Sabtu, 13 Mei 2017

Siang menjelang sore yang masih tampak cerah ini sepertinya memang menjadi kabar baik untuk Bunda yang baru saja selesai bertemu klien di The Harvest, kawasan Darmawangsa. Kabar baik pertama adalah Bunda tidak perlu kembali ke kantor karena tidak ada pekerjaan yang urgen harus diselesaikan. Itulah kenapa meski pertemuan dengan klien sudah berakhir sejak lima belas menit yang lalu, Bunda masih duduk santai menghadap dinding kaca. Ditemani secangkir kopi sambil iseng memeriksa proposal penawaran kerjasama. Saat itulah kabar baik kedua datang menyapanya.

“Alya?”

Merasa seseorang menyebut namanya, Bunda menoleh. Dahinya mengerut. Menyeksamai sosok perempuan berjilbab sebayanya bersama anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang masih mengenakan seragam sekolah. Kemeja putih dengan celana hijau. Sepersekian detik kemudian Bunda tersenyum lebar. Antara terkejut dan senang begitu ingat siapa sosok di hadapnya.

“Dian?!” seru Bunda sekaligus memastikan kalau perempuan di hadapnya benar Dian, sahabat SMA-nya dulu.

Setelah saling memastikan, keduanya berpelukan. Melepas rindu satu sama lain. Ya Allah, sudah berapa lama? Dua puluh tahun? Ah, lebih! Selepas SMA mereka tidak pernah bertemu lagi karena melanjutkan kuliah di kota yang berbeda. Satu-dua tahun masih menjaga kontak via telepon dan surat. Setelah itu, komunikasi keduanya sempurna terputus. Tak ada kabar. Maklum. Waktu itu, komunikasi belum semudah saat ini.

***

Angin sore berhembus lembut masuk lewat jendela kamar Aia yang terbuka. Menggoda gorden biru yang menepi di sisi kanan jendela. Membuat ujungnya bergerak-gerak. Suara tawa Aia dan Zia terdengar menyelingi obrolan keduanya. Sejak tadi, tema obrolannya sudah berkembang ke sana-sini. Tapi, satu-dua kali Aia kembali menyeretnya ke tema yang sama, kesetaraan gender.

“Tapi, Kak. Memangnya perempuan yang sudah jadi istri dan ibu itu sama sekali nggak boleh kerja?” tanya Aia. Ini pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak dan harus mendapat jawaban secepatnya. Kalian tahu kan? Ini soal Bunda.

“Siapa bilang?” Zia bertanya balik.

Aia berpikir sejenak, “Nggak ada  yang bilang, sih,” sahutnya setelah mengingat-ingat apakah pernah ada yang mengatakan itu padanya? “Habis banyak yang bilang Islam itu mengekang perempuan lah, mendiskriminasi lah. Emang Islam gitu banget, Kak?” lanjutnya.

Lagi-lagi Aia kembali pada tema awal. “Islam nggak pernah mengekang perempuan, Ai,” sahut Zia.
Seperti sebelumnya, Aia langsung memasang wajah serius. Antusias menyimak.

“Biar bagaimanapun, kita ini tetap bagian dari masyarakat. Jadi, ya ... walaupun tugas utama perempuan sebagai ibu dan mengurus rumah tangga, bukan berarti kita nggak bisa berkiprah di ranah umum. Karena mau nggak mau, keterlibatan kita juga tetap diperlukan dalam kehidupan masyarakat.
Makanya Islam juga menyeru perempuan soal aktivitas di luar rumah. Ada yang statusnya wajib. Seperti kewajiban kita menuntut ilmu. Kewajiban berdakwah, amar ma’ruf nahi munkar. Itu perintah Allah yang diwajibkan untuk seluruh muslim dan muslimah, kan?”

Aia mengangguk. Oke, Aia paham untuk yang itu. Lalu bagaimana dengan hukumnya perempuan bekerja?! Aia benar-benar ingin tahu soal itu.

“Selain itu Islam juga tetap membolehkan perempuan bekerja di luar rumah.  Jadi guru, dosen, dokter, hakim, desainer, karyawan, punya usaha kecil-kecilan sampe punya perusahaan besar juga nggak ada masalah. Islam membolehkan kok perempuan bekerja. Selama ... pekerjaan itu nggak membuatnya lalai dari kewajibannya sebagai istri dan ibu.

Jadi, dari sekian banyak peran yang bisa kita ambil sebagai perempuan. Pastinya kita tetap harus memperhatikan hukum syara’ ketika memilihnya. Hukum syara’ itu kan macam-macam. Ada wajib, sunnah, mubah, makruh, haram. Nah, kita harus memperhatikan mana yang wajib. Mana yang sunnah, mubah atau yang lain. Maksudnya, jangan sampai hal yang mubah membuat kita lalai pada kewajiban. Harusnya, yang wajib kita dahulukan dari yang sunnah. Yang sunnah didahulukan dari yang mubah. Apalagi kalau yang wajib bertemu dengan yang mubah. Sebagai muslim kita harus mendahulukan yang wajib, kan?

Begitu juga posisi perempuan ketika sudah jadi istri dan ibu, lalu harus memilih antara mengurus rumah tangga dan mendidik anak dengan bekerja. Ya, otomatis mengurus rumah tangga dan mendidik anak harus jadi prioritas. Bukan berarti kita ikhlas ditindas atau didiskriminasi. Tapi kita lakukan semua karena Allah. Toh, tujuan hidup kita untuk beribadah pada Allah, kan?” papar Zia lagi. Tangannya bergerak-gerak mengikuti ritme bicara.

Aia manggut-manggut setelah berhasil mencerna kalimat demi kalimat Zia.

“Kenapa sih, Ai?

“Hm?”

“Kenapa kamu suka banget nanyain kesetaraan gender?

Aia menggelang pelan setelah lima belas detik hanya mengeluarkan suara, mmm ….                                                        
***
Pertemuan tidak disengaja antara Bunda dan sahabat SMA-nya, Dian, masih berlanjut. Sebagaimana dua orang yang lama tidak bertemu, keduanya saling bertanya kabar. Sempat bernostalgia. Bertanya kesibukan. Bertanya apa yang terjadi setelah lulus SMA hingga hari ini, yang ini pertanyaan Bunda. Dian yang Bunda kenal saat SMA adalah gadis tomboi. Kerudung? Itu benda yang sebisa mungkin ia hindari.

Tapi, sekarang? Voila! Dian yang sekarang amat sangat jauh berbeda. Jilbab hijau panjang menutupi seluruh tubuh. Kerudung bunga-bunga dengan warna senada menutupi kepala dan menghampar di dada. Memang, sekarang mereka sudah tidak lagi gadis SMA seperti dulu yang aktif mengikuti mode dalam berpakaian. Tapi, Bunda bisa merasakan pakaian yang Dian kenakan bukan karena ia sudah ibu-ibu. Bunda bisa membaca dari sikap dan bicara Dian yang religius.

“Aku begini karena kamu, tahu?!” gumam Dian. Seolah hendak menyalahkan Bunda.

Bunda mendelik. Apa maksudnya Dian berubah karenanya? Mereka kan tidak bertemu lagi sejak lulus SMA.

Dian tertawa kecil, “Kamu tahu kan, aku bukan orang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Nyebelinnya, di kampus aku malah kangen sama kamu! Kangen cerewetmu yang larang aku pakai baju ini-itu, melarangku bergaul dengan anak-anak yang hobi bolos. Blablablabla ….”

Bunda tertawa kecil ingat saat itu. Dan baru menyadari, ternyata dulu secerewet itu?

“Sahabatan sama kamu ternyata bikin aku terbiasa dengan sesuatu yang baik, Al. Akhirnya, di kampus aku juga merapat dengan teman-teman yang setipelah denganmu,” cerita Dian sambil tangannya membentuk tanda kutip untuk kata ‘setipe’.

Bunda menyunggingkan senyum mendengarnya. Benarkah ia seberpengaruh itu untuk kehidupan Dian? Tapi, kenapa ia tidak bisa menanamkan pengaruh pada anak-anaknya sendiri?

“Karena kebanyakan gaul sama teman-teman yang menutup aurat, rajin ngaji. Akhirnya aku juga mulai punya kesadaran tentang kewajibanku sebagai muslimah. Ya ... Alhamdulillah-nya, aku masih bisa istiqomah sampai hari ini,” lanjut Dian. Kemudian menoleh ke arah Bunda, tersenyum. “Makanya, aku hutang terimakasih padamu. Secara tidak langsung kamu sudah membukakan jalan untukku memahami Islam,” ucapnya tulus.

Bunda tertawa sambil menggeleng, “Ngaco! Itu kan pilihanmu sendiri.”

“Iya, kamu penyebabku memilih itu semua!” sahut Dian, keukeuh dengan pendapatnya. Tersenyum melihat Bunda. Jujur, ini jauh dari ekspektasinya selama ini. Dian pikir Bunda sudah menjadi ibu rumah tangga ideal dengan tiga atau empat orang anak mungkin. Di SMA dulu, Bunda pernah bilang, kelak, kalau sudah jadi Istri, ia tidak akan bekerja. Akan menjalani karir sebagai ibu rumah tangga sepenuhnya. Bunda yang di hadapannya sekarang, 1800 berbeda.

Ya … terserah kamu saja lah,” desis Bunda seraya mengubah posisi duduknya. Seperti Dian, Bunda juga memikirkan hal yang sama. Dian jauh dari ekspektasinya selama ini. Bunda pikir, Dian sudah menjadi wanita karir seperti cita-citanya dulu. Sudah menjadi direktur di salah satu perusahaan barangkali. Kenyataannya, Dian yang di hadapannya sekarang, 1800 berbeda.

Ah, sudahlah! Lagi pula siapa yang bilang ekspektasi manusia pasti sesuai dengan kehidupan riil?

“Jadi, ini anakmu yang ke?” Bunda menunjuk dengan lirikkan mata ke arah anak laki-laki yang sedang asyik menghabiskan es krim cokelatnya.

“Ini Syakir, bungsuku. Anak ketiga,” aku Dian.

Bunda tersenyum begitu Syakir menoleh ke arahnya dengan wajah polos berlepotan es krim. Lalu refleks mengelus kepalanya.

“Kamu sendiri? Cerita dong bagaimana keluargamu sekarang?”

“Keluargaku?” Bunda tertegun. Selalu kikuk kalau sudah ditanya tentang keluarga. Bukan tidak mau terbuka. Hanya malu saat harus mengakui kegagalannya berumah tangga. Apa lagi harus melihat Dian yang sekarang dengan cerita keluarganya. Sungguh berbanding terbalik dengan kondisinya saat ini. Sesaat kemudian Bunda tersenyum tipis, “Cerita keluargaku tidak akan semenyenangkan cerita keluargamu, Di,” ujarnya.

Dian jadi tidak enak hati begitu mendengar jawaban sahabatnya. Tidak semenyenangkan cerita keluarganya? Apa maksudnya? Meski sebisa mungkin Dian tetap merespon sewajarnya. Menyembunyikan rasa penasaran yang bertumpuk di hati, “Aku akan tetap mendengarkannya, Al ...,” ucap Dian seraya menggenggam jemari Bunda dan menatapnya penuh simpati.

Bunda tersenyum. Jujur, Bunda memang sedang membutuhkan seseorang yang mau mendengarkannya. Sudah lama tidak punya tempat untuk berbagi. Padahal, ada begitu banyak hal yang ingin dicurahkan. Mungkin tidak ada salahnya menceritakan semua pada Dian. Sama seperti saat SMA dulu, tidak ada yang disembunyikan darinya.

***
Kalau bukan karena matahari hendak menenggelamkan diri di Barat sana. Masih ada yang ingin Aia ceritakan pada Zia. Hampir dua jam bercakap-cakap, Aia masih belum bisa mengatakannya pada Zia. Entahlah. Semua hanya tertahan di bibir. Padahal, ia pikir hari ini akan menceritakan tentang Bunda pada Zia. Nyatanya ragu masih saja menggelayuti. Ketidakinginan ada orang lain yang berpikir tidak-tidak dan mencap buruk Bunda mengalahkan semua.

“Sabtu nanti kita kajian lagi kan, Kak?” tanya Aia seraya mengantar Zia ke depan. Membukakan pintu untuk Zia.

“Oh, iya. Nanti sampaikan juga ke Raras dan Azki, ya?” sahut Zia.

“Oke. Insya Allah nan ….”

Kalimat Aia terhenti lantaran camry hitam baru saja masuk garasi. Bunda pulang. Aia dan Zia menoleh. Jujur, Aia sedikit khawatir jika Zia harus bertemu Bunda hari ini. Mengingat Bunda tidak suka Aia berhubungan lagi dengannya. Tapi, sore ini pertemuan itu tak bisa dihindari. Karena selang beberapa detik kemudian Bunda sudah ada di hadapan keduanya.

“Assalamu’alaikum,” ucap Bunda seraya berjalan mendekat.

“Wa’alaikumussalam. Bunda, kok udah pulang?” sapa Aia yang langsung mencium tangan Bunda. Menyambutnya dengan senyum kikuk.

“Iya, hari ini kerjaan Bunda nggak terlalu banyak,” sahut Bunda. Sempat melirik sinis Zia yang tetap tersenyum sejak awal kedatangannya. Tanpa perlu bertanya, Bunda sudah bisa menduga siapa gadis berjilbab yang berdiri di samping putrinya. Melihat wajahnya, tidak mungkin kalau ia teman sekolah Aia. Jadi, Bunda menyimpulkan kalau gadis berjilbab itu pasti mentor rohisnya.

Wah, ini kali pertama Aia mendengar Bunda mengatakan tidak banyak pekerjaan. Aia bengong untuk beberapa detik. Tidak sempat melihat lirikan sinis Bunda.

“Oh ya, Bun. Ini Kak Zia, mentor rohis yang sering Aia ceritakan,” Aia segera memperkenalkan Zia pada Bunda, “Kak Zia, ini Bunda.”

Bunda menghadapkan wajah ke arah Zia. Jadi, gadis ini yang ada dibalik perubahan Aia, begitu hati membatin. Ya … setidaknya Bunda masih mengulas senyum di wajahnya. Meski datar. Meski sangat terasa tidak ramah.

Zia dibuat kikuk oleh senyum Bunda. Hanya bisa menelan ludah berusaha menguasai diri dan tetap tersenyum. Segera menyalami Bunda seraya menyebut ulang namanya. Sayangnya, itu sama sekali tidak mengubah suasana yang sudah terlanjur kaku.

Aia menggigit bibir, apa Bunda tidak bisa berakting sedikit ramah untuk beberapa detik saja? Menyebalkannya … di saat seperti ini Aia justru tidak bisa berpikir cepat untuk mencairkan suasana.

“Oh ya, saya sekalian mau pamit, Bunda,” ucap Zia. Ia tidak pernah mengalami suasana sekaku ini sebelumnya. Ada rasa yang tidak berani ia terjemahkan dari sorot mata Bunda.

“Ya, silakan,” sahut Bunda tanpa basa-basi.

“Kak Zia hati-hati, ya,” pesan Aia. Ah, benar-benar tidak enak hati rasanya dengan kekakuan sore ini. Berbanding terbalik dengan saat Aia bertemu Ummi yang begitu hangat. Kenapa Bunda tidak bisa begitu?! Sungutnya dalam hati.

Zia mengangguk. Mengucap salam sebelum akhirnya meninggalkan Aia dan Bunda.

Sementara itu, saat sosok Zia tidak lagi terlihat, Bunda langsung melipat tangan di dada. Menatap Aia. Bertanya. Apa ini? Aia masih tidak mau mendengarkan Bunda?

Aia menggigit bibir. Meringis. Perlahan berjinjit. Memilih masuk ke dalam. Huh! Bunda selalu lebih menakutkan saat diam.

Di ujung jalan, Zia menghela napas dalam langkahnya. Bertemu Bunda sore ini, tiba-tiba membuatnya teringat tentang satu maaf yang masih tersimpan. Sudah cukup lama. Awalnya tidak tahu harus pada siapa ia sampaikan. Sekarang terjawab sudah. Hanya saja, sore ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikannya. Zia bahkan tidak punya keberanian untuk itu.
***

Next :

Prev :


Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar