“Oh, kenapa Ummi nggak terima aja
tawaran jadi dosen tetap?”
tanya Aia heran.
Tiga puluh menit menunggu Zia yang belum
juga datang, Aia ditemani Ummi. Awalnya kikuk. Tapi, ternyata Ummi orang
yang menyenangkan. Beliau sudah bercerita banyak tentang kehidupannya. Kuliah.
Menikah. Zia lahir. Sepuluh tahun kemudian barulah anak keduanya lahir. Di
rentang waktu sepuluh tahun itu Ummi sempat melanjutkan studi S2 dan menjadi
dosen tidak tetap di salah satu perguruan tinggi swasta. Ummi sempat ditawari untuk
menjadi dosen tetap di tempatnya mengajar. Tapi, Ummi menolaknya dan memilih resign
karena tengah hamil anak kedua.
“Karena sudah jadi Ibu. Jadi, ada yang lebih penting
yang harus Ummi prioritaskan, Ai. Makanya, Ummi tolak tawaran itu. Jadi dosen tetap beda dengan dosen tidak tetap. Kalau
Ummi terima, khawatir Ummi akan melalaikan kewajiban Ummi,” terang Ummi Zia.
“Apalagi tiga tahun setelah itu anak ketiga Ummi lahir,” tambahnya.
“Kewajiban apa sih, Ummi? Kok sampe rela
ngelepas tawaran sebagus itu?” tanya Aia.
“Ya ... kewajiban sebagai istri dan ibu
rumah tangga. Apalagi?”
“Ah?” Aia tertegun mendengarnya. Tanpa
sadar matanya terus menatap Ummi. Ada rasa tak percaya dari sorot matanya.
Jawaban Ummi sangat berbeda dari perempuan lainnya. Baru kali ini ia
benar-benar bertemu dengan seorang ibu yang rela melepas tawaran berkarir untuk
menjadi istri dan ibu rumah tangga. Berbeda
dengan Bunda dan temannya, Yasti. Yang malah rela melepas keluarga
demi pekerjaan.
Ummi tersenyum simpul menanggapi tatapan
Aia.
Aia tersentak kemudian ikut tersenyum
tipis. “Tapi Ummi, ada yang pernah bilang ke Aia kalau perempuan itu harus
mandiri. Nggak boleh bergantung sepenuhnya sama laki-laki. Katanya, perempuan
harus setara dengan laki-laki, termasuk dalam finansial,” ujarnya. “Ummi nggak berpikir seperti itu?” Aia
menunggu jawaban Ummi dengan antusias.
Ummi kembali tersenyum simpul, “Setara
dalam finansial? Jadi, kalau suami
kerja, istri juga harus kerja? Supaya
sama-sama punya penghasilan?”
Aia mengangkat bahu, kira-kira begitu.
“Kalau suami-istri harus kerja, terus
siapa dong yang didik anak di rumah?”
Aia meringis. Tidak bisa menjawab
pertanyaan Ummi. “Aia cuma dengar ada yang bilang gitu aja sih. Katanya, selama
ini perempuan sudah ditindas karena laki-laki mendominasi. Contohnya ya tadi
itu, laki-laki bisa kerja, bisa melakukan aktivitas di luar rumah lah.
Sementara perempuan tugasnya cuma seputar sumur, dapur,
kasur! Katanya, itu kan nggak adil. Makanya supaya adil, posisi perempuan harus
sejajar sama laki-laki ....”
“Katanya? Kata siapa sih ... hm?” tanya Ummi
setengah menggoda Aia.
Kata Bunda dan Tante Nur,
jawab hati Aia. Tapi bibirnya hanya mampu mengulas senyum, terlalu malu untuk
mengatakannya. Akhirnya berkilah, “Kata orang-orang. Pernah dengar aja. Menurut
Ummi gimana?”
Ummi menghela napas. Mengubah posisi
duduk. Menyilangkan jemari kanan dan kiri. Dengan senyum tetap terulas di
wajah. Baru kali ini mengobrol
seserius ini dengan anak SMA. “Ummi juga sering dengar pendapat kayak gitu. Itu
sebenarnya pendapat para feminis, kamu tahu feminis?”
Aia mengangkat alis, “Perempuan yang
menyuarakan kesetaraan gender?” ucapnya ragu-ragu.
Ummi mengangguk, “Wah, sepertinya malah Aia
yang lebih banyak tahu,” guraunya.
“Nggak Ummi!” Aia menggeleng panik.
Jangan-jangan Ummi tahu soal Bunda. “Kalau Aia tahu Aia nggak akan nanya,” lanjutnya
pelan setelah menyadari, bagaimana mungkin Ummi tahu soal Bunda? Pada Zia saja
Aia belum cerita soal Bunda.
“Ya sudah. Kita luruskan dulu, ya. Yang Ummi tahu
ide kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam. Tapi datang dari
perempuan-perempuan barat yang memang mereka diperlakukan nggak adil di
zamannya. Jadi, kalau kamu tanya gimana pendapat Ummi tentang itu. Jawabnya, ya
… Ummi nggak setuju,” ringkas Ummi.
Ya, Aia masih ingat bagaimana Bunda
menceritakan sejarah kelam perempuan di negara Barat dan agama selain Islam.
Aia manggut-manggut. “Terus ada juga
yang bilang kalau Islam juga mendiskriminasi
perempuan lho, Ummi. Misalnya laki-laki jadi pemimpin, tapi perempuan nggak. Laki-laki
boleh poligami, perempuan nggak. Hak waris, perempuan cuma dapat setengah dari
bagian laki-laki. Istri
harus minta izin suami untuk melakukan sesuatu. Tapi, suami nggak perlu
minta izin istri,” cerocos Aia.
Ummi menyimak. Menatap lekat-lekat wajah Aia. Entah kenapa, sejak tadi Ummi merasa tidak asing
dengan Aia serta sikapnya.
“Aia jadi bingung, deh. Satu sisi Aia
nggak setuju dengan kesetaraan gender. Tapi, di sisi lain, Aia juga nggak bisa nolak kalau pernyataan
itu benar. Kenyataannya, memang Islam mengatur posisi perempuan begitu kan,
Ummi? Apa itu artinya Islam memang mendiskriminasi perempuan lewat
aturan-aturan itu?”
“Ya, memang.”
Aia terbelalak mendengar awal kalimat
Ummi. Jadi Islam mendiskriminasi?!
Melihat mata Aia, Ummi merasa perlu
untuk meluruskan. “Maksudnya, memang Islam mengatur posisi perempuan seperti
yang Aia bilang barusan.”
Aia ber-O lega. Aia kira Ummi akan
menjawab sama seperti Bunda dan Nur.
“Tapi, bukan berarti Islam
mendiskriminasi perempuan,” tukas Ummi.
Aia menyimak sungguh-sungguh.
Ummi sempat menatap heran melihat wajah
serius Aia. Sejurus
kemudian melanjutkan lagi kalimatnya, “Sebenarnya Islam nggak memandang berbeda
antara perempuan dan laki-laki dalam posisi mereka sebagai manusia. Buktinya di
al-Qur’an banyak seruan yaa ayyuhannas, yaa ayyuhalladziina aamanuu.
Itu kan seruan untuk seluruh hamba Allah, baik laki-laki maupun perempuan. Abu Daud dan an-Nasa’i
juga pernah meriwayatkan sebuah
hadits dari Rasulullah saw, ‘sesungguhnya kaum wanita adalah setara dengan
kaum laki-laki’.
Artinya posisi laki-laki dan perempuan
sebagai hamba Allah itu
sama. Laki-laki dan perempuan sama-sama diwajibkan shalat. Puasa. Zakat. Haji.
Menuntut ilmu. Berdakwah. Sama-sama diwajibkan menutup aurat. Menundukkan
pandangan. Sama halnya laki-laki dan perempuan sama-sama dilarang mencuri.
Mendekati zina. Pencuri
laki-laki dan perempuan dapat hukuman yang sama, dipotong tangannya. Begitu juga pezina
laki-laki dan perempuan sama-sama dicambuk seratus kali kalau belum menikah.
Dirajam sampai mati kalau sudah menikah. Nggak ada perbedaan, kan?”
Aia mengangguk. Wajahnya masih
menunjukkan keseriusan yang sama. Hatinya mulai terasa lega karena akhirnya
mulai menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Meski
sebagian masih terasa mengganjal. Aia masih menunggu penjelasan Ummi
berikutnya.
Ummi kembali menatap heran Aia sejenak. Sepertinya anak ini
benar-benar tertarik dengan isu gender,
pikirnya. “Tapi, ketika menjalani hidup sebagai laki-laki dan perempuan.
Keduanya punya fitrah yang berbeda. Untuk itulah dalam Islam ada hak dan kewajiban yang berbeda untuk
keduanya. Sesuai dengan fitrah masing-masing. Ini
seperti hukum-hukum yang Aia sebutkan tadi sebenarnya. Misal, Allah sama-sama mewajibkan laki-laki dan perempuan menutup
aurat. Hanya saja ada perbedaan dalam cara menutup aurat antara laki-laki dan perempuan.
Islam mewajibkan perempuan memakai jilbab dan kerudung. Tapi, tidak bagi
laki-laki. Kenapa? Karena
aurat perempuan seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sementara aurat
laki-laki dari pusar sampai lutut.
Contoh
lainnya, Allah membebankan kewajiban mencari nafkah pada laki-laki. Mewajibkan pengaturan rumah tangga pada
perempuan. Atau mewajibkan
jihad, membayar mahar bagi laki-laki. Tapi, nggak wajib buat perempuan. Ada juga hukum Islam yang khusus untuk perempuan. Seperti hukum seputar
kehamilan, penyusuan dan pengasuhan anak, masa ‘iddah....”
“Tapi itu berarti,” Aia refleks menyela.
“Eh ... maaf Ummi, tapi bukan itu sama aja. Artinya memang dalam Islam ada
perbedaan antara laki-laki dan perempuan kan, Ummi?”
Lagi. Ummi tersenyum simpul. “Iya.
Karena memang fitrahnya laki-laki dan perempuan berbeda. Tapi ... itu bukan
bentuk diskriminasi. Kekhususan
pembagian peran laki-laki dan perempuan ini, bukan supaya laki-laki bisa
mendominasi perempuan. Bukan. Tapi, memang pembagian peran ini penting untuk
saling melengkapi agar kehidupan manusia itu sendiri berjalan stabil.”
Aia Mengembungkan pipi dan mengerutkan
dahi. Berpikir keras. “Iya ya, Ummi. Aia nggak kebayang kalau laki-laki dan
perempuan sama-sama wajib mencari nafkah? Terus yang ngatur rumah tangga siapa?
Atau laki-laki dan perempuan sama-sama wajib mengatur rumah tangga? Siapa yang
cari nafkah?”
Ummi mengangguk setuju, “Kalau
dua-duanya sibuk dalam hal yang sama, itu akan membuat fungsi keluarga tidak berjalan
dengan baik, Ai. Jadi, pembagian peran laki-laki dan perempuan itu mutlak
perlu. Bukan diskriminasi.”
Aia manggut-manggut mengerti. “Jangan
kaget, Ai. Bahkan shahabiyah pun ada yang memprotes Islam,” tiba-tiba
kalimat Nur terlintas di benaknya. Membuatnya teringat pertemuan di kantor Nur
waktu itu.
“Kenapa, Ai?” Ummi menangkap ada sesuatu
yang tidak beres dari mata Aia.
Sebenarnya Aia tidak ingin bertanya
lagi. Tidak enak hati. Karena untuk ukuran orang yang baru pertama kali
bertemu, Aia sudah terlalu banyak bertanya. Tapi, hatinya akan lebih tidak enak
lagi jika tidak bertanya. Lagi pula, Zia yang ditunggu pun belum juga nampak. Jadi
… tidak ada salahnya mengajukan satu pertanyaan lagi, kan?
“Ummi pernah nggak mendengar kisah shahabiyah yang memprotes hukum
Islam?” tanya Aia akhirnya. “Soalnya ada yang bilang ke Aia, kalau shahabiyah saja
pernah memprotes hukum Islam pada Rasulullah. Jadi, wajar kalau sekarang
muslimah juga mengkritik hukum Islam yang menurut mereka mendiskriminasi perempuan.”
Aia berhasil membuat Ummi terperangah
dengan pertanyaannya. Tidak menyangka kalau Aia tahu hingga sejauh ini tentang
kesetaraan gender. Bukankah
anak SMA sepertinya, biasanya lebih tertarik bertanya tentang pacaran, apa
hukumnya menerima cokelat
di hari Valentine dan apalah itu pertanyaan-pertanyaan seputar dunia
remaja.
Ummi diam. Matanya mengerling. Berusaha
mengumpulkan ingatannya tentang pertanyaan Aia. “Pernah,” sahut Ummi.
Mata Aia kembali terbelalak. Jadi Tante Nur benar?!
Memang ada shahabiyah yang memprotes hukum Islam?!
“Aia nggak habis pikir. Masa sih, sekelas
shahabiyah bisa memprotes hukum Islam?” gumamnya kecewa. “Apa itu karena mereka
merasa diperlakukan nggak adil oleh Islam? Tapi, Ummi... bukannya hukum Islam
itu sudah sempurna?”
Ummi mengangguk. Seolah mengamini
kekecewaan Aia yang kemudian Mengembungkan pipi. Memasang wajah cemberut. Tidak
terima kalau ternyata apa yang dikatakan Nur benar.
“Shohabiyah
memang pernah memprotes hukum Islam pada Rasul. At-Tirmidzi
dan Hakim yang meriwayatkan
bahwa ketika itu, Ummu Salamah, istri Rasulullah pernah mengatakan, ‘kaum
laki-laki berperang, sedangkan kaum wanita tidak, dan kita hanya mendapat
setengah bagian warisan laki-laki’. Di riwayat lain juga mengisahkan bahwa ada
seorang wanita yang mengadu kepada Rasulullah, ‘ya, Nabiyullah! Laki-laki
mendapat dua bagian kaum wanita dalam waris dan dua orang saksi wanita sama
dengan seorang saksi laki-laki. Apakah dalam beramal pun demikian juga?’”
Aia tertegun. “Jadi benar?”
Ummi tersenyum lagi. Sepertinya Aia
belum menangkap maksud kisah yang ia ceritakan tadi. “Aia tahu kenapa
shahabiyah itu protes?”
Aia mengerling.
Mencari jawaban,
“karena … mereka juga ingin
kesetaraan?”
Kontan Ummi tertawa mendengar jawaban
Aia. Kemudian beristighfar.
Wajah Aia semakin linglung melihat Ummi
tertawa. Apa yang ia katakan itu salah?
Ummi berdehem, menenangkan diri sendiri.
“Bukan lah, Ai. Bukan karena mereka ingin disetarakan. Karena para wanita kala
itu, justru dimuliakan setelah datangnya Islam. Hanya saja, perbedaan
beberapa hukum itu membuat mereka khawatir, apakah pahala amal baik wanita juga
hanya mendapat setengah dari pahala laki-laki?
Semangat keislaman di masa awal itu
sangat tinggi, Ai. Umat Islam selalu berusaha mendapat ridho Allah. Jadi,
ketika mereka protes, bukan karena merasa dinomorduakan atau diperlakukan tidak
adil. Tapi, bagaimana kedudukan perempuan di mata Allah lah yang mereka
pertanyakan.”
Aia menghela napas lega mendengarnya. Jadi,
protesnya shahabiyah bukan seperti yang Tante Nur katakan.
“Setelah aksi protes itu, turunlah surah
an-Nisa ayat 32,” Ummi melanjutkan, “wa laa tatamannau maa fadhdhalalallahu
bihii ba’dhokum ‘alaa ba’d. Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. Lirrijaali
nashiibum mimmakh tasabuu, wa linnisaai nashiibum mimmakh tasabn. Bagi kaum
laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, bagi kaum perempuan ada
bagian dari apa yang mereka usahakan.
Sayyid Quthb menafsirkan dengan indah
ayat ini, Ai. Bahwa Islam selalu mengikuti fitrah manusia dalam membagi tugas
dan menentukan bagian antara laki-laki dan perempuan. Bukan karena
memperhitungkan perbedaan jenis kelaminnya. Tapi, karena Islam memperhitungkan
keberlangsungan organisasi terbesar manusia yang bernama kehidupan.”
Ganti Aia yang terperangah sekarang.
Terpesona dengan ayatNya yang begitu memuliakan manusia baik laki-laki maupun perempuan.
“Jadi ... protesnya shahabiyah nggak bisa jadi alasan untuk muslimah sekarang
mengkritik hukum Islam dong, Ummi? Ya, kan?” Aia berusaha menyimpulkan.
Ummi mengangguk. “Karena alasan mereka
jelas sangat berbeda. Kalau shahabiyah mempertanyakan posisi mereka di mata
Allah. Perempuan sekarang justru mengkritik hukum Islam supaya mereka bisa
mengubah hukum Islam sesuai dengan yang mereka mau. Itu jelas salah.”
Aia tersenyum penuh kemenangan. Menang dari setengah
hatinya yang sempat tidak bisa menolak pernyataan Nur. Sekarang Aia yakin kalau
pendapat Nur tentang Islam jelas salah.
“Posisi perempuan sebagai ibu dan
pengatur rumah tangga bukan posisi yang bisa dianggap remeh apalagi
dinomorduakan, Ai. Justru dengan posisi itu, perempuan punya peran besar
membentuk generasi selanjutnya. Makanya, Islam mengatakan bahwa wanita adalah
tiang negara. Karena
perempuan punya andil besar dalam mewujudkan kualitas generasi masa depan yang lebih baik.
Ini tugas yang berat dan sangat penting.
Jadi, adil rasanya kalau laki-laki sebagai suami dibebankan kewajiban mencari
nafkah. Mencurahkan segala tenaga dan perhatiannya agar perempuan bisa
menunaikan tugas penting ini. Bukan untuk mendominasi satu sama lain. Bahkan dalam sebuah
hadits, Rasul mengatakan bahwa tugas utama perempuan sebagai ibu dan pengatur
rumah tangga. Di mata Allah itu setara dengan apa yang laki-laki lakukan di
dunia publik. Memang apalagi yang ingin kita cari selain ridho-Nya?”
Aia menarik napas dalam-dalam, “Makasih
banyak ya, Ummi. Aia jadi yakin sekarang,” ucapnya kemudian tersenyum lebar.
Lega sekali rasanya pertanyaanya mulai terjawab. Aia menatap Ummi. Beruntung
banget Kak Zia punya Ibu seperti Ummi, bukan seperti Bunda, Aia
membatin. Tiba-tiba saja iri menyergap hati.
Ummi tersenyum seraya mengangguk.
Dahinya mengerut saat menatap wajah Aia, “Kita pernah bertemu sebelumnya nggak
sih, Ai?”
“Hm?” balik dahi Aia yang berkerut
sekarang.
“Ummi kayaknya pernah lihat Aia sebelumnya deh,” aku Ummi. Sejak tadi de
javu.
“Ah, Ummi lihat orang yang mirip Aia
saja, kali ...,” sahut Aia. Ia bisa memastikan kalau mereka belum pernah
bertemu sebelumnya. “Tapi ... Kak Zia kok belum sampai juga ya, Ummi?” tanya
Aia. Baru tersadar kalau mereka sedang menunggu Zia.
“Oh, iya, ya? Sudah hampir satu jam,”
Ummi melirik jam dinding di kanannya.
“Astaghfirulllah, Kak Zia ternyata SMS
Aia, Ummi,” seru Aia yang baru saja mengecek smartphone.
Tadi, memang sengaja di-silent.
Jadi, Aia tidak tahu kalau ada pesan masuk. “Bimbingan skripsinya masih lama
katanya.”
“Ya Allah, Kakak ...,” Ummi bergumam. “Seharusnya bilang saja
kalau memang nggak
bisa. Kasihan kan Aia, menunggu lama.”
“Nggak apa-apa Ummi. Aia senang kok,
bisa ketemu dan ngobrol sama Ummi,” sergah Aia. Tidak ingin membuat Ummi tidak
enak hati. Tapi, benar! Aia sangat senang bisa bertemu dengan Ummi. Satu
persatu pertanyaannya terjawab. “Kapan-kapan Aia boleh kan, datang lagi ke
sini?”
“Boleh. Kapan aja Aia mau datang, Insya Allah Ummi
ada di rumah, kok,” sahut
Ummi
dengan senyum simpulnya lagi.
Lihatlah senyum yang tidak lepas dari
wajah itu. Aia jadi merindukan senyum Bunda. Dulu Bunda juga punya senyum itu tiap kali meladeni
pertanyaannya. Dulu. Dan
ia
tidak melihatnya lagi sejak sepuluh tahun yang lalu. Aia menarik napas
dalam-dalam. Menggeleng pelan. Membantah hatinya sendiri. Walau bagaimanapun,
bukankah harusnya ia tetap bersyukur masih memiliki Bunda?
***
Bulan sudah menggantikan tugas matahari
sejak beberapa jam yang lalu. Cahaya temaramnya menemani penduduk ibu kota yang
masih punya seabrek aktivitas di malam hari. Mulai dari mereka yang masih
bergulat dengan kemacetan jalan. Segelintir orang yang masih duduk di masjid
sambil membaca Qur’an. Tapi, lebih banyak lagi mereka yang asyik masyuk di
tempat-tempat kemaksiatan.
Cahaya itu juga jatuh di rumah Aia. Membayang di kolam ikan. Sepi. Hanya
suara televisi yang diacuhkan yang menandakan bahwa penghuni rumah itu belum
tertidur. Ketiga penghuni rumah sebenarnya tengah berkumpul di ruang tengah.
Tapi, mereka sibuk masing-masing. Adam asyik merawat kamera. Bunda sibuk dengan
berkas-berkas. Dan Aia yang
baru saja menyelesaikan bacaan Qur’annya, sekarang sedang menerima telepon dari
Zia.
“Iya, nggak apa-apa, Kak. / Iya .... /
Insya Allah. / Oh ya, salam ya, sama Ummi Kakak. Makasiih banget udah temenin
Aia tadi. Aia dapet banyak ilmu jadinya ....”
Percakapan Aia di telepon berhasil
membuat Bunda mengalihkan perhatiannya dari majalah. Bunda menoleh, “Siapa,
Ai?” tanya Bunda usai Aia mengakhiri teleponnya.
“Kak Zia,” sahut Aia singkat. Apa Bunda akan marah lagi sekarang?
“Mentor rohis itu?” tanya Bunda dengan nada sinis.
Karena tidak
suka mendengar nada Bunda menanyakan Zia.
Aia pun menjawab dengan malas, “Iya. Tadi Aia ke
rumahnya. Tapi, Kak Zia ada bimbingan skripsi mendadak. Jadinya, Aia malah
ngobrol sama Ummi Kak Zia.”
“Dapat ilmu apa?” tanya Bunda lagi.
Bunda tidak suka Aia masih berhubungan dengan mentor rohis itu atau apa pun yang berkaitan dengannya.
“Tadi Aia tanya-tanya tentang bagaimana
Islam memandang kesetaraan gender. Aia jadi
ngerti sekarang,” sahut
Aia dengan menyamai
nada bicara Bunda. Seolah hendak menantang. Sejurus kemudian memukul mulutnya sendiri.
Menyesal. Kenapa ia masih saja belum bisa mengendalikan emosi?! Padahal, Bunda
baru saja memaafkannya atas kasus surat panggilan sekolah kemarin. Jangan sampai Bunda marah lagi sekarang.
“Berhenti mencurigai Tante Nur, Ai,”
pinta Bunda. Ah, bukan! Itu bukan permintaan tapi perintah. Bunda tahu, Aia
menanyakannya karena sangsi dengan
semua pemikiran Nur.
“Kalau gitu Bunda juga berhenti,” sergah Aia. Bunda menoleh. “Berhenti curiga pada Kak Zia,” lanjut Aia.
“Siapa, De?! Zia?” Adam tiba-tiba
menyela. Padahal Bunda hendak berbicara.
Aia menoleh, “Iya, kenapa?!” tanya Aia
sinis. Abang juga mau mencurigai Kak Zia?!
“Kayaknya Abang pernah dengar nama itu,”
gumam Adam seraya berusaha mengingat-ingat nama itu.
“Di kampus kali! Kak Zia kan satu kampus
sama Abang? Cuma
beda fakultas,” sahut Aia yang sebenarnya malas meladeni Adam.
“Bukan. Bukan di kampus,” Adam mengernyit, masih
berusaha mengingat-ingat.
“Kalo gitu barusan dari mulut Aia!”
sahut Aia ketus.
Kenapa Adam harus
menyela di saat ia dan Bunda membicarakan hal serius, coba?!
“Ah,
nggak tau, deh. Lupa!” ucapnya cuek kemudian beranjak memboyong
kamera ke kamar.
“Ih! Dasar!” desis Aia
sebal. Sudah mengganggu. Sekarang pergi begitu saja tanpa dosa. Melihat
kelakuannya, Aia sama sekali tidak percaya kalau Adam sudah berusia dua puluh
empat tahun sekarang.
***
Sementara itu pemilik nama yang sedang
diperbincangkan di rumah Aia. Ternyata juga sedang memperbincangkan Aia di
rumahnya. Tadi, Zia mendatangi Ummi yang sedang menemani Abi yang begitu
khusyuk dengan buku tebal di tangannya.
“Ummi suka dengan anak itu,” ujar Ummi setelah
menceritakan apa saja yang ia dan Aia perbincangkan siang tadi.
“Tapi
… Aia sebenarnya kenapa ya, Ummi?” tanya Zia. Merasa ada sesuatu
dengan Aia. “Pertanyaannya beda banget sama teman-temannya yang lain. Dan yang dia tanyain, pasti
topiknya sama. Sebelumnya Aia juga pernah tanya ke Kakak soal kesetaraan
gender, lho. Ekspresinya serius banget waktu kita ngobrol soal itu. Yang lain
juga mau tahu, tapi nggak seserius
Aia.”
“Iya, sih. Ummi juga merasa begitu,” Ummi mengingat lagi
ekspresi Aia tadi siang. “Kakak pernah coba tanya nggak, kenapa?”
Zia menggeleng. Rencananya hendak bertanya di pertemuan sore tadi.
Tapi, dia sendiri yang membuat pertemuan itu batal. “Dan
sebenarnya tadi siang itu Aia memang minta ketemu khusus berdua aja sama
Kakak,” akunya. “Kakak jadi nggak enak sama Aia. Sepertinya ada yang mau dia ceritakan.”
“Ya, kalau gitu gantian. Besok Kakak
yang ke rumah Aia. Siapa tahu dia memang lagi butuh teman curhat,” saran Ummi.
Zia mengangguk. Rasa tidak enak hati dan
khawatir bercampur sekarang. Ya, Allah, semoga tidak ada apa-apa dengan Aia,
pinta hatiya.
***
Next :
Bagian 11 | Sore [Part I]
Prev :
Bagian 10 | Ummi Zia [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Bagian 11 | Sore [Part I]
Prev :
Bagian 10 | Ummi Zia [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Mei 05, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar