Jika Aia belum berhasil
menyampaikan surat petaka kedua itu. Lain halnya dengan Raras. Sejak baru tiba
di rumah tadi pagi, Ibu, dengan daster bunga-bunga berwarna biru dan kerudung
sedada warna putih, langsung menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. “Kenapa
jam segini sudah pulang? Apa sekolah libur? Kalau libur kenapa tadi berangkat?
Bukannya hari ini UAS? Apa Raras datang terlambat jadi nggak bisa masuk? Atau
bolos? Kenapa diam saja?”
“Gimana Raras mau jawab
kalau Ibu tanya
terus,” sergah Raras. Hampir saja ia kehilangan mood untuk menyampaikan
surat petaka dari Pak Kepala Sekolah. Malas mendengar omelan Ibu.
Kali ini Ibu diam. Tersadar
kalau sejak tadi ia terus menceracau tanpa jeda satu helaan pun. “Jadi,
kenapa?”
Raras mengambil sesuatu dari
dalam tas kemudian menyodorkannya di hadapan Ibu. Sehelai kertas. “Ini Bu.
Raras disuruh pulang duluan buat kasih undangan dari sekolah.”
Ibu meraihnya sambil menatap
Raras penuh curiga. Undangan apa sampai-sampai sulungnya harus pulang lebih
dulu? Beberapa detik hening sebelum akhirnya Ibu kembali meninggi,
“Astaghfirullah! Ini bukan undangan namanya, Raras! Tapi, surat panggilan!”
Raras
menunduk dalam-dalam.“Iya, Raras tahu,” gumamnya. Memang apa bedanya? Yang
jelas salah satu dari orang tua harus datang ke sekolah besok!
“Sekarang
kenapa lagi?! Masih soal rohis?! Ibu tahu kamu seneng ngaji! Ibu juga nggak
larang. Tapi kalau gara-gara itu kamu jadi bermasalah di sekolah … bla bla bla
bla.”
Raras
biarkan Ibu meluapkan semua emosinya. Ia paham sekali kalau orang tuanya marah.
Memang, orang tua mana yang gembira setelah dua kali mendapat surat panggilan
dari sekolah? Setelah Ibu berhenti barulah Raras menggeleng. Menjelaskan
penyebab surat itu kembali datang.
Mendengar
penjelasan putrinya, Ibu hanya geleng kepala. Tidak tahu hendak menyalahkan
siapa. Sekolah? Lantaran sudah melarang putrinya berjilbab? Tapi, sekolah juga
ada benarnya. Raras memang tidak memakai seragam sebagaimana mestinya. Lalu ia
harus menyalahkan putrinya? Tapi, bagaimana bisa ia menyalahkan seorang
muslimah yang ingin menutup aurat? Ah, sejak kapan urusan menutup aurat jadi
seribet ini?!
“Raras
minta maaf ya, Bu. Tapi … bisa nggak, kali ini Ibu saja yang datang ke sekolah?
Jangan Bapak,” pintanya. Walaupun emosi Ibu mudah meninggi. Tapi, kalimat tegas
Bapak tetap seribu kali lebih menakutkan dibanding omelan Ibu.
“Kamu ini kayak
nggak tahu Bapak saja! Kalau soal sekolah, ya pasti Bapak yang datang!”
“Kalau gitu
Bapak nggak usah tahu, Bu!” sergah Raras.
Ibu
menoleh. Sorot matanya menajam, “Jadi, sekarang mau suruh Ibu bohong?”
Raras
kembali menunduk. “Bukan bohong, cuma jangan diberi tahu ….”
“Sama saja!
Sudah. Nanti Ibu yang bicara sama Bapak,” ucap Ibu lalu beranjak
meninggalkannya. Bagaimanapun, Ibu masih percaya putrinya melakukan hal benar.
Dan malam
ini, selepas Isya’, lewat jendela ruang tamu Raras mengintip Ibu dan Bapak yang
tengah berbincang di teras rumah. Sementara dari balik pintu kamar, terlihat
dua adiknya malah mengintip Raras seraya menahan tawa. Mereka sudah tahu kalau
sang Kakak dapat masalah lagi. Mereka sedang menunggu apa yang akan terjadi
setelah ini? Apa Kakak akan dimarahi lagi?
Raras
melirik sebal pada dua adiknya yang jail itu. Lihat. Penderitaannya seolah
kebahagiaan mereka. Ah, tapi Raras tidak peduli soal itu. Pandangannya kembali
bergeser ke teras rumah. Ibu benar-benar memberikan surat petaka itu ke Bapak.
Napas Raras naik-turun. Bahkan jantungnya bekerja lebih keras sekarang. Sebentar
lagi Bapak pasti memanggilku. Sebentar lagi Bapak pasti memanggilku, duga
hatinya.
Tapi ….
Maasyaa
Allah! Entah apa yang Ibu katakan, sampai setengah jam kemudian panggilan yang
ditakutkan itu tak terjadi bahkan hingga keduanya kembali masuk. Raras langsung
memeluk Ibu setelah Bapak duluan masuk kamar.
“Makasih
ya, Ibuku yang cantik …,” ucap Raras pelan.
***
Tidak jauh
berbeda dengan Raras, Azki pun menghadapi hal yang sama setibanya di rumah.
Disambut rentetan pertanyaan yang nyaris sama. Dengan mudahnya Mama membuat
kesimpulan kalau Azki bolos sekolah. Padahal, Azki belum sempat mengatakan
apapun. “Astaghfirullah, Ma …. Orang hari ini Azki disuruh pulang cepat sama
Kepala Sekolah!” sahutnya ketus lalu beranjak menuju kamar. Tidak punya
keberanian untuk menyampaikan surat petaka itu.
Selepas
shalat Isya’, Azki akhirnya memberanikan diri menghadap kedua orang tuanya yang
sedang asyik menonton televisi. Begini jadinya ….
“Nah, kan?!
Makanya jadi anak nurut sama orang tua!” seru Mama usai Azki menyampaikan surat
itu. Heran, kenapa Azki masih saja ngoyo dengan seragam sambungannya itu! “Apa
susahnya nurut sama orang tua?! Sama sekolah?! Bla bla bla bla ….”
Seperti
biasa, Mama akan terus mengoceh sampai puas. Azki menoleh Papa. Bahkan Papa
menatap tajam ke arahnya dengan tangan sedekap. Itu tanda kalau Papa juga
marah. Ini yang Azki khawatirkan. Kalau sudah begini, ia seolah tengah duduk di
kursi terdakwa di hadapan hakim dan jaksa penuntut umum tanpa didampingi
pengacara. Tidak ada yang membela. Ingin lari saja ke salah satu rumah
kakaknya. Tapi, tatapan Papa serta ocehan Mama memakunya di tempat.
“Nggak
perlu lah pakai jilbab kalau begini! Allah juga maklum!”
Ini bagian
yang Azki tidak suka. Mama dengan mudahnya merasa Allah akan memaklumi. Kepala
Sekolah saja tidak suka hukumnya dilanggar dan tidak memaklumi sekecil apapun
pelanggarannya. Bagaimana bisa dengan tenangnya manusia melanggar hukum Allah
dengan anggapan bahwa Allah akan memaklumi? Atau jangan-jangan perasaan Allah
akan memaklumi ini juga yang membuat umat Islam sekarang dengan mudahnya
meninggalkan hukum Allah? Tidak apa-apa riba kalau sedikit. Tidak apa-apa minum
alkohol kalau sedikit. Bla bla bla bla.
“Ya nggak
semudah itu dong, Ma. Harus usaha du ….”
“Masih
berani jawab?!” Mama benar-benar tidak memberinya kesempatan.
Azki
menoleh lagi pada Papa. “Papa …,” rengeknya.
Papa
merentangkan tangan. Bungsunya langsung menghambur ke pelukan Papa.“Papa nggak
larang Azki berjilbab. Nggak. Tapi, Papa juga nggak setuju kalau sekolah Azki
jadi bermasalah karena ini, ngerti?”
Azki tidak
menjawab. Pelukan yang menenangkan itu mendadak hambar rasanya usai mendengar
kalimat Papa.
***
Sekarang,
Aia lah satu-satunya yang belum berhasil menyampaikan surat petaka itu. Ingin
meminta Bi Tiah saja yang datang besok. Tapi, hati kecilnya justru menuntut
untuk segera membawa surat itu pada Bunda.
“Kenapa,
Ai?” sebuah suara menegurnya lembut. Aia menoleh sejurus kemudian memalingkan
wajah. Bunda sudah berdiri di sebelahnya. Duh, kenapa Bunda harus ke
kamarnya sekarang, coba?!
“Nggak
kenapa-kenapa,” sahutnya singkat lalu mengambil sembarang buku pelajaran dan
pura-pura mengerjakan latihan. Berharap Bunda segera meninggalkannya.
“Benar
nggak kenapa-kenapa?”
Aia mengangguk
tanpa menoleh, “Iya, nggak.” Ya Allah, Aia benar-benar berharap Bunda
meninggalkannya sendirian sekarang juga!
“Atau ada
masalah di sekolah?” suara Bunda mulai terdengar penuh penekanan.
Aia melirik
Bunda. Tersenyum kecut. Mendadak seperti orang yang sedang diinterogasi.
“Nggak, Bun …,” sahutnya lagi-lagi singkat sambil terus berpura-pura
melanjutkan pekerjaannya.
“Cahaya,
Bunda tanya ada masalah apa di sekolah?!”
Aia
tertegun. Kenapa suara Bunda meninggi? Dan … kenapa Bunda menyebut nama
lengkapnya? Kali ini Aia menoleh penuh ke arah Bunda yang kemudian
membentangkan sehelai kertas di hadapan wajahnya.
Aia
terkejut bukan main melihat kertas itu. Ia langsung memeriksa buku yang tadi
diselipkan surat. Benar. Surat itu sudah tidak ada di dalam buku. Tapi,
bagaimana bisa?!
Ya, tentu
saja tidak ada. Surat itu terjatuh saat Aia berbalik di depan kamar Bunda tadi.
Dan Bunda menemukannya saat hendak ke kamar Aia. Sekarang, Aia kelimpungan
sendiri dalam hati. Bunda masih menatapnya tajam. Tangannya meremas surat itu.
Menunggu penjelasan Aia. Tapi, karena Aia tetap diam, maka Bunda yang angkat
bicara sambil melipat tangan. “Sudah pintar buat masalah, sekarang pintar
bohong juga?”
Aia
menunduk kian dalam dengan penuh penyesalan di hati. Harusnya ia beri tahu
Bunda tadi. Bukan malah merencanakan yang lain. Sekarang hanya bisa bergumam,
“Maaf, Bun.”
“Percuma
minta maaf kalau Aia nggak berubah!” bentak Bunda.
Aia
berbalik menghadap Bunda. Berusaha tenang. “Sebenarnya tadi Aia memang mau
kasih tahu Bunda soal ini, tapi ….”
“Tapi
berubah pikiran. Mau bohong sama Bunda?!” tuding Bunda.
Aia
membuang muka. Kesal Bunda memotong kalimatnya. Sedetik kemudian kembali
menghadap Bunda meski matanya mulai berkaca-kaca, “Tapi Aia takut, Bunda marah
dan mendiamkan Aia lagi!”
Bunda tertegun
melihat sorot mata Aia. Merasakan getaran berbeda dari sorot mata itu.
Dalam
hitungan detik Aia kembali menghadap meja dan menunduk. Tidak ingin lama-lama
bertatap muka dengan Bunda. Bunda benar soal ia berubah pikiran. Tapi, ada
alasan lain kenapa ia bisa berubah pikiran. Alasannya adalah, “Karena kalau
Bunda begitu … Aia …,” Aia menelan ludah, tenggorokannya mendadak kering, “Aia
merasa benar-benar sendiri, nggak punya siapa-siapa lagi di rumah,” lanjutnya
lirih.
Aia bukan
Raras. Yang meski Bapak begitu tegas, masih ada Ibu yang memihaknya. Ia juga
bukan Azki. Yang meski Mama menyerangnya dengan sederet omelan, masih ada Papa
yang memeluknya. Ia hanya punya Bunda di rumah. Maka saat Bunda mendiamkannya,
tidak akan ada yang memihak apalagi memeluknya. Ayah terlalu jauh untuk
melakukan itu. Maka saat itu hidupnya sungguh akan terlihat menyedihkan.
Hidupnya sempurna gelap karena kehilangan satu-satunya cahaya yang ia miliki.
Seperti Bumi kehilangan matahari tanpa ada bulan yang menggantikan tugasnya.
Kali ini
Aia pasrah. Ia siap kalau Bunda akan tetap marah dan mendiamkannya lagi seperti
waktu itu. Argh, bohong! Ia sama sekali tidak siap! Sudut matanya basah.
Bulir bening itu bahkan sudah melintasi pipi dan jatuh membasahi jemari.
Mewakili sesalnya.
Sementara
Bunda masih tertegun. Apalagi setelah mendengar kalimat terakhir Aia. Kalimat
yang terdengar amat pelan namun menohok hati. Rasa bersalah tidak bisa menjadi
Ibu yang baik akhirnya kembali menyergap hati. Membuat Bunda tidak bisa marah
pada Aia. Rasa marah itu justru berbalik pada diri sendiri.
Keduanya
terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hanya hening yang menggantung
di langit-langit kamar.
***
Bunda keluar dari ruang
kepala sekolah. Pertemuan dengan Pak Kepala Sekolah baru saja selesai. Tentu
saja Bunda tidak sendiri, Bapak Raras dan Mama Azki juga ikut dalam pertemuan.
Hanya saja keduanya sudah lebih dulu meninggalkan sekolah. Sementara Bunda
sengaja memutar. Menyusuri ruang-ruang kelas di lantai dasar dan berhenti di
depan kelas XII-B IPA.
Bunda mengintip suasana
kelas dari celah pintu yang tidak tertutup rapat. Ujian
masih berlangsung di sana. Di baris kedua, Aia nampak
serius mengerjakan soal. Sama sekali tidak terlihat sebagai siswa bermasalah.
Bunda tersenyum tipis melihat Aia serius mengerjakan
soal tanpa menoleh kanan-kirinya seperti beberapa siswa yang lain. Namun,
senyum itu raib seketika melihat seragam Aia. Bukankah karena pakaian itu
hari ini Bunda dipanggil?
***
Next :
Prev :
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Minggu, Mei 21, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar