Pertemuan dengan Raras, Azki dan Kak Zia, membawa
banyak perubahan dalam diri Aia. Saking banyaknya, bukan hanya Aia yang
merasakan perubahan tersebut. Bunda, Adam terlebih lagi Bi Tiah –yang jadi
tempat Aia bercerita-, juga turut merasakan.
Merasakan perubahan sikap Aia, yang semakin hari
semakin terlihat lebih baik. Merasakan perubahan kebiasaan Aia yang sekarang
mulai membiasakan diri shalat lima waktu tanpa bolong. Membiasakan diri bertemu
dengan-Nya di waktu terbaik, shalat di sepertiga malam. Sekarang, di rumah
mulai terdengar lagi lantunan ayat-ayat-Nya yang sejak lama –sejak Ayah dan Bunda berpisah- sudah jarang
terdengar. Merasakan perubahan saat bicara dengan Aia, ini yang sering diprotes
oleh Adam, apa pun obrolannya Aia pasti mengaitkannya dengan Islam.
Seperti Minggu pagi ini. Karena tidak ada aktivitas,
usai sarapan, ditemani berbungkus-bungkus snack Aia dan Adam
bermalas-malasan di depan TV di ruang tengah. Kebetulan sedang tayang breaking
news tentang TKW yang menjadi korban penganiayaan majikannya di negara
tetangga.
“Ih! Kok tega banget sih, menyiksa sesama manusia
sampai kayak begitu!” gerutu Aia.
“Biasa aja, nontonnya jangan pakai emosi!” sela Adam
seraya iseng melemparkan kulit kacang ke arah Aia. Mulai deh cerewetnya, keluhnya
dalam hati. “Namanya juga orang berduit, apa pun bisa mereka lakukan, De! Coba
lihat korbannya, bisa apa dia, nggak punya uang, nggak punya kekuasaan.
Wassalam!” tambahnya.
Aia manyun, “Padahal, majikannya itu orang Islam
juga, kan, Bang? Harusnya, Islam itu kan satu tubuh. Saling merasakan apa yang
saudaranya rasakan. Bukan saling menindas kayak gitu! Tapi, harusnya ini
tanggung jawab pemerintah juga, kan, Bang? Masa warganya disiksa seperti itu,
pemerintah diam saja. Nggak punya wibawa sama sekali.”
“Tanggung jawab pemerintah? Kayak yang ngerti aja
lu, De!” cibir Adam. Tertawa.
“Eh, memang benar begitu, kan? Abang masih ingat
cerita Ayah tentang Umar bin Khattab yang bawain sekarung gandum buat ibu dan anak-anaknya yang miskin?” Aia
tiba-tiba teringat cerita-cerita Ayah. Dan tiba-tiba rindu pada Ayah menyergap
begitu saja.
Adam malah santai geleng kepala, “Nggak, tuh!”.
Sengaja ingin meledek Aia, 1-0.
“Ih, Abang tuh apa sih yang diingat?! Itu kan waktu
Umar bin Khattab jadi Khalifah, pemimpin umat Islam. Zaman sekarang mana ada
pemimpin yang panggul sendiri sekarung beras, misalnya. Warganya disiksa parah
begitu aja, dibiarin!”
Adam terlihat mulai malas mendengar ocehan adiknya,
“Iyalah! Atur aja! Dede yang paling ngerti semuanya. Atau Dede telepon saja ke
senayan, suruh pemerintahnya contoh Umar bin Khattab!”
“Apa sih, anak Bunda, rame banget?” Bunda yang baru
keluar kamar menegur. Berjalan mendekat, duduk di tengah-tengah Aia dan Adam
seraya sibuk mengecek tasnya, khawatir ada barang yang
tertinggal.
“Bunda, selalu ketinggalan cerita!” celetuk Adam
yang tanpa sadar membuat Bunda tersinggung. Seakan Adam hendak mengatakan, Bunda
tahu apa tentang Aia dan Adam. Adam berdehem melihat raut wajah Bunda
sedikit berubah, “Ini lho, Bun. Anak rohis lagi komentar
soal TKW. Bunda tahu, sekarang apa pun yang Aia bicarakan, pasti ujung-ujungnya dikaitkan
dengan Islam!”
Aia melotot kesal, merasa diejek dengan lirikan Adam
barusan.
“Lho, ya bagus, dong?” ucap Bunda singkat.
Aia nyengir mendapat pembelaan dari Bunda. 1-1.
“Ribet!” sahut Adam
ketus. Matanya menatap lurus ke depan, ke layar televisi. Siapa peduli jika
saat ini Bunda sedang menatapnya.
“Itu sih memang Abangnya saja dari dulu nggak pernah
mau ribet.”
“Kalo bisa simple, buat apa juga dibawa ribet, Bun ....”
“Sayangnya, nggak
semua hal dalam hidup kita bisa selalu simple, anakku,” Bunda membelai rambut Adam, “adakalanya
kita harus berhadapan dengan sesuatu yang ribet. Dan kita harus siap dengan
itu. Masa mahasiswa semester akhir kalah dengan cara berpikir anak rohis kelas 2
SMA?” Bunda mengingatkan. Yang diingatkan malah mengalihkan perhatian pada
kartun di TV.
“Pantas saja sudah hampir enam tahun, kuliah Abang nggak pernah kelar! Pasti karena Abang nggak mau ribet!”
cibir Aia.
Adam melengos lalu melenggang pergi meninggalkan
“forum”. Bunda menghela napas. Kenapa pula Adam tumbuh menjadi anak yang sinis–pada
Bundanya-? Apa rasa kecewa saat SD dulu begitu membekas pada Adam? Ah, rasa bersalah itu muncul lagi.
“Bunda mau pergi?” tanya Aia seraya meluruhkan kepala di bahu Bunda.
“Iya, mau ketemu teman lama Bunda. Kebetulan kita
baru ketemu lagi minggu lalu waktu seminar di Bandung,” jawab Bunda.
“Hm, Bunda nggak
bisa, ya, saat libur menghabiskan waktu di rumah?”
Bunda tersenyum, meminta pengertian pada Aia.
***
Pagi itu juga Bunda berangkat dengan camry hitamnya.
Melaju membelah jalan menuju pusat ibukota. Menuju kantor teman lama yang
terletak di sebuah perumahan di daerah Menteng.
“Assalamu’alaikum, Nur,” sapa Bunda yang telah
sampai di ruangan teman lamanya itu.
“Hei, Alya! Ayo, masuk,” yang disapa Nur oleh Bunda
berdiri menyambut Bunda. Menyalaminya, cipika-cipiki.
“Wah, jadi ini kantormu? Hebatnya,” gumam Bunda
seraya melihat sekeliling ruangan.
“Biasa saja,” sahut Nur merendah seraya menunjuk ke
arah sofa, mengajak Bunda duduk. Kemudian
menekan salah satu tombol di telepon kantor meminta dibawakan dua cangkir teh.
“Bagaimana, apa saja aktivitasmu sekarang?
Kelihatannya sibuk sekali guru besar yang satu ini,” tanya Bunda seraya
menggoda sedikit temannya.
Yang disapa Nur oleh Bunda tadi adalah Prof. Dr.
Nuriyah, MA. Perempuan kelahiran 70an itu adalah guru besar di Universitas
Al-Kalam, salah satu universitas Islam terkemuka
di ibukota,
kampusnya Adam. Aktivitasnya
tidak hanya sebagai guru besar tapi juga aktivis perempuan, peneliti dan
penulis di bidang keagamaan. Perempuan yang sering disapa Nur ini sudah dikenal
di negeri ini karena pemikirannya. Tentu saja Bunda sangat senang bertemu lagi
dengan teman lama yang ia anggap amat mengagumkan. Mereka pernah jadi teman
dekat di pesantren saat SMP dulu.
Setelah ngobrol sana-sini, akhirnya pertemuan hari
itu berakhir. Tapi, sepertinya pertemuan ini akan berlanjut. “Jadi, bisa ya
minggu depan kamu datang? Nanti kukenalkan dengan teman-temanku.” Nur
memastikan.
“Ya, ya, Insya Allah kalau tidak ada halangan aku
datang. Nanti kuhubungi lagi, ya,” sahut Bunda sebelum akhirnya pamit pulang.
***
“Coba. Coba
kamu berdiri, Ras,” pinta Aia. Wajahnya terlihat shock, seperti baru
mendengar kabar buruk. Hari ini pulang sekolah Aia sengaja mengajak Raras untuk
ikut pulang ke rumahnya dulu. Biasanya juga bersama dengan Azki, tapi hari ini
anak itu tidak masuk sekolah, ada urusan keluarga
katanya.
Raras berdiri, menuruti permintaan Aia. Kemudian
merentangkan tangan. Sementara Aia langsung meraba pakaian Raras, khususnya
bagian pinggang layaknya seorang polisi yang sedang menggeledah tersangka,
mencari barang bukti.
“Ini ... kamu sambung?” tanya Aia keheranan saat
tahu bahwa kemeja putih Raras menyatu dengan rok abu-abunya.
Raras hanya mengangguk sambil tersenyum tenang.
“Emang sih, sejak awal aku lihat, seragam kamu itu
agak beda. Kupikir itu karena seragammu kebesaran, ternyata disambung?”
“Masa sih kamu nggak tahu? Teman-teman yang lain
tahu semua, kok!”
Aia meringis. Mungkin karena selama ini Aia terlalu
sibuk dengan Feby, Rindy dan Lita. Hingga mengacuhkan yang lain.
Tadi, saat kajian, Kak Zia menjelaskan tentang
jilbab. Ah, siapalah yang tidak tahu jilbab? Selembar
kain berbentuk segiempat untuk menutup kepala, begitu pikir Aia saat Kak Zia
bertanya padanya. Tapi, bukan! Selembar kain berbentuk
segiempat itu, namanya kerudung. Khimar bahasa arabnya.
Jilbab itu berbeda dengan kerudung. Jilbab itu
pakaian luar yang terulur sampai menutupi mata kaki dan menutupi pakaian rumah seorang
muslimah saat sedang di luar rumah. Jilbab itu longgar. Jilbab itu tidak
transparan. Jilbab itu tidak membentuk lekuk tubuh. Jilbab itu ....
Aargh!! Benarkah pakaian seperti itu
yang harus dipakai oleh muslimah?
Teriak hati Aia. Heuh, Aia mengusap wajahnya berkali-kali. Benar-benar tidak
terbayangkan oleh Aia jika kemana-mana ia harus mengenakan pakaian itu. Apa
namanya? Jilbab? Itu kan lebih cocok untuk ibu-ibu. Apa kata orang, masih muda
gaya seperti ibu-ibu. Berarti tidak bisa fashionable lagi?
“Tapi Ras, esensinya, inti dari mengenakan jilbab
itu menutup aurat, kan? Berarti sebenarnya apa pun yang kita pakai selama itu
menutup aurat, sah-sah saja, dong. Iya, kan?” Aia mencoba protes. Belum bisa menerima
kenyataan. Aia terduduk lemah di tepi tempat tidur. Membuat tempat tidur yang
empuk itu membal seketika. Mengambil bantal kemudian memeluknya. Raras ikut
duduk di sebelahnya. Tersenyum bijak.
“Iya, memang mengenakan jilbab itu untuk menutup
aurat. Tapi, Allah kan juga sudah beri aturan bagaimana kita menutup aurat. Ya,
dengan jilbab itu. Kemarin kan, kita sudah sepakat kalau hidup kita itu untuk
beribadah pada Allah. Jadi, semua amal perbuatan kita juga harus sesuai dengan
yang Allah gariskan. Kalau nggak, gimana caranya kita beribadah pada Allah?
Perintahnya kan, juga sudah jelas, kamu sendiri yang
baca ayatnya tadi, surat Al-Ahzab ayat 59. "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka", itu
perintah Allah lho, Ai. Bukan aku, bukan Kak Zia. Malah, saking wajibnya
jilbab, ada hadits yang menceritakan Rasulullah
memerintahkan saudaranya meminjami jilbab untuk muslimah yang nggak punya
jilbab. Kalau iya kita boleh melaksanakan esensinya saja, untuk apa Rasul
menyuruh saudaranya meminjami jilbab. Mungkin Rasul akan bilang, ‘tidak
apa-apa, yang penting menutup aurat!’.
Lagian,
coba deh, kalau semua syariat Islam itu kita ambil esensinya aja. Misalkan shalat,
shalat itu untuk mengingat Allah, kan? Terus kalau kita sudah ingat Allah, apa
berarti kita nggak
perlu shalat lagi?” Raras mencoba memberi pengertian pada Aia.
Sebenarnya
Raras maklum jika Aia masih berat menerima hukum jilbab ini. Ia pun tahun lalu
begitu, selalu berusaha mencari pembenaran untuk tidak mengenakan jilbab. Tapi,
pembenaran seperti apa pun yang ia katakan, tetap tidak bisa mematahkan
kewajiban berjilbab. Jika diingat sekarang, Raras merasa sangat bodoh. Siapalah
yang mampu mematahkan perkataan Allah?
Aia
menggigit bibir. Bimbang. Satu sisi, ia sadar bahwa jilbab itu kewajiban yang
harus dilaksanakan. Tapi di sisi lain, Aia juga amat berat menerimanya. Atau
lebih baik aku keluar saja dari GARIS? Pikir Aia. Apa? Nggak. Nggak. Hanya karena
jilbab aku harus keluar dari GARIS? Bantahnya. Tapi ….
“Selain
menutup aurat, jilbab itu juga membuat kita lebih terjaga, lebih terhormat.
Karena nggak sembarangan orang bisa lihat aurat kita, Ai. Siapa bilang
pelecehan seksual, pemerkosaan yang sering terjadi pada perempuan, khususnya
usia remaja kayak kita, cuma karena kebejatan pelaku? Salah satu penyebabnya
adalah karena perempuan senang mengumbar aurat. Ya kan?” tambah Raras melihat
Aia masih tetap terdiam.
“Kamu
... sejak kapan pakai jilbab?” Aia kembali
bersuara.
“Sejak
aku tahu jilbab itu apa. Awalnya sih, sama seperti kamu. Nggak terima. Nggak mau
pakai jilbab. Tapi, aku sadar semua penolakanku terhadap jilbab sama sekali nggak
akan mengubah hukum jilbab itu sendiri.”
“Terus,
selain kamu, siapa lagi yang pakai jilbab di sekolah?”
“Baru
aku sama Azki saja, sih.”
“Oh
... jangan-jangan ini juga yang bikin kalian berdua nggak pernah pakai seragam tiap olahraga, ya?”
Raras
mengiyakan, nyengir sambil garuk-garuk kepala. “Habis ... mau gimana lagi? Itu
kan, bukan jilbab. Jadi, aku dan Azki nggak
bisa pakai seragam itu di tempat
umum.”
“Kalian
nggak gerah, Ras? Nggak malu?” tanya Aia apa adanya. Sejak tadi yang paling ia
khawatirkan adalah membayangkan hari-harinya bakal gerah bersama jilbab dan
rasa malu. O.M.G. “Malu itu, kan, sebagian dari iman, Ras,” Aia nyengir. Tahu
kalimatnya tidak tepat dalam masalah ini.
Raras
tertawa, “Benar sih, malu itu sebagian dari iman. Tapi, kalau malu karena
melaksanakan perintah Allah, apa masih bisa dibilang beriman? Ngaco!”
“Iya,
bercanda, kok,” sahut Aia. Hatinya masih menimbang-nimbang. Raras benar.
Menolak seperti apa pun, hukum Allah tidak akan berubah. Apa ia juga harus
berjilbab?
Ia
jadi ingat kata Kak Zia di akhir kajian tadi, “Kalau kita berjilbabnya terpaksa,
kita akan merasa jilbab itu penghalang. Tapi kalau kita melaksanakannya ikhlas
karena Allah dan sudah terbiasa, Insya Allah jilbab itu akan jadi pelindung
buat kita.”
***
Mengingat
masa-masa awal bergabung di GARIS, membuat
Aia tersenyum, geli sekaligus malu. Shock-nya begitu tahu hukum
jilbab. Sempat terpikir untuk keluar saja dari GARIS. Bukankah sebelum jadi
anak rohis ia tak perlu direpotkan soal berpakaian?
Tapi,
lagi-lagi Kak Zia sempat bilang padanya, “Sebenarnya jilbab itu sama wajibnya
kayak shalat. Jilbab itu bukan kewajibannya anak-anak rohis, tapi, seluruh
muslimah juga wajib memakainya. Masalahnya, nggak
semua muslimah tahu itu.
Kenapa? Karena kadang kita nggak
mau cari tahu tentang agama
kita sendiri. Padahal, Allah sudah memerintahkan kita untuk mencari tahu lewat
ayat-Nya yang turun pertama kali. Iqra’, bacalah.”
Hei,
Kak Zia benar! Saat ini banyak orang Islam yang justru tidak paham apa itu
Islam. Bahkan tidak jarang mereka mengatakan kalau Islam itu adalah Isya’,
Subuh, Dzuhur, Asar, dan Maghrib. Benar-benar sempit, bukan?
Tapi,
lihatlah. Betapa pun kita sering kali berbuat salah. Allah tetap menjadi Rahman
dan Rahiim
bagi makhluk-Nya. Seketika itu juga Aia tersadar. Bukankah selama ini Aia hidup
di keluarga yang hanya mengenal Islam (kalau tidak boleh dikatakan tidak
mengenal) sekedarnya. Pun begitu dengan lingkungan dan teman-temannya.
Tapi
Allah, Al-Hadii, Maha Pemberi petunjuk, tetap membimbingnya lewat
orang-orang yang telah Allah pilih, agar Aia tetap bisa mengenal Islam.
Tidakkah Allah amat menyayanginya? Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang
kamu dustakan? Hingga akhirnya setelah berhari-hari menimbang, memikirkan, Aia
memutuskan. Ya, dia akan berjilbab. Ia masih ingat pada pesan Bunda, “dengarkan
Bunda, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang
Aia.”. Nasihat Bunda
benar-benar bermanfaat.
Maka hari itu, dibantu Raras dan Azki ia mulai
mempersiapkan semua. Membawa seragamnya ke tukang jahit langganan Raras dan Azki
untuk disambung. Mengambil tabungan yang sedianya akan ia gunakan untuk membeli
gadget baru yang diincarnya. Karena tidak mungkin lagi meminta Bunda membelikan, baru beberapa bulan lalu Bunda membelikan Aia
gadget yang sekarang ia pakai. Tapi, sekarang uangnya akan ia gunakan untuk
membeli dua-tiga potong jilbab. Maklum saja, Aia tidak pernah membeli jilbab
sebelumnya.
Sejauh ini tidak ada masalah besar yang dihadapinya
dalam berjilbab. Hanya gumaman jahil teman di sekolah. Atau tatapan aneh yang
menatapnya dari atas hingga bawah, itu sungguh tak lagi ia hiraukan. Begitu
juga di rumah, hanya Bi Tiah yang sibuk bertanya kenapa harus disambung
seragamnya? Kenapa harus pakai jilbab? Adam seperti biasa, menggodanya.
Mengatakan Aia seperti ibu-ibu lah, apa lah.
“Suka-suka Abang aja, deh!” ujar Aia tidak peduli.
Bunda lebih parah lagi. Baru menyadari perubahan Aia
setelah
cukup lama Aia berjilbab.
“Eh, Bunda kok baru sadar ya, kamu sekarang sering pakai gamis, Ai?” tanya
Bunda yang sebenarnya sedang buru-buru hendak berangkat ke kantor. Ada rapat
dan ada berkas yang harus disiapkan katanya. Kebetulan Aia sedang memakai jilbabnya.
Bukan seragam sekolah. Sekolah sedang
diliburkan hari ini.
“Ah, Bunda telat! Ini udah lama, Bun!”
sungut Aia seraya menyandarkan bahu di sofa. Kemana saja Bunda selama ini?
“Oh, oke. Bunda berangkat, ya.”
Hanya itu respon Bunda. Tidak lebih, tidak kurang.
Ya ... setidaknya, sejauh ini Aia dan jilbabnya masih baik-baik saja.
***
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Januari 13, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar