Siang menjelang sore yang
masih tampak cerah ini sepertinya memang menjadi kabar baik untuk Bunda yang
baru saja selesai bertemu klien di The Harvest, kawasan Darmawangsa. Kabar baik
pertama adalah Bunda tidak perlu kembali ke kantor karena tidak ada pekerjaan
yang urgen harus diselesaikan. Itulah kenapa meski pertemuan dengan klien sudah
berakhir sejak lima belas menit yang lalu, Bunda masih duduk santai menghadap
dinding kaca. Ditemani secangkir kopi sambil iseng memeriksa proposal penawaran
kerjasama. Saat itulah kabar baik kedua datang menyapanya.
“Alya?”
Merasa seseorang menyebut
namanya, Bunda menoleh. Dahinya mengerut. Menyeksamai sosok perempuan
berjilbab sebayanya bersama anak
laki-laki berusia sepuluh tahun yang masih mengenakan seragam sekolah.
Kemeja putih dengan celana hijau. Sepersekian
detik kemudian Bunda tersenyum lebar. Antara terkejut
dan senang begitu ingat siapa sosok di hadapnya.
“Dian?!” seru Bunda sekaligus memastikan
kalau perempuan di hadapnya benar Dian, sahabat SMA-nya
dulu.
Setelah saling memastikan,
keduanya berpelukan. Melepas rindu satu sama lain. Ya Allah, sudah berapa lama?
Dua puluh tahun? Ah, lebih! Selepas SMA mereka tidak pernah bertemu lagi karena
melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Satu-dua tahun masih menjaga kontak
via telepon dan surat.
Setelah itu, komunikasi keduanya sempurna terputus. Tak ada kabar. Maklum.
Waktu itu, komunikasi belum semudah saat ini.
***
Angin sore berhembus lembut masuk
lewat jendela kamar Aia yang terbuka. Menggoda gorden biru yang menepi di sisi
kanan jendela. Membuat ujungnya
bergerak-gerak. Suara tawa Aia dan Zia terdengar menyelingi obrolan keduanya.
Sejak tadi, tema obrolannya sudah berkembang ke sana-sini. Tapi, satu-dua kali
Aia kembali menyeretnya ke tema yang sama, kesetaraan gender.
“Tapi, Kak. Memangnya perempuan yang
sudah jadi istri dan ibu itu sama sekali nggak boleh kerja?” tanya Aia. Ini
pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak dan harus mendapat jawaban
secepatnya. Kalian tahu kan? Ini soal Bunda.
“Siapa bilang?” Zia bertanya balik.
Aia berpikir sejenak, “Nggak ada yang bilang, sih,” sahutnya setelah
mengingat-ingat apakah pernah ada yang mengatakan itu padanya? “Habis banyak
yang bilang Islam itu mengekang perempuan lah, mendiskriminasi lah. Emang Islam gitu banget, Kak?”
lanjutnya.
Lagi-lagi Aia kembali pada tema awal. “Islam nggak pernah
mengekang perempuan, Ai,” sahut Zia.
Seperti sebelumnya, Aia langsung
memasang wajah serius. Antusias menyimak.
“Biar bagaimanapun, kita ini tetap bagian dari
masyarakat. Jadi, ya ... walaupun tugas utama perempuan sebagai ibu dan
mengurus rumah tangga, bukan berarti kita nggak bisa berkiprah di ranah umum.
Karena mau nggak
mau, keterlibatan kita
juga tetap diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Makanya Islam juga menyeru perempuan
soal aktivitas di luar rumah. Ada yang statusnya wajib. Seperti kewajiban kita menuntut
ilmu. Kewajiban berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Itu perintah Allah yang diwajibkan
untuk seluruh muslim dan muslimah, kan?”
Aia mengangguk. Oke, Aia paham untuk
yang itu. Lalu bagaimana dengan hukumnya perempuan bekerja?! Aia benar-benar
ingin tahu soal itu.
“Selain itu Islam juga tetap membolehkan
perempuan bekerja di luar rumah. Jadi
guru, dosen, dokter, hakim,
desainer, karyawan, punya usaha kecil-kecilan sampe punya perusahaan besar juga
nggak ada masalah. Islam membolehkan kok perempuan bekerja. Selama ...
pekerjaan itu nggak membuatnya lalai dari kewajibannya sebagai istri dan ibu.
Jadi, dari
sekian banyak peran yang bisa kita ambil sebagai perempuan. Pastinya kita tetap
harus memperhatikan hukum syara’
ketika memilihnya. Hukum
syara’ itu kan macam-macam. Ada wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Nah, kita harus memperhatikan
mana yang wajib. Mana yang sunnah, mubah atau yang lain. Maksudnya,
jangan sampai hal yang mubah membuat kita lalai pada kewajiban. Harusnya, yang
wajib kita dahulukan dari yang sunnah.
Yang sunnah didahulukan dari yang mubah. Apalagi kalau yang wajib bertemu dengan yang mubah.
Sebagai muslim kita harus mendahulukan yang wajib, kan?
Begitu juga posisi perempuan
ketika sudah jadi istri dan ibu, lalu harus memilih antara mengurus rumah
tangga dan mendidik anak dengan bekerja. Ya, otomatis mengurus rumah tangga dan
mendidik anak harus jadi prioritas. Bukan berarti kita ikhlas ditindas atau
didiskriminasi. Tapi kita lakukan semua karena Allah. Toh, tujuan hidup kita
untuk beribadah pada Allah, kan?” papar Zia lagi.
Tangannya bergerak-gerak mengikuti ritme bicara.
Aia manggut-manggut setelah berhasil mencerna kalimat demi kalimat Zia.
“Kenapa sih, Ai?”
“Hm?”
“Kenapa kamu suka banget
nanyain kesetaraan gender?”
Aia menggelang pelan setelah
lima belas detik hanya mengeluarkan suara, mmm ….
***
Pertemuan tidak disengaja antara Bunda
dan sahabat SMA-nya, Dian, masih berlanjut. Sebagaimana dua orang yang lama
tidak bertemu, keduanya saling bertanya kabar. Sempat bernostalgia. Bertanya
kesibukan. Bertanya apa yang terjadi setelah lulus SMA hingga hari ini, yang
ini pertanyaan Bunda. Dian yang Bunda kenal saat SMA adalah gadis tomboi.
Kerudung? Itu benda yang sebisa mungkin ia hindari.
Tapi, sekarang? Voila! Dian yang sekarang amat sangat jauh berbeda. Jilbab hijau panjang menutupi
seluruh tubuh. Kerudung bunga-bunga dengan warna senada menutupi kepala dan
menghampar di dada. Memang, sekarang mereka sudah tidak lagi gadis SMA seperti
dulu yang aktif mengikuti mode dalam berpakaian. Tapi, Bunda bisa merasakan
pakaian yang Dian kenakan bukan karena ia sudah ibu-ibu. Bunda bisa membaca
dari sikap dan bicara Dian yang religius.
“Aku begini karena
kamu, tahu?!” gumam Dian. Seolah hendak menyalahkan Bunda.
Bunda mendelik. Apa
maksudnya Dian berubah karenanya? Mereka kan tidak bertemu lagi sejak lulus
SMA.
Dian tertawa kecil,
“Kamu tahu kan, aku bukan orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Nyebelinnya,
di kampus aku malah kangen sama kamu! Kangen cerewetmu yang larang aku pakai
baju ini-itu, melarangku bergaul dengan anak-anak yang hobi bolos. Blablablabla
….”
Bunda tertawa kecil
ingat saat itu. Dan baru menyadari, ternyata dulu secerewet itu?
“Sahabatan sama kamu
ternyata bikin aku terbiasa dengan sesuatu yang baik, Al. Akhirnya, di kampus
aku juga merapat dengan teman-teman yang ‘setipe’ lah denganmu,” cerita Dian sambil tangannya membentuk
tanda kutip untuk kata ‘setipe’.
Bunda menyunggingkan senyum
mendengarnya. Benarkah ia seberpengaruh itu untuk kehidupan Dian? Tapi, kenapa
ia tidak bisa menanamkan pengaruh pada anak-anaknya sendiri?
“Karena kebanyakan gaul
sama teman-teman yang menutup aurat, rajin ngaji. Akhirnya aku juga mulai punya kesadaran
tentang kewajibanku sebagai muslimah. Ya ... Alhamdulillah-nya, aku masih bisa
istiqomah sampai hari ini,” lanjut Dian. Kemudian menoleh ke arah Bunda,
tersenyum. “Makanya, aku hutang terimakasih padamu. Secara tidak langsung kamu
sudah membukakan jalan untukku memahami Islam,” ucapnya tulus.
Bunda tertawa sambil
menggeleng, “Ngaco! Itu kan pilihanmu
sendiri.”
“Iya, kamu penyebabku
memilih itu semua!” sahut Dian, keukeuh dengan pendapatnya. Tersenyum melihat Bunda. Jujur, ini jauh dari
ekspektasinya selama ini. Dian pikir Bunda sudah menjadi ibu rumah tangga ideal dengan tiga atau empat orang anak mungkin. Di SMA dulu, Bunda pernah bilang, kelak, kalau sudah jadi Istri, ia tidak
akan bekerja. Akan menjalani karir sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya. Bunda yang di
hadapannya sekarang, 1800 berbeda.
“Ya … terserah kamu saja lah,” desis Bunda
seraya mengubah posisi duduknya. Seperti Dian, Bunda juga memikirkan hal yang
sama. Dian jauh dari ekspektasinya selama ini. Bunda pikir, Dian sudah menjadi
wanita karir seperti cita-citanya dulu. Sudah menjadi direktur di salah satu perusahaan barangkali. Kenyataannya, Dian yang di hadapannya sekarang, 1800 berbeda.
Ah, sudahlah! Lagi pula siapa yang bilang ekspektasi manusia pasti sesuai dengan kehidupan
riil?
“Jadi, ini anakmu yang
ke?” Bunda menunjuk dengan lirikkan mata ke arah anak laki-laki yang sedang
asyik menghabiskan es krim cokelatnya.
“Ini Syakir, bungsuku.
Anak ketiga,” aku Dian.
Bunda tersenyum begitu
Syakir menoleh ke arahnya dengan wajah polos
berlepotan es krim. Lalu refleks mengelus kepalanya.
“Kamu sendiri? Cerita
dong bagaimana keluargamu sekarang?”
“Keluargaku?” Bunda
tertegun. Selalu kikuk kalau sudah ditanya tentang keluarga. Bukan tidak mau terbuka.
Hanya malu saat harus mengakui kegagalannya berumah tangga. Apa lagi harus
melihat Dian yang sekarang dengan cerita keluarganya. Sungguh
berbanding terbalik dengan kondisinya saat ini. Sesaat kemudian Bunda tersenyum tipis, “Cerita
keluargaku tidak akan semenyenangkan cerita keluargamu, Di,” ujarnya.
Dian jadi tidak enak
hati begitu mendengar jawaban sahabatnya. Tidak semenyenangkan cerita
keluarganya? Apa maksudnya? Meski sebisa mungkin Dian tetap merespon
sewajarnya. Menyembunyikan rasa penasaran yang bertumpuk di hati, “Aku akan
tetap mendengarkannya, Al ...,” ucap Dian seraya menggenggam jemari Bunda dan menatapnya
penuh simpati.
Bunda tersenyum. Jujur,
Bunda memang sedang membutuhkan seseorang yang mau mendengarkannya. Sudah lama tidak punya tempat untuk berbagi.
Padahal, ada begitu banyak hal yang ingin
dicurahkan. Mungkin tidak ada salahnya
menceritakan semua pada Dian. Sama seperti saat SMA dulu, tidak ada yang
disembunyikan darinya.
***
Kalau bukan karena matahari hendak
menenggelamkan diri di Barat sana. Masih ada yang ingin Aia ceritakan pada Zia.
Hampir dua jam bercakap-cakap, Aia
masih belum bisa mengatakannya pada Zia. Entahlah. Semua hanya tertahan di
bibir. Padahal, ia pikir hari ini akan menceritakan tentang Bunda pada Zia.
Nyatanya ragu masih saja menggelayuti. Ketidakinginan ada orang lain yang
berpikir tidak-tidak dan mencap buruk Bunda mengalahkan semua.
“Sabtu nanti kita kajian
lagi kan, Kak?” tanya Aia seraya mengantar Zia ke depan. Membukakan pintu untuk
Zia.
“Oh, iya. Nanti sampaikan
juga ke Raras dan Azki, ya?” sahut Zia.
“Oke. Insya Allah nan ….”
Kalimat Aia terhenti
lantaran camry hitam baru saja masuk garasi. Bunda pulang. Aia dan Zia menoleh.
Jujur, Aia sedikit khawatir jika Zia harus bertemu Bunda hari ini. Mengingat
Bunda tidak suka Aia berhubungan lagi dengannya. Tapi, sore ini pertemuan itu
tak bisa dihindari. Karena selang beberapa detik kemudian Bunda sudah ada di
hadapan keduanya.
“Assalamu’alaikum,” ucap
Bunda seraya berjalan mendekat.
“Wa’alaikumussalam. Bunda,
kok udah pulang?” sapa Aia yang langsung mencium tangan Bunda. Menyambutnya
dengan senyum kikuk.
“Iya, hari ini kerjaan Bunda
nggak terlalu banyak,” sahut Bunda. Sempat melirik sinis Zia yang tetap tersenyum
sejak awal kedatangannya. Tanpa perlu bertanya, Bunda sudah bisa menduga siapa
gadis berjilbab yang berdiri di samping putrinya. Melihat wajahnya, tidak
mungkin kalau ia teman sekolah Aia. Jadi, Bunda menyimpulkan kalau gadis
berjilbab itu pasti mentor rohisnya.
Wah, ini kali pertama Aia
mendengar Bunda mengatakan tidak banyak pekerjaan. Aia bengong untuk beberapa detik. Tidak sempat
melihat lirikan sinis Bunda.
“Oh ya, Bun. Ini Kak Zia,
mentor rohis yang sering Aia ceritakan,” Aia segera memperkenalkan Zia pada
Bunda, “Kak Zia, ini Bunda.”
Bunda menghadapkan wajah ke
arah Zia. Jadi, gadis ini yang ada dibalik perubahan Aia, begitu hati
membatin. Ya … setidaknya Bunda masih mengulas senyum di wajahnya. Meski datar.
Meski sangat terasa tidak ramah.
Zia dibuat kikuk oleh senyum
Bunda. Hanya bisa menelan ludah berusaha menguasai diri dan tetap tersenyum.
Segera menyalami Bunda seraya menyebut ulang namanya. Sayangnya, itu sama
sekali tidak mengubah suasana yang sudah terlanjur kaku.
Aia menggigit bibir, apa Bunda
tidak bisa berakting sedikit ramah untuk beberapa detik saja?
Menyebalkannya … di saat seperti ini Aia justru tidak bisa berpikir cepat untuk
mencairkan suasana.
“Oh ya, saya sekalian mau
pamit, Bunda,” ucap Zia. Ia tidak pernah mengalami suasana sekaku ini
sebelumnya. Ada rasa yang tidak berani ia terjemahkan dari sorot mata Bunda.
“Ya, silakan,” sahut Bunda
tanpa basa-basi.
“Kak Zia hati-hati, ya,”
pesan Aia. Ah, benar-benar tidak enak hati rasanya dengan kekakuan sore ini.
Berbanding terbalik dengan saat Aia bertemu Ummi yang begitu hangat. Kenapa
Bunda tidak bisa begitu?! Sungutnya dalam hati.
Zia mengangguk. Mengucap
salam sebelum akhirnya meninggalkan Aia dan Bunda.
Sementara itu, saat sosok
Zia tidak lagi terlihat, Bunda langsung melipat tangan di dada. Menatap Aia.
Bertanya. Apa ini? Aia masih tidak mau mendengarkan Bunda?
Aia menggigit bibir.
Meringis. Perlahan berjinjit. Memilih masuk ke dalam. Huh! Bunda selalu lebih
menakutkan saat diam.
Di ujung jalan, Zia menghela
napas dalam langkahnya. Bertemu Bunda sore ini, tiba-tiba membuatnya teringat
tentang satu maaf yang masih tersimpan. Sudah cukup lama. Awalnya tidak tahu
harus pada siapa ia sampaikan. Sekarang terjawab sudah. Hanya saja, sore ini
bukan waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Zia bahkan tidak punya keberanian
untuk itu.
***
Next :
Prev :
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Mei 13, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar