Jumat, 05 Mei 2017

“Pak, ayolah Pak. Izinkan kita tetap pakai jilbab, ya?” Azki membujuk Pak Haris. Sudah dua pertemuan mereka bertiga dianggap absen pelajaran olahraga karena keukeuh tidak mau memakai seragam olahraga. Tidak hanya dianggap absen, mereka juga harus menjalani hukuman keliling lapangan lima kali. Itu peraturan tambahan dari Kepala Sekolah.

Mungkin mereka bisa menuruti kemauan sekolah untuk berhenti menolak penutupan rohis. Tapi, mereka tidak bisa menuruti peraturan sekolah yang memaksa mereka mengenakan seragam olahraga. Karena itu sama saja dengan sekolah sedang memaksa mereka melepas jilbab.

Sudah hampir setengah jam merayu, tak mampu membuat hati Pak Haris luluh. Beliau tetap bergeming. Malah berteriak memberi arahan pada siswa yang sedang berlatih bola volly.

“Pak, tolong kami ya, Pak?” Raras masih berusaha.

Pak Haris menggeleng, “Bapak tidak masalah kalian tidak memakai seragam olahraga. Tapi, Bapak juga tidak mungkin melanggar peraturan sekolah. Kalian tetap harus menjalani hukumannya. Sekarang keliling lapangan lima kali!”

Kalau sudah begini, mereka tidak bisa berbuat apa-apa selain melaksanakan perintah Pak Haris. Keliling lapangan.

“Kemarin rohis, sekarang jilbab!” gerutu Aia sambil berlari kecil mengelilingi lapangan. “Kita hidup di negeri apa sih?! Katanya ini negeri muslim terbesar. Tapi mau taat aja banyak banget halangannya! Apa salahnya olahraga pakai jilbab?!” sambungnya. Kalau bukan karena keimanannya, mungkin ia sudah stres tingkat tinggi menghadapi ini. Belum lagi menghadapi Bunda yang satu suara dengan sekolah.

“Ya ... mungkin ini karena lingkungan kita sebenarnya jauh dari Islam,” sahut Azki berlari selangkah di belakang Aia dan Raras.

“Iya, jadi inget kata Kak Zia,” Raras menimpali, “kita emang hidup di negeri muslim terbesar di dunia. Tapi, negara kita ini sekuler. Nggak mau bawa-bawa agama dalam kehidupan. Akhirnya sadar nggak sadar semua kalangan masyarakat ikutan sekuler juga. Salah satu akibatnya ya gini, deh.”

Dari kejauhan nampak sosok bertubuh tinggi dengan perut agak maju tengah mengawasi. Manggut-manggut sambil menyeringai penuh makna. Siapa lagi kalau bukan Pak Kepala Sekolah. Ini sudah ketiga kalinya ia melihat tiga siswi itu dihukum lari keliling lapangan. Namun, ternyata hukuman itu sama sekali tidak membuat mereka jera.

Sementara di lapangan, Aia, Raras dan Azki masih menyelesaikan putaran terakhir hukuman mereka. Tanpa ada satupun di antara mereka yang menyadari kalau mereka tengah diawasi.

***

Selesai menjalani hukuman, beragam respon mereka terima. Ada yang sekedar menggoda. Ada yang mencibir. Juga yang menatap iba seperti Feby, Rindy dan Lita. Sebagai teman yang pernah dekat, mereka merasa harus peduli. “Kita tahu, sekarang kita udah nggak sahabatan kayak dulu. Tapi, gini-gini, kita masih care sama lu, Ai,” ujar Feby mewakili Rindy dan Lita.

“Makasih, ya, Feb ...,” sahut Aia. Senangnya hati Aia mendengar ucapan Feby. Mungkin sekarang mereka bisa berbaikan dan kembali dekat. Aia juga ingin mengajak mereka mengenal Islam.

“Kalau boleh kita kasih saran, sih. Mending udah deh, Ai, ikutin aja semua aturan sekolah. Apa salahnya sih pakai seragam olahraga? Sejak lu gabung di rohis, lu makin aneh tahu, nggak!”

Aia menghempaskan napas, kecewa. Semua rencana yang baru saja muncul di kepala, rontok seketika. “Terimakasih ya, kalian masih care sama gue. Tapi, kalo itu saran kalian. Maaf, gue nggak bisa. Memang sih, kalau gue ikutin saran kalian gue bakal nggak ada masalah di sekolah. Tapi akan bermasalah sama Allah karena nggak menutup aurat dengan sempurna.”

Akhirnya tatapan iba itu berubah menjadi tatapan sinis, halah! Dibilangin malah sok alim! Lagian, berlagak aja sih! Berani-beraninya melawan peraturan sekolah. Dasar provokator!

***

Aia menenggelamkan diri di sofa ruang tengah usai sholat Isya’. Menyalakan televisi sebagai teman malam harinya. Bi Tiah sedang menginap di rumah anaknya. Biasanya, subuh nanti baru kembali. Adam baru saja berangkat dengan kamera kesayangannya. Ada pemotretan di acara pernikahan teman katanya. Bunda? Mungkin tengah di perjalanan pulang. Atau mungkin masih di kantor. Entahlah.

Untuk kesekian kalinya, smartphone Aia kembali bergetar. Tapi, pemilik smartphone sama sekali tidak berminat menjawab telepon tersebut. Malah membalikkannya ketika tahu siapa yang menelepon. Terdiam sejenak. Diraihnya kembali handphone yang sudah berhenti bergetar. Ditatapnya lekat-lekat layar smartphone-nya. Tujuh panggilan tak terjawab. Ayah.

Janganlah kalian saling memutuskan tali persaudaraan, janganlah kalian saling membelakangi, janganlah kalian saling membenci dan janganlah saling menghasud. Jadilah kalian hamba Allah ta'ala yang bersaudara. Tidaklah halal bagi seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari, hadits riwayat Bukhari dan Muslim,” itu adalah jawaban Zia saat Aia bertanya hukum mendiamkan seseorang. Tidak boleh lebih dari tiga hari. Ayolah, Aia .... ini sudah enam bulan. Mau sampai kapan menghindari Ayah? Bisik hatinya.

“Astaghfirullah .... Maaf ya, Ayah,” ucap Aia menyadari kekeliruannya. “Oke. Kalau sekarang Ayah telepon lagi, Aia akan jawab!” ucapnya lagi seraya menatap tajam smartphonenya. Berharap Ayah kembali menelepon.

Satu, dua, tiga, bahkan hingga lima belas menit Aia menunggu, smartphonenya tidak juga berdering. Tidak ada telepon yang diharapkannya. Aia masih menatap smartphone. Menimbang. Haruskah ia yang menelepon lebih dulu?

“Tunggu telepon siapa, Ai?” tegur sebuah suara tiba-tiba.

Aia menoleh. “Bunda? Udah pulang?!” serunya. Seketika lupa dengan telepon yang ditunggu.

Bunda duduk di sebelah Aia. Meluruskan kaki. “Sendirian?”

Aia mengangguk, “Bi Tiah nginep di rumah anaknya. Abang barusan pergi. Ada pemotretan katanya!” lapornya. Seolah ingin Bunda tahu, ia kesepian sejak tadi.

“Oh ya, gimana di sekolah? Nggak ada masalah lagi, kan?”

“Hm?” Aia terkejut dengan pertanyaan Bunda. Kenapa Bunda tiba-tiba menanyakan sekolah? Aia meringis. Kemudian menggeleng perlahan.

Bunda mengangguk tersenyum. “Bunda lega kalau semua baik-baik aja,” ujarnya kemudian beranjak ke dapur, hendak mengambil minum.

Mimik wajah Aia berubah seketika. Menyesal. Baik?! apanya yang baik?! Terlintas di benaknya saat ia harus lari keliling lapangan di sekolah. “Maaf ya, Bunda ...,” gumamnya dengan sangat pelan dan penuh penyesalan.

“Apa, Ai?” Bunda seperti mendengar Aia mengatakan sesuatu barusan.

“Oh, nggak. Ini, Aia lupa mau SMS teman,” Aia berkilah. Perasaan suaranya sudah sangat pelan. Kenapa Bunda masih bisa mendengarnya?

Bunda kembali duduk di sebelah Aia. “Oh ya, Bunda rasa Aia sedikit salah paham tentang jilbab,” ujar Bunda. Sudah sejak kemarin Bunda ingin membicarakan ini dengan Aia. Mengingat sekolah sempat mengingatkan Aia yang tidak mau memakai seragam olahraga.

“Maksudnya, Bun?”

“Jilbab itu bukan pakaian yang Aia pakai sekarang,” jelas Bunda. “Yang sekarang Aia anggap jilbab, itu cuma budaya arab. Jadi, kita nggak wajib berpakaian seperti mereka.”

“Budaya arab?” Aia terperangah mendengar penjelasan Bunda.

Bunda mengangguk.

“Tapi … perintah berjilbab ada di Al-Qur’an kok, Bun,” sanggah Aia.

Al-Ahzab ayat 59? Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.”
Lho, jadi Bunda tahu dalilnya? Tanya Aia dalam hati. Aia kembali menyimak.

“Coba Aia perhatikan, jilbab itu cuma wajib bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi. Lagi pula, kalau teks-teks tentang jilbab tadi dibaca dalam konteks sekarang, sebenarnya perempuan bisa memilih. Karena zaman sekarang ada banyak cara untuk membuat muslimah tidak diganggu’, tetap dihormati selain dengan jilbab. Dengan meningkatkan kualitas pendidikan perempuan misalnya,” papar Bunda seraya asal membolak-balik halaman majalah tanpa menoleh bahkan terkesan menghindari tatapan Aia yang terheran-heran mendengar paparannya.

Lagian, zaman sekarang jilbab nggak menyimbolkan apa-apa kok, Ai. Nggak ada jaminan kalau yang pakai jilbab itu perempuan shalihah. Sebaliknya, nggak ada jaminan kalau perempuan yang nggak pakai jilbab bukan perempuan shalihah. Buktinya, banyak kok yang berkerudung tapi mencuri juga. Lebih banyak lagi yang tidak berkerudung, tapi ternyata dia orang baik. Ya kan?”

Aia makin terperangah. Jilbab nggak wajib? Nggak menyimbolkan apa-apa? Aarrggh! Ini pasti ada hubungannya dengan Tante Nur!! Cerocos Aia dalam hati. Walaupun hingga hari ini ia tidak bisa membantah setiap pernyataan Bunda dan Nur. Bukan berarti ia menerimanya. Sama sekali tidak. Ia hanya belum tahu bagaimana bisa membantahnya. Aia segera meraih smartphone. Mengetik sebuah pesan sambil sesekali melirik curiga Bunda yang asyik menonton televisi.

Aslkm. Kak Zia, bsk ada wkt? Aia mau ktmu, bisa?

Dalam hitungan detik pesan tersebut sudah melayang. Sampai ke nomor tujuan. Zia yang sedang sibuk di depan laptop segera membuka pesan tersebut. Dahinya berkerut setelah membaca pesan tersebut. “Aia kenapa?”

***

“Assalamu’alaikum ...,” Aia kembali mengucap salam untuk yang ketiga kalinya. Semalam Zia membalas pesannya. Dan mengajak Aia bertemu di rumah sore ini. Untuk itulah sekarang Aia yang masih mengenakan seragam sekolah, berdiri di depan pintu rumah Zia.

“Wa’alaikumussalam wa rahmatullah,” akhirnya terdengar jawaban salam dari dalam. Disusul dengan dibukakannya pintu.

Aia tersenyum lebar hendak menyapa Zia. Tapi sapaannya tertahan ketika melihat sosok lain. Seorang perempuan seusia Bunda berbalut jilbab hitam dengan kerudung peach bermotif bunga tersenyum padanya. “Aia, ya?” tanya perempuan itu.

Aia mengangguk kikuk. Namun tetap sigap mencium tangan perempuan itu. Ini pasti Ummi Kak Zia, pikir Aia.

Ya, Aia benar. Perempuan yang membukakan pintu untuknya adalah Ummi Zia. “Ayo masuk,” ajaknya. “Tadi Kakak bilang ke Ummi kalau kamu mau datang ke rumah. Tapi, barusan Kakak telepon agak telat pulangnya, Ai. Tiba-tiba dosennya mau bimbingan skripsi sekarang,” cerita Ummi. Kakak adalah caranya memanggil Zia.

“Oh, gitu ya, Ummi?” Aia masih merasa kikuk hanya berdua dengan Ummi.

Ummi tersenyum. “Nggak akan lama kok katanya. Duduk, Ai.”

Aia menurut.

***


Bagian 9 | Surat Petaka [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar