Kamis, 16 Agustus 2012.
Bogor, H-3 lebaran, jalan sangat
macet.
Biasanya hanya butuh waktu 1 jam
untuk sampai ke toko buku langgananku. Tapi hari ini aku menghabiskan
perjalanan 1,5 jam. Akibatnya aku terlambat, toko buku itu sudah tutup untuk
istirahat shalat dzuhur. Akibatnya lagi, aku harus menunggu 1 jam sampai toko
itu buka lagi. Aku menghempaskan nafas berat. Maklum, aku sudah setengah
berlari untuk sampai ke toko. Mau nunggu di mana?, pikirku.
Kuputuskan untuk berjalan-jalan
sebentar di Botani Square, lumayanlah untuk mengobati bĂȘte. Gramedia, toko buku
yang sudah terkenal itu menarik langkahku setibanya di dalam Botani Square.
Melihat buku yang entah berapa jumlahnya, mataku terbelalak bak melihat
tumpukkan emas. Dari dulu aku memang menyukai buku, cita-citaku pun berhuubngan
dengan buku. Aku ingin menjadi penulis. Sampai saat ini aku masih yakin bahwa
aku pasti bisa menjadi penulis. Bukankah Allah sesuai prasangka hamba-Nya?.
Ku telusuri jajaran buku-buku
ini. Buku fiqih, bukuk ini memang sudah menjadi incaranku hari ini. Tapi yang
jelas aku tidak akan membelinya disini, aku akan membelinya di toko langgananku.
Buku motivasi, komputer, novel, komik, biografi, buku-buku islami, humor, dan
lainnya. Ah, seandainya uangku cukup untuk membeli setiap buku yang ku
inginkan, pasti puluhan buku sudah ku bawa ke meja kasir. Ya, setidaknya aku
punya budget untuk 1 buku di Gramedia ini.
Catatan Hati Si Setiap Do’aku,
Sakinah Bersamamu, Twitografi Asma Nadia, Catatan Hati Yang Cemburu. Judul
buku-buku ini menarik perhatianku, sangat. Satu-satunya alasan adalah karena
semua buku ini adalah karangan seorang penulis favoritku, Asma Nadia, penulis
best seller.
Suatu saat aku ingin menjadi sepertinya, bisikku dalam hati.
Ketertarikanku pada buku-buku itu
tidak serta merta membuatku membelinya. Aku terlalu bimbang. Aku kembali
melihat buku-buku yang lain.
“Yang ini aja Mbak.” Tegur
seorang akhwat menunjuk sebuah buku, aku hanya tersenyum, “Cari buku apa,
Mbak?”, ia melanjutkan.
Aku sedikit bingung, karena
terlalu banyak buku yang ingin ku cari, akhirnya ku jawab sekenanya, “Mau cari
buku sejarah perkembangan islam di Korea.”. Aku lirik lagi akhwat ini dari atas
sampai bawah, cara berpakaiannya sama, jilbab dan kerudung, ku pikir kami
se-harokah. Tapi, setelah obrolan berlanjut, ku piker tidak. Ia kembali
bertanya, “Kenapa sejarah Islam di Korea?, kenapa gak sejarah Islam di
Indonesia”
Aku tersenyum, “Ya, saya tertarik
aja tentang sejarahnya ratu Deokman yang ternyata sezaman dengan Rasul dan
Khulafaurrasyiddin.”
“Tapi kenapa harus sejarah di
Korea, padahal orang-orang di Indonesia juga banyak yang belum tau sejarah awal
masuknya Islam ke Indonesia lewat apa?, di mana?. Kalo menurut kamu kenapa sih
orang-orang Islam saat ini tidak tahu tentang sejarah Islam itu sendiri?” Lagi,
akhwat bernama Humaida ini bertanya.
Ah, entah kenapa aku aku mulai
tidak menyukai obrolan ini. Aku merasa pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan
bukan obrolan melainkan menguji. Meski begitu, aku tetap menjawabnya, “ya, itu
kan problematika umat islam sekarang, umat Islam jauh dari Islam.”
“Tapi kamu sendiri yakin gak kalo
suatu saat Islam akan kembali jaya seperti zaman nabi dulu”
“Yakin. Itu kan janji Allah ada
di Al-Qur’an surah An-nur ayat 55, bahkan di hadits Rasul mengabarkan akan
datangnya masa kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian di akhir zaman.”
“O gitu ya, trus kalo menurut
kamu, gimana kalo ternyata Allah menunjuk kamu sebagai pelaku perubahan?”
tanyanya lagi.
Aduh, maaf yah Humaida sepertinya aku mulai bosan, hm, seandainya
aku bisa mengatakannya.
“Saya? Wah, Subhanallah kalo
gitu.”
“Tapi kalo kamu baca Al-Qur’an,
trus liat artinya, suka kan baca Al-Qur’an?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Ada gak sih ayat yang menurut
kamu, itu untuk kamu. Yang bisa memotivasi kamu?”
Beneran nguji nih, batinku. Tapi
tetap aku jawab dengan tersenyum, “ka nada ayat ‘Kuntum Khoiru Ummah’,”
“Kamu umat terbaik?” tanyanya,
aku mengangguk mengiyakan.
Humaida terus melontarkan
pertanyaan seperti seorang wartawan yang sedang mengungkap sebuah fakta. Meski
semakin terasa membosankan, dengan tetap menjaga sikap aku tetap meladeninya.
Sambil sesekali melihat dan mengomentari buku yang kami lihat. Tapi ia tetap
fokus pada pertanyaan yang menurutku sebenarnya ia sudah mengetahui jawabannya.
Nadanya, terdengar seperti sedang menguji. Di tengah-tengah perbincangan, aku
teringat tujuanku datang ke Bogor, untuk mengunjungi toko buku langgananku.
“Teh, aku kesitu dulu ya, mau
ambil buku.” Ucapku seraya meninggalkan Humaida. Akhirnya kuputuskan untuk membeli
buku “Catatan hati di setiap do’a ku” karya Asma Nadia. Setelah mendapatkan
buku tersebut, aku kembali ke tempat tadi bertemu dengan Humaida. Tapi ia sudah
tidak ada, ku edarkan pandangan ke setiap sudut toko, tapi tidak juga ku
tangkap sosoknya. Hm, padahal aku ingin berpamitan dengannya. Sebagai tanda
bahwa aku menyukai pertemuan ini, meski sedikit membosankan (he…). Setidaknya
member kesan pada pertemuan ini. Tapi sudahlah, aku harus bergegas. Jangan
sampai tokonya keburu tutup.
Terkadang, seseorang mampir
begitu saja dalam hidup kita, lalu ia pergi dengan begitu saja. Humaida bukan
orang pertama, aku sudah sering menemui orang yang sekedar mampir dalam
kehidupanku. Kadang sebagian dari mereka ada yang member kesan tersendiri, dan
ada juga yang berlalu begitu saja, lalu menghilang. Satu hal yang pasti,
setidaknya dari pertemuan singkat itu kita dapat mengambil pelajaran,
pengalaman, meski sedikit.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Agustus 24, 2012
Unknown
Posted in
0 komentar:
Posting Komentar