Sabtu, 27 Mei 2017

Matahari mengucap salam lewat senja sebelum benar-benar meninggalkan bumi di ufuk barat. Mengingatkan penduduknya bahwa satu hari mereka hampir terlewat. Semburat jingganya berpesan, jangan jadikan hari ini kian berselirat. Karena hanya menambah beban untuk hidup yang sudah berat.

Aia sangat menyadari tentang harinya yang terlewat begitu saja. Terkurung. Tidak bisa keluar lantaran semua jilbabnya masih menggantung di jemuran belakang. Termasuk seragam sekolah. Ia hanya berkirim kabar lewat pesan singkat dengan Raras dan Azky. Mereka juga tidak sekolah hari ini karena tidak ada seragam yang bisa mereka pakai. Hanya bisa berharap semoga besok bisa menyusul ketertinggalan UAS hari ini.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah. Hanya sedikit melakukan wawancara eksklusif antara dirinya dan jurnalis kawakan yang hampir mati karena rasa ingin tahu tentang peristiwa kemarin sore, Bi Tiah. Wawancara yang sangat berguna. Setidaknya ia bisa mencurahkan semua isi hati.

Dan malam ini Aia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang ia harap dapat meringankan hidup yang kian terasa berat. Bukan malah kian berselirat. Aia keluar kamar. Melangkah lurus ke depan, menuju kamar Bunda. Mengetuk pintu yang sebenarnya terbuka. “Aia masuk ya, Bun?”

“Hm,” Bunda membolehkan tanpa menoleh. Tangan dan matanya sibuk pada kertas-kertas penting yang sedikit berserakan di tempat tidur. Menyusun lalu memasukkannya ke dalam map merah.

Aia melangkah masuk. Duduk di sisi tempat tidur. Membiarkan Bunda menyelesaikan pekerjaan dan tetap diam dalam beberapa menit. Lengang. Hanya matanya yang terus mengikuti gerak Bunda. Berharap Bunda lebih dahulu mengawali pembicaraan malam ini. Karena jujur, Aia bingung untuk bagaimana mengawalinya?

Sayang, Bunda juga tidak memulai. Malah membiarkan putrinya tenggelam dalam diam. Ingin tahu apa yang akan dikatakannya setelah kejadian kemarin. Bunda beranjak membawa map merah itu dan meletakkannya di atas meja bersama dua map yang lainnya. Mata Aia masih setia mengikuti geraknya. Namun, Bunda sama sekali tidak menghiraukannya.

“Aia minta maaf, Bun,” suara Aia memecah sunyi.

Bunda sudah menduga hanya itu yang bisa Aia katakan. “Bunda sudah bilang kemarin. Percuma minta maaf kalau Aia nggak berubah,” sahut Bunda yang lagi-lagi tanpa menoleh. Menyibukkan tangan dengan merapikan kembali tumpukan map yang sebenarnya sudah rapi.

Aia menggembungkan pipi. Menunduk dan menatap lantai. Berubah? Kalau yang Bunda maksud dengan berubah adalah melepas jilbab, itu tidak mungkin. Tidak akan.

“Sebaiknya Aia jangan bergaul dengan teman-teman rohis lagi. Ikuti saja aturan sekolah termasuk seragam,” ujar Bunda setelah membalikkan badan dan bersandar di meja. Menatap penuh Aia yang akhirnya juga menatap Bunda.

Di telinga Aia, ini seperti terdengar, lepas jilbabmu!

“Dan … berhenti kajian dengan mentor itu. Dengan begitu Bunda bisa berhenti mengkhawatirkan Aia,” sambung Bunda. Wajah Zia terbersit di benaknya. Gadis itu yang dengan doktrinnya menjadikan Aia seperti sekarang.

Aia menatap panik. Ayolah Bunda! Apapun, selain itu!

“Lihat. Sudah seperti ini pun Aia tetap nggak mau mendengarkan Bunda, kan?” Bunda sudah menduga. Doktrin gadis itu benar-benar sudah memperdaya putrinya. Membuatnya amat khawatir. Jauh lebih khawatir ketimbang saat ia menjemput Adam di kantor polisi dulu. Itulah kenapa Bunda merasa perlu untuk marah dan mendiamkannya. Memaksa Aia untuk mengerti dan menurut.

Aia ingin menjawab. Tapi ragu. Hingga wajah menyesalnya hanya bisa menggembungkan pipi dan kembali menunduk. Tapi, bagi Bunda itu tetap jawaban. Ekspresi itu bahkan jauh lebih jelas ketimbang sebuah kalimat.

“Ya Allah,” desis Bunda, “Aia tahu apa yang sedang Aia lakukan sekarang?! Hm?”

Aia sudah tidak tahan lagi. Ragunya lenyap. “Bunda bilang Aia nggak boleh menjalani hidup sesuai keinginan Aia saja, kan? Harus memikirkan orang di sekitar Aia?” Aia memberanikan diri, “Aia sedang berusaha melakukan itu, Bun.”

Bunda membuang muka dan mengempaskan napas berat. Kenapa putrinya tidak juga mengerti? Bahkan untuk sekedar membedakan antara memikirkan orang di sekitar dengan egois?!

“Aia memutuskan berjilbab justru karena Aia juga memikirkan orang-orang di sekitar. Aia memikirkan Bunda, Abang, Ayah. Karena kata Rasul, kalau anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, dia sama saja sedang mendorong Ayahnya ke neraka. Aia cuma ingin jadi anak sholihah buat Bunda. Buat Ayah juga,” ungkapnya dengan hati penuh harap bahwa Bunda akan melunak setelah mendengar kalimatnya barusan.

Bunda tertegun untuk beberapa saat. Tidakkah niat putrinya itu sangat baik? Sayangnya sedetik kemudian menyadari sesuatu, “Sholihah? Apa anak yang tidak mendengarkan orang tuanya masih bisa dibilang sholihah?” tanya Bunda. “Ridho Allah itu, ridhonya orang tua, Ai.”

“Tapi Bunda yang bilang, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia. Aia cuma sedang berusaha melakukan semua nasihat Bunda! Apa Aia salah?!suara Aia mulai dikuasai emosi sekarang. Namun sesaat kemudian tersadar lalu menggigit bibir. Cemas. Ya Allah, apakah ia anak durhaka sekarang, karena masih saja menjawab?

“Oh. Jadi, sekarang Aia merasa benar dan Bunda yang salah?” tuding Bunda. Tidak percaya nasihatnya digunakan untuk membantah dirinya sendiri?

Aia buru-buru menggeleng. Kenapa Bunda malah berpikiran seperti itu?! “Bukan itu maksud Aia, Bunda ….”

Bunda berbalik kembali ke meja, “Aia boleh keluar sekarang,” singkatnya seraya meraih smartphone tanpa tujuan.

“Tapi Aia belum selesai …,” sergah Aia yang berdiri panik. Menyesal. Ia datang ke sini untuk meminta maaf pada Bunda. Kenapa ia malah mengatakan hal yang memperkeruh susasana?!

“Selesai. Aia boleh keluar,” pungkas Bunda yang masih membelakangi Aia.

Aia mematung. Selesai? Apanya yang selesai?

Bunda melirik Aia, “Kamu boleh keluar sekarang, Cahaya!”

Biasanya Aia akan ciut tiap kali Bunda menyebut nama lengkapnya. Kali ini berbeda. Ia tetap mematung. Napasnya naik turun. Dalam hati marah karena Bunda menyudahi begitu saja pembicaraan malam ini. Padahal, masih banyak yang ingin ia katakan. “Kenapa sih, Bun?”

Bunda berbalik. Kembali menghadap Aia dengan melipat tangan. Aia bahkan sempat dibuat kikuk dengan tatapan sinis Bunda sebelum akhirnya berusaha menguasai diri.

“Kenapa sekarang Bunda berubah?! Awalnya Bunda setuju Aia di rohis. Tapi, sekarang Bunda malah larang Aia kajian. Bunda yang bilang Aia bukan cuma pantas tapi memang harus menutup aurat. Tapi, kenapa sekarang Bunda malah larang Aia berjilbab?! Kenapa harus begitu, Bun?!” protes Aia. Suaranya gentar namun kata-katanya tetap terdengar berani.

Kalimat barusan mungkin saja akan mengundang masalah baru. Tapi, Aia tidak peduli lagi. Tangannya meremas sekuat tenaga ujung kerudung. Geram. Geram dengan semua sikap Bunda padanya. Aia menarik napas panjang. Menahan emosi. “Apa, apa ini karena Tante Nur?” tanyanya.

Bunda masih berdiri dengan tatapan sinisnya ke Aia. Berani sekali Aia memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu?! Beruntung Bunda masih bisa menahan emosi. Maka Bunda hanya mengingatkan, “Kamu nggak perlu melibatkan orang lain dalam masalah ini, Ai!”

“Tapi kenyataannya memang begitu kan, Bun? Bunda selalu percaya apa yang Tante Nur katakan itu benar! Aia selalu salah di mata Bunda!” teriak Aia. Nasi sudah menjadi bubur. Ia tahu ini salah. Tapi, ia juga tidak bisa berhenti. Aia siap dengan segala konsekuensi dari ucapannya.

“Ya, benar! Tentu saja Bunda percaya Tante Nur! Untuk apa percaya pada Aia?!” kata-kata Aia yang kian terdengar berani menantang akhirnya menyulut emosi Bunda. Kata-kata yang sebelumnya tidak terpikir untuk diucap, kini keluar begitu saja dari lisannya. Giginya menggeretak. Seolah Bunda tengah menahan semua emosi di sana.

Hening. Aia terkejut, marah sekaligus takut. Ia terkejut dengan nada Bunda yang lebih tinggi darinya. Marah karena Bunda memercayai Nur. Sekaligus takut bahwa setelah ini Bunda akan jauh lebih marah padanya. Parahnya, ia sendiri lah yang membuat kekacauan ini terjadi.

Bunda menelan ludah. “Lihat. Semua yang Tante Nur katakan sekarang jadi kenyataan! Sejak kapan Aia berani selancang ini pada Bunda? Hm?!” suara Bunda mulai terdengar pelan namun tetap penuh penekanan. Menandakan bahwa Bunda benar-benar marah.

“Memang apa yang Tante Nur katakan tentang Aia? Aia fanatik? Radikal? Berpotensi jadi teroris?” Aia berusaha menyamai nada bicara serta ekspresi Bunda. Alisnya terangkat, seolah ingin menantang Bunda. “Tante Nur malah lebih mengerikan dari itu semua!” desis Aia. Ya, jauh lebih mengerikan. Karena Tante Nur membuatnya kehilangan Bunda yang dulu pernah mensupportnya untuk masuk rohis juga berjilbab. Kini menjadi orang yang paling depan melarangnya.

Aia sadar bahwa dirinya tengah melakukan sebuah kesalahan. Tidak seharusnya Aia selancang ini, berkata kasar dengan nada meninggi pada Bunda. Harusnya ia tidak boleh begini! Bukankah Islam hanya mengajarkan kita untuk berbuat baik pada kedua orang tua? Bahkan menyuruh untuk tetap lembut meski mereka dalam kesalahan?

Tapi, entahlah! Ya Allah … bagaimana ini?! Ia tidak bisa menghentikan diri sendiri. Tidak bisa mengendalikan diri. Kalah oleh emosi.

Hingga beberapa saat kemudian wajah Aia mulai menunjukkan kalau ia berusaha menahan emosi. Ia harus bisa menguasai diri. “Kenapa harus Tante Nur, Bunda …?” tanyanya lemah. Energinya habis untuk mengalahkan emosi.

“Memang siapa lagi yang harus Bunda percaya? Mentor kamu?!” Bunda membuang muka, percaya? Membayangkannya saja Bunda tidak ingin. “Semua orang tentu lebih memilih percaya pada guru besar ketimbang mahasiswa kacangan!”

Dengan mudahnya emosi itu kembali menguasai. “Kak Zia bukan mahasiswa yang seperti Bunda pikirkan! Harusnya Bunda malah hutang terimakasih pada Kak Zia!” Aia tidak terima Bunda mengatakan hal buruk tentang Zia.

Bunda mengerutkan dahi, berterimakasih? Untuk apa?

“Karena Kak Zia sudah memahamkan pada Aia apa itu Islam, agama yang selama ini hanya Aia gunakan sebagai identitas,” Aia menjawab kerutan dahi Bunda. “Setidaknya itu mengurangi tugas Bunda sebagai Ibu, kan?! Jadi Bunda bisa lebih fokus dengan semua pekerjaan Bunda!” lanjutnya.

Harusnya Bunda yang mengajarkan Islam padanya. Seperti dulu, saat keluarganya utuh.

Bunda terbungkam dengan wajah yang kian mengguratkan kemarahan. Kalimat Aia terdengar seperti tudingan bahwa Bunda tidak menjadi Ibu yang baik.

“Bunda percaya Tante Nur cuma karena Tante Nur teman lama Bunda, kan? Padahal, sebenarnya Bunda juga merasa, kan, kalau Tante Nur yang sekarang bukan Tante Nur yang dulu Bunda kenal?!” Aia masih melanjutkan. Belum puas rupanya.

“Siapa bilang?! Bunda percaya Tante Nur bukan karena Tante Nur teman lama Bunda! Tapi karena Bunda yakin Tante Nur benar!” tandas Bunda mematahkan pernyataan Aia. Sama seperti Aia, ia pun tidak terima Aia men-cap buruk temannya. Ego dalam diri terus memaksa Bunda untuk selalu berada di atas Aia.

Sekarang bukan hanya hati Aia yang panas. Matanya juga terasa panas. Bulir bening menyembul dari ujung mata dan jatuh tanpa berusaha ditahannya. Kalimat Bunda barusan, bukankah berarti Bunda mengakui bahwa Nur dan semua pemikirannya itu benar? Tapi, Nur? Orang itu …. Ya Allah, tolong jadikan ini hanya mimpi belaka? Dan ketika terbangun nanti, hapus saja orang bernama Nur dalam hidupnya dan Bunda. Aia yakin, tanpa nama itu, hidupnya dan Bunda akan sedikit lebih baik.

Aia terus menatap Bunda. Meski air mata tetap mengalir, namun marahnya tidak bisa disembunyikan dari wajah. Tia-tiba ada rasa yang perlahan ikut mengalir bersama darah. Rasa itu ikut melewati ventrikel kiri jantungnya kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dan saat kembali ke jantung, rasa itu meledak. Saat jantung tidak sanggup menahannya sendirian, hati lah yang ikut menanggung ledakan rasa itu. Rasa yang sangat menyesakkan.

“Aia,” tidak! Ia tidak boleh mengatakannya! Kali ini ia harus menahannya. Harus! Maka satu helaan napas berikutnya Aia sudah meninggalkan Bunda.

Brak! Itu pasti Aia yang membanting pintu kamarnya.

Ya, itu Aia yang sekarang menelungkupkan wajah di meja dengan tangan terlipat. Menangisi serta menyesali malam ini. Hampir saja ia mengatakan sesuatu yang fatal. Beruntung Aia masih bisa menahannya meski ingin sekali melanjutkan, Aia benci Bunda!

Ia bahkan tidak akan memaafkan diri sendiri jika berani mengatakan itu. Lagi pula, bukan Bunda. Tapi sikap Bunda yang memercayai Nur, orang yang telah berani memainkan ayat-ayat Allah. Benci sikap Bunda yang malah membenci Zia yang sudah mengenalkan Aia pada Islam yang sesungguhnya.

Aia tidak sanggup lagi menyimpan masalah ini sendirian. Diraihnya handphone yang tergeletak di atas tumpukkan buku. Mengetik sebuah pesan. Aslkmwrwb. Kak Zia, kita bisa ketemu besok?

Sementara di kamar, Bunda masih diam di tempat lalu perlahan mundur beberapa langkah hingga tubuhnya bersandar di meja. Kakinya sudah tidak sanggup lagi menahan beban tubuh. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Bunda menyeka dahi. Ia? putrinya? Lelucon apa ini?! Hatinya berkecamuk. Bunda tidak percaya Aia berani selancang itu padanya. Pintar sekali membolak-balikkan kata. Bunda benar-benar menyesal mengizinkan Aia menjadi anak rohis. Andai ia bertemu dengan Nur lebih awal. Mungkin ia bisa mencegah ini semua terjadi.

Dan … apa yang ia lakukan tadi? Ini yang membuat Bunda benar-benar merasa buruk. Apa seperti ini cara seorang ibu menasihati anaknya?!

Ah, kenapa manusia sering kali begitu? Tetap melakukan sesuatu meski tahu sesuatu itu adalah sebuah kesalahan. Meski tahu sesuatu itu tidak diridhoi-Nya. Meski tahu sesuatu itu melanggar syariat-Nya. Bahkan saat kita tahu sesuatu itu hanya mendatangkan mudarat, sering kali kita memilih untuk tetap melakukannya, kan? Lihat. Hidup dengan cara manusia sendiri, mengikuti hawa nafsu belaka, sungguh menyesatkan bukan? Hingga kelak di kemudian hari kita hanya bisa menyesalinya. Na’udzubillah ….


***
Sebelumnya :

0 komentar:

Posting Komentar