Sabtu, 29 April 2017

Dugaan Aia benar. Di teras depan rumah Raras ....

Bapak mengajak Raras bicara di teras rumah. Bapak memang tidak seperti Ibu yang kalau marah maka suaranya akan meninggi. Bicara Bapak lebih tenang, tapi kata-katanya tegas. Tidak ada yang berani membantah Bapak, apalagi Raras. Dan kalau sudah menyangkut soal sekolah. Bapak selalu langsung turun tangan. Apapun itu. Rapat orang tua. Pengambilan raport. Apalagi tiba-tiba menerima surat panggilan. Kecuali pekerjaannya benar-benar tidak bisa ditinggalkan, barulah Ibu yang datang.
Sejak satu jam lalu Bapak sudah panjang lebar bicara tanpa memberi kesempatan Raras bicara apa lagi untuk membela diri. “Bapak nggak mau lagi dengar kamu buat masalah di sekolah! Biarkan saja kalau sekolah mau membubarkan rohis atau semua ekskul sekalian, kamu nggak perlu ikut campur. Tugasmu sekarang cukup belajar!”

“Tapi, Pak, kalau kebijakan itu salah, masa kita biarkan saja?” sela Raras sejurus kemudian menunduk karena melihat Bapak melotot ke arahnya.

“Kamu boleh pilih, ikuti semua peraturan sekolah. Sekolah bilang harus begini-begitu, pakai seragam ini-itu, seragam olahraga juga pakai, ikuti semuanya! Atau kalau nggak mau, lebih baik keluar sekalian dari sekolah?!” kata Bapak tegas. “Kamu juga harus jadi contoh yang baik buat dua adikmu, Ras,” tambah Bapak.

“Makan dulu, Pak. Pasti lapar kan habis ceramah,” Ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam menegur. “Ceramah” adalah sindiran Ibu tiap kali Bapak selesai menasihati anak-anaknya.

Raras menghela napas lega saat Ibu datang. Ia sudah tidak kuat berhadapan dengan ketegasan Bapak. Walaupun emosi Ibu mudah meninggi. Tapi, Ibu selalu tahu kapan Raras membutuhkannya.

***

Sekali lagi dugaan Aia benar. Di kamar Azki ....

“Astaghfirullah, Ki! Memang, dari empat anak Mama, kamu yang paling pintar. Yang paling rajin shalat, ngaji. Tapi, seumur-umur Mama menyekolahkan anak, baru kali ini Mama dipanggil kepala sekolah gara-gara bermasalah! Kamu pikir gampang Papamu cari uang?! Kamu dimasukkan sekolah bukan buat jadi penentang di sekolah! Sudah! Belajar saja yang benar! Nggak usah sok-sok-an menolak kebijakan sekolah segala!” teriak Mama.

Mama memang paling tua diantara orang tua Aia dan Raras. Mungkin itu sebabnya ia juga jadi yang paling cerewet. Sejak Azki pulang, Mama tidak berhenti memarahi anak bungsunya itu. Bahkan memarahi apa saja yang bisa dimarahi. Gelas di atas kulkas, dimarahi. Piring berantakan, dimarahi. Cucian yang lupa dijemur karena Mama harus ke sekolah tadi pagi pun dimarahi. Padahal, apa coba salah mereka? Berhenti sebentar, lima belas menit kemudian kembali memaki.

Bahkan kakak laki-lakinya yang baru pulang kuliah sore tadi juga kena marah. “Gara-gara lu, nih!!” gerutunya. Ia dan Azki memang sering berselisih. Tidak seperti hubungan Azki dengan dua kakak perempuannya. Sayangnya, mereka sudah berkeluarga dan tinggal di rumah masing-masing. Azki benar-benar sendiri tanpa ada yang membela.

Bahkan malam hari pun Mama masih merasa perlu mendatanginya yang baru selesai shalat Isya’ di kamar.

“Siapa yang mau jadi penentang, Ma?” Azki memberanikan diri menyahuti Mama pelan. Membalikkan posisi duduknya menghadap Mama yang baru saja duduk di sisi tempat tidur.

“Ya terus buat apa kamu bikin pernyataan penolakan?! Mengumpulkan tanda tangan siswa-siswa lain?! Mulai sekarang, kamu jangan lagi bergaul dengan anak-anak yang nggak bener!”

“Azki nggak pernah bergaul dengan anak-anak nggak benar, Ma,” bantah Azki masih dengan suara pelan mengimbangi suara Mama yang kian meninggi.

“Itu! Teman-teman kamu yang buat pernyataan penolakan itu?!”

“Itu kan Aia dan Raras. Mama kan, sudah kenal dengan mereka.”

“Ya itu artinya mereka nggak benar!” sergah Mama, “sudah, jangan jawab-jawab lagi! Mulai sekarang, jangan berteman dengan mereka lagi! Jangan berteman dengan anak-anak yang hobinya buat masalah di sekolah! Terus apa tadi kata kepala sekolah? Kalian nggak mau pakai seragam olahraga katanya?! Mulai sekarang pakai itu seragam! Mengerti?!”

Azki terperanjat. Pakai seragam olahraga?! Azki segera menggeleng, “Tapi, itu ....”

“Sudah!” Mama mengacungkan jari telunjuknya, menahan Azki yang sebenarnya masih mau bicara. “Mama nggak mau lagi dengar alasan apa pun! Patuhi semua peraturan sekolah! Apa pun! Jangan buat susah orang tua lagi!”

“Sudahlah, Ma! Nggak capek marah-marah terus? Memangnya Azki senang orang tuanya dipanggil sekolah?” sebuah suara berat dari luar kamar menengahi.

Alhamdulilllah, Papa pulang! Azki tersenyum lebar. Dimarahi seharian membuat Azki hampir lupa kalau masih punya Papa yang masih mendukungnya kalau urusan rohis.

***

“Jadi anak-anak, tugas negara adalah menjaga hak asasi manusia. Nah, apa saja hak asasi manusia itu? Ternyata luas sekali, seluas kehidupan manusia,” Pak Hamdan sedang menjelaskan tentang hak asasi manusia atau biasa juga disingkat dengan HAM, di hadapan dua puluh lima siswanya yang-sebagian- menyimak serius.

The International Covenant on Economics, Social, and Cultural Rights menyebutkan ada dua macam HAM. Pertama, hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak pertama ini juga meliputi hak kita untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk hidup yang layak. Kedua, hak sipil dan politik. Contohnya, kita berhak berpendapat. Berhak untuk hidup bebas, bebas berpikir, bebas beragama,” lanjut Pak Hamdan.

Aia mengangkat tangan. Pak Hamdan melambaikan tangan kanannya, mempersilakan Aia bicara. “Apa itu artinya kita juga bebas mengeluarkan pendapat saat kita tidak setuju terhadap sesuatu, Pak?”
Pak Hamdan tersenyum. Tentu saja ia paham apa yang Aia maksud. “Ya, termasuk itu. Kebebasan berpendapat. Semua orang boleh mengeluarkan pendapatnya masing-masing.”

“Juga kasus pembuatan film yang menghina Nabi Muhammad beberapa waktu lalu, itu juga kebebasan berpendapat, Pak?” Azki juga ikut bertanya. Kontan siswa yang lain menoleh padanya. Azki menatap bingung teman-temannya.

“Oh, kasus yang itu,” seru Pak Hamdan, ia ingat kasus itu. “Eee, kalau kita melihat dari perspektif HAM, maka itu juga termasuk kebebasan berpendapat,” jawab Pak Hamdan hati-hati.

“Kalau menghina Nabi bisa disebut kebebasan, kenapa saat kita menolak penutupan rohis, kita justru dianggap melakukan pelanggaran, Pak?” tanya Aia lagi, to the point. Toh, semua orang di sekolah sudah tahu kasusnya.

“Karena kalian melanggar peraturan yang sudah dibuat sekolah. Bagaimanapun, sekolah tetap punya peraturan yang wajib kalian ikuti,” sahut Pak Hamdan seraya maju beberapa langkah. Berdiri lebih tegak, berusaha nampak lebih berwibawa. “Begini anak-anak, kita memang punya hak asasi. Tapi di sisi lain, kita juga harus menghormati hak asasi orang lain. Apa lagi terkait sebuah lembaga yang di dalamnya punya aturan tersendiri ....”

“Berarti, sekolah juga sudah melakukan pelanggaran hak asasi dong, Pak,” Raras memotong.

Pak Hamdan mengerutkan dahi, “Kenapa begitu?”

“Karena sekolah mencabut hak kami untuk mempelajari agama lebih dalam lewat rohis. Betul, kan, Pak?” sahutnya.

Tiba-tiba satu kelas riuh. Ada yang teriak, huu. Ada yang mencibir. Ada juga yang tersenyum tengil lalu mengibaskan tangan, halah! Dasar anak-anak GARIS itu!

Pak Hamdan tertawa kecil sambil garuk-garuk kepala menghadapi siswanya yang hari ini sangat kritis. Setelah kelas kembali tenang, Pak Hamdan kembali berkata, “Begini, Ras, anak-anak, seperti yang tadi Bapak sudah jelaskan bahwa hak asasi pada akhirnya menimbulkan kewajiban asasi. Yakni, kita harus menghormati hak asasi orang lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Karena pada praktiknya, penerapan HAM, akan mengalami benturan kepentingan antara seorang dengan yang lain yang bisa mengakibatkan pelanggaran HAM itu sendiri.”

“Kalau begitu, artinya kita nggak bisa menerapkan HAM seutuhnya, Pak?” kali ini Azki ikut bersuara.

Pak Hamdan diam sejenak, berpikir. Lalu akhirnya mengangguk, “Ya, Bapak pikir kita tidak bisa pungkiri itu.”

“Terus buat apa ada HAM kalau ternyata kita juga nggak bisa mendapat kebebasan secara mutlak?” Aia kembali bertanya. “Atau, hak asasi manusia itu cuma omong kosong?” gumamnya pelan namun tetap terdengar oleh Pak Hamdan.

Pak Hamdan terdiam hingga lengang mengisi kekosongan beberapa detik. Kemudian berusaha membantah, “Oh, tidak seperti itu, Aia. Meski pada praktiknya HAM sering kali berbenturan ....”

Neeet. Yeeee. Bel istirahat disambut gembira oleh seluruh siswa.

“Ok, diskusi yang menarik. Tapi, kita harus mencukupkannya sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan anak-anak.”

Pak Hamdan segera mengambil beberapa bukunya lalu keluar kelas diikuti siswa yang sudah tidak sabar ingin keluar.

Aia, Raras dan Azki saling menatap lalu mengangkat bahu. Hak asasi manusia? Bullshit! Mereka tidak mendapatkan itu, apa namanya? Kebebasan. Bohong! Mana bisa manusia hidup bebas semaunya. Bahkan negara bebas sekalipun tetap punya aturan. Manusia itu memang makhluk yang paling aneh, mereka membuat aturan yang bahkan mereka tahu, jika dijalankan bisa melanggar aturan itu sendiri.

***

“Ini semua salah Aia, Kak,” aku Aia. Ia benar-benar merasa bersalah pada Raras dan Azki. Kalau bukan karena idenya, mereka tidak akan mengalami ini.

Udah dong, Ai. Ini kan kesepakatan kita bertiga,” ucap Azki. Sudah berapa kali Aia minta maaf padanya dan Raras. Dan entah sudah berapa kali juga mereka berdua mengatakan ini bukan karenanya. Melainkan bagian dari konsekuensi yang harus mereka terima atas kesepakatan itu.

Sepulang sekolah mereka bertiga bertemu dengan Zia di masjid At-Taqwa yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Mereka sudah menceritakan semua yang terjadi setelah rohis ditutup. Zia cukup terkejut mendengarnya. Tidak menyangka mereka akan bertindak sejauh ini. Seandainya tahu sejak awal, ia tidak akan membiarkan mereka melakukan ini. Bukan tidak ingin rohis kembali. Melainkan karena akibatnya bukan hanya melibatkan mereka, tapi juga orang tua.

“Islam  datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing,” Zia teringat sebuah hadits riwayat Muslim.

Dua tahun lalu Zia dan tiga teman lainnya akhirnya bisa bekerja sama dengan SMA Lentera 3 untuk membina anak-anak ekstrakurikuler rohis. Ia ingat betul masa-masa awal, asing. Hanya segelintir siswa yang memilih ekskul ini. Terlebih yang bertahan, hanya belasan orang. Tahun berikutnya mulai terasa membaik dengan bertambah banyaknya siswa yang memilih ekskul rohis. Sebelum akhirnya sekolah menjegal itu semua. Mengasingkan lagi rohis.

“Sekarang kita harus gimana, Kak?” tanya Raras.

“Untuk sementara, kita kajian di masjid ini dulu saja. Mengenai rohis di sekolah, sebaiknya kalian jangan lakukan apa-apa dulu. Kita akan cari jalan lain dan tunggu sampai waktunya benar-benar tepat, ya?”

Aia, Raras dan Azki mengangguk pelan. Zia tersenyum memberi semangat pada ketiganya. Kagum dengan semangat tiga adiknya. Padahal, ini pasti berat buat mereka.

Ya Allah, apakah ini semua selesai sekarang? Selesai begitu saja? Aia tercenung. Lagi. Ia rasakan cahayanya meredup. Kenapa semua cahayaku meredup?! Keluarga. Sahabat. Rohis. Semua sirna. Gelap!

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 19.20 WIB
Sepuluh menit menunggu lagi, akhirnya pesawat Bunda mendarat. Terminal kedatangan domestik mulai ramai dengan penumpang pesawat yang baru turun. Bertambah ramai dengan beberapa orang yang sejak tadi menunggu, menyambut kedatangan orang yang ditunggu. Aia dan Bi Tiah celingukan mencari Bunda.

“Ibu!” Bi Tiah rupanya lebih cepat menemukan Bunda.

Aia segera menoleh lantas ikut berseru, “Bunda!”

Merasa dipanggil, Bunda juga celingukan. Ya, walaupun sedikit ragu kalau dirinya yang dipanggil. Selama ini mana pernah ada yang menungguinya di terminal kedatangan. Tapi, akhirnya Bunda melambaikan tangan sesaat setelah melihat Bi Tiah dan Aia di antara kerumunan orang-orang.

Dalam hitungan menit, Aia, Bunda dan Bi Tiah sudah berada di dalam taksi. Sejak bertemu, tidak banyak suara antara Bunda dan Aia. Melihat majikan dan anaknya lebih banyak diam, Bi Tiah juga tidak berani banyak bicara. Padahal, biasanya Bi Tiah selalu banyak tanya tiap kali Bunda pulang dari luar kota. Menanyakan kegiatan Bunda di sana, bagaimana suasana kotanya, bagaimana orang-orangnya. 11-12 dengan Aia.

Taksi terus melaju menuju selatan ibu kota. Meski tetap ramai, tapi perjalanan pulang relatif lebih lancar dibanding saat berangkat tadi.

“Aia tahu jadwal pesawat Bunda dari Tante Yasti,” aku Aia meski Bunda tidak bertanya.

“Ya, Bunda tahu,” sahut Bunda datar. Yasti sudah memberitahu kemarin sore.

Suasana kembali hening untuk waktu yang cukup lama.

“Bun,” Aia mulai tidak betah sejak tadi hanya diam. Sejak kapan coba hubungannya dengan Bunda kayak kanebo kering? Kaku!

Bunda hanya ber-hm ria. Melirik Aia, sejurus kemudian kembali menatap jalan lewat jendela mobil. Sejak tadi Bunda juga tidak suka terus diam. Tapi, Bunda ingin Aia mengerti kalau ia tidak suka atas kelakuan Aia di sekolah. Dan Bunda ingin Aia tidak mengulanginya lagi.

“Bunda ... masih marah ya?” tanya Aia takut-takut. Bi Tiah mulai tertarik, sesekali menengok ke kursi belakang.

Sekali lagi Bunda melirik Aia, sejurus kemudian kembali menatap jalan, “Bunda nggak marah, Cahaya,” sahut Bunda pelan.

Hh, nggak marah tapi menyebut nama lengkap? Itu artinya Bunda marah! Aia membatin.

Suasana hening lagi hingga beberapa detik kemudian Aia merapat ke Bunda. Memeluk lengan Bunda dan menyandarkan kepalanya di sana. Bunda sedikit terkejut saat Aia tiba-tiba memeluk lengannya namun tetap diam.

“Aia minta maaf, Bun,” lirih Aia penuh penyesalan, “Aia tahu Bunda marah soal surat panggilan kemarin.”

Bunda mendengarkan tapi tak ingin menyahut.

“Aia juga menyesal udah bikin Bunda marah,” ucapnya lagi. Ia menyesal karena sudah membuat Bunda marah. Tapi jujur, ia sama sekali tidak menyesal telah mengumpulkan tanda tangan itu. “Dulu, waktu Aia lihat Bunda bolak-balik dipanggil ke sekolah karena Abang. Aia sudah janji pada diri sendiri kalau Aia nggak akan seperti Abang. Aia nggak mau menyusahkan Bunda. Aia mau jadi anak yang baik buat Bunda.”

Aia menatap Bunda yang tetap bergeming. Menarik napas dan Mengembungkan pipi. “Sepertinya, Aia gagal ...,” akunya seraya kembali menyandarkan kepala di bahu Bunda. Harus bagaimana supaya Bunda berhenti mendiamkanku? Aia benar-benar benci diabaikan seperti ini. Dianggap tidak ada.

Tiba-tiba Bunda teringat saat Aia kecil mengetuk pintu kamarnya lalu meminta maaf karena Aia sempat marah padanya. Padahal, itu kan salahnya yang tidak bisa menemani Aia belajar. Sungguh, hari itu Bunda melihat kesungguhan dan ketulusan Aia meminta maaf padanya.

Sekarang, kejadian itu terulang lagi. Bunda bisa merasakan kesungguhan dan ketulusan  itu lagi. Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi. Rasa bersalah kembali menghantuinya. Mungkin aku terlalu berlebihan, tidak seharusnya aku semarah ini pada Aia. Bukankah selama ini ia sudah menjadi anak yang baik?

“Maafkan Aia ya, Bun?” pinta Aia lagi.

Bunda melepas pelukan tangan Aia di lengannya. Ganti Bunda yang merangkul Aia sepenuhnya. Mencium lembut putrinya. Bunda selalu begini, saat haru mulai menghampiri, tenggorokannya tiba-tiba tercekat, lidahnya pun kelu. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa ia ucap.

Aia juga memeluk Bunda, lebih erat malah. Tidak apa jika Bunda tidak bicara satu patah kata pun. Pelukan Bunda sudah menjawab segalanya. Dalam hati Aia terus mengucap kalimat pujian untuk-Nya. Siapa coba yang menggerakkan dan meluluhkan hati Bunda untuknya malam ini? Tentu saja Dzat yang Maha membolak-balikkan hati. Tidak tahu diri sekali rasanya kalau malam ini Aia lupa bersyukur pada-Nya.

Bi Tiah yang duduk di depan, mulanya hanya melirik sesekali. Sekarang, ia benar-benar menonton dari balik kursi. Menyeka sudut mata. Ikut terharu, eh, yang ini malah lebih mengharukan dari sinetron favoritnya di televisi.

Yang penuh tanda tanya sebenarnya Pak Sopir. Tapi, apalah daya dia tidak punya peran dalam cerita ini selain mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Maka dihiraukannya semua adegan di kursi belakang. Memilih fokus pada aspal jalan.

***

Bunda pikir semalam adalah simbol perdamaiannya dengan Aia setelah satu minggu melancarkan perang dingin. Bunda pikir pagi ini ia akan melihat Aia yang menuruti semua perkataannya. Jadi, pagi ini bisa menikmati hangatnya sarapan bersama dua anaknya. Sama seperti hangatnya sinar matahari yang menembus jendela ruang tamu.

“Sudah sampai mana skripsinya, Bang?” Bunda yang sibuk membantu Bi Tiah menyiapkan sarapan bertanya. Hari ini Bunda libur, jadi bisa sedikit lebih santai di rumah.

“Belum setengahnya Bun,” jawab Adam secukupnya.

“Lama, ya?” tanya Bunda lagi. Sekarang sudah ikut duduk bersama Adam dan Aia.

“Banyak revisi sama dosennya,” jawab Adam lagi, juga secukupnya.

Bunda berhenti bertanya. Obrolan dengan Adam memang selalu sebentar. Kalau ditanya ia menjawab secukupnya. Jika tidak, ia juga tidak akan bertanya. Bahkan saat Bunda baru pulang dari luar kota pun, Adam tidak pernah iseng menanyakan bagaimana perjalanannya. Berbeda dengan Aia yang selalu menanyakan hal itu. Tapi untuk perjalanannya kali ini Aia sudah menanyakannya usai adegan berpelukan semalam.

“Mungkin harusnya Bang Adam cuti dulu pegang kamera. Berhenti dulu tuh terima job-job pemotretan. Jadi bisa fokus dengan skripsinya,” usul Aia.

“Eits, nggak bisa! Motret itu sudah panggilan jiwa, De!” sanggah Adam cepat.

“Panggilan jiwa,” cibir Aia seraya menirukan gaya bicara Adam. Lalu berlagak mau muntah.

Bunda tersenyum, “Ya, nggak apa-apa. Tapi, Bunda harap ini tahun terakhir Abang di kampus, ya ....”

“Ya, Bunda tenang aja!” sahut Adam ketus, “yang harus Bunda pastikan itu, Dede! Supaya berhenti berbuat macam-macam di sekolah,” lanjutnya menggoda Aia.

Aia melotot. Ia tahu maksud Adam. Macam-macam apa? Rohis itu panggilan jiwa, Bang!”

“Panggilan jiwa,” Ganti Adam yang mencibir lalu berlagak mau muntah.

“Memang benar! Aia dan teman-teman ingin mempertahankan rohis di sekolah karena cuma lewat rohis kami bisa mendalami Islam,” Aia mulai melakukan pembelaan atas dakwaan Adam terhadapnya. “Bunda tahu kan, gimana kualitas pelajar yang nggak paham agama?” Aia melirik Adam yang langsung melotot padanya.

Bunda tersenyum, mengerti maksud lirikan Aia. Oke, Aia benar. Pemahaman agama yang kurang juga jadi faktor semakin brutalnya pelajar-pelajar sekarang. Jika mereka punya pemahaman agama yang baik, mereka tentu tidak akan tawuran, terlibat narkoba atau bahkan menyontek yang sekarang sudah dianggap budaya. Karena Islam jelas melarang itu semua. Jika mereka punya pemahaman agama yang baik, mereka akan men-standarkan perbuatan mereka dengan hukum syara’ yang telah Allah tetapkan.

“Jadi, Dede merasa sudah memahami agama dengan baik?” tanya Adam.

“Ya, belum. Makanya Aia dan teman-teman meminta sekolah untuk membatalkan penutupan rohis, Bang!

“Sudah, sudah. Bunda nggak mau lagi ada perdebatan rohis di sini. Peringatan dari sekolah kemarin sudah cukup, Ai. Biarkan sekolah menjalankan keputusannya. Bunda sudah bilang, Bunda bisa minta Tante Nur merekomendasikan mahasiswanya untuk ....”

“Eeeh, nggak usah Bun,” Aia langsung menyela begitu mendengar Bunda menyebut nama itu. Kenapa sih, Bunda selalu menyebutnya?!

Bunda mengerlingkan mata ke arah Aia, “Kenapa?”

“Aia masih bisa menghubungi mentor Aia untuk tetap kajian di luar sekolah, kok.”

“Kamu yakin? Terus terang Bunda khawatir ada apa-apanya dengan kajian rohis di sekolahmu. Kalau memang nggak ada masalah, sekolah juga nggak akan menutupnya, Ai,” Bunda menatap Aia tajam.

“Bunda tahu kan, sekolah begitu karena berita gak jelas itu. Bukan karena ada apa-apa di rohis. Buktinya, satu tahun Aia di rohis, Bunda nggak pernah lihat Aia melakukan hal aneh-aneh, kan?”

“Bunda tetap nggak setuju, Ai!” tandas Bunda, “Bunda akan lebih tenang kalau Aia nggak berhubungan lagi dengan mereka.”

Adam menahan tawa. Kemudian kembali fokus menikmati sarapannya. Seperti biasa, tidak berminat dengan obrolan Bunda dan Aia.

“Ta,” Aia hendak protes.

Tapi kalah cepat dengan Bunda yang mengatakan, “Nggak ada tapi-tapi lagi! Apa pun alasan Aia, Bunda tetap nggak setuju!”

Bunda meraih segelas air putih di hadapannya. Meneguknya sambil sesekali melirik Aia. Bunda khawatir. Zaman sekarang banyak sekali aliran sesat, radikal, entah apa lagi yang berkembang. Bagaimana kalau ternyata Aia terjerumus pada salah satu dari itu?  Nur benar, aku harus lebih mengawasinya.

Adam masih asyik mengunyah sarapan paginya. Tak peduli dengan sekitarnya. Ia selalu begitu, berlagak cuek tapi hatinya terus bergumam, kenapa Bunda sengotot itu melarang Aia kajian lagi? Padahal, sebenarnya Adam tidak melihat sesuatu yang perlu dikhawatirkan dari Aia. Tadi ia hanya iseng menggoda adiknya.

Bi Tiah yang sedang sibuk membersihkan dapur tidak ketinggalan. Sesekali melirik meja makan. Ibu kenapa sih? Kok belakangan sering marah ke Dek Aia.

Aia terdiam. Menghela napas berat dan Mengembungkan pipi. Dalam hati bertanya, Apa lagi sih?! Kenapa Bunda melarangku kajian dengan Kak Zia? Bukannya dulu Bunda yang bilang tidak akan khawatir jika aku ikut mengkaji Islam di rohis? Apa coba yang sebenarnya Bunda khawatirkan?
***

Next :

Prev :

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar