“Pak, ayolah Pak …. Izinkan kita tetap pakai
jilbab, ya?” Azki membujuk Pak Haris. Sudah dua
pertemuan mereka bertiga dianggap absen pelajaran olahraga karena keukeuh tidak mau memakai seragam olahraga. Tidak hanya dianggap
absen, mereka juga harus menjalani hukuman keliling lapangan lima kali. Itu
peraturan tambahan dari Kepala Sekolah.
Mungkin mereka bisa menuruti kemauan
sekolah untuk
berhenti menolak penutupan
rohis. Tapi,
mereka tidak bisa menuruti peraturan sekolah yang memaksa mereka mengenakan
seragam olahraga. Karena itu sama
saja dengan sekolah sedang memaksa
mereka melepas jilbab.
Sudah hampir setengah jam merayu, tak mampu membuat hati Pak Haris
luluh. Beliau tetap bergeming. Malah berteriak memberi arahan pada siswa yang
sedang berlatih bola volly.
“Pak, tolong kami ya, Pak?” Raras masih berusaha.
Pak Haris menggeleng, “Bapak tidak
masalah kalian tidak memakai seragam olahraga. Tapi, Bapak juga tidak
mungkin melanggar peraturan sekolah. Kalian tetap harus menjalani hukumannya.
Sekarang keliling lapangan lima kali!”
Kalau sudah begini, mereka tidak bisa
berbuat apa-apa selain melaksanakan perintah Pak Haris. Keliling lapangan.
“Kemarin rohis, sekarang jilbab!” gerutu
Aia sambil berlari kecil mengelilingi lapangan. “Kita hidup di negeri
apa sih?! Katanya ini negeri muslim terbesar. Tapi mau taat aja banyak banget
halangannya! Apa salahnya olahraga pakai jilbab?!” sambungnya. Kalau bukan
karena keimanannya, mungkin ia sudah stres tingkat tinggi menghadapi ini. Belum
lagi menghadapi Bunda yang satu suara dengan sekolah.
“Ya ... mungkin ini karena lingkungan
kita sebenarnya jauh dari Islam,” sahut Azki berlari selangkah di belakang Aia
dan Raras.
“Iya, jadi inget kata Kak Zia,” Raras menimpali,
“kita emang hidup di negeri muslim terbesar di dunia. Tapi, negara kita ini
sekuler. Nggak mau bawa-bawa agama dalam kehidupan.
Akhirnya sadar nggak sadar semua kalangan masyarakat
ikutan sekuler juga. Salah satu akibatnya ya gini, deh.”
Dari kejauhan nampak sosok bertubuh
tinggi dengan perut agak maju tengah mengawasi. Manggut-manggut sambil
menyeringai penuh makna. Siapa lagi kalau bukan Pak Kepala Sekolah. Ini sudah ketiga kalinya ia melihat
tiga siswi itu dihukum lari keliling lapangan. Namun, ternyata hukuman itu
sama sekali tidak membuat mereka jera.
Sementara di lapangan, Aia, Raras dan
Azki masih menyelesaikan putaran terakhir hukuman mereka. Tanpa ada satupun di antara
mereka yang menyadari kalau mereka tengah diawasi.
***
Selesai
menjalani hukuman, beragam respon mereka terima. Ada yang sekedar menggoda. Ada yang mencibir. Juga
yang menatap iba seperti Feby, Rindy dan
Lita. Sebagai teman yang pernah dekat, mereka merasa
harus peduli. “Kita tahu, sekarang kita udah nggak sahabatan kayak dulu. Tapi,
gini-gini, kita masih care sama lu, Ai,” ujar Feby mewakili Rindy dan
Lita.
“Makasih, ya, Feb ...,” sahut Aia.
Senangnya hati Aia mendengar ucapan Feby. Mungkin sekarang mereka bisa berbaikan dan
kembali dekat. Aia juga ingin mengajak mereka mengenal Islam.
“Kalau boleh kita kasih saran, sih. Mending udah deh, Ai, ikutin aja semua
aturan sekolah. Apa salahnya sih pakai seragam olahraga? Sejak lu gabung di
rohis, lu makin aneh tahu, nggak!”
Aia menghempaskan napas, kecewa. Semua rencana yang baru saja muncul di kepala, rontok
seketika. “Terimakasih ya, kalian masih care
sama gue. Tapi, kalo itu saran kalian.
Maaf, gue nggak bisa. Memang sih, kalau gue ikutin
saran kalian gue bakal nggak ada masalah di sekolah. Tapi
akan bermasalah sama Allah karena nggak menutup aurat dengan sempurna.”
Akhirnya tatapan iba itu berubah menjadi
tatapan sinis, halah! Dibilangin malah sok
alim! Lagian,
berlagak aja sih! Berani-beraninya melawan peraturan sekolah. Dasar provokator!
***
Aia menenggelamkan diri di sofa ruang
tengah usai sholat Isya’.
Menyalakan televisi sebagai teman malam harinya. Bi Tiah sedang menginap di
rumah anaknya. Biasanya, subuh nanti baru kembali. Adam baru saja berangkat
dengan kamera kesayangannya. Ada pemotretan di acara pernikahan teman katanya.
Bunda? Mungkin tengah di perjalanan pulang. Atau mungkin masih di kantor.
Entahlah.
Untuk kesekian kalinya, smartphone
Aia kembali bergetar. Tapi, pemilik smartphone
sama sekali tidak berminat menjawab telepon tersebut. Malah membalikkannya
ketika tahu siapa yang menelepon. Terdiam sejenak. Diraihnya kembali handphone
yang sudah berhenti bergetar. Ditatapnya lekat-lekat layar smartphone-nya.
Tujuh panggilan tak terjawab. Ayah.
“Janganlah kalian saling memutuskan tali persaudaraan, janganlah
kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling membenci dan janganlah
saling menghasud. Jadilah kalian hamba Allah ta'ala yang bersaudara. Tidaklah
halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari,
hadits riwayat Bukhari dan Muslim,” itu adalah
jawaban Zia saat Aia bertanya hukum mendiamkan seseorang. Tidak boleh lebih dari tiga hari. Ayolah, Aia .... ini sudah enam bulan. Mau sampai kapan menghindari
Ayah? Bisik hatinya.
“Astaghfirullah .... Maaf ya, Ayah,”
ucap Aia menyadari kekeliruannya. “Oke. Kalau sekarang Ayah telepon lagi, Aia
akan jawab!” ucapnya lagi seraya menatap tajam smartphonenya. Berharap Ayah kembali menelepon.
Satu, dua, tiga, bahkan hingga lima
belas menit Aia menunggu, smartphonenya
tidak juga berdering. Tidak ada telepon yang diharapkannya. Aia masih menatap smartphone.
Menimbang. Haruskah ia yang
menelepon lebih dulu?
“Tunggu telepon siapa, Ai?” tegur sebuah
suara tiba-tiba.
Aia menoleh. “Bunda? Udah pulang?!” serunya.
Seketika lupa dengan telepon yang ditunggu.
Bunda duduk di sebelah Aia. Meluruskan kaki. “Sendirian?”
Aia mengangguk, “Bi Tiah nginep di rumah
anaknya. Abang barusan pergi. Ada pemotretan katanya!” lapornya. Seolah ingin
Bunda tahu, ia kesepian sejak tadi.
“Oh ya, gimana di sekolah? Nggak ada
masalah lagi, kan?”
“Hm?” Aia terkejut dengan pertanyaan
Bunda. Kenapa Bunda tiba-tiba menanyakan sekolah? Aia
meringis. Kemudian menggeleng perlahan.
Bunda mengangguk tersenyum. “Bunda lega
kalau semua baik-baik aja,” ujarnya kemudian beranjak ke dapur, hendak mengambil
minum.
Mimik wajah Aia berubah seketika.
Menyesal. Baik?! apanya yang baik?! Terlintas di benaknya
saat ia harus lari keliling lapangan di sekolah. “Maaf ya, Bunda ...,” gumamnya
dengan sangat pelan dan penuh
penyesalan.
“Apa, Ai?” Bunda seperti mendengar Aia
mengatakan sesuatu barusan.
“Oh, nggak. Ini, Aia lupa mau SMS
teman,” Aia berkilah. Perasaan suaranya sudah sangat pelan. Kenapa Bunda masih
bisa mendengarnya?
Bunda kembali duduk di sebelah Aia. “Oh
ya, Bunda rasa Aia sedikit salah paham tentang jilbab,” ujar Bunda. Sudah sejak
kemarin Bunda ingin membicarakan ini dengan Aia. Mengingat sekolah sempat
mengingatkan Aia yang tidak mau memakai seragam olahraga.
“Maksudnya, Bun?”
“Jilbab itu bukan pakaian yang Aia pakai
sekarang,” jelas Bunda. “Yang sekarang Aia anggap jilbab, itu cuma budaya arab.
Jadi, kita nggak wajib berpakaian seperti mereka.”
“Budaya arab?” Aia terperangah mendengar
penjelasan Bunda.
Bunda mengangguk.
“Tapi … perintah berjilbab
ada di Al-Qur’an kok, Bun,” sanggah Aia.
“Al-Ahzab
ayat 59? Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mukmin,‘hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.”
Lho, jadi Bunda tahu
dalilnya? Tanya Aia dalam hati. Aia
kembali menyimak.
“Coba Aia
perhatikan, jilbab itu cuma wajib bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi.
Lagi pula, kalau
teks-teks tentang jilbab tadi dibaca dalam konteks sekarang, sebenarnya perempuan
bisa memilih. Karena zaman sekarang ada banyak cara untuk membuat muslimah ‘tidak
diganggu’, tetap dihormati selain dengan jilbab. Dengan
meningkatkan kualitas pendidikan
perempuan misalnya,” papar Bunda seraya asal membolak-balik halaman majalah
tanpa menoleh bahkan terkesan menghindari tatapan Aia yang terheran-heran
mendengar paparannya.
“Lagian,
zaman sekarang jilbab nggak menyimbolkan apa-apa kok, Ai. Nggak ada jaminan kalau
yang pakai jilbab itu perempuan shalihah. Sebaliknya, nggak ada jaminan kalau perempuan
yang nggak pakai jilbab bukan perempuan shalihah. Buktinya, banyak kok
yang berkerudung tapi mencuri juga. Lebih
banyak lagi yang tidak berkerudung, tapi ternyata dia orang baik. Ya
kan?”
Aia makin terperangah. Jilbab nggak
wajib? Nggak menyimbolkan apa-apa?
Aarrggh! Ini pasti ada hubungannya dengan
Tante Nur!!
Cerocos Aia dalam hati. Walaupun hingga hari ini ia
tidak bisa membantah setiap pernyataan Bunda dan Nur. Bukan berarti ia
menerimanya. Sama sekali tidak. Ia hanya belum tahu bagaimana bisa
membantahnya. Aia segera meraih smartphone.
Mengetik sebuah pesan sambil sesekali melirik curiga Bunda yang asyik menonton
televisi.
Aslkm. Kak Zia, bsk ada wkt? Aia mau ktmu, bisa?
Dalam hitungan detik pesan tersebut
sudah melayang. Sampai ke nomor tujuan. Zia yang sedang sibuk di depan laptop
segera membuka pesan tersebut. Dahinya berkerut setelah membaca pesan tersebut. “Aia kenapa?”
***
“Assalamu’alaikum ...,” Aia kembali
mengucap salam untuk yang ketiga kalinya. Semalam Zia membalas pesannya. Dan
mengajak Aia bertemu di rumah sore ini. Untuk itulah sekarang Aia yang masih
mengenakan seragam sekolah, berdiri di depan pintu rumah Zia.
“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah,”
akhirnya terdengar jawaban salam dari dalam. Disusul dengan dibukakannya pintu.
Aia tersenyum lebar hendak menyapa Zia. Tapi
sapaannya tertahan ketika melihat
sosok lain. Seorang perempuan seusia Bunda berbalut jilbab hitam dengan kerudung peach bermotif bunga
tersenyum padanya. “Aia, ya?” tanya perempuan itu.
Aia mengangguk kikuk. Namun tetap sigap
mencium tangan perempuan itu.
Ini pasti Ummi Kak Zia,
pikir Aia.
Ya, Aia benar. Perempuan yang membukakan
pintu untuknya adalah Ummi Zia. “Ayo masuk,” ajaknya. “Tadi Kakak bilang ke
Ummi kalau kamu mau datang ke rumah. Tapi, barusan Kakak telepon agak telat
pulangnya, Ai. Tiba-tiba dosennya mau bimbingan skripsi sekarang,” cerita Ummi.
Kakak adalah caranya memanggil Zia.
“Oh, gitu ya, Ummi?” Aia masih merasa
kikuk hanya berdua dengan Ummi.
Ummi tersenyum. “Nggak akan lama kok
katanya. Duduk, Ai.”
Aia menurut.
***
Bagian 9 | Surat Petaka [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Mei 05, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar