Minggu, 21 Mei 2017

Jika Aia belum berhasil menyampaikan surat petaka kedua itu. Lain halnya dengan Raras. Sejak baru tiba di rumah tadi pagi, Ibu, dengan daster bunga-bunga berwarna biru dan kerudung sedada warna putih, langsung menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. “Kenapa jam segini sudah pulang? Apa sekolah libur? Kalau libur kenapa tadi berangkat? Bukannya hari ini UAS? Apa Raras datang terlambat jadi nggak bisa masuk? Atau bolos? Kenapa diam saja?”

“Gimana Raras mau jawab kalau Ibu tanya terus,” sergah Raras. Hampir saja ia kehilangan mood untuk menyampaikan surat petaka dari Pak Kepala Sekolah. Malas mendengar omelan Ibu.

Kali ini Ibu diam. Tersadar kalau sejak tadi ia terus menceracau tanpa jeda satu helaan pun. “Jadi, kenapa?”

Raras mengambil sesuatu dari dalam tas kemudian menyodorkannya di hadapan Ibu. Sehelai kertas. “Ini Bu. Raras disuruh pulang duluan buat kasih undangan dari sekolah.”

Ibu meraihnya sambil menatap Raras penuh curiga. Undangan apa sampai-sampai sulungnya harus pulang lebih dulu? Beberapa detik hening sebelum akhirnya Ibu kembali meninggi, “Astaghfirullah! Ini bukan undangan namanya, Raras! Tapi, surat panggilan!”

Raras menunduk dalam-dalam.“Iya, Raras tahu,” gumamnya. Memang apa bedanya? Yang jelas salah satu dari orang tua harus datang ke sekolah besok!

“Sekarang kenapa lagi?! Masih soal rohis?! Ibu tahu kamu seneng ngaji! Ibu juga nggak larang. Tapi kalau gara-gara itu kamu jadi bermasalah di sekolah … bla bla bla bla.”

Raras biarkan Ibu meluapkan semua emosinya. Ia paham sekali kalau orang tuanya marah. Memang, orang tua mana yang gembira setelah dua kali mendapat surat panggilan dari sekolah? Setelah Ibu berhenti barulah Raras menggeleng. Menjelaskan penyebab surat itu kembali datang.

Mendengar penjelasan putrinya, Ibu hanya geleng kepala. Tidak tahu hendak menyalahkan siapa. Sekolah? Lantaran sudah melarang putrinya berjilbab? Tapi, sekolah juga ada benarnya. Raras memang tidak memakai seragam sebagaimana mestinya. Lalu ia harus menyalahkan putrinya? Tapi, bagaimana bisa ia menyalahkan seorang muslimah yang ingin menutup aurat? Ah, sejak kapan urusan menutup aurat jadi seribet ini?!

“Raras minta maaf ya, Bu. Tapi … bisa nggak, kali ini Ibu saja yang datang ke sekolah? Jangan Bapak,” pintanya. Walaupun emosi Ibu mudah meninggi. Tapi, kalimat tegas Bapak tetap seribu kali lebih menakutkan dibanding omelan Ibu.

“Kamu ini kayak nggak tahu Bapak saja! Kalau soal sekolah, ya pasti Bapak yang datang!”

“Kalau gitu Bapak nggak usah tahu, Bu!” sergah Raras.

Ibu menoleh. Sorot matanya menajam, “Jadi, sekarang mau suruh Ibu bohong?”

Raras kembali menunduk. “Bukan bohong, cuma jangan diberi tahu ….”

“Sama saja! Sudah. Nanti Ibu yang bicara sama Bapak,” ucap Ibu lalu beranjak meninggalkannya. Bagaimanapun, Ibu masih percaya putrinya melakukan hal benar.

Dan malam ini, selepas Isya’, lewat jendela ruang tamu Raras mengintip Ibu dan Bapak yang tengah berbincang di teras rumah. Sementara dari balik pintu kamar, terlihat dua adiknya malah mengintip Raras seraya menahan tawa. Mereka sudah tahu kalau sang Kakak dapat masalah lagi. Mereka sedang menunggu apa yang akan terjadi setelah ini? Apa Kakak akan dimarahi lagi?

Raras melirik sebal pada dua adiknya yang jail itu. Lihat. Penderitaannya seolah kebahagiaan mereka. Ah, tapi Raras tidak peduli soal itu. Pandangannya kembali bergeser ke teras rumah. Ibu benar-benar memberikan surat petaka itu ke Bapak. Napas Raras naik-turun. Bahkan jantungnya bekerja lebih keras sekarang. Sebentar lagi Bapak pasti memanggilku. Sebentar lagi Bapak pasti memanggilku, duga hatinya.

Tapi ….

Maasyaa Allah! Entah apa yang Ibu katakan, sampai setengah jam kemudian panggilan yang ditakutkan itu tak terjadi bahkan hingga keduanya kembali masuk. Raras langsung memeluk Ibu setelah Bapak duluan masuk kamar.

“Makasih ya, Ibuku yang cantik …,” ucap Raras pelan.

***

Tidak jauh berbeda dengan Raras, Azki pun menghadapi hal yang sama setibanya di rumah. Disambut rentetan pertanyaan yang nyaris sama. Dengan mudahnya Mama membuat kesimpulan kalau Azki bolos sekolah. Padahal, Azki belum sempat mengatakan apapun. “Astaghfirullah, Ma …. Orang hari ini Azki disuruh pulang cepat sama Kepala Sekolah!” sahutnya ketus lalu beranjak menuju kamar. Tidak punya keberanian untuk menyampaikan surat petaka itu.

Selepas shalat Isya’, Azki akhirnya memberanikan diri menghadap kedua orang tuanya yang sedang asyik menonton televisi. Begini jadinya ….

“Nah, kan?! Makanya jadi anak nurut sama orang tua!” seru Mama usai Azki menyampaikan surat itu. Heran, kenapa Azki masih saja ngoyo dengan seragam sambungannya itu! “Apa susahnya nurut sama orang tua?! Sama sekolah?! Bla bla bla bla ….”

Seperti biasa, Mama akan terus mengoceh sampai puas. Azki menoleh Papa. Bahkan Papa menatap tajam ke arahnya dengan tangan sedekap. Itu tanda kalau Papa juga marah. Ini yang Azki khawatirkan. Kalau sudah begini, ia seolah tengah duduk di kursi terdakwa di hadapan hakim dan jaksa penuntut umum tanpa didampingi pengacara. Tidak ada yang membela. Ingin lari saja ke salah satu rumah kakaknya. Tapi, tatapan Papa serta ocehan Mama memakunya di tempat.

“Nggak perlu lah pakai jilbab kalau begini! Allah juga maklum!”

Ini bagian yang Azki tidak suka. Mama dengan mudahnya merasa Allah akan memaklumi. Kepala Sekolah saja tidak suka hukumnya dilanggar dan tidak memaklumi sekecil apapun pelanggarannya. Bagaimana bisa dengan tenangnya manusia melanggar hukum Allah dengan anggapan bahwa Allah akan memaklumi? Atau jangan-jangan perasaan Allah akan memaklumi ini juga yang membuat umat Islam sekarang dengan mudahnya meninggalkan hukum Allah? Tidak apa-apa riba kalau sedikit. Tidak apa-apa minum alkohol kalau sedikit. Bla bla bla bla.

“Ya nggak semudah itu dong, Ma. Harus usaha du ….”

“Masih berani jawab?!” Mama benar-benar tidak memberinya kesempatan.

Azki menoleh lagi pada Papa. “Papa …,” rengeknya.

Papa merentangkan tangan. Bungsunya langsung menghambur ke pelukan Papa.“Papa nggak larang Azki berjilbab. Nggak. Tapi, Papa juga nggak setuju kalau sekolah Azki jadi bermasalah karena ini, ngerti?”

Azki tidak menjawab. Pelukan yang menenangkan itu mendadak hambar rasanya usai mendengar kalimat Papa.

***

Sekarang, Aia lah satu-satunya yang belum berhasil menyampaikan surat petaka itu. Ingin meminta Bi Tiah saja yang datang besok. Tapi, hati kecilnya justru menuntut untuk segera membawa surat itu pada Bunda.

“Kenapa, Ai?” sebuah suara menegurnya lembut. Aia menoleh sejurus kemudian memalingkan wajah. Bunda sudah berdiri di sebelahnya. Duh, kenapa Bunda harus ke kamarnya sekarang, coba?!
“Nggak kenapa-kenapa,” sahutnya singkat lalu mengambil sembarang buku pelajaran dan pura-pura mengerjakan latihan. Berharap Bunda segera meninggalkannya.

“Benar nggak kenapa-kenapa?”

Aia mengangguk tanpa menoleh, “Iya, nggak.” Ya Allah, Aia benar-benar berharap Bunda meninggalkannya sendirian sekarang juga!

“Atau ada masalah di sekolah?” suara Bunda mulai terdengar penuh penekanan.

Aia melirik Bunda. Tersenyum kecut. Mendadak seperti orang yang sedang diinterogasi. “Nggak, Bun …,” sahutnya lagi-lagi singkat sambil terus berpura-pura melanjutkan pekerjaannya.

“Cahaya, Bunda tanya ada masalah apa di sekolah?!”

Aia tertegun. Kenapa suara Bunda meninggi? Dan … kenapa Bunda menyebut nama lengkapnya? Kali ini Aia menoleh penuh ke arah Bunda yang kemudian membentangkan sehelai kertas di hadapan wajahnya.

Aia terkejut bukan main melihat kertas itu. Ia langsung memeriksa buku yang tadi diselipkan surat. Benar. Surat itu sudah tidak ada di dalam buku. Tapi, bagaimana bisa?!

Ya, tentu saja tidak ada. Surat itu terjatuh saat Aia berbalik di depan kamar Bunda tadi. Dan Bunda menemukannya saat hendak ke kamar Aia. Sekarang, Aia kelimpungan sendiri dalam hati. Bunda masih menatapnya tajam. Tangannya meremas surat itu. Menunggu penjelasan Aia. Tapi, karena Aia tetap diam, maka Bunda yang angkat bicara sambil melipat tangan. “Sudah pintar buat masalah, sekarang pintar bohong juga?”

Aia menunduk kian dalam dengan penuh penyesalan di hati. Harusnya ia beri tahu Bunda tadi. Bukan malah merencanakan yang lain. Sekarang hanya bisa bergumam, “Maaf, Bun.”

“Percuma minta maaf kalau Aia nggak berubah!” bentak Bunda.

Aia berbalik menghadap Bunda. Berusaha tenang. “Sebenarnya tadi Aia memang mau kasih tahu Bunda soal ini, tapi ….”

“Tapi berubah pikiran. Mau bohong sama Bunda?!” tuding Bunda.

Aia membuang muka. Kesal Bunda memotong kalimatnya. Sedetik kemudian kembali menghadap Bunda meski matanya mulai berkaca-kaca, “Tapi Aia takut, Bunda marah dan mendiamkan Aia lagi!”
Bunda tertegun melihat sorot mata Aia. Merasakan getaran berbeda dari sorot mata itu.

Dalam hitungan detik Aia kembali menghadap meja dan menunduk. Tidak ingin lama-lama bertatap muka dengan Bunda. Bunda benar soal ia berubah pikiran. Tapi, ada alasan lain kenapa ia bisa berubah pikiran. Alasannya adalah, “Karena kalau Bunda begitu … Aia …,” Aia menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering, “Aia merasa benar-benar sendiri, nggak punya siapa-siapa lagi di rumah,” lanjutnya lirih.

Aia bukan Raras. Yang meski Bapak begitu tegas, masih ada Ibu yang memihaknya. Ia juga bukan Azki. Yang meski Mama menyerangnya dengan sederet omelan, masih ada Papa yang memeluknya. Ia hanya punya Bunda di rumah. Maka saat Bunda mendiamkannya, tidak akan ada yang memihak apalagi memeluknya. Ayah terlalu jauh untuk melakukan itu. Maka saat itu hidupnya sungguh akan terlihat menyedihkan. Hidupnya sempurna gelap karena kehilangan satu-satunya cahaya yang ia miliki. Seperti Bumi kehilangan matahari tanpa ada bulan yang menggantikan tugasnya.

Kali ini Aia pasrah. Ia siap kalau Bunda akan tetap marah dan mendiamkannya lagi seperti waktu itu. Argh, bohong! Ia sama sekali tidak siap! Sudut matanya basah. Bulir bening itu bahkan sudah melintasi pipi dan jatuh membasahi jemari. Mewakili sesalnya.

Sementara Bunda masih tertegun. Apalagi setelah mendengar kalimat terakhir Aia. Kalimat yang terdengar amat pelan namun menohok hati. Rasa bersalah tidak bisa menjadi Ibu yang baik akhirnya kembali menyergap hati. Membuat Bunda tidak bisa marah pada Aia. Rasa marah itu justru berbalik pada diri sendiri.

Keduanya terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya hening yang menggantung di langit-langit kamar.

***

Bunda keluar dari ruang kepala sekolah. Pertemuan dengan Pak Kepala Sekolah baru saja selesai. Tentu saja Bunda tidak sendiri, Bapak Raras dan Mama Azki juga ikut dalam pertemuan. Hanya saja keduanya sudah lebih dulu meninggalkan sekolah. Sementara Bunda sengaja memutar. Menyusuri ruang-ruang kelas di lantai dasar dan berhenti di depan kelas XII-B IPA.

Bunda mengintip suasana kelas dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Ujian masih berlangsung di sana. Di baris kedua, Aia nampak serius mengerjakan soal. Sama sekali tidak terlihat sebagai siswa bermasalah. Bunda tersenyum tipis melihat Aia serius mengerjakan soal tanpa menoleh kanan-kirinya seperti beberapa siswa yang lain. Namun, senyum itu raib seketika melihat seragam Aia. Bukankah karena pakaian itu hari ini Bunda dipanggil?
***

Next :

Prev :
Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar