Ditemukan
... kabarnya artis papan atas ... pusing?
Minum … pemirsa TKW yang divonis ... mie isi dua … korban
kekerasan dalam rumah ....
Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part I]
Malam
itu Aia terus menekan remote TV, menggonta-ganti channel TV tanpa tujuan. Semua
channel sudah dilihat. Dan ini sudah putaran ketiga. Aia bosan karena tidak ada aktivitas di
rumah sejak pulang sekolah tadi. Tidak ada Bi Tiah atau Adam yang bisa diajak
bicara. Tadinya, ia pikir bisa menghabiskan sisa hari ini bersama Bunda. Tapi, sejak
tadi Bunda terus istirahat di kamar. Dan Aia tidak ingin mengganggu.
“Kamu
ini mau nonton apa sebenarnya, Ai?” yang
tidak ingin Aia ganggu malah sudah terdengar menegur
seraya mendekat. Duduk di
sebelah Aia.
Aia
berhenti menekan remote TV dan menoleh.
Channel berhenti pada stasiun TV berita. “Ganggu ya, Bun?” tanyanya. Khawatir
kalau-kalau suara televisi mengganggu istirahat Bunda.
“Nggak,”
Bunda melirik Aia sejurus kemudian menatap layar televisi yang tengah
menampilkan berita kekerasan dalam rumah tangga.
Aia
menatap sejenak Bunda yang terlihat serius menyimak berita. Lalu kembali
mengalihkan pandangan ke layar televisi. Ikut menyimak. “KDRT. Jadi ingat teman
Bunda yang tadi,” gumam Aia. “Korban KDRT itu memang selalu perempuan ya, Bun?”
“Hm,”
Bunda membenarkan, “memang perempuan selalu mengalami kekerasan dan
diskriminasi sejak dulu.”
“Maksud
Bunda?”
“Sejarahnya,
hampir di semua agama dan negara, perempuan itu dipandang hina,” sahut Bunda.
Melirik Aia sejurus kemudian kembali menatap layar televisi.
“Masa,
sih?” Aia tak percaya. Tangannya memeluk bantal sofa. Apa maksudnya
perempuan dipandang hina?
“Iya.
Bahkan ada agama yang menganggap perempuan hina.”
Dahi Aia berkerut. Ada agama yang menghina
perempuan?
“Yahudi, misal. Mereka memosisikan
perempuan tidak lebih dari pelayannya laki-laki. Ayah berhak menjual anak
perempuan tanpa persetujuan darinya,”
jelas Bunda.
Aia mengerling begitu mendengar kata “Yahudi”. Ya,
tidak heran mendengar mereka bisa memandang hina perempuan. Para Zionis itu
bahkan tidak pantas disebut manusia. Lihat saja apa yang mereka lakukan
terhadap umat Islam di Palestina?!
“Aia tahu Yunani dan Romawi?” Bunda memecah ingatan Aia tentang Yahudi.
Aia
kembali menggangguk. Aia tahu itu.
Keduanya negara adidaya di masanya dulu.
“Mereka
semua menganggap perempuan
tidak berhak mewarisi dan memiliki harta. Malah, di Eropa pernah diadakan Kongres
Besar Bangsa Eropa tahun 581 M yang hasilnya mengatakan bahwa perempuan adalah
manusia yang diciptakan untuk mengabdi pada laki-laki.
Makanya, di masa itu perempuan
nggak punya hak mengenyam
pendidikan. Akhirnya,
perempuan di masa itu bodoh dan miskin. Mereka nggak bisa berperan di sektor publik. Nggak bisa melakukan
aktivitas di luar rumah,” papar Bunda.
“Benar
begitu, Bun?!”
Aia tercengang mendengar stigma terhadap perempuan yang Bunda paparkan. Baru
kali ini ia mendengar sejarah perempuan. Apa benar yang Bunda katakan? Kalau
benar, apa sebegitu hinanya perempuan?
“Iya,
makanya akhirnya banyak gerakan yang muncul untuk memperjuangkan hak perempuan.
Supaya perempuan diberi hak yang sama dengan laki-laki. Dan itu sudah dimulai sejak dulu. Sejak revolusi industri di Eropa. Aia pernah
belajar tentang revolusi industri, kan?”
“Oh,
itu. Ya, pernah,” sahut Aia yang masih menyimak dengan saksama sambil berusaha mengingat yang Bunda bilang, revolusi
industri?
“Nah,
di saat itu perempuan
mulai punya kesempatan untuk mengenyam pendidikan, untuk bekerja juga. Kesempatan
itu juga yang akhirnya menyadarkan
mereka, kalau ternyata
mereka tertinggal jauh dari kaum laki-laki. Eh, selama ini kita cuma sibuk
ngurusin pekerjaan rumah, masak, ngurus anak. Sementara laki-laki bisa bisa
mendapat pendidikan, bekerja, memegang kendali dunia lewat politik. Mereka
sadar kalau dunia sudah didominasi oleh laki-laki dan mendiskriminasi
perempuan.”
Aia
masih terperangah
mendengarnya. Setidaknya ada
dua hal yang membuatnya terperangah.
Pertama, sejarah perempuan yang ternyata begitu menyedihkan. Kedua, terkesima
pada Bunda. Saking terkesimanya, bahkan posisi duduk Aia tak berubah sedikit
pun. Tatapannya juga tidak bergeser dari wajah Bunda. “Waah, kok Bunda bisa
tahu banyak sejarah perempuan, sih?” tanyanya. Aia pikir hanya pekerjaan yang
ada di pikiran Bunda.
“Kita
juga harus punya wawasan yang luas, Ai,” ujar Bunda. Sejurus kemudian tangan
dan matanya sibuk dengan smartphone. Membuka beberapa pesan masuk.
“Berarti
gerakan-gerakan itu sekarang udah nggak ada dong, Bun? Kan, sekarang perempuan
sudah banyak yang berkiprah juga di luar rumah?”
Bunda
menghentikan kesibukannya dengan smartphone dan beralih menatap Aia. Bunda
sudah hafal sifat Aia. Saat ada topik yang membuatnya tertarik. Aia pasti akan
terus bertanya. “Kalau bicara pendidikan, perempuan memang sudah dapat haknya. Tapi, coba
lihat ke permasalahan yang lain. Perempuan masih mengalami diskriminasi. Semisal
kasus KDRT-nya Tante Yasti, itu kan juga bentuk dari diskriminasi laki-laki
terhadap perempuan. Jadi, sampai hari
ini gerakan-gerakan perempuan itu tetap ada. Banyak
malah.”
Aia
mengerutkan dahi. Berusaha mencerna apa yang Bunda katakan. “Lho. Kenapa
gerakannya jadi banyak? Bukan yang mereka perjuangkan itu sama? Kenapa nggak
jadi satu aja?”
Bunda
tertawa kecil. Saat seusia Aia, ia juga dikenal banyak tanya. Tapi, seingatnya ia tidak sebanyak Aia
bertanya. “Kayaknya anak Bunda cocok kalau jadi wartawan.”
Aia
melengos. Mengembungkan pipi. Menenggelamkan bahunya di sofa. “Bunda jangan
lupa, Aia begini kan karena turunan dari Bunda,” balas Aia sambil memainkan
kaki.
“Hei,
siapa bilang, hm?” Bunda berbalik menghadap Aia.
“Dari
Aia kecil Nenek selalu bilang gitu. Katanya, Bunda banyak tanya. Makanya, Bunda
dimasukin ke pesantren supaya Nenek nggak ditodong banyak pertanyaan sama
Bunda. Ya kan?” Aia mulai tersenyum lebar.
“Hm
... enak saja!
Bunda ke pesantren karena kemauan Bunda sendiri,” bantah Bunda.
“Masa
sih, Bun ...?” Aia kembali menggoda. “Bukannya dipaksa sama Kakek?”
“Oh,
nggak,” Bunda masih berusaha membantah seraya membalikkan tubuhnya. Bersedekap
lalu ikut menenggelamkan bahunya di sofa.
“Udahlah,
Bun …. Seluruh dunia juga udah tahu,” goda Aia lagi. Sebenarnya ini lelucon
lama yang sampai saat ini Aia tidak berhasil membuat Bunda mau mengakui kalau
cerita Kakek-Nenek itu benar.
Bunda
menatap lurus ke depan. Tersenyum tipis. Teringat masa kecil dulu. Memang, awalnya
sedikit dipaksa oleh kedua
orang tuanya. Tapi, setelahnya Bunda justru senang
pernah menjalani hidup di pesantren. Jadi, Bunda tidak merasa perlu mengakui
itu.
Lengang
sejenak. Aia melirik Bunda. Ikut tersenyum tipis. Ia tahu Bunda tidak akan
mengakuinya. Hanya
senang menggoda Bunda. Senang karena akhirnya bisa punya waktu berdua dengan
Bunda. Perlahan,
Aia meluruhkan kepala di bahu Bunda. Kalau saja ada remote control untuk
mengatur waktu. Aia pasti sudah menekan tombol pause. Agar Bunda tetap
di sampingnya. Atau sekalian tekan tombol previous ke masa Ayah dan
Bunda masih bersama. Itu pasti lebih menyenangkan.
***
Bagian 2 - GARIS [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Januari 21, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar