Jumat, 13 Januari 2017

Pertemuan dengan Raras, Azki dan Kak Zia, membawa banyak perubahan dalam diri Aia. Saking banyaknya, bukan hanya Aia yang merasakan perubahan tersebut. Bunda, Adam terlebih lagi Bi Tiah –yang jadi tempat Aia bercerita-, juga turut merasakan.

Merasakan perubahan sikap Aia, yang semakin hari semakin terlihat lebih baik. Merasakan perubahan kebiasaan Aia yang sekarang mulai membiasakan diri shalat lima waktu tanpa bolong. Membiasakan diri bertemu dengan-Nya di waktu terbaik, shalat di sepertiga malam. Sekarang, di rumah mulai terdengar lagi lantunan ayat-ayat-Nya yang sejak lama –sejak Ayah dan Bunda berpisah- sudah jarang terdengar. Merasakan perubahan saat bicara dengan Aia, ini yang sering diprotes oleh Adam, apa pun obrolannya Aia pasti mengaitkannya dengan Islam.

Seperti Minggu pagi ini. Karena tidak ada aktivitas, usai sarapan, ditemani berbungkus-bungkus snack Aia dan Adam bermalas-malasan di depan TV di ruang tengah. Kebetulan sedang tayang breaking news tentang TKW yang menjadi korban penganiayaan majikannya di negara tetangga.

“Ih! Kok tega banget sih, menyiksa sesama manusia sampai kayak begitu!” gerutu Aia.

“Biasa aja, nontonnya jangan pakai emosi!” sela Adam seraya iseng melemparkan kulit kacang ke arah Aia. Mulai deh cerewetnya, keluhnya dalam hati. “Namanya juga orang berduit, apa pun bisa mereka lakukan, De! Coba lihat korbannya, bisa apa dia, nggak punya uang, nggak punya kekuasaan. Wassalam!” tambahnya.

Aia manyun, “Padahal, majikannya itu orang Islam juga, kan, Bang? Harusnya, Islam itu kan satu tubuh. Saling merasakan apa yang saudaranya rasakan. Bukan saling menindas kayak gitu! Tapi, harusnya ini tanggung jawab pemerintah juga, kan, Bang? Masa warganya disiksa seperti itu, pemerintah diam saja. Nggak punya wibawa sama sekali.”

“Tanggung jawab pemerintah? Kayak yang ngerti aja lu, De!” cibir Adam. Tertawa.

“Eh, memang benar begitu, kan? Abang masih ingat cerita Ayah tentang Umar bin Khattab yang bawain sekarung gandum buat ibu dan anak-anaknya yang miskin?” Aia tiba-tiba teringat cerita-cerita Ayah. Dan tiba-tiba rindu pada Ayah menyergap begitu saja.

Adam malah santai geleng kepala, “Nggak, tuh!”. Sengaja ingin meledek Aia, 1-0.

“Ih, Abang tuh apa sih yang diingat?! Itu kan waktu Umar bin Khattab jadi Khalifah, pemimpin umat Islam. Zaman sekarang mana ada pemimpin yang panggul sendiri sekarung beras, misalnya. Warganya disiksa parah begitu aja, dibiarin!”

Adam terlihat mulai malas mendengar ocehan adiknya, “Iyalah! Atur aja! Dede yang paling ngerti semuanya. Atau Dede telepon saja ke senayan, suruh pemerintahnya contoh Umar bin Khattab!”

“Apa sih, anak Bunda, rame banget?” Bunda yang baru keluar kamar menegur. Berjalan mendekat, duduk di tengah-tengah Aia dan Adam seraya sibuk mengecek tasnya, khawatir ada barang yang tertinggal.

“Bunda, selalu ketinggalan cerita!” celetuk Adam yang tanpa sadar membuat Bunda tersinggung. Seakan Adam hendak mengatakan, Bunda tahu apa tentang Aia dan Adam. Adam berdehem melihat raut wajah Bunda sedikit berubah, “Ini lho, Bun. Anak rohis lagi komentar soal TKW. Bunda tahu, sekarang apa pun yang Aia bicarakan, pasti ujung-ujungnya dikaitkan dengan Islam!

Aia melotot kesal, merasa diejek dengan lirikan Adam barusan.

“Lho, ya bagus, dong?” ucap Bunda singkat.

Aia nyengir mendapat pembelaan dari Bunda. 1-1.

Ribet!” sahut Adam ketus. Matanya menatap lurus ke depan, ke layar televisi. Siapa peduli jika saat ini Bunda sedang menatapnya.

“Itu sih memang Abangnya saja dari dulu nggak pernah mau ribet.”

“Kalo bisa simple, buat apa juga dibawa ribet, Bun ....”

“Sayangnya, nggak semua hal dalam hidup kita bisa selalu simple, anakku,” Bunda membelai rambut Adam, “adakalanya kita harus berhadapan dengan sesuatu yang ribet. Dan kita harus siap dengan itu. Masa mahasiswa semester akhir kalah dengan cara berpikir anak rohis kelas 2 SMA?” Bunda mengingatkan. Yang diingatkan malah mengalihkan perhatian pada kartun di TV.

“Pantas saja sudah hampir enam tahun, kuliah Abang nggak pernah kelar! Pasti karena Abang nggak mau ribet!” cibir Aia.

Adam melengos lalu melenggang pergi meninggalkan “forum”. Bunda menghela napas. Kenapa pula Adam tumbuh menjadi anak yang sinis–pada Bundanya-? Apa rasa kecewa saat SD dulu begitu membekas pada Adam? Ah, rasa bersalah itu muncul lagi.

“Bunda mau pergi?” tanya Aia seraya meluruhkan kepala di bahu Bunda.

“Iya, mau ketemu teman lama Bunda. Kebetulan kita baru ketemu lagi minggu lalu waktu seminar di Bandung,” jawab Bunda.

“Hm, Bunda nggak bisa, ya, saat libur menghabiskan waktu di rumah?”

Bunda tersenyum, meminta pengertian pada Aia.

***

Pagi itu juga Bunda berangkat dengan camry hitamnya. Melaju membelah jalan menuju pusat ibukota. Menuju kantor teman lama yang terletak di sebuah perumahan di daerah Menteng.

“Assalamu’alaikum, Nur,” sapa Bunda yang telah sampai di ruangan teman lamanya itu.

“Hei, Alya! Ayo, masuk,” yang disapa Nur oleh Bunda berdiri menyambut Bunda. Menyalaminya, cipika-cipiki.

“Wah, jadi ini kantormu? Hebatnya,” gumam Bunda seraya melihat sekeliling ruangan.

“Biasa saja,” sahut Nur merendah seraya menunjuk ke arah sofa, mengajak Bunda duduk.  Kemudian menekan salah satu tombol di telepon kantor meminta dibawakan dua cangkir teh.

“Bagaimana, apa saja aktivitasmu sekarang? Kelihatannya sibuk sekali guru besar yang satu ini,” tanya Bunda seraya menggoda sedikit temannya.

Yang disapa Nur oleh Bunda tadi adalah Prof. Dr. Nuriyah, MA. Perempuan kelahiran 70an itu adalah guru besar di Universitas Al-Kalam, salah satu universitas Islam terkemuka di ibukota, kampusnya Adam. Aktivitasnya tidak hanya sebagai guru besar tapi juga aktivis perempuan, peneliti dan penulis di bidang keagamaan. Perempuan yang sering disapa Nur ini sudah dikenal di negeri ini karena pemikirannya. Tentu saja Bunda sangat senang bertemu lagi dengan teman lama yang ia anggap amat mengagumkan. Mereka pernah jadi teman dekat di pesantren saat SMP dulu.

Setelah ngobrol sana-sini, akhirnya pertemuan hari itu berakhir. Tapi, sepertinya pertemuan ini akan berlanjut. “Jadi, bisa ya minggu depan kamu datang? Nanti kukenalkan dengan teman-temanku.” Nur memastikan.

“Ya, ya, Insya Allah kalau tidak ada halangan aku datang. Nanti kuhubungi lagi, ya,” sahut Bunda sebelum akhirnya pamit pulang.

***

“Coba. Coba kamu berdiri, Ras,” pinta Aia. Wajahnya terlihat shock, seperti baru mendengar kabar buruk. Hari ini pulang sekolah Aia sengaja mengajak Raras untuk ikut pulang ke rumahnya dulu. Biasanya juga bersama dengan Azki, tapi hari ini anak itu tidak masuk sekolah, ada urusan keluarga katanya.

Raras berdiri, menuruti permintaan Aia. Kemudian merentangkan tangan. Sementara Aia langsung meraba pakaian Raras, khususnya bagian pinggang layaknya seorang polisi yang sedang menggeledah tersangka, mencari barang bukti.

“Ini ... kamu sambung?” tanya Aia keheranan saat tahu bahwa kemeja putih Raras menyatu dengan rok abu-abunya.

Raras hanya mengangguk sambil tersenyum tenang.

“Emang sih, sejak awal aku lihat, seragam kamu itu agak beda. Kupikir itu karena seragammu kebesaran, ternyata disambung?”

“Masa sih kamu nggak tahu? Teman-teman yang lain tahu semua, kok!”

Aia meringis. Mungkin karena selama ini Aia terlalu sibuk dengan Feby, Rindy dan Lita. Hingga mengacuhkan yang lain.

Tadi, saat kajian, Kak Zia menjelaskan tentang jilbab. Ah, siapalah yang tidak tahu jilbab? Selembar kain berbentuk segiempat untuk menutup kepala, begitu pikir Aia saat Kak Zia bertanya padanya. Tapi, bukan! Selembar kain berbentuk segiempat itu, namanya kerudung. Khimar bahasa arabnya.

Jilbab itu berbeda dengan kerudung. Jilbab itu pakaian luar yang terulur sampai menutupi mata kaki dan menutupi pakaian rumah seorang muslimah saat sedang di luar rumah. Jilbab itu longgar. Jilbab itu tidak transparan. Jilbab itu tidak membentuk lekuk tubuh. Jilbab itu ....

Aargh!! Benarkah pakaian seperti itu yang harus dipakai oleh muslimah? Teriak hati Aia. Heuh, Aia mengusap wajahnya berkali-kali. Benar-benar tidak terbayangkan oleh Aia jika kemana-mana ia harus mengenakan pakaian itu. Apa namanya? Jilbab? Itu kan lebih cocok untuk ibu-ibu. Apa kata orang, masih muda gaya seperti ibu-ibu. Berarti tidak bisa fashionable lagi?

“Tapi Ras, esensinya, inti dari mengenakan jilbab itu menutup aurat, kan? Berarti sebenarnya apa pun yang kita pakai selama itu menutup aurat, sah-sah saja, dong. Iya, kan?” Aia mencoba protes. Belum bisa menerima kenyataan. Aia terduduk lemah di tepi tempat tidur. Membuat tempat tidur yang empuk itu membal seketika. Mengambil bantal kemudian memeluknya. Raras ikut duduk di sebelahnya. Tersenyum bijak.

“Iya, memang mengenakan jilbab itu untuk menutup aurat. Tapi, Allah kan juga sudah beri aturan bagaimana kita menutup aurat. Ya, dengan jilbab itu. Kemarin kan, kita sudah sepakat kalau hidup kita itu untuk beribadah pada Allah. Jadi, semua amal perbuatan kita juga harus sesuai dengan yang Allah gariskan. Kalau nggak, gimana caranya kita beribadah pada Allah?

Perintahnya kan, juga sudah jelas, kamu sendiri yang baca ayatnya tadi, surat Al-Ahzab ayat 59. "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", itu perintah Allah lho, Ai. Bukan aku, bukan Kak Zia. Malah, saking wajibnya jilbab, ada hadits yang menceritakan Rasulullah memerintahkan saudaranya meminjami jilbab untuk muslimah yang nggak punya jilbab. Kalau iya kita boleh melaksanakan esensinya saja, untuk apa Rasul menyuruh saudaranya meminjami jilbab. Mungkin Rasul akan bilang, ‘tidak apa-apa, yang penting menutup aurat!’.

Lagian, coba deh, kalau semua syariat Islam itu kita ambil esensinya aja. Misalkan shalat, shalat itu untuk mengingat Allah, kan? Terus kalau kita sudah ingat Allah, apa berarti kita nggak perlu shalat lagi?” Raras mencoba memberi pengertian pada Aia.

Sebenarnya Raras maklum jika Aia masih berat menerima hukum jilbab ini. Ia pun tahun lalu begitu, selalu berusaha mencari pembenaran untuk tidak mengenakan jilbab. Tapi, pembenaran seperti apa pun yang ia katakan, tetap tidak bisa mematahkan kewajiban berjilbab. Jika diingat sekarang, Raras merasa sangat bodoh. Siapalah yang mampu mematahkan perkataan Allah?

Aia menggigit bibir. Bimbang. Satu sisi, ia sadar bahwa jilbab itu kewajiban yang harus dilaksanakan. Tapi di sisi lain, Aia juga amat berat menerimanya. Atau lebih baik aku keluar saja dari GARIS? Pikir Aia. Apa? Nggak. Nggak. Hanya karena jilbab aku harus keluar dari GARIS? Bantahnya. Tapi ….

“Selain menutup aurat, jilbab itu juga membuat kita lebih terjaga, lebih terhormat. Karena nggak sembarangan orang bisa lihat aurat kita, Ai. Siapa bilang pelecehan seksual, pemerkosaan yang sering terjadi pada perempuan, khususnya usia remaja kayak kita, cuma karena kebejatan pelaku? Salah satu penyebabnya adalah karena perempuan senang mengumbar aurat. Ya kan?” tambah Raras melihat Aia masih tetap terdiam.

“Kamu ... sejak kapan pakai jilbab?” Aia kembali bersuara.

“Sejak aku tahu jilbab itu apa. Awalnya sih, sama seperti kamu. Nggak terima. Nggak mau pakai jilbab. Tapi, aku sadar semua penolakanku terhadap jilbab sama sekali nggak akan mengubah hukum jilbab itu sendiri.”

“Terus, selain kamu, siapa lagi yang pakai jilbab di sekolah?”

“Baru aku sama Azki saja, sih.”

“Oh ... jangan-jangan ini juga yang bikin kalian berdua nggak pernah pakai seragam tiap olahraga, ya?”

Raras mengiyakan, nyengir sambil garuk-garuk kepala. “Habis ... mau gimana lagi? Itu kan, bukan jilbab. Jadi, aku dan Azki nggak bisa pakai seragam itu di tempat umum.”

“Kalian nggak gerah, Ras? Nggak malu?” tanya Aia apa adanya. Sejak tadi yang paling ia khawatirkan adalah membayangkan hari-harinya bakal gerah bersama jilbab dan rasa malu. O.M.G. “Malu itu, kan, sebagian dari iman, Ras,” Aia nyengir. Tahu kalimatnya tidak tepat dalam masalah ini.

Raras tertawa, “Benar sih, malu itu sebagian dari iman. Tapi, kalau malu karena melaksanakan perintah Allah, apa masih bisa dibilang beriman? Ngaco!”

“Iya, bercanda, kok,” sahut Aia. Hatinya masih menimbang-nimbang. Raras benar. Menolak seperti apa pun, hukum Allah tidak akan berubah. Apa ia juga harus berjilbab?

Ia jadi ingat kata Kak Zia di akhir kajian tadi, “Kalau kita berjilbabnya terpaksa, kita akan merasa jilbab itu penghalang. Tapi kalau kita melaksanakannya ikhlas karena Allah dan sudah terbiasa, Insya Allah jilbab itu akan jadi pelindung buat kita.”

***

Mengingat masa-masa awal bergabung di GARIS, membuat Aia tersenyum, geli sekaligus malu. Shock-nya begitu tahu hukum jilbab. Sempat terpikir untuk keluar saja dari GARIS. Bukankah sebelum jadi anak rohis ia tak perlu direpotkan soal berpakaian?

Tapi, lagi-lagi Kak Zia sempat bilang padanya, “Sebenarnya jilbab itu sama wajibnya kayak shalat. Jilbab itu bukan kewajibannya anak-anak rohis, tapi, seluruh muslimah juga wajib memakainya. Masalahnya, nggak semua muslimah tahu itu. Kenapa? Karena kadang kita nggak mau cari tahu tentang agama kita sendiri. Padahal, Allah sudah memerintahkan kita untuk mencari tahu lewat ayat-Nya yang turun pertama kali. Iqra’, bacalah.”

Hei, Kak Zia benar! Saat ini banyak orang Islam yang justru tidak paham apa itu Islam. Bahkan tidak jarang mereka mengatakan kalau Islam itu adalah Isya’, Subuh, Dzuhur, Asar, dan Maghrib. Benar-benar sempit, bukan?

Tapi, lihatlah. Betapa pun kita sering kali berbuat salah. Allah tetap menjadi Rahman dan Rahiim bagi makhluk-Nya. Seketika itu juga Aia tersadar. Bukankah selama ini Aia hidup di keluarga yang hanya mengenal Islam (kalau tidak boleh dikatakan tidak mengenal) sekedarnya. Pun begitu dengan lingkungan dan teman-temannya.

Tapi Allah, Al-Hadii, Maha Pemberi petunjuk, tetap membimbingnya lewat orang-orang yang telah Allah pilih, agar Aia tetap bisa mengenal Islam. Tidakkah Allah amat menyayanginya? Maka nikmat Tuhan-mu yang manakah yang kamu dustakan? Hingga akhirnya setelah berhari-hari menimbang, memikirkan, Aia memutuskan. Ya, dia akan berjilbab. Ia masih ingat pada pesan Bunda, dengarkan Bunda, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia.”. Nasihat Bunda benar-benar bermanfaat.

Maka hari itu, dibantu Raras dan Azki ia mulai mempersiapkan semua. Membawa seragamnya ke tukang jahit langganan Raras dan Azki untuk disambung. Mengambil tabungan yang sedianya akan ia gunakan untuk membeli gadget baru yang diincarnya. Karena tidak mungkin lagi meminta Bunda membelikan, baru beberapa bulan lalu Bunda membelikan Aia gadget yang sekarang ia pakai. Tapi, sekarang uangnya akan ia gunakan untuk membeli dua-tiga potong jilbab. Maklum saja, Aia tidak pernah membeli jilbab sebelumnya.

Sejauh ini tidak ada masalah besar yang dihadapinya dalam berjilbab. Hanya gumaman jahil teman di sekolah. Atau tatapan aneh yang menatapnya dari atas hingga bawah, itu sungguh tak lagi ia hiraukan. Begitu juga di rumah, hanya Bi Tiah yang sibuk bertanya kenapa harus disambung seragamnya? Kenapa harus pakai jilbab? Adam seperti biasa, menggodanya. Mengatakan Aia seperti ibu-ibu lah, apa lah. “Suka-suka Abang aja, deh!” ujar Aia tidak peduli.

Bunda lebih parah lagi. Baru menyadari perubahan Aia setelah cukup lama Aia berjilbab. “Eh, Bunda kok baru sadar ya, kamu sekarang sering pakai gamis, Ai?” tanya Bunda yang sebenarnya sedang buru-buru hendak berangkat ke kantor. Ada rapat dan ada berkas yang harus disiapkan katanya. Kebetulan Aia sedang memakai jilbabnya. Bukan seragam sekolah. Sekolah sedang diliburkan hari ini.

“Ah, Bunda telat! Ini udah lama, Bun!” sungut Aia seraya menyandarkan bahu di sofa. Kemana saja Bunda selama ini?

“Oh, oke. Bunda berangkat, ya.”

Hanya itu respon Bunda. Tidak lebih, tidak kurang. Ya ... setidaknya, sejauh ini Aia dan jilbabnya masih baik-baik saja.
***

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar