Minggu, 21 Mei 2017

10 Desember 2012

Senin pagi. Ini adalah hari yang cukup menegangkan bagi siswa SMA Lentera. Bukan karena ini adalah hari pertama Ujian Akhir Semester (UAS) ganjil. Melainkan karena Pak Kepala Sekolah yang sudah berdiri di depan gerbang “menyambut siswa-siswi yang datang lalu menyuruh mereka membuat barisan. Dibantu Pak Edi sang security, Kepala Sekolah memeriksa siswa-siswinya. Inspeksi seragam katanya.

“Masukkan kemejanya!” perintah Pak Kepala Sekolah pada seorang siswa yang tidak memasukkan kemejanya ke celana. “Pelajar gayanya macam preman saja!” desisnya. Tentu saja siswa itu langsung menuruti perintahnya. Setelah itu, Kepala Sekolah membiarkannya masuk. Dan terus begitu. Jika ada siswanya yang tidak berseragam dengan baik, diperingatkan kemudian dibebaskan.

Dengan wajah tegasnya, Kepala sekolah masih bisa tersenyum sumringah karena mayoritas siswanya telah berseragam dengan baik. Itu karena beliau tidak tahu bahwa para siswa sudah mendapat info via pesan singkat bahwa akan ada inspeksi seragam pagi ini. Maka, di ujung jalan para siswa yang seragamnya masih berantakan sibuk merapikan seragam mereka sebelum menghadap beliau.

Sebenarnya, ini bukan masalah besar bagi semua siswa, kecuali tiga orang dari mereka.

“Tunggu, tunggu!” Azki kembali menarik lengan Aia dan Raras. Keduanya menoleh. Ini sudah ketiga kalinya Azki yang sekarang kembali berjongkok menarik lengan mereka.

“Perasaanku benar-benar nggak enak sekarang,” gumam Azki. Cemas. Belajar dari pengalaman sebelumnya mengenai petisi. Kini Benaknya terus merangkai hal-hal buruk yang akan terjadi pada mereka bertiga. Hukuman. Skorsing. Atau bahkan mungkin drop out? Kemudian wajah kedua orang tuanya berkelebatan. Membayangkan ekspresi mereka menerima itu semua.

Aia dan Raras ikut berjongkok. “Ayolah Ki …. Kita sama-sama, ya?” ajak Raras. “Ini kan hari pertama kita UAS. Kamu mau kita terlambat?”

Azki menunduk. Menelungkupkan kedua tangan di wajah. Hatinya sungguh ingin lari sekarang juga. Mama pasti akan sangat marah jika ia kembali bermasalah di sekolah. Bukan hanya Mama, orang tua Raras dan Aia pun pasti sama.

“Azki …,” Aia mulai tidak sabar. Ingin ia tarik saja tangan Azki untuk masuk sekarang juga. Namun segera ia halau emosi itu dengan istighfar. “Kamu kan yang sering bilang, Allah itu sesuai prasangka hamba-Nya. Gimana kalau semua malah terjadi karena kamu terus memikirkan hal negatif?!” Aia kembali menghela napas dan menggumamkan istighfar. “Makanya, kamu tenang. Nggak usah mikir macem-macem. Okay?!” pinta Aia.

Raras merengkuh bahu Aia. Mengingatkannya untuk menguasai emosi. Aia kembali menghela napas.
“Azki, kita lakukan ini karena Allah, kan?” tanya Raras.

Azki mengangguk pelan seraya menurunkan tangan dari wajahnya.

Aia meraih tangan kanan Azki. Menggenggamnya. “Kalau begitu, biar Allah yang akan menolong kita. Kalau apa yang kita lakukan ini benar, Allah pasti akan menolong kita dengan cara-Nya. Jadi, sekarang kita masuk, ya?”

Azki menarik napas panjang lalu beristighfar. Tersadar betapa mudah goyahnya ia. Entah bagaimana jadinya jika tidak ada Aia dan Raras yang menguatkan. Tenang Ki, Allah nggak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuan. Allah akan memberi dua kemudahan setelah kesulitan. Allah akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya, Azki berusaha mengendalikan diri. Mengingat ayat-ayat-Nya. Janji yang menjadi motivasi di kala hati mulai goyah.

“Bismillah!” Azki bangkit. Diikuti Aia dan Raras yang tersenyum lega.

Seperti Azki. Aia dan Raras juga sadar benar kalau inspeksi seragam ini adalah masalah besar bagi mereka. Sadar benar akan ada konsekuensi setelah ini. Tapi, tidak akan ada gunanya menghindar. Bukankah Kepala Sekolah juga sudah tahu mengenai seragam mereka? Maka, tidak ada pilihan lain bagi mereka sekarang. Selain ikut menghadap Kepala Sekolah seperti yang lain. Mereka lakukan semua karena Allah. Maka cukuplah Allah menjadi penolong.

***

“Benar, kan?! Feelingku nggak enak dari awal!” sungut Azki.

“Iya … feelingmu benar!” Aia membenarkan. Pipinya mengembung. Kesal.

Inspeksi seragam itu seolah sengaja dibuat hanya untuk mereka bertiga. Setidaknya ada dua alasan untuk pernyataan barusan. Pertama, semua siswa yang tidak berseragam dengan baik hanya mendapat peringatan dari Kepala Sekolah. Tapi Aia, Raras dan Azki? Mereka bertiga tengah menyelesaikan putaran ketiga mengelilingi lapangan. Pak Kepala Sekolah bilang, ini hukuman untuk mereka karena masih saja berani menyalahi aturan sekolah. Kedua, inspeksi langsung dihentikan setelah Kepala Sekolah menginspeksi seragam Aia, Raras dan Azki.

“Sabar … sabar ya, teman-teman …,” ujar Raras sambil terus berlari. Ia juga sama kesalnya dengan Aia dan Azki. Tapi, mana boleh terus menggerutu. Bukankah sabar juga jalan mendapat pertolongan dari-Nya?

***

Mereka pikir lari keliling lapangan tiga kali cukup. Mereka pikir setelah itu bisa duduk meluruskan kaki sambil mengejar ketertinggalan UAS jam pertama. Ternyata tidak. Siapa peduli kalau UAS sudah dimulai. Usai menjalani hukuman, Kepala Sekolah malah menyuruh mereka bertiga menghadap.

“Bapak sudah tidak tahu lagi harus bagaimana supaya kalian mengerti,” Kepala Sekolah menggeleng berkali-kali. Melepas kacamata. Meletakkannya di meja. Meski tanpa bantuan kacamata, matanya masih cukup jelas untuk menatap tajam ketiga siswi keras kepala itu. Wajahnya terlihat lebih garang daripada saat kali pertama Kepala Sekolah memanggil mereka karena masalah rohis. “Pakaian yang kalian pakai itu bukan seragam sekolah!” hardiknya dengan nada yang langsung meninggi.

Aia yang sejak tadi tertunduk akhirnya mengangkat wajah perlahan. Memberanikan diri demi mempertahankan jilbab. “Tapi yang kita pakai kan tetap terlihat sama, Pak? Kemeja putih dan rok abu-abu,” protesnya. Ya, seragam mereka tidak terlihat berbeda. Hanya saja kemeja dan rok itu mereka sambung supaya memenuhi syarat untuk menjadi jilbab.

Raras dan Azki menoleh. Wajah Azki kian cemas. Aduh Ai … gimana kalau Kepala Sekolah makin marah dan melarang kita ikut UAS?

“Tetap saja beda!” sergah Kepala Sekolah seraya memukul meja.

Tiga siswi di hadapnya tersentak. Wajah Azki semakin terlihat cemas, benar kan, protes Aia cuma bikin Kepala Sekolah semakin marah?! Jangan-jangan sebentar lagi akan ada hukuman tambahan.

“Sudah! Bapak mau sekarang kalian pulang dan serahkan ini ke orang tua kalian,” ucap Pak Kepala Sekolah. Tangannya meraih tiga helai kertas yang sudah dilipat membentuk persegi panjang lalu menyodorkannya satu persatu di hadapan tiga siswinya. Kontan Aia, Raras dan Azki terperanjat begitu melihatnya, surat panggilan?! Ah, bukan! Itu surat petaka! Lagi?!

“Tapi, Pak, ini kan hari pertama kita UAS …,” Azki hendak memohon untuk tidak dipulangkan dan tidak diberikan surat itu. Ia rela kalau harus lari lagi keliling lapangan. Asal jangan surat itu.

Sayangnya, Kepala Sekolah tidak menerima kata tapi lagi. “Pulang. Sekarang! Serahkan surat itu ke orang tua kalian! Paham?!”

“Paham, Pak,” sahut Aia, Raras dan Azki lemah.

“Tapi, ujian kita hari ini bagaimana, Pak?” tanya Aia.

Kepala Sekolah menghela napas. Ingin melarang ketiganya mengikuti UAS. Tapi, ini hanya akan mencemarkan nama baik sekolah jika terdengar keluar. “Kalian boleh menyusul besok. Sekarang keluar,” sahutnya pelan.

Tanpa menyahut lagi. Aia, Raras dan Azki berbalik meninggalkan ruangan dengan langkah gontai.

***

Aia, Raras dan Azki duduk dipojok musholla sekolah. Tidak berani pulang. Hanya bisa menatap kosong surat petaka yang diberikan Pak Kepala Sekolah tadi. Masih terbayang jelas kemarahan orang tua mereka saat mendapat surat petaka pertama karena rohis. Apa jadinya kalau mereka menerima surat untuk kedua kalinya?

“Jangan-jangan kita benar-benar nggak boleh pakai jilbab lagi di sekolah,” gumam Aia. Mulai melakukan yang Azki lakukan. Memikirkan hal buruk. Hilang semua kalimatnya tentang berprasangka baik.

“Jangan-jangan setelah ini kita nggak boleh kajian sama Kak Zia lagi,” bahkan Raras pun ikut menduga.

“Jangan-jangan kita bakal di-DO …,” tambah Azki parau.

Mendengar kata DO, Aia dan Raras menoleh terkejut. Saling menatap khawatir satu sama lain. Aia buru-buru menggeleng. “Positive thinking. Positive thinking. Allah sesuai prasangka hamba-Nya,” akhirnya, kalimat itu kembali.

Raras dan Azki mengangguk. Beristighfar. Berusaha membuang pikiran negatifnya.

“Ya udah lah, sekarang kita pulang saja, gimana?” ajak Aia. Buat apa tetap di sekolah tapi tidak bisa mengikuti UAS? Mau menghindari orang tua di rumah? Percuma! Mana bisa menghindar. Kalau surat ini tidak mereka sampaikan, itu artinya mengundang masalah baru yang lebih besar.

Raras dan Azki mengangguk setuju.

“Kita sama-sama berdo’a ya, semoga kita dikuatkan melalui ini semua,” ujar Aia. Ia tahu, semuanya tidak akan baik-baik saja. Apalagi orang tua. Jadi … terlalu naif rasanya kalau berharap semua baik-baik saja. Aia rasa, berdo’a agar dikuatkan oleh-Nya untuk dapat melalui ini semua lebih dibutuhkan sekarang.

***

Ah … waktu terasa berjalan begitu cepat. Belum sempat Aia menemukan cara yang baik untuk menyampaikan surat petaka, iya, surat panggilan sekolah maksudnya! Tepat sebelum adzan Maghrib berkumandang, Bunda sudah tiba di rumah.

Aia tidak berani bahkan untuk sekedar muncul di hadapan Bunda. Itulah sebabnya ia tetap mengurung diri di kamar. Duduk di hamparan sajadah menghabiskan waktu dengan memanjatkan do’a pada-Nya. Hingga lepas Isya’, ia hanya bisa duduk di meja belajar seraya menatap surat petaka keduanya.

“Bunda pasti marah lagi,” gumamnya sambil terus memikirkan cara menyampaikannya pada Bunda. Aia benar-benar takut dan tidak ingin Bunda marah lagi. Tiba-tiba terbersit hal lain di benaknya, “Atau … Bunda nggak perlu tahu surat ini? Minta saja Bi Tiah yang datang. Selama ini juga Bi Tiah yang biasa datang ke sekolah. Kenapa sekarang harus Bunda? Atau Abang? Tinggal minta Abang merahasiakannya dari Bunda! Ah, Abang nggak bisa dipercaya! Lebih baik Bi Tiah!” timbang Aia.

Hening sesaat. Aia menempelkan dahi ke meja. Berpikir ulang. Tidak lama kemudian mengangkat kepala. Duduk lebih tegak. “Nggak boleh! Jangan bohong lagi Aia! Jangan tambah masalah!” bantah dirinya sendiri.

Mengingat kemarin ia sempat mengatakan tidak ada masalah di sekolah pada Bunda. Padahal, nyatanya masih bermasalah karena Pak Kepala Sekolah melarangnya berjilbab. Lihat, sekarang ia malah mendapat surat petaka untuk kedua kalinya. Aia mengambil sembarang buku lalu menyelipkan surat petaka itu ke dalamnya. Agar Bunda tidak langsung terkejut dan Aia bisa menjelaskannya terlebih dahulu. Bismillah ….

***.

Kebetulan sekali, kamar Bunda sedang terbuka. Aia melongok ke dalam kamar. Terlihat punggung Bunda dibalik kursi. Di meja rias yang kadang berubah fungsi menjadi meja kerja. Bunda tengah duduk, mengerjakan sesuatu di laptop. Melihat punggung Bunda, tiba-tiba nyalinya ciut. Matanya mengerling, apa lebih baik lakukan rencana yang tadi saja? Bi Tiah?, timbangnya dalam hati.

“Kenapa, Ai?” suara Bunda menghentikan Aia yang baru saja hendak meninggalkan kamar. Bunda melihat Aia lewat cermin.

Atau lebih baik beri tahu Bunda saja? Pikirnya lagi. Sebelum akhirnya memutuskan, “Oh. Nggak, Bun,” sahutnya singkat dan pelan kemudian cepat-cepat berbalik kembali ke kamar sebelum Bunda curiga.

Bunda kembali melanjutkan pekerjaan. Hingga tiba-tiba teringat sesuatu yang Bi Tiah katakan saat Bunda menanyakan Aia sepulang kerja tadi, “Udah pulang kok, Bu. Malah dari jam sepuluh udah di rumah lagi. Tapi, hari ini Dek Aia emang beda sih, Bu. Pas pulang mukanya cemberut. Udah gitu, ngurung diri aja di kamar.”

Ada apa dengan Aia? Bunda menghentikan pekerjaannya. Beranjak dari duduk. Hendak menemui Aia. Mungkin saat ini Aia tengah membutuhkannya. Tapi urung karena melihat ia sedang mengerjakan sesuatu.

***

Next :

Prev :

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar