Jumat, 05 Mei 2017

“Oh, kenapa Ummi nggak terima aja tawaran jadi dosen tetap?” tanya Aia heran.

Tiga puluh menit menunggu Zia yang belum juga datang, Aia ditemani Ummi. Awalnya kikuk. Tapi, ternyata Ummi orang yang menyenangkan. Beliau sudah bercerita banyak tentang kehidupannya. Kuliah. Menikah. Zia lahir. Sepuluh tahun kemudian barulah anak keduanya lahir. Di rentang waktu sepuluh tahun itu Ummi sempat melanjutkan studi S2 dan menjadi dosen tidak tetap di salah satu perguruan tinggi swasta. Ummi sempat ditawari untuk menjadi dosen tetap di tempatnya mengajar. Tapi, Ummi menolaknya dan memilih resign karena tengah hamil anak kedua.

“Karena sudah jadi Ibu. Jadi, ada yang lebih penting yang harus Ummi prioritaskan, Ai. Makanya, Ummi tolak tawaran itu. Jadi dosen tetap beda dengan dosen tidak tetap. Kalau Ummi terima, khawatir Ummi akan melalaikan kewajiban Ummi,” terang Ummi Zia. “Apalagi tiga tahun setelah itu anak ketiga Ummi lahir,” tambahnya.

“Kewajiban apa sih, Ummi? Kok sampe rela ngelepas tawaran sebagus itu?” tanya Aia.

“Ya ... kewajiban sebagai istri dan ibu rumah tangga. Apalagi?”

“Ah?” Aia tertegun mendengarnya. Tanpa sadar matanya terus menatap Ummi. Ada rasa tak percaya dari sorot matanya. Jawaban Ummi sangat berbeda dari perempuan lainnya. Baru kali ini ia benar-benar bertemu dengan seorang ibu yang rela melepas tawaran berkarir untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga. Berbeda dengan Bunda dan temannya, Yasti. Yang malah rela melepas keluarga demi pekerjaan.

Ummi tersenyum simpul menanggapi tatapan Aia.

Aia tersentak kemudian ikut tersenyum tipis. “Tapi Ummi, ada yang pernah bilang ke Aia kalau perempuan itu harus mandiri. Nggak boleh bergantung sepenuhnya sama laki-laki. Katanya, perempuan harus setara dengan laki-laki, termasuk dalam finansial,” ujarnya. “Ummi nggak berpikir seperti itu?” Aia menunggu jawaban Ummi dengan antusias.

Ummi kembali tersenyum simpul, “Setara dalam finansial? Jadi, kalau suami kerja, istri juga harus kerja? Supaya sama-sama punya penghasilan?

Aia mengangkat bahu, kira-kira begitu.

“Kalau suami-istri harus kerja, terus siapa dong yang didik anak di rumah?”

Aia meringis. Tidak bisa menjawab pertanyaan Ummi. “Aia cuma dengar ada yang bilang gitu aja sih. Katanya, selama ini perempuan sudah ditindas karena laki-laki mendominasi. Contohnya ya tadi itu, laki-laki bisa kerja, bisa melakukan aktivitas di luar rumah lah. Sementara perempuan tugasnya cuma seputar sumur, dapur, kasur! Katanya, itu kan nggak adil. Makanya supaya adil, posisi perempuan harus sejajar sama laki-laki ....”

“Katanya? Kata siapa sih ... hm?” tanya Ummi setengah menggoda Aia.

Kata Bunda dan Tante Nur, jawab hati Aia. Tapi bibirnya hanya mampu mengulas senyum, terlalu malu untuk mengatakannya. Akhirnya berkilah, “Kata orang-orang. Pernah dengar aja. Menurut Ummi gimana?”

Ummi menghela napas. Mengubah posisi duduk. Menyilangkan jemari kanan dan kiri. Dengan senyum tetap terulas di wajah. Baru kali ini mengobrol seserius ini dengan anak SMA. “Ummi juga sering dengar pendapat kayak gitu. Itu sebenarnya pendapat para feminis, kamu tahu feminis?”
Aia mengangkat alis, “Perempuan yang menyuarakan kesetaraan gender?” ucapnya ragu-ragu.

Ummi mengangguk, “Wah, sepertinya malah Aia yang lebih banyak tahu,” guraunya.

“Nggak Ummi!” Aia menggeleng panik. Jangan-jangan Ummi tahu soal Bunda. “Kalau Aia tahu Aia nggak akan nanya,” lanjutnya pelan setelah menyadari, bagaimana mungkin Ummi tahu soal Bunda? Pada Zia saja Aia belum cerita soal Bunda.

“Ya sudah. Kita luruskan dulu, ya. Yang Ummi tahu ide kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam. Tapi datang dari perempuan-perempuan barat yang memang mereka diperlakukan nggak adil di zamannya. Jadi, kalau kamu tanya gimana pendapat Ummi tentang itu. Jawabnya, ya … Ummi nggak setuju,” ringkas Ummi.

Ya, Aia masih ingat bagaimana Bunda menceritakan sejarah kelam perempuan di negara Barat dan agama selain Islam. Aia manggut-manggut. “Terus ada juga yang bilang kalau Islam juga mendiskriminasi perempuan lho, Ummi. Misalnya laki-laki jadi pemimpin, tapi perempuan nggak. Laki-laki boleh poligami, perempuan nggak. Hak waris, perempuan cuma dapat setengah dari bagian laki-laki. Istri harus minta izin suami untuk melakukan sesuatu. Tapi, suami nggak perlu minta izin istri,” cerocos Aia.

Ummi menyimak. Menatap lekat-lekat wajah Aia. Entah kenapa, sejak tadi Ummi merasa tidak asing dengan Aia serta sikapnya.

“Aia jadi bingung, deh. Satu sisi Aia nggak setuju dengan kesetaraan gender. Tapi, di sisi lain,  Aia juga nggak bisa nolak kalau pernyataan itu benar. Kenyataannya, memang Islam mengatur posisi perempuan begitu kan, Ummi? Apa itu artinya Islam memang mendiskriminasi perempuan lewat aturan-aturan itu?”

“Ya, memang.”

Aia terbelalak mendengar awal kalimat Ummi. Jadi Islam mendiskriminasi?!

Melihat mata Aia, Ummi merasa perlu untuk meluruskan. “Maksudnya, memang Islam mengatur posisi perempuan seperti yang Aia bilang barusan.”

Aia ber-O lega. Aia kira Ummi akan menjawab sama seperti Bunda dan Nur.

“Tapi, bukan berarti Islam mendiskriminasi perempuan,” tukas Ummi.

Aia menyimak sungguh-sungguh.

Ummi sempat menatap heran melihat wajah serius Aia. Sejurus kemudian melanjutkan lagi kalimatnya, “Sebenarnya Islam nggak memandang berbeda antara perempuan dan laki-laki dalam posisi mereka sebagai manusia. Buktinya di al-Qur’an banyak seruan yaa ayyuhannas, yaa ayyuhalladziina aamanuu. Itu kan seruan untuk seluruh hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Abu Daud dan an-Nasa’i juga pernah meriwayatkan sebuah hadits dari Rasulullah saw, ‘sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan kaum laki-laki’.

Artinya posisi laki-laki dan perempuan sebagai hamba Allah itu sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama diwajibkan shalat. Puasa. Zakat. Haji. Menuntut ilmu. Berdakwah. Sama-sama diwajibkan menutup aurat. Menundukkan pandangan. Sama halnya laki-laki dan perempuan sama-sama dilarang mencuri. Mendekati zina. Pencuri laki-laki dan perempuan dapat hukuman yang sama, dipotong tangannya. Begitu juga pezina laki-laki dan perempuan sama-sama dicambuk seratus kali kalau belum menikah. Dirajam sampai mati kalau sudah menikah. Nggak ada perbedaan, kan?”

Aia mengangguk. Wajahnya masih menunjukkan keseriusan yang sama. Hatinya mulai terasa lega karena akhirnya mulai menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Meski sebagian masih terasa mengganjal. Aia masih menunggu penjelasan Ummi berikutnya.

Ummi kembali menatap heran Aia sejenak. Sepertinya anak ini benar-benar tertarik dengan isu gender, pikirnya. “Tapi, ketika menjalani hidup sebagai laki-laki dan perempuan. Keduanya punya fitrah yang berbeda. Untuk itulah dalam Islam ada hak dan kewajiban yang berbeda untuk keduanya. Sesuai dengan fitrah masing-masing. Ini seperti hukum-hukum yang Aia sebutkan tadi sebenarnya. Misal, Allah sama-sama mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup aurat. Hanya saja ada perbedaan dalam cara menutup aurat antara laki-laki dan perempuan. Islam mewajibkan perempuan memakai jilbab dan kerudung. Tapi, tidak bagi laki-laki. Kenapa? Karena aurat perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sementara aurat laki-laki dari pusar sampai lutut.

Contoh lainnya, Allah membebankan kewajiban mencari nafkah pada laki-laki. Mewajibkan pengaturan rumah tangga pada perempuan. Atau mewajibkan jihad, membayar mahar bagi laki-laki. Tapi, nggak wajib buat perempuan. Ada juga hukum Islam yang khusus untuk perempuan. Seperti hukum seputar kehamilan, penyusuan dan pengasuhan anak, masa ‘iddah....”

“Tapi itu berarti,” Aia refleks menyela. “Eh ... maaf Ummi, tapi bukan itu sama aja. Artinya memang dalam Islam ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan kan, Ummi?”

Lagi. Ummi tersenyum simpul. “Iya. Karena memang fitrahnya laki-laki dan perempuan berbeda. Tapi ... itu bukan bentuk diskriminasi. Kekhususan pembagian peran laki-laki dan perempuan ini, bukan supaya laki-laki bisa mendominasi perempuan. Bukan. Tapi, memang pembagian peran ini penting untuk saling melengkapi agar kehidupan manusia itu sendiri berjalan stabil.”

Aia Mengembungkan pipi dan mengerutkan dahi. Berpikir keras. “Iya ya, Ummi. Aia nggak kebayang kalau laki-laki dan perempuan sama-sama wajib mencari nafkah? Terus yang ngatur rumah tangga siapa? Atau laki-laki dan perempuan sama-sama wajib mengatur rumah tangga? Siapa yang cari nafkah?”

Ummi mengangguk setuju, “Kalau dua-duanya sibuk dalam hal yang sama, itu akan membuat fungsi keluarga tidak berjalan dengan baik, Ai. Jadi, pembagian peran laki-laki dan perempuan itu mutlak perlu. Bukan diskriminasi.”

Aia manggut-manggut mengerti. “Jangan kaget, Ai. Bahkan shahabiyah pun ada yang memprotes Islam,” tiba-tiba kalimat Nur terlintas di benaknya. Membuatnya teringat pertemuan di kantor Nur waktu itu.

“Kenapa, Ai?” Ummi menangkap ada sesuatu yang tidak beres dari mata Aia.

Sebenarnya Aia tidak ingin bertanya lagi. Tidak enak hati. Karena untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu, Aia sudah terlalu banyak bertanya. Tapi, hatinya akan lebih tidak enak lagi jika tidak bertanya. Lagi pula, Zia yang ditunggu pun belum juga nampak. Jadi … tidak ada salahnya mengajukan satu pertanyaan lagi, kan?

“Ummi pernah nggak mendengar kisah shahabiyah yang memprotes hukum Islam?” tanya Aia akhirnya. “Soalnya ada yang bilang ke Aia, kalau shahabiyah saja pernah memprotes hukum Islam pada Rasulullah. Jadi, wajar kalau sekarang muslimah juga mengkritik hukum Islam yang menurut mereka mendiskriminasi perempuan.

Aia berhasil membuat Ummi terperangah dengan pertanyaannya. Tidak menyangka kalau Aia tahu hingga sejauh ini tentang kesetaraan gender. Bukankah anak SMA sepertinya, biasanya lebih tertarik bertanya tentang pacaran, apa hukumnya menerima cokelat di hari Valentine dan apalah itu pertanyaan-pertanyaan seputar dunia remaja.

Ummi diam. Matanya mengerling. Berusaha mengumpulkan ingatannya tentang pertanyaan Aia. “Pernah,” sahut Ummi.

Mata Aia kembali terbelalak. Jadi Tante Nur benar?! Memang ada shahabiyah yang memprotes hukum Islam?!

“Aia nggak habis pikir. Masa sih, sekelas shahabiyah bisa memprotes hukum Islam?” gumamnya kecewa. “Apa itu karena mereka merasa diperlakukan nggak adil oleh Islam? Tapi, Ummi... bukannya hukum Islam itu sudah sempurna?”

Ummi mengangguk. Seolah mengamini kekecewaan Aia yang kemudian Mengembungkan pipi. Memasang wajah cemberut. Tidak terima kalau ternyata apa yang dikatakan Nur benar.

Shohabiyah memang pernah memprotes hukum Islam pada Rasul. At-Tirmidzi dan Hakim yang meriwayatkan bahwa ketika itu, Ummu Salamah, istri Rasulullah pernah mengatakan, ‘kaum laki-laki berperang, sedangkan kaum wanita tidak, dan kita hanya mendapat setengah bagian warisan laki-laki’. Di riwayat lain juga mengisahkan bahwa ada seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah, ‘ya, Nabiyullah! Laki-laki mendapat dua bagian kaum wanita dalam waris dan dua orang saksi wanita sama dengan seorang saksi laki-laki. Apakah dalam beramal pun demikian juga?’”

Aia tertegun. “Jadi benar?”

Ummi tersenyum lagi. Sepertinya Aia belum menangkap maksud kisah yang ia ceritakan tadi. “Aia tahu kenapa shahabiyah itu protes?”

Aia mengerling. Mencari jawaban, “karena mereka juga ingin kesetaraan?”

Kontan Ummi tertawa mendengar jawaban Aia. Kemudian beristighfar.

Wajah Aia semakin linglung melihat Ummi tertawa. Apa yang ia katakan itu salah?

Ummi berdehem, menenangkan diri sendiri. “Bukan lah, Ai. Bukan karena mereka ingin disetarakan. Karena para wanita kala itu, justru dimuliakan setelah datangnya Islam. Hanya saja, perbedaan beberapa hukum itu membuat mereka khawatir, apakah pahala amal baik wanita juga hanya mendapat setengah dari pahala laki-laki?

Semangat keislaman di masa awal itu sangat tinggi, Ai. Umat Islam selalu berusaha mendapat ridho Allah. Jadi, ketika mereka protes, bukan karena merasa dinomorduakan atau diperlakukan tidak adil. Tapi, bagaimana kedudukan perempuan di mata Allah lah yang mereka pertanyakan.”

Aia menghela napas lega mendengarnya. Jadi, protesnya shahabiyah bukan seperti yang Tante Nur katakan.

“Setelah aksi protes itu, turunlah surah an-Nisa ayat 32,” Ummi melanjutkan, “wa laa tatamannau maa fadhdhalalallahu bihii ba’dhokum ‘alaa ba’d. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Lirrijaali nashiibum mimmakh tasabuu, wa linnisaai nashiibum mimmakh tasabn. Bagi kaum laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi kaum perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan.

Sayyid Quthb menafsirkan dengan indah ayat ini, Ai. Bahwa Islam selalu mengikuti fitrah manusia dalam membagi tugas dan menentukan bagian antara laki-laki dan perempuan. Bukan karena memperhitungkan perbedaan jenis kelaminnya. Tapi, karena Islam memperhitungkan keberlangsungan organisasi terbesar manusia yang bernama kehidupan.”

Ganti Aia yang terperangah sekarang. Terpesona dengan ayatNya yang begitu memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan. “Jadi ... protesnya shahabiyah nggak bisa jadi alasan untuk muslimah sekarang mengkritik hukum Islam dong, Ummi? Ya, kan?” Aia berusaha menyimpulkan.

Ummi mengangguk. “Karena alasan mereka jelas sangat berbeda. Kalau shahabiyah mempertanyakan posisi mereka di mata Allah. Perempuan sekarang justru mengkritik hukum Islam supaya mereka bisa mengubah hukum Islam sesuai dengan yang mereka mau. Itu jelas salah.”

Aia tersenyum penuh kemenangan. Menang dari setengah hatinya yang sempat tidak bisa menolak pernyataan Nur. Sekarang Aia yakin kalau pendapat Nur tentang Islam jelas salah.

“Posisi perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga bukan posisi yang bisa dianggap remeh apalagi dinomorduakan, Ai. Justru dengan posisi itu, perempuan punya peran besar membentuk generasi selanjutnya. Makanya, Islam mengatakan bahwa wanita adalah tiang negara. Karena perempuan punya andil besar dalam mewujudkan kualitas generasi masa depan yang lebih baik.

Ini tugas yang berat dan sangat penting. Jadi, adil rasanya kalau laki-laki sebagai suami dibebankan kewajiban mencari nafkah. Mencurahkan segala tenaga dan perhatiannya agar perempuan bisa menunaikan tugas penting ini. Bukan untuk mendominasi satu sama lain. Bahkan dalam sebuah hadits, Rasul mengatakan bahwa tugas utama perempuan sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Di mata Allah itu setara dengan apa yang laki-laki lakukan di dunia publik. Memang apalagi yang ingin kita cari selain ridho-Nya?”

Aia menarik napas dalam-dalam, “Makasih banyak ya, Ummi. Aia jadi yakin sekarang,” ucapnya kemudian tersenyum lebar. Lega sekali rasanya pertanyaanya mulai terjawab. Aia menatap Ummi. Beruntung banget Kak Zia punya Ibu seperti Ummi, bukan seperti Bunda, Aia membatin. Tiba-tiba saja iri menyergap hati.

Ummi tersenyum seraya mengangguk. Dahinya mengerut saat menatap wajah Aia, “Kita pernah bertemu sebelumnya nggak sih, Ai?”

“Hm?” balik dahi Aia yang berkerut sekarang.

“Ummi kayaknya pernah lihat Aia sebelumnya deh,” aku Ummi. Sejak tadi de javu.

“Ah, Ummi lihat orang yang mirip Aia saja, kali ...,” sahut Aia. Ia bisa memastikan kalau mereka belum pernah bertemu sebelumnya. “Tapi ... Kak Zia kok belum sampai juga ya, Ummi?” tanya Aia. Baru tersadar kalau mereka sedang menunggu Zia.

“Oh, iya, ya? Sudah hampir satu jam,” Ummi melirik jam dinding di kanannya.

“Astaghfirulllah, Kak Zia ternyata SMS Aia, Ummi,” seru Aia yang baru saja mengecek smartphone. Tadi, memang sengaja di-silent. Jadi, Aia tidak tahu kalau ada pesan masuk. “Bimbingan skripsinya masih lama katanya.”

“Ya Allah, Kakak ...,” Ummi bergumam. Seharusnya bilang saja kalau memang nggak bisa. Kasihan kan Aia, menunggu lama.”

“Nggak apa-apa Ummi. Aia senang kok, bisa ketemu dan ngobrol sama Ummi,” sergah Aia. Tidak ingin membuat Ummi tidak enak hati. Tapi, benar! Aia sangat senang bisa bertemu dengan Ummi. Satu persatu pertanyaannya terjawab. “Kapan-kapan Aia boleh kan, datang lagi ke sini?”

“Boleh. Kapan aja Aia mau datang, Insya Allah Ummi ada di rumah, kok,” sahut Ummi dengan senyum simpulnya lagi.

Lihatlah senyum yang tidak lepas dari wajah itu. Aia jadi merindukan senyum Bunda. Dulu Bunda juga punya senyum itu tiap kali meladeni pertanyaannya. Dulu. Dan ia tidak melihatnya lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Aia menarik napas dalam-dalam. Menggeleng pelan. Membantah hatinya sendiri. Walau bagaimanapun, bukankah harusnya ia tetap bersyukur masih memiliki Bunda?

***

Bulan sudah menggantikan tugas matahari sejak beberapa jam yang lalu. Cahaya temaramnya menemani penduduk ibu kota yang masih punya seabrek aktivitas di malam hari. Mulai dari mereka yang masih bergulat dengan kemacetan jalan. Segelintir orang yang masih duduk di masjid sambil membaca Qur’an. Tapi, lebih banyak lagi mereka yang asyik masyuk di tempat-tempat kemaksiatan.
Cahaya itu juga jatuh di rumah Aia. Membayang di kolam ikan. Sepi. Hanya suara televisi yang diacuhkan yang menandakan bahwa penghuni rumah itu belum tertidur. Ketiga penghuni rumah sebenarnya tengah berkumpul di ruang tengah. Tapi, mereka sibuk masing-masing. Adam asyik merawat kamera. Bunda sibuk dengan berkas-berkas. Dan Aia yang baru saja menyelesaikan bacaan Qur’annya, sekarang sedang menerima telepon dari Zia.

“Iya, nggak apa-apa, Kak. / Iya .... / Insya Allah. / Oh ya, salam ya, sama Ummi Kakak. Makasiih banget udah temenin Aia tadi. Aia dapet banyak ilmu jadinya ....”

Percakapan Aia di telepon berhasil membuat Bunda mengalihkan perhatiannya dari majalah. Bunda menoleh, “Siapa, Ai?” tanya Bunda usai Aia mengakhiri teleponnya.

“Kak Zia,” sahut Aia singkat. Apa Bunda akan marah lagi sekarang?

“Mentor rohis itu?” tanya Bunda dengan nada sinis.

Karena tidak suka mendengar nada Bunda menanyakan Zia. Aia pun menjawab dengan malas, “Iya. Tadi Aia ke rumahnya. Tapi, Kak Zia ada bimbingan skripsi mendadak. Jadinya, Aia malah ngobrol sama Ummi Kak Zia.”

“Dapat ilmu apa?” tanya Bunda lagi. Bunda tidak suka Aia masih berhubungan dengan mentor rohis itu atau apa pun yang berkaitan dengannya.

“Tadi Aia tanya-tanya tentang bagaimana Islam memandang kesetaraan gender. Aia jadi ngerti sekarang,” sahut Aia dengan menyamai nada bicara Bunda. Seolah hendak menantang. Sejurus kemudian memukul mulutnya sendiri. Menyesal. Kenapa ia masih saja belum bisa mengendalikan emosi?! Padahal, Bunda baru saja memaafkannya atas kasus surat panggilan sekolah kemarin. Jangan sampai Bunda marah lagi sekarang.

“Berhenti mencurigai Tante Nur, Ai,” pinta Bunda. Ah, bukan! Itu bukan permintaan tapi perintah. Bunda tahu, Aia menanyakannya karena sangsi dengan semua pemikiran Nur.

“Kalau gitu Bunda juga berhenti,” sergah Aia. Bunda menoleh. Berhenti curiga pada Kak Zia, lanjut Aia.

“Siapa, De?! Zia?” Adam tiba-tiba menyela. Padahal Bunda hendak berbicara.

Aia menoleh, “Iya, kenapa?!” tanya Aia sinis. Abang juga mau mencurigai Kak Zia?!

“Kayaknya Abang pernah dengar nama itu,” gumam Adam seraya berusaha mengingat-ingat nama itu.

“Di kampus kali! Kak Zia kan satu kampus sama Abang? Cuma beda fakultas, sahut Aia yang sebenarnya malas meladeni Adam.

“Bukan. Bukan di kampus,” Adam mengernyit, masih berusaha mengingat-ingat.

“Kalo gitu barusan dari mulut Aia!” sahut Aia ketus. Kenapa Adam harus menyela di saat ia dan Bunda membicarakan hal serius, coba?!

Ah, nggak tau, deh. Lupa!” ucapnya cuek kemudian beranjak memboyong kamera ke kamar.

“Ih! Dasar!” desis Aia sebal. Sudah mengganggu. Sekarang pergi begitu saja tanpa dosa. Melihat kelakuannya, Aia sama sekali tidak percaya kalau Adam sudah berusia dua puluh empat tahun sekarang.
***

Sementara itu pemilik nama yang sedang diperbincangkan di rumah Aia. Ternyata juga sedang memperbincangkan Aia di rumahnya. Tadi, Zia mendatangi Ummi yang sedang menemani Abi yang begitu khusyuk dengan buku tebal di tangannya.

“Ummi suka dengan anak itu,” ujar Ummi setelah menceritakan apa saja yang ia dan Aia perbincangkan siang tadi.

“Tapi Aia sebenarnya kenapa ya, Ummi?” tanya Zia. Merasa ada sesuatu dengan Aia. “Pertanyaannya beda banget sama teman-temannya yang lain. Dan yang dia tanyain, pasti topiknya sama. Sebelumnya Aia juga pernah tanya ke Kakak soal kesetaraan gender, lho. Ekspresinya serius banget waktu kita ngobrol soal itu. Yang lain juga mau tahu, tapi nggak seserius Aia.”

“Iya, sih. Ummi juga merasa begitu, Ummi mengingat lagi ekspresi Aia tadi siang. “Kakak pernah coba tanya nggak, kenapa?”

Zia menggeleng. Rencananya hendak bertanya di pertemuan sore tadi. Tapi, dia sendiri yang membuat pertemuan itu batal. “Dan sebenarnya tadi siang itu Aia memang minta ketemu khusus berdua aja sama Kakak,” akunya. “Kakak jadi nggak enak sama Aia. Sepertinya ada yang mau dia ceritakan.”

“Ya, kalau gitu gantian. Besok Kakak yang ke rumah Aia. Siapa tahu dia memang lagi butuh teman curhat,” saran Ummi.

Zia mengangguk. Rasa tidak enak hati dan khawatir bercampur sekarang. Ya, Allah, semoga tidak ada apa-apa dengan Aia, pinta hatiya.
***

Next :
Bagian 11 | Sore [Part I]

Prev :
Bagian 10 | Ummi Zia [Part I]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar