Sabtu, 21 Januari 2017

Ditemukan ... kabarnya artis papan atas ... pusing? Minum … pemirsa TKW yang divonis ... mie isi dua … korban kekerasan dalam rumah ....

Malam itu Aia terus menekan remote TV, menggonta-ganti channel TV tanpa tujuan. Semua channel sudah dilihat. Dan ini sudah putaran ketiga. Aia bosan karena tidak ada aktivitas di rumah sejak pulang sekolah tadi. Tidak ada Bi Tiah atau Adam yang bisa diajak bicara. Tadinya, ia pikir bisa menghabiskan sisa hari ini bersama Bunda. Tapi, sejak tadi Bunda terus istirahat di kamar. Dan Aia tidak ingin mengganggu.

“Kamu ini mau nonton apa sebenarnya, Ai?” yang tidak ingin Aia ganggu malah sudah terdengar menegur seraya mendekat. Duduk di sebelah Aia.

Aia berhenti menekan remote TV dan menoleh. Channel berhenti pada stasiun TV berita. “Ganggu ya, Bun?” tanyanya. Khawatir kalau-kalau suara televisi mengganggu istirahat Bunda.

“Nggak,” Bunda melirik Aia sejurus kemudian menatap layar televisi yang tengah menampilkan berita kekerasan dalam rumah tangga.

Aia menatap sejenak Bunda yang terlihat serius menyimak berita. Lalu kembali mengalihkan pandangan ke layar televisi. Ikut menyimak. “KDRT. Jadi ingat teman Bunda yang tadi,” gumam Aia. “Korban KDRT itu memang selalu perempuan ya, Bun?”

“Hm,” Bunda membenarkan, “memang perempuan selalu mengalami kekerasan dan diskriminasi sejak dulu.”

“Maksud Bunda?”

“Sejarahnya, hampir di semua agama dan negara, perempuan itu dipandang hina,” sahut Bunda. Melirik Aia sejurus kemudian kembali menatap layar televisi.

“Masa, sih?” Aia tak percaya. Tangannya memeluk bantal sofa. Apa maksudnya perempuan dipandang hina?

“Iya. Bahkan ada agama yang menganggap perempuan hina.

Dahi Aia berkerut. Ada agama yang menghina perempuan?

“Yahudi, misal. Mereka memosisikan perempuan tidak lebih dari pelayannya laki-laki. Ayah berhak menjual anak perempuan tanpa persetujuan darinya,” jelas Bunda.

Aia mengerling begitu mendengar kata “Yahudi”. Ya, tidak heran mendengar mereka bisa memandang hina perempuan. Para Zionis itu bahkan tidak pantas disebut manusia. Lihat saja apa yang mereka lakukan terhadap umat Islam di Palestina?!

“Aia tahu Yunani dan Romawi?” Bunda memecah ingatan Aia tentang Yahudi.

Aia kembali menggangguk. Aia tahu itu. Keduanya negara adidaya di masanya dulu.

“Mereka semua menganggap perempuan tidak berhak mewarisi dan memiliki harta. Malah, di Eropa pernah diadakan Kongres Besar Bangsa Eropa tahun 581 M yang hasilnya mengatakan bahwa perempuan adalah manusia yang diciptakan untuk mengabdi pada laki-laki.

Makanya, di masa itu perempuan nggak punya hak mengenyam pendidikan. Akhirnya, perempuan di masa itu bodoh dan miskin. Mereka nggak bisa berperan di sektor publik. Nggak bisa melakukan aktivitas di luar rumah,” papar Bunda.

“Benar begitu, Bun?!” Aia tercengang mendengar stigma terhadap perempuan yang Bunda paparkan. Baru kali ini ia mendengar sejarah perempuan. Apa benar yang Bunda katakan? Kalau benar, apa sebegitu hinanya perempuan?

“Iya, makanya akhirnya banyak gerakan yang muncul untuk memperjuangkan hak perempuan. Supaya perempuan diberi hak yang sama dengan laki-laki. Dan itu sudah dimulai sejak dulu. Sejak revolusi industri di Eropa. Aia pernah belajar tentang revolusi industri, kan?”

“Oh, itu. Ya, pernah,” sahut Aia yang masih menyimak dengan saksama sambil berusaha mengingat yang Bunda bilang, revolusi industri?

“Nah, di saat itu perempuan mulai punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan, untuk bekerja juga. Kesempatan itu juga yang akhirnya menyadarkan mereka, kalau ternyata mereka tertinggal jauh dari kaum laki-laki. Eh, selama ini kita cuma sibuk ngurusin pekerjaan rumah, masak, ngurus anak. Sementara laki-laki bisa bisa mendapat pendidikan, bekerja, memegang kendali dunia lewat politik. Mereka sadar kalau dunia sudah didominasi oleh laki-laki dan mendiskriminasi perempuan.”

Aia masih terperangah mendengarnya. Setidaknya ada dua hal yang membuatnya terperangah. Pertama, sejarah perempuan yang ternyata begitu menyedihkan. Kedua, terkesima pada Bunda. Saking terkesimanya, bahkan posisi duduk Aia tak berubah sedikit pun. Tatapannya juga tidak bergeser dari wajah Bunda. “Waah, kok Bunda bisa tahu banyak sejarah perempuan, sih?” tanyanya. Aia pikir hanya pekerjaan yang ada di pikiran Bunda.

“Kita juga harus punya wawasan yang luas, Ai,” ujar Bunda. Sejurus kemudian tangan dan matanya sibuk dengan smartphone. Membuka beberapa pesan masuk.

“Berarti gerakan-gerakan itu sekarang udah nggak ada dong, Bun? Kan, sekarang perempuan sudah banyak yang berkiprah juga di luar rumah?”

Bunda menghentikan kesibukannya dengan smartphone dan beralih menatap Aia. Bunda sudah hafal sifat Aia. Saat ada topik yang membuatnya tertarik. Aia pasti akan terus bertanya. “Kalau bicara pendidikan, perempuan memang sudah dapat haknya. Tapi, coba lihat ke permasalahan yang lain. Perempuan masih mengalami diskriminasi. Semisal kasus KDRT-nya Tante Yasti, itu kan juga bentuk dari diskriminasi laki-laki terhadap perempuan. Jadi, sampai hari ini gerakan-gerakan perempuan itu tetap ada. Banyak malah.”

Aia mengerutkan dahi. Berusaha mencerna apa yang Bunda katakan. “Lho. Kenapa gerakannya jadi banyak? Bukan yang mereka perjuangkan itu sama? Kenapa nggak jadi satu aja?”

Bunda tertawa kecil. Saat seusia Aia, ia juga dikenal banyak tanya. Tapi, seingatnya ia tidak sebanyak Aia bertanya. “Kayaknya anak Bunda cocok kalau jadi wartawan.”

Aia melengos. Mengembungkan pipi. Menenggelamkan bahunya di sofa. “Bunda jangan lupa, Aia begini kan karena turunan dari Bunda,” balas Aia sambil memainkan kaki.

“Hei, siapa bilang, hm?” Bunda berbalik menghadap Aia.

“Dari Aia kecil Nenek selalu bilang gitu. Katanya, Bunda banyak tanya. Makanya, Bunda dimasukin ke pesantren supaya Nenek nggak ditodong banyak pertanyaan sama Bunda. Ya kan?” Aia mulai tersenyum lebar.

“Hm ... enak saja! Bunda ke pesantren karena kemauan Bunda sendiri,” bantah Bunda.

“Masa sih, Bun ...?” Aia kembali menggoda. “Bukannya dipaksa sama Kakek?”

“Oh, nggak,” Bunda masih berusaha membantah seraya membalikkan tubuhnya. Bersedekap lalu ikut menenggelamkan bahunya di sofa.

“Udahlah, Bun …. Seluruh dunia juga udah tahu,” goda Aia lagi. Sebenarnya ini lelucon lama yang sampai saat ini Aia tidak berhasil membuat Bunda mau mengakui kalau cerita Kakek-Nenek itu benar.

Bunda menatap lurus ke depan. Tersenyum tipis. Teringat masa kecil dulu. Memang, awalnya sedikit dipaksa oleh kedua orang tuanya. Tapi, setelahnya Bunda justru senang pernah menjalani hidup di pesantren. Jadi, Bunda tidak merasa perlu mengakui itu.

Lengang sejenak. Aia melirik Bunda. Ikut tersenyum tipis. Ia tahu Bunda tidak akan mengakuinya. Hanya senang menggoda Bunda. Senang karena akhirnya bisa punya waktu berdua dengan Bunda. Perlahan, Aia meluruhkan kepala di bahu Bunda. Kalau saja ada remote control untuk mengatur waktu. Aia pasti sudah menekan tombol pause. Agar Bunda tetap di sampingnya. Atau sekalian tekan tombol previous ke masa Ayah dan Bunda masih bersama. Itu pasti lebih menyenangkan.
***

Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part I]
Bagian 2 - GARIS [Part I]


Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar