Bel pulang sekolah baru saja
berbunyi. Tidak butuh waktu lama untuk murid-murid mengosongkan kelas. Hanya
tiga empat orang yang masih tertinggal. Aia dan Raras di antaranya.
“Ai, kita pulang bareng, ya,” ucap Raras
sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas. Bersiap untuk pulang. “Tapi tunggu
Azki dulu, dia
lagi di kamar mandi.”
“Hm
… maaf ya, Ras. Buru-buru, nih. Harus pulang
sekarang. Duluan, ya,” sahut Aia seraya
mencangklong
tas di bahu. “Assalamu’alaikum ...,” ucapnya lagi seraya bergegas tanpa
memedulikan lagi Raras yang masih ingin bertanya.
“Wa’alaikumussalam ...,” jawab Raras yang cuma bisa bengong, “Aia
kenapa, sih? Dari kemarin bilangnya lagi
buru-buru, lagi buru-buru.”
Tapi, bisa apa? Aia sudah berlalu.
Bahkan sekarang tengah berebut masuk bus. Tadi malam, setelah percakapannya dengan
Bunda terhenti karena selaan Adam. Zia menghubunginya lagi. Zia bilang akan ke
rumah sore ini. Itulah
kenapa Aia bergegas pulang
agar bisa tiba di rumah sebelum Zia datang.
***
Ba’da
Asar. Tepat tiga puluh menit setelah Aia tiba di rumah, terdengar suara salam
dari depan. Aia bergegas membukakan pintu.
Orang yang ditunggu akhirnya datang.
“Kak Zia duduk dulu aja, ya. Aia ambil
minum sebentar,” ucap Aia
sumringah.
Sebagai
tamu, Zia hanya mengangguk menuruti
perintah sang tuan rumah.
Sementara Aia sibuk di dapur, membantu Bi Tiah menyiapkan minum,
Zia duduk di ruang tamu. Menunggu Aia sambil membuka smartphone.
Selang beberapa detik, suara
motor yang sebelumnya sudah nyaring terdengar berhenti di depan rumah. Zia menoleh ke
arah pintu, sepertinya ada orang yang datang.
Benar saja. Tidak lama kemudian, tanpa
salam atau apapun seseorang membuka pintu dari depan. Zia yang masih menoleh,
terperanjat begitu melihat sosok laki-laki bergaya kasual muncul dari balik
pintu. Tiga-empat detik mata mereka
sempat bertemu. Hingga Zia
cepat-cepat menunduk begitu menyadari siapa sosok di hadapnya.
Dahinya mengernyit lalu menundukkan wajahnya lebih dalam. Pura-pura sibuk
dengan smartphone.
Yang baru muncul juga terperanjat. Sebab tiba-tiba melihat “makhluk asing” di dalam rumah. Tapi, bukan Adam
namanya kalau tidak bisa berlagak santai. Melihat
Zia tiba-tiba menunduk. Adam malah penasaran. Sambil melintas ruang tamu,
matanya menyelidik. Ia tahu kalau perempuan berjilbab itu biasa menundukkan
pandangan. Tapi, yang Adam tangkap barusan seolah-olah perempuan berjilbab itu
baru saja melihat hantu ketimbang menundukkan pandangan.
Dari arah dapur Aia
muncul dengan nampan berisi dua gelas minuman dan cemilan di tangan. Langkahnya terhenti beberapa detik yang lalu. Aia mendengus. Matanya melotot sebal melihat Adam
terus menyelidik Zia. Terlihat sekali kalau Zia yang semakin menunduk tidak
nyaman dengan itu. Aia makin mencak-mencak karena Adam tidak juga menyadari
kehadirannya. Padahal, ia sudah tiga langkah di depan Adam.
“Abang!” seru Aia.
Adam dan Zia sontak menoleh ke arah suara.
Aia buru-buru meletakkan nampan ke atas
meja kemudian mendorong Adam. Menyuruhnya masuk. “Matanya! Sana, sana ...,” usir Aia. Dengan sedikit menggerutu Adam
menuruti adiknya.
Aia berbalik. “Maaf ya, Kak …,”
sesalnya. Mungkin seharusya ia tidak meninggalkan Zia sendiri tadi. “Bang Adam
emang nggak sopan!”
“Abang?!” tanya Zia.
Aia sempat kaget melihat
respon Zia. Meski sedikit malu mengakui kalau laki-laki tidak sopan tadi
kakaknya, Aia tetap mengangguk seraya menggaruk kepala. Ya … mau bagaimana
lagi? Kadang, kenyataan itu memang pahit.
Zia meringis. Kenapa harus di sini?
Batinnya.
“Sebenarnya kalian satu
kampus lho, Kak,” ucap Aia, “tapi beda fakultas.”
Zia hanya ber-O ria
menanggapinya. Tadi, Zia hanya terkejut tiba-tiba bertemu Adam. Sama sekali
tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Lagi pula, bukan itu tujuannya
datang ke sini.
“Kita ke kamar Aia aja, Kak,” ajak Aia, “supaya nggak ada yang ganggu!”
***
Zia
mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar Aia. Foto keluarga di atas meja
belajar menarik perhatiannya. Tersenyum memandangi foto lama itu kemudian
berbalik menghadap Aia, “Oh ya, kemarin maaf, ya ….”
Aia
duduk di tepi tempat tidur seraya mengangguk. “Nggak apa-apa. Aia seneng kok
ketemu Ummi.”
Zia
beranjak dan ikut duduk di sebelahnya, “Gimana di sekolah? Nggak ada masalah
lagi, kan?”
Pertanyaan
Zia sama persis dengan pertanyaan Bunda. Bedanya, saat Bunda yang bertanya Aia terpaksa
berbohong. Tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena khawatir Bunda akan
sangat marah. Tapi, ia tidak perlu khawatir pada Zia. Aia bisa mengatakan semua
padanya. Menceritakan bagaimana mereka harus menerima hukuman karena
mempertahankan jilbab di sekolah.
“Astaghfirullah
… kenapa sekolah jadi kayak gini sekarang?” gumam Zia.
Aia
Mengembungkan pipi seraya menghela napas, “Menurut Kak Zia, gimana kalau ada
yang bilang kalau sebenarnya muslimah nggak perlu pakai jilbab? Karena …
katanya … jilbab itu budaya arab,” tanya Aia hati-hati.
Zia
mendengus sebal, “Sekolah sampai bilang seperti itu?!”
“B,
bu, bukan …,” sebenarnya Aia ingin mengatakan, Bunda, tapi semua
tertahan di bibir. Aia takut Zia berpikir yang tidak seharusnya mengenai Bunda.
Bagaimanapun, ia tidak ingin ada yang berpikir negatif tentang Bunda.
Zia
menghela napas lega karena bukan sekolah yang mengatakannya.
“Sebelum
Islam datang, perempuan arab itu nggak berjilbab, Ai. Kebiasaan mereka justru
nggak menutup aurat, suka menampakkan dada, gelang kakinya. Setelah Islam hadir
di tengah-tengah mereka dan turun surah an-Nur ayat 31, al-Ahzab ayat 59,
barulah para muslimah waktu itu menutup aurat dengan kerudung dan jilbab. Jadi,
jilbab itu pakaian muslimah. Dan nggak tepat kalau jilbab dibilang budaya
arab,” terang Zia.
Nalar
Aia selalu bisa menerima penjelasan Zia dengan baik. Tidak seperti tiap kali
mendengar penjelasan Bunda yang justru mengundang banyak pertanyaan. Aia
tersenyum tipis, “Bisa-bisanya ada orang yang bilang jilbab itu budaya arab.
Padahal, semuanya sudah sangat jelas ya, Kak?” ujarnya lalu menghela napas
gelisah. Sesaat terlintas wajah Bunda di benaknya.
“Masih
ingat haditsnya?” Tanya Zia.
“Islam
datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing. Dan beruntunglah orang-orang
yang terasing …,” ucap Zia diikuti Aia. Diakhiri tawa kecil keduanya.
“Orang-orang
yang benci Islam akan selalu ada, Ai. Pendapat yang seperti itu kan sengaja
disebar orang-orang liberal yang cinta kebebasan. Aktivis kesetaraan gender
yang sering kamu tanyain. Mereka pengin hukum Islam disesuaikan seperti yang
mereka mau. Padahal, hukum Islam kan nggak berubah karena tempat dan waktu,”
Zia menanggapi.
“Gimana
kalau ada yang bilang kalau sekarang berjilbab itu pilihan? Karena di ayat tentang jilbab itu kan disebutkan ‘yang demikian itu supaya mereka lebih mudah
untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu’. Katanya, zaman sekarang ada banyak cara untuk membuat muslimah ‘tidak
diganggu’, tetap dihormati selain dengan jilbab.
Juga katanya, jilbab itu sama sekali nggak menyimbolkan keshalihahan seseorang.
Buktinya, banyak kok yang berkerudung tapi mencuri.
Lebih banyak lagi yang nggak berkerudung, tapi ternyata dia orang baik,” Aia
mengulang kalimat Bunda. Ingin tahu, bagaimana Zia menanggapinya?
“Pada
dasarnya, kita berjilbab karena ini kewajiban dari Allah untuk muslimah. Tidak
ganggu atau kita dihormati setelah berjilbab, itu hanya maslahat yang otomatis
akan kita dapat. Bonus. Ya … karena memang hukum syara’ itu selalu membawa
maslahat. Tapi, tetap saja ketika kita melaksanakan hukum syara’ harus karena
Allah bukan karena masalahatnya. Jadi, gimana pun kondisinya. Secanggih apa pun
sistem keamanannya. Jilbab itu tetap wajib buat kita, Ai,” jelas Zia.
Oh.
Ya. Harusnya itu yang kukatakan pada Bunda kemarin, gumam hati Aia.
“Memang
sih … berjilbab nggak bisa jadi parameter untuk menilai keshalihahan seorang
muslimah. Tapi, dengan berjilbab setidaknya itu sudah menunjukkan kalau kita
ingin taat pada Allah. Jadi, berjilbab itu nggak mesti menunggu kita baik.
Justru karena kita ingin berproses menjadi baik,” lanjut Zia.
Lengang
sejenak. Aia mendongakkan wajah ke langit-langit kamar. Berusaha menyembunyikan
wajah cemasnya. Membatin, kok bisa ya, Bunda bilang gitu? Apa seperti itu
Bunda belajar di pesantren dulu? Eh, tapi waktu pertama kali mau masuk rohis,
Bunda bilang kok menutup aurat itu kewajiban muslimah. Aargh, ini pasti pendapatnya
Tante Nur!!
Ya,
Zia memang tidak bisa melihat wajah cemas itu. Tapi, ia bisa merasakan ada
sesuatu yang masih Aia sembunyikan darinya. Entah karena memang tidak ingin Aia
bagi atau ia masih harus menggalinya.
“Oh
ya,” seru Zia yang sedetik lalu memutuskan mencoba menggalinya, “kemarin mau
ketemu, ada apa? Ada yang mau ditanyakan? Atau mau cerita?” selidiknya.
Aia
menoleh, “Oh, itu. Ada yang mau Aia tanyakan. Dan … udah dijawab semua sama
Ummi,” jawabnya lalu tertawa kecil. Terbayang Ummi. Mungkin Ummi kapok bertemu
lagi dengannya. Baru bertemu saja sudah diberondong banyak pertanyaan.
Zia
menepuk tangan Aia, “Serius?! Ummi bilang kalian ngobrol soal kesetaraan
gender.”
Aia
mengangguk.
Aia
datang hanya untuk menanyakan kesetaraan gender? Zia terperangah sekaligus penasaran. Zia menatap Aia
penuh, “Kamu segitu tertariknya sama isu kesetaraan gender?”
Aia
yang masih tertawa kecil mengingat Ummi, mendadak diam. “Oh, mm … itu, Aia
masih nggak habis pikir aja, ada muslimah yang merasa perempuan akan mulia
dengan kesetaraan gender. Padahal, Aia saja yang masih SMA, setelah kemarin
ngobrol banyak sama Ummi, nggak bisa lihat di mana sisi mulianya perempuan
kalau kesetaraan gender itu diterapkan,” ungkap Aia. Kenapa Bunda bahkan
sekelas Tante Nur malah menerima ide itu? lanjutnya dalam hati.
“Iya,
kamu benar, Ai. Perempuan nggak akan pernah mulia dengan kesetaraan gender.
Kamu inget nggak tentang revolusi industri di
Eropa? Yang akhirnya membuka
kesempatan buat perempuan bisa bekerja dan mendapat pendidikan. Itu semua bukan karena
masyarakat Eropa waktu
itu mau memuliakan perempuan. Tapi, industrialisasi saat itu butuh banyak tenaga kerja.
Siapa lagi yang tenaganya bisa dibayar murah kalau bukan perempuan?”
“Jadi, perempuan cuma dimanfaatkan buat kepentingan industri aja?” simpul Aia.
“Ya, dari kajian-kajian, buku dan beberapa artikel yang
Kakak baca begitu,” sahut Zia. “Pada akhirnya perempuan
cuma dianggap sebagai komoditas ekonomi. Kalaupun ada dalih mereka yang
terdengar manis seperti yang dikatakan Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri
Amerika, ‘perempuan adalah kunci pertumbuhan ekonomi diseluruh dunia’. Dia
bilang abad ini adalah full
participation age for women, abadnya perempuan
berpartisipasi penuh. Itu juga cuma
untuk mendorong perempuan makin semangat terjun ke dunia kerja.
Malah, beberapa LSM yang didukung foundation asing, mereka sengaja menyiapkan modal khusus buat perempuan
supaya mereka punya usaha mikro. Supaya mereka jadi
perempuan yang mandiri secara finansial. Katanya sih supaya perempuan bisa mandiri. Jadi,
nggak lagi dipandang rendah oleh laki-laki,” tambah Zia.
Suasana kembali lengang
beberapa detik. Ingatan Aia melambung ke saat Bunda mengajaknya ke kantor Nur.
Bunda bilang Nur juga aktif melakukan pemberdayaan perempuan.
“Perempuan mandiri?” desis
Zia lalu tersenyum kecut, “Tapi, kebanyakan mereka jadi lalai
dengan kewajibannya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak karena sibuk
dengan pekerjaan.”
Aia menelan ludah, seperti Bunda?
“Sebenarnya ini bisa dibilang memang skenarionya orang yang nggak suka dengan Islam
untuk menghancurkan generasi
muslim. Karena mereka takut umat Islam akan bangkit. Makanya, mereka sengaja menyuarakan kesetaraan gender
pada muslimah, termasuk di negeri kita ini. Supaya para ibu sibuk kerja. Kalau
sudah sibuk kerja, waktu mereka bersama anak-anak akan berkurang. Akhirnya anak-anak mereka
cari-cari perhatian di luar rumah lewat pergaulan
yang nggak jelas. Ikut geng motor lah, tawuran, narkoba, pergaulan
bebas ….”
Aia terhenyak. Kembali menelan ludah, seperti Abang?
“Menghancurkan Islam dengan
menghancurkan generasinya,” Aia mencoba menarik benang merah. Menghela napas
berat lantaran baru saja menyadari sesuatu, “Jadi … kesetaraan gender punya
dampak sejauh itu?”
Zia mengangkat alis,
membenarkan. “Kabar buruknya, itu semua sudah mulai terjadi sekarang.”
Aia mengembungkan pipi. Ya,
itu sudah terjadi. Sangat terasa.
“Ditambah semakin sempitnya
lapangan kerja untuk para Ayah. Sementara kebutuhan hidup terus naik.
Seolah-olah jadi lampu hijau buat perempuan ikut bekerja. Membantu ekonomi
keluarga,” tambah Zia.
Aia mendengus. Ia masih
ingat saat kecil menyaksikan pertengkaran Ayah dan Bunda. Sekarang ia baru bisa
mengerti kalau dulu Bunda juga terpaksa bekerja karena Ayah kehilangan
pekerjaan.
Dan jika dilihat dari sudut
pandang yang lebih luas, yang terjadi pada keluarganya –meski memang ada
masalah internal antara Ayah dan Bunda- ternyata bukan sekedar persoalan
keluarga saja. Bukan sekedar masalah ekonomi keluarga. Tapi, juga berkaitan
dengan sistem kehidupan saat ini. Berkaitan dengan pemahaman-pemahaman yang
bertentangan dengan Islam, seperti kesetaraan gender, yang bertebaran saat ini.
Berkaitan dengan rencana busuk dari
mereka yang tidak senang pada Islam. Rencana busuk lewat ide-ide picisan yang
mereka kemas sedemikian rupa.
Bunda …, hati Aia memanggil lirih. Yang paling pahit dari
semuanya adalah saat ia tahu Feminisme punya dampak semengerikan itu, kenapa
justru Bunda ada di seberang sana? Berdiri bersama orang-orang yang
menyuarakannya. Bersama Nur.
***
Next :
Prev :
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Mei 12, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar