Sabtu, 27 Mei 2017

Aia mengayunkan kaki pelan menuju rumah. Wajahnya lesu. Ia bahkan sengaja memperlambat langkah. Supaya bisa menyiapkan mental sebelum tiba di rumah. Aia harus siap dengan Bunda yang akan marah atau bahkan langsung mendiamkannya usai bertemu Kepala Sekolah tadi. Meski sebenarnya tetap berharap Bunda tidak akan melakukan itu.

Tin, tin. Dari belakang terdengar suara klakson motor. Aia berhenti. Ia hafal betul suara motor siapa itu.

Ciee, yang habis dapat SP 2, loyo amat!” siapa lagi yang bisa mengolok Aia seperti itu kalau bukan Adam.

Sedikitpun Aia tidak berminat membalas olokkan Adam. Hanya memukul pelan bahu Adam kemudian langsung duduk membonceng di belakangnya. Kebetulan ia tidak punya banyak energi lagi untuk sampai di rumah. Bahkan tidak ada energi untuk sekadar mengekspresikan ketidaksukaannya pada olokan Adam.

Adam tidak berkomentar lagi. Iba melihat wajah lesu adiknya. Sekarang ia benar-benar percaya kalau perempuan memang mudah terbawa perasaan. Lihat, baru dapat surat panggilan kedua saja, adiknya sudah kehilangan semangat. Ia tidak pernah sebegitu stresnya karena surat panggilan dari sekolah. Kecuali setelah tertangkap polisi saat tawuran dan melihat wajah sendu Bunda waktu itu, barulah Adam sadar kalau kenakalannya selama ini sudah melukai Bunda. Terlalu banyak malah.

***.

Hanya butuh waktu lima menit untuk Aia dan Adam tiba di rumah. Seperti biasa, di depan, Mang Jo tengah bertugas bersama gerobak oranye-nya. Ups, ternyata hari ini tidak seperti biasa. Sebab Mang Jo bertingkah aneh dengan mengamati sampah-sampah di bak sampah depan rumah. Diambilnya salah satu sampah itu. Dari kejauhan nampak seperti sehelai kain hitam dengan motif polkadot. Diamatinya lagi kain itu. Layaknya peneliti yang tengah melakukan penelitian terhadap spesies baru. Jenis sampah baru mungkin.

Aia penasaran dan ikut mengamati dari jauh. Lalu berkali-kali mengerjapkan mata. Hampir tidak percaya dengan yang baru saja dilihatnya. Segera dihampirinya Mang Jo. Adam mengikuti dari belakang.

“Neng, ini teh benar mau dibuang?”Mang Jo memastikan begitu melihat Aia.

Adam terbelalak melihat sampah di tangan Mang Jo. Pantas saja Mang Jo begitu keheranan dengan sampahnya.

Sementara Aia masih terperangah. Napasnya naik turun. Dengan tangan gemetar ia ambil sampah yang ada di tangan Mang Jo. Bukan! Ini bukan sampah! Ini jilbabnya! “Mang Jo dapat ini dari mana?” tanya Aia gemetar.

“Itu masih banyak,” Mang Jo menunjuk bak sampah.

Sontak Aia dan Adam langsung melongok ke bak sampah. Jilbab yang lainnya menumpuk di sana. Satu di antaranya seragam sekolah. Dan itu semua milik Aia!

“Kok bisa ada di sini, De?” tanya Adam penuh keheranan.

“Ya Allah,” Aia menoleh ke rumah, camry hitam itu terparkir. Bunda kah yang membuang semua jilbabnya? Seketika bulir-bulir bening dari sudut matanya meluncur membasahi pipi begitu saja. Seperti ada sesuatu yang menggores hati. Aia bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri lagi. Ya Allah, bolehkah ia tidak memercayai ini? Siapa saja, tolong katakan bahwa bukan Bunda yang melakukannya?!

“Eh … kunaon Neng?” Mang Jo kaget sekaligus bingung.

Adam ikut menoleh tidak percaya ke camry hitam. Benarkah Bunda? Ada apa sebenarnya dengan Bunda? Perlahan menoleh Aia yang masih menangisi jilbabnya.

“Anu, Neng, punten, jadi … ini mau buang dibuang atau tidak?” Mang Jo bertanya dengan sangat hati-hati. Kalau tidak, ia akan melanjutkan pekerjaannya.

Aia menghapus air matanya, “Nggak, Mang! Ini punya Aia,” sahutnya dalam isak.

Dibantu Adam, Aia ambil kembali jilbab yang lainnya. Sementara Mang Jo hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak mengerti situasinya. Saat masih membersihkan bak sampah rumah sebelah, Mang Jo lihat sendiri kalau tadi Bunda sengaja membuangnya. Sekarang sambil menangis, anaknya malah mengambil semua kembali. Tentu saja mengundang tanya, ada apa?

***

Langkah Aia terhenti di depan pintu. Isaknya masih terdengar. Matanya sembab. Tangannya penuh membawa kembali tujuh jilbab dari bak sampah depan. Ia mendadak ragu untuk masuk. Sejak kapan memasuki rumah jadi semenakutkan ini?

Adam merangkul bahu adiknya, meyakinkan Aia untuk tetap masuk. Tidak perlu takut. Kalau pun terjadi sesuatu, Adam ada di sebelahnya. Beberapa detik menunggu, Aia tetap mematung. Adam mulai tidak sabar lalu menyeret Aia, memaksanya untuk tetap masuk.

“Siapa yang suruh bawa masuk sampah itu lagi?” tegur Bunda yang muncul dari kamar.

Kali ini bukan hanya Aia, langkah Adam pun terhenti di ambang pintu ruang tengah. Adam menoleh. Menatap tajam Bunda. “Kenapa Bun? Memang ada yang salah dengan baju-baju Dede?”

“Kalau nggak ada yang salah, nggak mungkin Bunda dipanggil ke sekolah,” Bunda menatap Aia.

Aia menunduk. Sorot mata Bunda terlalu tajam untuk ia tatap. Aia mengeratkan kepalan tangan. Membuat jilbab-jilbab yang dibawanya kian mengerut. Sudut matanya kembali basah. Ia ingin sekali tidak memercayainya. Tidak percaya kalau Bunda tengah menatapnya penuh kesinisan. Karena goresan di hatinya kian bertambah jika harus memercayai itu. Pedih sekali.

“Sekolahnya saja berlebihan!” desis Adam kemudian kembali merangkul Aia. Mengantarkannya  masuk ke kamar.

“Sekolah nggak berlebihan, Bang,” sanggah Bunda. Dulu, Adam juga menuduh pihak sekolah yang terlalu rajin membuat surat panggilan tiap bulan untuk Bunda. Padahal, itu karena ulahnya. “Wajar kalau sekolah ambil tindakan ketika ada siswanya yang salah,” sambungnya.

Adam berlagak tidak peduli dengan apa yang Bunda katakan. Malah mengajak Aia melanjutkan langkah yang tadi tertahan.

“Kalian tidak hidup sendiri,” Bunda kembali bersuara. Dan lagi. Langkah keduanya tertahan. “Jangan menjalani hidup hanya sesuai keinginan kalian saja. Pikirkan juga orang-orang di sekitar kalian,” Bunda menasihati. Kalimat lainnya adalah, pikirkan Bunda yang juga lelah dengan permainan kalian yang sama? Surat panggilan. Tidak bisakah kalian sedikit saja menuruti kata-kata Bunda?

Adam mengerti maksud Bunda. Hanya saja merasa ada yang perlu ia luruskan, “Harusnya Bunda berikan nasihat ini lebih awal. Beri Abang dan Dede pemahaman hidup seperti yang Bunda pahami. Supaya Abang dan Dede, bisa menjalani hidup seperti yang Bunda mau,” singgung Adam.

Aia menyikut Adam, “Abang!” Sejujurnya Aia terkejut. Tidak mengira Adam bisa mengatakan hal semacam itu. Meski ada benarnya, tapi Aia tetap tidak suka. Kata-kata Adam sangat tidak sopan! Apa Abang tidak berpikir kalau kata-katanya itu mungkin saja menyinggung Bunda? Harusnya Abang tahu kalau ini bukan saatnya untuk memperkeruh suasana! Aia melirik Bunda yang menarik napas panjang. Terlihat sekali Bunda berusaha menahan emosi.

Adam malah memelototi Aia. Kenapa?! Menurut Adam itu semua benar. Kalau Bunda ingin anak-anaknya menjalani hidup seperti yang Bunda inginkan. Maka harusnya sejak awal Bunda beri ia dan Aia pemahaman itu. Tapi, bukankah selama ini Bunda lebih sibuk dengan pekerjaannya ketimbang mendidiknya dan Aia? Bagaimana bisa sekarang Bunda menuntut anak-anaknya untuk hidup seperti yang Bunda inginkan? Lucu!

Jadi, jangan salahkan kalau kemudian anak-anaknya mencari pemahaman hidup sendiri untuk kemudian menjalani hidup sesuai pemahamannya masing-masing. Entah benar atau salah. Kalian tahu pelajaran apa yang bisa kita petik? Tolong jangan menuntut hak kalau tidak pernah menjalankan kewajiban.

Adam menyeret langkah Aia yang masih sibuk melirik Bunda untuk masuk kamar. Ia tahu adiknya khawatir dan merasa bersalah pada Bunda. Ia pun sama. Penyesalan atas kata-katanya barusan, baru saja menembus hatinya dan menjelma rasa bersalah. Bisa-bisanya ia mengatakan itu pada Bunda?!

Bunda tidak berkomentar lagi. Membiarkan Adam membawa masuk Aia beserta jilbab yang sudah ia buang tadi. Aia benar. Bunda sedang berusaha menahan emosi. Ia marah atas kata-kata Adam. Marah karena tidak bisa mengelak kalau yang dikatakan putranya adalah benar. Situasi ini, jika memang harus mencari siapa yang patut dipersalahkan, tentulah dirinya. Bukankah begitu? Dirinya? Bunda mendesis. Bahkan setelah melakukan semua yang ia bisa untuk menghidupi keduanya, ia tetap jadi yang bersalah?!

Yang paling dibuat bingung dengan situasi ini adalah Bi Tiah yang sejak tadi hanya bisa menonton dari dapur tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti ketinggalan satu episode sinetron favoritnya. Sejak tadi bertanya-tanya, kenapa tadi Bunda membuang jilbab Aia yang masih bagus-bagus itu dan tampak marah saat Aia mengambilnya lagi? Kenapa majikan dan dua anaknya bersitegang sekarang? Ada apa sebenarnya?

***

Bukan hanya Aia. Saat ini Raras juga tengah menangisi seragam sekolahnya yang digunting jadi dua oleh Bapak. Ibu juga tidak melakukan apa-apa selain membiarkan Bapak melakukannya. Tidak ada yang ingin sekolah melayangkan surat panggilan ketiga, bukan?

Tidak jauh berbeda dengan Aia dan Raras. Azky juga tengah menangis setelah berusaha mencegah Mama menyita seluruh jilbab yang sebenarnya hanya ada sepuluh potong. Menurut Mama ia lakukan ini untuk kebaikan Azky.

Ya. Sore itu menjadi naas bagi ketiganya. Semua orang menyuruh mereka untuk melepas jilbab. Kepala sekolah. Guru. Teman-teman, termasuk Ayu, Fiya, Panji, Rizky. Orang tua. Dengan mudahnya mereka mengatakan, apa susahnya mengikuti aturan sekolah? Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, menutup aurat!

Esensi? Kalau begitu, kenapa tidak dibalik saja? Apa susahnya mereka membiarkan Aia, Raras dan Azky tetap berjilbab di sekolah? Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, berseragam! Nyatanya mereka juga tidak bisa terima, bukan?

Jika makhluk yang lemah saja tidak terima diperlakukan seperti itu. Bagaimana bisa dengan mudahnya mereka hanya mengambil esensi dalam urusan melaksanakan perintah-Nya? Apakah besok mereka juga akan mengatakan telah sholat hanya dengan mengingat Allah tanpa benar-benar melaksanakannya dengan dalih esensi sholat adalah mengingat Allah? Ayolah, tidak ada yang membuat perintah hanya untuk diambil esensinya. Melainkan agar perintah itu benar-benar dilaksanakan.

***

Siang hari di universitas Al-Kalam.

Adam terlihat lebih rapi kali ini. Jika biasanya kaos adalah komitmen stylenya. Kali ini Adam justru mengenakan kemeja berwarna hitam-strip putih di dada. naik ke lantai 3. Ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) jurusan Ilmu Komunikasi.

Sementara di salah satu ruangan FISIP, Zia baru saja selesai dengan bimbingan skripsi terakhirnya. Walaupun bukan akhir dari segalanya, tapi melegakan sekali bisa merampungkan pekerjaan berbulan-bulan ini. Semoga dalam waktu dekat ia bisa segera melakukan sidang. Zia pamit pada dosen pembimbing sebelum akhirnya keluar.

Sejak lima belas menit yang lalu Adam menyusuri koridor sambil celingukan. Melongok ke dalam kelas. Tidak ada. Ke kelas berikutnya, juga tidak ada. Adam tidak ingat betul wajahnya. Tapi, ia yakin masih bisa mengenali kalau melihatnya. Maka ia terus menyusuri koridor hingga tiba di satu ruangan, ekspresinya tiba-tiba berubah girang sambil menunjuk-tunjuk ke seseorang yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

Ketika Adam mendadak girang. Seseorang yang baru keluar ruangan justru mendadak terperanjat. Meski tidak begitu yakin bahwa Adam sedang menunjuknya, Zia memilih pura-pura tidak melihat Adam dan melewatinya begitu saja.

“Eh?” Adam kebingungan. Apa ia salah orang? Tidak. Adam yakin yang baru saja melewatinya adalah Zia, mentor Aia. Kenapa lagi-lagi ekspresinya seperti orang melihat hantu? Atau mungkin Zia tidak mengenalinya? Adam membuntuti Zia.

“Cepat juga jalannya,” gumam Adam yang kemudian berusaha menyamai langkah Zia. Dan mencegatnya begitu ada kesempatan.

Zia buru-buru mengerem langkahnya. Menghela napas, mau apa sebenarnya orang ini?

Adam cengengesan, “Zia, kan? Mentornya Aia?”

Zia mengangguk sekedarnya kemudian memaku pandangannya ke sepanjang koridor di belakang Adam. Semoga cuma itu yang ia ingat, harapnya dalam hati.

Adam menggaruk kepala. Rasanya ia pernah bertemu dengan Zia sebelumnya, tapi di mana?

Zia berdehem. Kalau ada yang mau dikatakan sebaiknya cepat!

Adam tersentak. Ah, peduli amat di mana! Bukan itu tujuannya menemui Zia. “Tolong kuatkan Aia, ya,” pinta Adam.

Zia mengerutkan dahi, kenapa tiba-tiba minta ia menguatkan Aia? “Maksudnya?”

“Soal surat panggilan dari sekolah gara-gara jilbab,” Adam buru-buru menjelaskan.

“Surat panggilan? Lagi?!” tanya Zia, apa ia melewatkan sesuatu?

“Iya. Memang nggak tahu?” Adam memastikan.

Zia terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu soal itu. Dan memang belum bertemu mereka satu minggu ini. Ah, kenapa mereka tidak mengabarinya? Apakah mereka baik-baik saja sekarang?

“Kalau cuma sekolah yang larang mungkin dia masih bisa hadapi. Masalahnya Bunda juga larang dia pakai jilbab. Hari ini dia juga nggak sekolah karena semua jilbabnya, termasuk seragam sempat dibuang Bunda kemarin,” terang Adam. Itulah yang membuatnya khawatir sampai merasa perlu menemui Zia sekarang. Adam menghela napas, “Belakangan Bunda memang agak aneh. Omongannya suka ngaco. Apalagi setelah dapat surat panggilan dari sekolah Aia gara-gara rohis ….”
Kenapa dia malah curhat sekarang? Zia membatin.

“Terima kasih infonya!” potong  Zia. “Nanti saya hubungi Aia. Assalamu’alaikum,” pungkasnya kemudian buru-buru meninggalkan Adam.

“Wa, wa’alaikumsalam,” jawab Adam pelan seraya menggaruk kepalan. Sementara Zia sudah menghilang dari pandangan. Dasar perempuan itu! Padahal, ia belum selesai bicara tapi dia malah sudah pergi begitu saja.


***
Berikutnya :
Sebelumnya :

0 komentar:

Posting Komentar