Matahari mengucap salam lewat senja sebelum benar-benar
meninggalkan bumi di ufuk barat. Mengingatkan penduduknya bahwa satu hari
mereka hampir terlewat. Semburat jingganya berpesan, jangan jadikan hari ini
kian berselirat. Karena hanya menambah beban untuk hidup yang sudah berat.
Aia sangat menyadari tentang harinya yang terlewat
begitu saja. Terkurung. Tidak bisa keluar lantaran semua jilbabnya masih
menggantung di jemuran belakang. Termasuk seragam
sekolah. Ia hanya berkirim kabar lewat pesan singkat dengan Raras dan
Azky. Mereka juga tidak sekolah hari ini karena tidak ada seragam yang bisa
mereka pakai. Hanya bisa berharap semoga besok bisa
menyusul ketertinggalan UAS hari ini.
Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah. Hanya
sedikit melakukan wawancara eksklusif antara dirinya dan jurnalis kawakan yang
hampir mati karena rasa ingin tahu tentang peristiwa kemarin sore, Bi Tiah. Wawancara
yang sangat berguna. Setidaknya ia bisa mencurahkan semua isi hati.
Dan malam ini Aia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu
yang ia harap dapat meringankan hidup yang kian terasa berat. Bukan malah kian
berselirat. Aia keluar kamar. Melangkah lurus ke depan, menuju kamar Bunda. Mengetuk
pintu yang sebenarnya terbuka. “Aia masuk ya, Bun?”
“Hm,” Bunda membolehkan tanpa menoleh. Tangan dan
matanya sibuk pada kertas-kertas penting yang sedikit berserakan di tempat
tidur. Menyusun lalu memasukkannya ke dalam map merah.
Aia melangkah masuk. Duduk di sisi tempat tidur. Membiarkan
Bunda menyelesaikan pekerjaan dan tetap diam dalam beberapa menit. Lengang. Hanya
matanya yang terus mengikuti gerak Bunda. Berharap Bunda lebih dahulu mengawali
pembicaraan malam ini. Karena jujur, Aia bingung untuk bagaimana mengawalinya?
Sayang, Bunda juga tidak memulai. Malah membiarkan
putrinya tenggelam dalam diam. Ingin tahu apa yang akan dikatakannya setelah
kejadian kemarin. Bunda beranjak membawa map merah itu dan meletakkannya di
atas meja bersama dua map yang lainnya. Mata Aia masih setia mengikuti geraknya.
Namun, Bunda sama sekali tidak menghiraukannya.
“Aia minta maaf, Bun,” suara Aia memecah sunyi.
Bunda sudah menduga hanya itu yang bisa Aia katakan. “Bunda
sudah bilang kemarin. Percuma minta maaf kalau Aia nggak berubah,” sahut Bunda
yang lagi-lagi tanpa menoleh. Menyibukkan tangan dengan merapikan kembali
tumpukan map yang sebenarnya sudah rapi.
Aia menggembungkan pipi. Menunduk dan menatap lantai. Berubah?
Kalau yang Bunda maksud dengan berubah adalah melepas jilbab, itu tidak
mungkin. Tidak akan.
“Sebaiknya Aia jangan bergaul dengan teman-teman rohis
lagi. Ikuti saja aturan sekolah termasuk seragam,” ujar Bunda setelah
membalikkan badan dan bersandar di meja. Menatap penuh Aia yang akhirnya juga
menatap Bunda.
Di telinga Aia, ini seperti terdengar, lepas jilbabmu!
“Dan … berhenti kajian dengan mentor itu. Dengan
begitu Bunda bisa berhenti mengkhawatirkan Aia,” sambung Bunda. Wajah Zia
terbersit di benaknya. Gadis itu yang dengan doktrinnya menjadikan Aia seperti
sekarang.
Aia menatap panik. Ayolah Bunda! Apapun, selain
itu!
“Lihat. Sudah seperti ini pun Aia tetap nggak mau
mendengarkan Bunda, kan?” Bunda sudah menduga. Doktrin gadis itu benar-benar
sudah memperdaya putrinya. Membuatnya amat khawatir. Jauh lebih khawatir
ketimbang saat ia menjemput Adam di kantor polisi dulu. Itulah kenapa Bunda
merasa perlu untuk marah dan mendiamkannya. Memaksa Aia untuk mengerti dan
menurut.
Aia ingin menjawab. Tapi ragu. Hingga wajah
menyesalnya hanya bisa menggembungkan pipi dan kembali menunduk. Tapi, bagi Bunda
itu tetap jawaban. Ekspresi itu bahkan jauh lebih jelas ketimbang sebuah
kalimat.
“Ya Allah,” desis Bunda, “Aia tahu apa yang sedang Aia
lakukan sekarang?! Hm?”
Aia sudah tidak tahan lagi. Ragunya lenyap. “Bunda
bilang Aia nggak boleh menjalani hidup sesuai keinginan Aia saja, kan? Harus
memikirkan orang di sekitar Aia?” Aia memberanikan diri, “Aia sedang berusaha
melakukan itu, Bun.”
Bunda membuang muka dan mengempaskan napas berat. Kenapa
putrinya tidak juga mengerti? Bahkan untuk sekedar membedakan antara memikirkan
orang di sekitar dengan egois?!
“Aia memutuskan berjilbab justru karena Aia juga
memikirkan orang-orang di sekitar. Aia memikirkan Bunda, Abang, Ayah. Karena kata
Rasul, kalau anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, dia sama saja
sedang mendorong Ayahnya ke neraka. Aia cuma ingin jadi anak sholihah buat
Bunda. Buat Ayah juga,” ungkapnya dengan hati penuh harap bahwa Bunda akan
melunak setelah mendengar kalimatnya barusan.
Bunda tertegun untuk beberapa saat. Tidakkah niat
putrinya itu sangat baik? Sayangnya sedetik kemudian menyadari sesuatu, “Sholihah?
Apa anak yang tidak mendengarkan orang tuanya masih bisa dibilang sholihah?” tanya
Bunda. “Ridho Allah itu, ridhonya orang tua, Ai.”
“Tapi Bunda yang bilang, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata
orang tentang Aia. Aia cuma sedang berusaha melakukan semua nasihat
Bunda! Apa Aia salah?!” suara Aia mulai dikuasai
emosi sekarang. Namun sesaat kemudian tersadar lalu menggigit bibir. Cemas. Ya
Allah, apakah ia anak durhaka sekarang, karena masih saja menjawab?
“Oh. Jadi, sekarang Aia merasa benar dan Bunda yang
salah?” tuding Bunda. Tidak percaya nasihatnya digunakan untuk membantah
dirinya sendiri?
Aia buru-buru menggeleng. Kenapa Bunda malah
berpikiran seperti itu?! “Bukan itu maksud Aia, Bunda ….”
Bunda berbalik kembali ke meja, “Aia boleh keluar
sekarang,” singkatnya seraya meraih smartphone tanpa tujuan.
“Tapi Aia belum selesai …,” sergah Aia yang berdiri
panik. Menyesal. Ia datang ke sini untuk meminta maaf pada Bunda. Kenapa ia malah
mengatakan hal yang memperkeruh susasana?!
“Selesai. Aia boleh keluar,” pungkas Bunda yang masih
membelakangi Aia.
Aia mematung. Selesai? Apanya yang selesai?
Bunda melirik Aia, “Kamu boleh keluar sekarang,
Cahaya!”
Biasanya Aia akan ciut tiap kali Bunda menyebut nama
lengkapnya. Kali ini berbeda. Ia tetap mematung. Napasnya naik turun. Dalam
hati marah karena Bunda menyudahi begitu saja pembicaraan malam ini. Padahal,
masih banyak yang ingin ia katakan. “Kenapa sih, Bun?”
Bunda berbalik. Kembali menghadap Aia dengan melipat
tangan. Aia bahkan sempat dibuat kikuk dengan tatapan sinis Bunda sebelum
akhirnya berusaha menguasai diri.
“Kenapa sekarang Bunda berubah?! Awalnya Bunda setuju
Aia di rohis. Tapi, sekarang Bunda malah larang Aia kajian. Bunda yang bilang
Aia bukan cuma pantas tapi memang harus menutup aurat. Tapi, kenapa sekarang
Bunda malah larang Aia berjilbab?! Kenapa harus begitu, Bun?!” protes Aia. Suaranya
gentar namun kata-katanya tetap terdengar berani.
Kalimat barusan mungkin saja akan mengundang masalah
baru. Tapi, Aia tidak peduli lagi. Tangannya meremas sekuat tenaga ujung kerudung. Geram.
Geram dengan semua sikap Bunda padanya. Aia menarik napas panjang. Menahan
emosi. “Apa, apa ini karena Tante Nur?” tanyanya.
Bunda masih berdiri dengan tatapan sinisnya ke Aia. Berani
sekali Aia memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu?! Beruntung Bunda
masih bisa menahan emosi. Maka Bunda hanya mengingatkan, “Kamu nggak perlu
melibatkan orang lain dalam masalah ini, Ai!”
“Tapi kenyataannya memang begitu kan, Bun? Bunda
selalu percaya apa yang Tante Nur katakan itu benar! Aia selalu salah di mata
Bunda!” teriak Aia. Nasi sudah menjadi bubur. Ia tahu ini salah. Tapi, ia juga
tidak bisa berhenti. Aia siap dengan segala konsekuensi dari ucapannya.
“Ya, benar! Tentu saja Bunda percaya Tante Nur! Untuk
apa percaya pada Aia?!” kata-kata Aia yang kian terdengar berani menantang akhirnya
menyulut emosi Bunda. Kata-kata yang sebelumnya tidak terpikir untuk diucap,
kini keluar begitu saja dari lisannya. Giginya menggeretak. Seolah Bunda tengah
menahan semua emosi di sana.
Hening. Aia terkejut, marah sekaligus takut. Ia
terkejut dengan nada Bunda yang lebih tinggi darinya. Marah karena Bunda
memercayai Nur. Sekaligus takut bahwa setelah ini Bunda akan jauh lebih marah
padanya. Parahnya, ia sendiri lah yang membuat kekacauan ini terjadi.
Bunda menelan ludah. “Lihat. Semua yang Tante Nur
katakan sekarang jadi kenyataan! Sejak kapan Aia berani selancang ini pada
Bunda? Hm?!” suara Bunda mulai terdengar pelan namun tetap penuh penekanan. Menandakan
bahwa Bunda benar-benar marah.
“Memang apa yang Tante Nur katakan tentang Aia? Aia
fanatik? Radikal? Berpotensi jadi teroris?” Aia berusaha menyamai nada bicara
serta ekspresi Bunda. Alisnya terangkat, seolah ingin menantang Bunda. “Tante
Nur malah lebih mengerikan dari itu semua!” desis Aia. Ya, jauh lebih
mengerikan. Karena Tante Nur membuatnya kehilangan Bunda yang dulu pernah mensupportnya
untuk masuk rohis juga berjilbab. Kini menjadi orang yang paling depan
melarangnya.
Aia sadar bahwa dirinya tengah melakukan sebuah kesalahan.
Tidak seharusnya Aia selancang ini, berkata kasar dengan nada meninggi pada
Bunda. Harusnya ia tidak boleh begini! Bukankah Islam hanya mengajarkan kita
untuk berbuat baik pada kedua orang tua? Bahkan menyuruh untuk tetap lembut
meski mereka dalam kesalahan?
Tapi, entahlah! Ya Allah … bagaimana ini?! Ia tidak
bisa menghentikan diri sendiri. Tidak bisa mengendalikan diri. Kalah oleh
emosi.
Hingga beberapa saat kemudian wajah Aia mulai
menunjukkan kalau ia berusaha menahan emosi. Ia harus bisa menguasai diri.
“Kenapa harus Tante Nur, Bunda …?” tanyanya lemah. Energinya habis untuk
mengalahkan emosi.
“Memang siapa lagi yang harus Bunda percaya? Mentor
kamu?!” Bunda membuang muka, percaya? Membayangkannya saja Bunda tidak ingin. “Semua
orang tentu lebih memilih percaya pada guru besar ketimbang mahasiswa
kacangan!”
Dengan mudahnya emosi itu kembali menguasai. “Kak Zia
bukan mahasiswa yang seperti Bunda pikirkan! Harusnya Bunda malah hutang
terimakasih pada Kak Zia!” Aia tidak terima Bunda mengatakan hal buruk tentang
Zia.
Bunda mengerutkan dahi, berterimakasih? Untuk apa?
“Karena Kak Zia sudah memahamkan pada Aia apa itu
Islam, agama yang selama ini hanya Aia gunakan sebagai identitas,” Aia menjawab
kerutan dahi Bunda. “Setidaknya itu mengurangi tugas Bunda sebagai Ibu, kan?!
Jadi Bunda bisa lebih fokus dengan semua pekerjaan Bunda!” lanjutnya.
Harusnya Bunda yang mengajarkan Islam padanya. Seperti
dulu, saat keluarganya utuh.
Bunda terbungkam dengan wajah yang kian mengguratkan
kemarahan. Kalimat Aia terdengar seperti tudingan bahwa Bunda tidak menjadi Ibu
yang baik.
“Bunda percaya Tante Nur cuma karena Tante Nur teman
lama Bunda, kan? Padahal, sebenarnya Bunda juga merasa, kan, kalau Tante Nur
yang sekarang bukan Tante Nur yang dulu Bunda kenal?!” Aia masih melanjutkan. Belum
puas rupanya.
“Siapa bilang?! Bunda percaya Tante Nur bukan karena
Tante Nur teman lama Bunda! Tapi karena Bunda yakin Tante Nur benar!” tandas
Bunda mematahkan pernyataan Aia. Sama seperti Aia, ia pun tidak terima Aia
men-cap buruk temannya. Ego dalam diri terus memaksa Bunda untuk selalu berada
di atas Aia.
Sekarang bukan hanya hati Aia yang panas. Matanya juga
terasa panas. Bulir bening menyembul dari ujung mata dan jatuh tanpa berusaha ditahannya.
Kalimat Bunda barusan, bukankah berarti Bunda mengakui bahwa Nur dan semua
pemikirannya itu benar? Tapi, Nur? Orang itu …. Ya Allah, tolong jadikan ini
hanya mimpi belaka? Dan ketika terbangun nanti, hapus saja orang bernama Nur
dalam hidupnya dan Bunda. Aia yakin, tanpa nama itu, hidupnya dan Bunda akan sedikit
lebih baik.
Aia terus menatap Bunda. Meski air mata tetap
mengalir, namun marahnya tidak bisa disembunyikan dari wajah. Tia-tiba ada rasa
yang perlahan ikut mengalir bersama darah. Rasa itu ikut melewati ventrikel
kiri jantungnya kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dan saat kembali ke
jantung, rasa itu meledak. Saat jantung tidak sanggup menahannya sendirian,
hati lah yang ikut menanggung ledakan rasa itu. Rasa yang sangat menyesakkan.
“Aia,” tidak! Ia tidak boleh mengatakannya! Kali ini
ia harus menahannya. Harus! Maka satu
helaan napas berikutnya Aia sudah meninggalkan Bunda.
Brak!
Itu pasti Aia yang membanting pintu kamarnya.
Ya, itu Aia yang sekarang menelungkupkan wajah di meja
dengan tangan terlipat. Menangisi serta menyesali malam ini. Hampir saja ia
mengatakan sesuatu yang fatal. Beruntung Aia masih bisa menahannya meski ingin
sekali melanjutkan, Aia benci Bunda!
Ia bahkan tidak akan memaafkan diri sendiri jika
berani mengatakan itu. Lagi pula, bukan Bunda. Tapi sikap Bunda yang memercayai
Nur, orang yang telah berani memainkan ayat-ayat Allah. Benci sikap Bunda yang
malah membenci Zia yang sudah mengenalkan Aia pada
Islam yang sesungguhnya.
Aia
tidak sanggup lagi menyimpan masalah ini sendirian. Diraihnya handphone yang
tergeletak di atas tumpukkan buku. Mengetik sebuah pesan. Aslkmwrwb. Kak
Zia, kita bisa ketemu besok?
Sementara di kamar, Bunda masih diam di tempat lalu
perlahan mundur beberapa langkah hingga tubuhnya bersandar di meja. Kakinya
sudah tidak sanggup lagi menahan beban tubuh. Apa yang sebenarnya baru saja
terjadi? Bunda menyeka dahi. Ia? putrinya? Lelucon apa ini?! Hatinya
berkecamuk. Bunda tidak percaya Aia berani selancang itu padanya. Pintar sekali
membolak-balikkan kata. Bunda benar-benar menyesal mengizinkan Aia menjadi anak
rohis. Andai ia bertemu dengan Nur lebih awal. Mungkin ia bisa mencegah ini
semua terjadi.
Dan … apa yang ia lakukan tadi? Ini yang membuat Bunda
benar-benar merasa buruk. Apa seperti ini cara seorang ibu menasihati anaknya?!
Ah, kenapa manusia sering kali begitu? Tetap melakukan
sesuatu meski tahu sesuatu itu adalah sebuah kesalahan. Meski tahu sesuatu itu
tidak diridhoi-Nya. Meski tahu sesuatu itu melanggar syariat-Nya. Bahkan saat
kita tahu sesuatu itu hanya mendatangkan mudarat, sering kali kita memilih
untuk tetap melakukannya, kan? Lihat. Hidup dengan cara manusia sendiri,
mengikuti hawa nafsu belaka, sungguh menyesatkan bukan? Hingga kelak di
kemudian hari kita hanya bisa menyesalinya. Na’udzubillah ….
***
Sebelumnya :
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Mei 27, 2017
Unknown

0 komentar:
Posting Komentar