Jumat, 12 Mei 2017

Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Tidak butuh waktu lama untuk murid-murid mengosongkan kelas. Hanya tiga empat orang yang masih tertinggal. Aia dan Raras di antaranya.

“Ai, kita pulang bareng, ya,” ucap Raras sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas. Bersiap untuk pulang. “Tapi tunggu Azki dulu, dia lagi di kamar mandi.”

Hm … maaf ya, Ras. Buru-buru, nih. Harus pulang sekarang. Duluan, ya,” sahut Aia seraya mencangklong tas di bahu. “Assalamu’alaikum ...,” ucapnya lagi seraya bergegas tanpa memedulikan lagi Raras yang masih ingin bertanya.

“Wa’alaikumussalam ...,” jawab Raras yang cuma bisa bengong, “Aia kenapa, sih? Dari kemarin bilangnya lagi buru-buru, lagi buru-buru.”

Tapi, bisa apa? Aia sudah berlalu. Bahkan sekarang tengah berebut masuk bus. Tadi malam, setelah percakapannya dengan Bunda terhenti karena selaan Adam. Zia menghubunginya lagi. Zia bilang akan ke rumah sore ini. Itulah kenapa Aia bergegas pulang agar bisa tiba di rumah sebelum Zia datang.

***

Bada Asar. Tepat tiga puluh menit setelah Aia tiba di rumah, terdengar suara salam dari depan. Aia bergegas membukakan pintu. Orang yang ditunggu akhirnya datang.

“Kak Zia duduk dulu aja, ya. Aia ambil minum sebentar,” ucap Aia sumringah.

Sebagai tamu, Zia hanya mengangguk menuruti perintah sang tuan rumah.

Sementara Aia sibuk di dapur, membantu Bi Tiah menyiapkan minum, Zia duduk di ruang tamu. Menunggu Aia sambil membuka smartphone.

Selang beberapa detik, suara motor yang sebelumnya sudah nyaring terdengar berhenti di depan rumah. Zia menoleh ke arah pintu, sepertinya ada orang yang datang.

Benar saja. Tidak lama kemudian, tanpa salam atau apapun seseorang membuka pintu dari depan. Zia yang masih menoleh, terperanjat begitu melihat sosok laki-laki bergaya kasual muncul dari balik pintu. Tiga-empat detik mata mereka sempat bertemu. Hingga Zia cepat-cepat menunduk begitu menyadari siapa sosok di hadapnya. Dahinya mengernyit lalu menundukkan wajahnya lebih dalam. Pura-pura sibuk dengan smartphone.

Yang baru muncul juga terperanjat. Sebab tiba-tiba melihat makhluk asing di dalam rumah. Tapi, bukan Adam namanya kalau tidak bisa berlagak santai. Melihat Zia tiba-tiba menunduk. Adam malah penasaran. Sambil melintas ruang tamu, matanya menyelidik. Ia tahu kalau perempuan berjilbab itu biasa menundukkan pandangan. Tapi, yang Adam tangkap barusan seolah-olah perempuan berjilbab itu baru saja melihat hantu ketimbang menundukkan pandangan.

Dari arah dapur Aia muncul dengan nampan berisi dua gelas minuman dan cemilan di tangan. Langkahnya terhenti beberapa detik yang lalu. Aia mendengus. Matanya melotot sebal melihat Adam terus menyelidik Zia. Terlihat sekali kalau Zia yang semakin menunduk tidak nyaman dengan itu. Aia makin mencak-mencak karena Adam tidak juga menyadari kehadirannya. Padahal, ia sudah tiga langkah di depan Adam.

“Abang!” seru Aia.

Adam dan Zia sontak menoleh ke arah suara.

Aia buru-buru meletakkan nampan ke atas meja kemudian mendorong Adam. Menyuruhnya masuk. “Matanya! Sana, sana ...,” usir Aia. Dengan sedikit menggerutu Adam menuruti adiknya.

Aia berbalik. “Maaf ya, Kak …,” sesalnya. Mungkin seharusya ia tidak meninggalkan Zia sendiri tadi. “Bang Adam emang nggak sopan!

“Abang?!” tanya Zia.

Aia sempat kaget melihat respon Zia. Meski sedikit malu mengakui kalau laki-laki tidak sopan tadi kakaknya, Aia tetap mengangguk seraya menggaruk kepala. Ya … mau bagaimana lagi? Kadang, kenyataan itu memang pahit.

Zia meringis. Kenapa harus di sini? Batinnya.

“Sebenarnya kalian satu kampus lho, Kak,” ucap Aia, “tapi beda fakultas.”

Zia hanya ber-O ria menanggapinya. Tadi, Zia hanya terkejut tiba-tiba bertemu Adam. Sama sekali tidak tertarik untuk membahasnya lebih lanjut. Lagi pula, bukan itu tujuannya datang ke sini.

 “Kita ke kamar Aia aja, Kak,” ajak Aia, “supaya nggak ada yang ganggu!”

***

Zia mengedarkan pandangan ke setiap sudut kamar Aia. Foto keluarga di atas meja belajar menarik perhatiannya. Tersenyum memandangi foto lama itu kemudian berbalik menghadap Aia, “Oh ya, kemarin maaf, ya ….”

Aia duduk di tepi tempat tidur seraya mengangguk. “Nggak apa-apa. Aia seneng kok ketemu Ummi.”
Zia beranjak dan ikut duduk di sebelahnya, “Gimana di sekolah? Nggak ada masalah lagi, kan?”

Pertanyaan Zia sama persis dengan pertanyaan Bunda. Bedanya, saat Bunda yang bertanya Aia terpaksa berbohong. Tidak bisa mengatakan yang sebenarnya karena khawatir Bunda akan sangat marah. Tapi, ia tidak perlu khawatir pada Zia. Aia bisa mengatakan semua padanya. Menceritakan bagaimana mereka harus menerima hukuman karena mempertahankan jilbab di sekolah.

“Astaghfirullah … kenapa sekolah jadi kayak gini sekarang?” gumam Zia.

Aia Mengembungkan pipi seraya menghela napas, “Menurut Kak Zia, gimana kalau ada yang bilang kalau sebenarnya muslimah nggak perlu pakai jilbab? Karena … katanya … jilbab itu budaya arab,” tanya Aia hati-hati.

Zia mendengus sebal, “Sekolah sampai bilang seperti itu?!”

“B, bu, bukan …,” sebenarnya Aia ingin mengatakan, Bunda, tapi semua tertahan di bibir. Aia takut Zia berpikir yang tidak seharusnya mengenai Bunda. Bagaimanapun, ia tidak ingin ada yang berpikir negatif tentang Bunda.

Zia menghela napas lega karena bukan sekolah yang mengatakannya.

“Sebelum Islam datang, perempuan arab itu nggak berjilbab, Ai. Kebiasaan mereka justru nggak menutup aurat, suka menampakkan dada, gelang kakinya. Setelah Islam hadir di tengah-tengah mereka dan turun surah an-Nur ayat 31, al-Ahzab ayat 59, barulah para muslimah waktu itu menutup aurat dengan kerudung dan jilbab. Jadi, jilbab itu pakaian muslimah. Dan nggak tepat kalau jilbab dibilang budaya arab,” terang Zia.

Nalar Aia selalu bisa menerima penjelasan Zia dengan baik. Tidak seperti tiap kali mendengar penjelasan Bunda yang justru mengundang banyak pertanyaan. Aia tersenyum tipis, “Bisa-bisanya ada orang yang bilang jilbab itu budaya arab. Padahal, semuanya sudah sangat jelas ya, Kak?” ujarnya lalu menghela napas gelisah. Sesaat terlintas wajah Bunda di benaknya.

“Masih ingat haditsnya?” Tanya Zia.

“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali asing. Dan beruntunglah orang-orang yang terasing …,” ucap Zia diikuti Aia. Diakhiri tawa kecil keduanya.

“Orang-orang yang benci Islam akan selalu ada, Ai. Pendapat yang seperti itu kan sengaja disebar orang-orang liberal yang cinta kebebasan. Aktivis kesetaraan gender yang sering kamu tanyain. Mereka pengin hukum Islam disesuaikan seperti yang mereka mau. Padahal, hukum Islam kan nggak berubah karena tempat dan waktu,” Zia menanggapi.

“Gimana kalau ada yang bilang kalau sekarang berjilbab itu pilihan? Karena di ayat tentang jilbab itu kan disebutkan ‘yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Katanya, zaman sekarang ada banyak cara untuk membuat muslimah tidak diganggu’, tetap dihormati selain dengan jilbab. Juga katanya, jilbab itu sama sekali nggak menyimbolkan keshalihahan seseorang. Buktinya, banyak kok yang berkerudung tapi mencuri. Lebih banyak lagi yang nggak berkerudung, tapi ternyata dia orang baik,” Aia mengulang kalimat Bunda. Ingin tahu, bagaimana Zia menanggapinya?

“Pada dasarnya, kita berjilbab karena ini kewajiban dari Allah untuk muslimah. Tidak ganggu atau kita dihormati setelah berjilbab, itu hanya maslahat yang otomatis akan kita dapat. Bonus. Ya … karena memang hukum syara’ itu selalu membawa maslahat. Tapi, tetap saja ketika kita melaksanakan hukum syara’ harus karena Allah bukan karena masalahatnya. Jadi, gimana pun kondisinya. Secanggih apa pun sistem keamanannya. Jilbab itu tetap wajib buat kita, Ai,” jelas Zia.

Oh. Ya. Harusnya itu yang kukatakan pada Bunda kemarin, gumam hati Aia.

“Memang sih … berjilbab nggak bisa jadi parameter untuk menilai keshalihahan seorang muslimah. Tapi, dengan berjilbab setidaknya itu sudah menunjukkan kalau kita ingin taat pada Allah. Jadi, berjilbab itu nggak mesti menunggu kita baik. Justru karena kita ingin berproses menjadi baik,” lanjut Zia.

Lengang sejenak. Aia mendongakkan wajah ke langit-langit kamar. Berusaha menyembunyikan wajah cemasnya. Membatin, kok bisa ya, Bunda bilang gitu? Apa seperti itu Bunda belajar di pesantren dulu? Eh, tapi waktu pertama kali mau masuk rohis, Bunda bilang kok menutup aurat itu kewajiban muslimah. Aargh, ini pasti pendapatnya Tante Nur!!

Ya, Zia memang tidak bisa melihat wajah cemas itu. Tapi, ia bisa merasakan ada sesuatu yang masih Aia sembunyikan darinya. Entah karena memang tidak ingin Aia bagi atau ia masih harus menggalinya.

“Oh ya,” seru Zia yang sedetik lalu memutuskan mencoba menggalinya, “kemarin mau ketemu, ada apa? Ada yang mau ditanyakan? Atau mau cerita?” selidiknya.

Aia menoleh, “Oh, itu. Ada yang mau Aia tanyakan. Dan … udah dijawab semua sama Ummi,” jawabnya lalu tertawa kecil. Terbayang Ummi. Mungkin Ummi kapok bertemu lagi dengannya. Baru bertemu saja sudah diberondong banyak pertanyaan.

Zia menepuk tangan Aia, “Serius?! Ummi bilang kalian ngobrol soal kesetaraan gender.”

Aia mengangguk.

Aia datang hanya untuk menanyakan kesetaraan gender? Zia terperangah sekaligus penasaran. Zia menatap Aia penuh, “Kamu segitu tertariknya sama isu kesetaraan gender?”

Aia yang masih tertawa kecil mengingat Ummi, mendadak diam. “Oh, mm … itu, Aia masih nggak habis pikir aja, ada muslimah yang merasa perempuan akan mulia dengan kesetaraan gender. Padahal, Aia saja yang masih SMA, setelah kemarin ngobrol banyak sama Ummi, nggak bisa lihat di mana sisi mulianya perempuan kalau kesetaraan gender itu diterapkan,” ungkap Aia. Kenapa Bunda bahkan sekelas Tante Nur malah menerima ide itu? lanjutnya dalam hati.

“Iya, kamu benar, Ai. Perempuan nggak akan pernah mulia dengan kesetaraan gender. Kamu inget nggak tentang revolusi industri di Eropa? Yang akhirnya membuka kesempatan buat perempuan bisa bekerja dan mendapat pendidikan. Itu semua bukan karena masyarakat Eropa waktu itu mau memuliakan perempuan. Tapi, industrialisasi saat itu butuh banyak tenaga kerja. Siapa lagi yang tenaganya bisa dibayar murah kalau bukan perempuan?”

“Jadi, perempuan cuma dimanfaatkan buat kepentingan industri aja?” simpul Aia.

Ya, dari kajian-kajian, buku dan beberapa artikel yang Kakak baca begitu,” sahut Zia. “Pada akhirnya perempuan cuma dianggap sebagai komoditas ekonomi. Kalaupun ada dalih mereka yang terdengar manis seperti yang dikatakan Hillary Clinton, Menteri Luar Negeri Amerika, ‘perempuan adalah kunci pertumbuhan ekonomi diseluruh dunia’. Dia bilang abad ini adalah full participation age for women, abadnya perempuan berpartisipasi penuh. Itu juga cuma untuk mendorong perempuan makin semangat terjun ke dunia kerja.

Malah, beberapa LSM yang didukung foundation asing, mereka sengaja menyiapkan modal khusus buat perempuan supaya mereka punya usaha mikro. Supaya mereka jadi perempuan yang mandiri secara finansial. Katanya sih supaya perempuan bisa mandiri. Jadi, nggak lagi dipandang rendah oleh laki-laki, tambah Zia.

Suasana kembali lengang beberapa detik. Ingatan Aia melambung ke saat Bunda mengajaknya ke kantor Nur. Bunda bilang Nur juga aktif melakukan pemberdayaan perempuan.

“Perempuan mandiri?” desis Zia lalu tersenyum kecut, “Tapi, kebanyakan mereka jadi lalai dengan kewajibannya mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anak karena sibuk dengan pekerjaan.

Aia menelan ludah, seperti Bunda?

“Sebenarnya ini bisa dibilang memang skenarionya orang yang nggak suka dengan Islam untuk menghancurkan generasi muslim. Karena mereka takut umat Islam akan bangkit. Makanya, mereka sengaja menyuarakan kesetaraan gender pada muslimah, termasuk di negeri kita ini. Supaya para ibu sibuk kerja. Kalau sudah sibuk kerja, waktu mereka bersama anak-anak akan berkurang. Akhirnya anak-anak mereka cari-cari perhatian di luar rumah lewat pergaulan yang nggak jelas. Ikut geng motor lah, tawuran, narkoba, pergaulan bebas ….”

Aia terhenyak. Kembali menelan ludah, seperti Abang?

“Menghancurkan Islam dengan menghancurkan generasinya,” Aia mencoba menarik benang merah. Menghela napas berat lantaran baru saja menyadari sesuatu, “Jadi … kesetaraan gender punya dampak sejauh itu?”

Zia mengangkat alis, membenarkan. “Kabar buruknya, itu semua sudah mulai terjadi sekarang.”

Aia mengembungkan pipi. Ya, itu sudah terjadi. Sangat terasa.

“Ditambah semakin sempitnya lapangan kerja untuk para Ayah. Sementara kebutuhan hidup terus naik. Seolah-olah jadi lampu hijau buat perempuan ikut bekerja. Membantu ekonomi keluarga,” tambah Zia.

Aia mendengus. Ia masih ingat saat kecil menyaksikan pertengkaran Ayah dan Bunda. Sekarang ia baru bisa mengerti kalau dulu Bunda juga terpaksa bekerja karena Ayah kehilangan pekerjaan.

Dan jika dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, yang terjadi pada keluarganya –meski memang ada masalah internal antara Ayah dan Bunda- ternyata bukan sekedar persoalan keluarga saja. Bukan sekedar masalah ekonomi keluarga. Tapi, juga berkaitan dengan sistem kehidupan saat ini. Berkaitan dengan pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan Islam, seperti kesetaraan gender, yang bertebaran saat ini. Berkaitan dengan  rencana busuk dari mereka yang tidak senang pada Islam. Rencana busuk lewat ide-ide picisan yang mereka kemas sedemikian rupa.

Bunda …, hati Aia memanggil lirih. Yang paling pahit dari semuanya adalah saat ia tahu Feminisme punya dampak semengerikan itu, kenapa justru Bunda ada di seberang sana? Berdiri bersama orang-orang yang menyuarakannya. Bersama Nur.

***

Next :

Prev :

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar