***

Aia mempercepat langkahnya setelah turun dari bus. Dan sepuluh menit kemudian Aia tiba. Sayangnya, hanya bisa mematung begitu kedua kakinya tepat berada di depan pintu. Urung masuk karena samar-samar terdengar suara dari ruang tamu. Satu suara amat Aia kenali. Sedangkan satu suara lagi terdengar asing. Siapa? Teman Bunda? Seingat Aia sudah lama tidak ada teman yang berkunjung. Aia jadi lupa siapa saja teman Bunda. Dan sekarang ia semakin segan untuk masuk lantaran perlahan suara di dalam terdengar seperti suara orang yang sedang menangis.

Sebenarnya Aia tertarik untuk menguping lebih lanjut. Tapi, ia teringat saat kajian dengan Zia minggu kemarin. “Ada haditsnya lho, barangsiapa menguping omongan orang lain, sedangkan mereka tidak suka (kalau didengarkan selain mereka), maka pada telinganya akan dituangkan cairan tembaga pada hari kiamat,” ucap Zia. Mendengarnya, forum berisi dua puluh orang itu tiba-tiba ramai dengan suara bergidik Aia dan teman-teman.

Aia kembali bergidik bahkan refleks menutup telinga dengan kedua tangannya. Tidak sanggup bahkan untuk sekedar membayangkan cairan tembaga dimasukkan ke telinga. Tobat! Tobat! Aia menghela napas lalu beristighfar. Lagi pula, perutnya sudah terasa lapar. Aia meraih gagang pintu. Bersiap masuk dan mengucap salam.

Aku sudah coba, Mbak! Tapi, dia sama sekali nggak terima!” tiba-tiba suara dari dalam meninggi. Membuat Aia kaget dan urung membuka pintu. Rasanya tidak lucu di tengah-tengah obrolan penuh emosi, tiba-tiba ia muncul. Bunda dan temannya pasti langsung menoleh dan Aia hanya bisa cengengesan. Garing!

Baiklah, kalau begitu ketuk pintu dulu baru masuk. Supaya tidak terlalu mengagetkan yang ada di dalam, pikir Aia seraya tersenyum lebar seolah baru saja menemukan ide brilian. Dan saat ia mengayunkan tangan hendak mengetuk pintu ….

Tidak ada lagi alasan bertahan, Mbak. Buat apa?!” lagi-lagi suara dari dalam kembali meninggi. Membuat ayunan tangan Aia terhenti tepat 5 cm dari pintu.

Sepertinya teman Bunda benar-benar sedang mengalami masalah berat. Membuat Aia juga ingin menangis lantaran tidak berani masuk. Masalahnya, perutnya kembali terasa lapar. Mau sampai kapan ia di depan? Tidak ada jalan untuk memutar lewat pintu belakang. Kanan-kiri rumah sudah menempel dengan rumah tetangga.

Aia memutar otak. Mencari cara. “Oh, ya! Jendela kamar!” serunya dengan amat pelan. Perlahan berjinjit ke kanan, menuju kamarnya dengan penuh harap.

“Hhh,” Aia benar-benar ingin menangis. Lupa kalau dirinya selalu mengunci jendela sebelum meninggalkan rumah. Aia kembali berpikir. Pasti ada jalan bagi orang yang punya kemauan. Ya, ada! Aia kembali berjinjit ke arah kiri. Menuju kamar Adam.

Bingo! Jendela kamar Adam terbuka lebar lantaran penghuni kamar sering kali lupa menguncinya. Beruntung hari ini Bi Tiah tidak mengunci jendela itu. Senyum Aia merekah. Aia bergerak cepat. Melompat-lompatkan tubuh untuk bisa masuk. Dan, voila! Berhasil! Sekarang Aia mengerti makna hadits yang sedang populer itu, man jadda wa jadda!

***

Bunda melangkah menuju dapur. Hendak mengambil segelas air putih. Tangannya terus menyeka dahi, pusing. Dan sekarang terasa makin pusing setelah berjam-jam mendengarkan cerita rekan kerjanya, Yasti yang baru saja pamit pulang. Apa semua laki-laki memang begitu? Tidak bisa menghargai perempuan. Tidak suaminya. Tidak juga suami Yasti. Ah, bukan! Bagaimana bisa Bunda lupa?! Maksudnya, tidak mantan suaminya. Tidak juga suami Yasti.

“Astaghfirullah!” Bunda berseru kaget melihat ada orang di meja makan. Sejak pagi tadi hanya ia yang di rumah. Bi Tiah pamit ke rumah anaknya sampai sore nanti. Namun, Bunda menghela napas lega setelah tahu kalau itu Aia. “Aia! Bikin Bunda kaget aja!” Bunda mengurut dada.

Aia nyengir sejurus meringis.

Bunda mengernyit, “Lho, Aia masuk lewat mana? Bunda nggak lihat.”

“Pinjem pintu ajaibnya Doraemon!” sahut Aia asal.

Bunda mengibaskan tangan. Mengabaikan jawaban asal Aia. Kadang-kadang imajinasi putrinya memang berlebihan.

“Aia masuk lewat jendela kamar Abang tadi,” aku Aia sambil terus melanjutkan makan. Telur mata sapi dan tumis brokoli kesukaannya mana boleh terlalu lama menunggu.

Bunda yang sedang menuangkan air ke gelas refleks menoleh, “Kenapa?”

“Habis tadi sepertinya ada yang nangis. Jadi, Aia nggak berani masuk lewat pintu depan. Takut merusak suasana,” terangnya pada Bunda.

Bunda tertawa sambil geleng kepala lalu duduk di sebelah Aia, “Astaghfirullah ....”

Aia manyun melihat tawa Bunda. Harusnya Bunda menyaksikan perjuangannya untuk masuk rumah tadi. Tadi itu siapa sih, Bun?”

“Tadi itu Tante Yasti, teman kerja Bunda. Sebenarnya ke sini karena mau ambil file yang ada di Bunda.”

Aia hanya ber-o ria. Ia tidak begitu hafal siapa saja teman Bunda, khususnya teman kerja. Tidak terlalu tertarik membicarakan pekerjaan Bunda. Baginya, pekerjaan Bunda adalah saingan. Saingan untuk mendapat perhatian dari Bunda. Dan kesalnya, selalu pekerjaan itu yang menang. Lihat, bahkan saat sakit pun tetap pekerjaan yang dibicarakan.

“Tapi, malah lanjut curhat soal proses sidang cerainya,” lanjut Bunda seraya duduk di sebelah Aia kemudian meneguk air putihnya.

“Cerai?! Kenapa?!” tanya Aia dengan nada tinggi. Tanpa sadar ekspresinya berlebihan. Sejak sebelas tahun yang lalu, Aia benci dengan kosakata tersebut.

“Suaminya nggak suka Tante Yasti kerja. Karena tetap bekerja, suaminya malah melakukan KDRT,” jawab Bunda jujur.

“KDRT?” baru kali ini Aia mendengar langsung tentang KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Selama ini hanya melihatnya di berita-berita.

“Bunda masih pusing?” tanya Aia begitu melihat Bunda memijit-mijit kepala.

Bunda mengangguk, “Bunda ke kamar dulu, ya.”

Bunda berdiri. Membuat kursi yang diduduki berderit, tergeser. Melangkah menuju kamar sambil tetap menyeka dahi. Mata Aia mengawasi gerak Bunda. Khawatir. Padahal, Aia masih menunggu cerita selanjutnya. Ingin tahu, sebagai orang yang pernah bercerai, apa yang Bunda katakan pada orang yang akan bercerai?

***

Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.