Aia mengayunkan kaki pelan menuju rumah. Wajahnya
lesu. Ia bahkan sengaja memperlambat langkah. Supaya bisa menyiapkan mental
sebelum tiba di rumah. Aia harus siap dengan Bunda yang akan marah atau bahkan
langsung mendiamkannya usai bertemu Kepala Sekolah tadi. Meski sebenarnya tetap
berharap Bunda tidak akan melakukan itu.
Tin, tin.
Dari belakang terdengar suara klakson motor. Aia berhenti. Ia hafal betul suara
motor siapa itu.
“Ciee, yang habis dapat SP 2, loyo amat!” siapa lagi yang
bisa mengolok Aia seperti itu kalau bukan Adam.
Sedikitpun Aia tidak berminat membalas olokkan Adam.
Hanya memukul pelan bahu Adam kemudian langsung duduk membonceng di
belakangnya. Kebetulan ia tidak punya banyak energi lagi untuk sampai di rumah.
Bahkan tidak ada energi untuk sekadar mengekspresikan ketidaksukaannya pada
olokan Adam.
Adam tidak berkomentar lagi. Iba melihat wajah lesu
adiknya. Sekarang ia benar-benar percaya kalau perempuan memang mudah terbawa
perasaan. Lihat, baru dapat surat panggilan kedua saja, adiknya sudah
kehilangan semangat. Ia tidak pernah sebegitu stresnya karena surat panggilan
dari sekolah. Kecuali setelah tertangkap polisi saat tawuran dan melihat wajah
sendu Bunda waktu itu, barulah Adam sadar kalau kenakalannya selama ini sudah
melukai Bunda. Terlalu banyak malah.
***.
Hanya butuh waktu lima menit untuk Aia dan Adam tiba
di rumah. Seperti biasa, di depan, Mang Jo tengah bertugas bersama gerobak
oranye-nya. Ups, ternyata hari ini tidak seperti biasa. Sebab Mang Jo
bertingkah aneh dengan mengamati sampah-sampah di bak sampah depan rumah.
Diambilnya salah satu sampah itu. Dari kejauhan nampak seperti sehelai kain
hitam dengan motif polkadot. Diamatinya lagi kain itu. Layaknya peneliti yang
tengah melakukan penelitian terhadap spesies baru. Jenis sampah baru mungkin.
Aia penasaran dan ikut mengamati dari jauh. Lalu
berkali-kali mengerjapkan mata. Hampir tidak percaya dengan yang baru saja
dilihatnya. Segera dihampirinya Mang Jo. Adam mengikuti dari belakang.
“Neng, ini teh benar mau dibuang?”Mang Jo memastikan
begitu melihat Aia.
Adam terbelalak melihat sampah di tangan Mang Jo. Pantas
saja Mang Jo begitu keheranan dengan sampahnya.
Sementara Aia masih terperangah. Napasnya naik turun.
Dengan tangan gemetar ia ambil sampah yang ada di tangan Mang Jo. Bukan! Ini
bukan sampah! Ini jilbabnya! “Mang Jo dapat ini dari mana?” tanya Aia gemetar.
“Itu masih banyak,” Mang Jo menunjuk bak sampah.
Sontak Aia dan Adam langsung melongok ke bak sampah.
Jilbab yang lainnya menumpuk di sana. Satu di antaranya seragam sekolah. Dan
itu semua milik Aia!
“Kok bisa ada di sini, De?” tanya Adam penuh
keheranan.
“Ya Allah,” Aia menoleh ke rumah, camry hitam itu
terparkir. Bunda kah yang membuang semua jilbabnya? Seketika bulir-bulir
bening dari sudut matanya meluncur membasahi pipi begitu saja. Seperti ada
sesuatu yang menggores hati. Aia bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri lagi.
Ya Allah, bolehkah ia tidak memercayai ini? Siapa saja, tolong katakan bahwa
bukan Bunda yang melakukannya?!
“Eh … kunaon Neng?” Mang Jo kaget sekaligus bingung.
Adam ikut menoleh tidak percaya ke camry hitam. Benarkah
Bunda? Ada apa sebenarnya dengan Bunda? Perlahan menoleh Aia yang masih
menangisi jilbabnya.
“Anu, Neng, punten, jadi … ini mau buang dibuang atau tidak?”
Mang Jo bertanya dengan sangat hati-hati. Kalau tidak, ia akan melanjutkan
pekerjaannya.
Aia menghapus air matanya, “Nggak, Mang! Ini punya
Aia,” sahutnya dalam isak.
Dibantu Adam, Aia ambil kembali jilbab yang lainnya.
Sementara Mang Jo hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak mengerti situasinya.
Saat masih membersihkan bak sampah rumah sebelah, Mang Jo lihat sendiri kalau
tadi Bunda sengaja membuangnya. Sekarang sambil menangis, anaknya malah mengambil
semua kembali. Tentu saja mengundang tanya, ada apa?
***
Langkah Aia terhenti di depan pintu. Isaknya masih
terdengar. Matanya sembab. Tangannya penuh membawa kembali tujuh jilbab dari
bak sampah depan. Ia mendadak ragu untuk masuk. Sejak kapan memasuki rumah
jadi semenakutkan ini?
Adam merangkul bahu adiknya, meyakinkan Aia untuk
tetap masuk. Tidak perlu takut. Kalau pun terjadi sesuatu, Adam ada di sebelahnya.
Beberapa detik menunggu, Aia tetap mematung. Adam mulai tidak sabar lalu
menyeret Aia, memaksanya untuk tetap masuk.
“Siapa yang suruh bawa masuk sampah itu lagi?” tegur
Bunda yang muncul dari kamar.
Kali ini bukan hanya Aia, langkah Adam pun terhenti di
ambang pintu ruang tengah. Adam menoleh. Menatap tajam Bunda. “Kenapa Bun? Memang
ada yang salah dengan baju-baju Dede?”
“Kalau nggak ada yang salah, nggak mungkin Bunda
dipanggil ke sekolah,” Bunda menatap Aia.
Aia menunduk. Sorot mata Bunda terlalu tajam untuk ia
tatap. Aia mengeratkan kepalan tangan. Membuat jilbab-jilbab yang dibawanya
kian mengerut. Sudut matanya kembali basah. Ia ingin sekali tidak
memercayainya. Tidak percaya kalau Bunda tengah menatapnya penuh kesinisan.
Karena goresan di hatinya kian bertambah jika harus memercayai itu. Pedih
sekali.
“Sekolahnya saja berlebihan!” desis Adam kemudian
kembali merangkul Aia. Mengantarkannya
masuk ke kamar.
“Sekolah nggak berlebihan, Bang,” sanggah Bunda. Dulu,
Adam juga menuduh pihak sekolah yang terlalu rajin membuat surat panggilan tiap
bulan untuk Bunda. Padahal, itu karena ulahnya. “Wajar kalau sekolah ambil
tindakan ketika ada siswanya yang salah,” sambungnya.
Adam berlagak tidak peduli dengan apa yang Bunda
katakan. Malah mengajak Aia melanjutkan langkah yang tadi tertahan.
“Kalian tidak hidup sendiri,” Bunda kembali bersuara. Dan
lagi. Langkah keduanya tertahan. “Jangan menjalani hidup hanya sesuai keinginan
kalian saja. Pikirkan juga orang-orang di sekitar kalian,” Bunda menasihati.
Kalimat lainnya adalah, pikirkan Bunda yang juga lelah dengan permainan
kalian yang sama? Surat panggilan. Tidak bisakah kalian sedikit saja menuruti
kata-kata Bunda?
Adam mengerti maksud Bunda. Hanya saja merasa ada yang
perlu ia luruskan, “Harusnya Bunda berikan nasihat ini lebih awal. Beri Abang
dan Dede pemahaman hidup seperti yang Bunda pahami. Supaya Abang dan Dede, bisa
menjalani hidup seperti yang Bunda mau,” singgung Adam.
Aia menyikut Adam, “Abang!” Sejujurnya Aia terkejut.
Tidak mengira Adam bisa mengatakan hal semacam itu. Meski ada benarnya, tapi Aia
tetap tidak suka. Kata-kata Adam sangat tidak sopan! Apa Abang tidak
berpikir kalau kata-katanya itu mungkin saja menyinggung Bunda? Harusnya Abang
tahu kalau ini bukan saatnya untuk memperkeruh suasana! Aia melirik Bunda
yang menarik napas panjang. Terlihat sekali Bunda berusaha menahan emosi.
Adam malah memelototi Aia. Kenapa?! Menurut
Adam itu semua benar. Kalau Bunda ingin anak-anaknya menjalani hidup seperti
yang Bunda inginkan. Maka harusnya sejak awal Bunda beri ia dan Aia pemahaman
itu. Tapi, bukankah selama ini Bunda lebih sibuk dengan pekerjaannya ketimbang
mendidiknya dan Aia? Bagaimana bisa sekarang Bunda menuntut anak-anaknya untuk
hidup seperti yang Bunda inginkan? Lucu!
Jadi, jangan salahkan kalau kemudian anak-anaknya mencari
pemahaman hidup sendiri untuk kemudian menjalani hidup sesuai pemahamannya
masing-masing. Entah benar atau salah. Kalian tahu pelajaran apa yang bisa kita
petik? Tolong jangan menuntut hak kalau tidak pernah menjalankan kewajiban.
Adam menyeret langkah Aia yang masih sibuk melirik
Bunda untuk masuk kamar. Ia tahu adiknya khawatir dan merasa bersalah pada
Bunda. Ia pun sama. Penyesalan atas kata-katanya barusan, baru saja menembus
hatinya dan menjelma rasa bersalah. Bisa-bisanya ia mengatakan itu pada
Bunda?!
Bunda tidak berkomentar lagi. Membiarkan Adam membawa
masuk Aia beserta jilbab yang sudah ia buang tadi. Aia benar. Bunda sedang
berusaha menahan emosi. Ia marah atas kata-kata Adam. Marah karena tidak bisa
mengelak kalau yang dikatakan putranya adalah benar. Situasi ini, jika memang
harus mencari siapa yang patut dipersalahkan, tentulah dirinya. Bukankah
begitu? Dirinya? Bunda mendesis. Bahkan setelah melakukan semua yang ia bisa
untuk menghidupi keduanya, ia tetap jadi yang bersalah?!
Yang paling dibuat bingung dengan situasi ini adalah
Bi Tiah yang sejak tadi hanya bisa menonton dari dapur tanpa tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Seperti ketinggalan satu episode sinetron favoritnya. Sejak
tadi bertanya-tanya, kenapa tadi Bunda membuang jilbab Aia yang masih
bagus-bagus itu dan tampak marah saat Aia mengambilnya lagi? Kenapa majikan dan
dua anaknya bersitegang sekarang? Ada apa sebenarnya?
***
Bukan hanya Aia. Saat ini Raras juga tengah menangisi
seragam sekolahnya yang digunting jadi dua oleh Bapak. Ibu juga tidak melakukan
apa-apa selain membiarkan Bapak melakukannya. Tidak ada yang ingin sekolah
melayangkan surat panggilan ketiga, bukan?
Tidak jauh berbeda dengan Aia dan Raras. Azky juga
tengah menangis setelah berusaha mencegah Mama menyita seluruh jilbab yang
sebenarnya hanya ada sepuluh potong. Menurut Mama ia lakukan ini untuk kebaikan
Azky.
Ya. Sore itu
menjadi naas bagi ketiganya. Semua orang menyuruh mereka untuk melepas jilbab.
Kepala sekolah. Guru. Teman-teman, termasuk Ayu, Fiya, Panji, Rizky. Orang tua.
Dengan mudahnya mereka mengatakan, apa susahnya mengikuti aturan sekolah?
Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, menutup aurat!
Esensi? Kalau begitu, kenapa tidak dibalik saja? Apa
susahnya mereka membiarkan Aia, Raras dan Azky tetap berjilbab di sekolah?
Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, berseragam! Nyatanya mereka juga
tidak bisa terima, bukan?
Jika makhluk yang lemah saja tidak terima diperlakukan
seperti itu. Bagaimana bisa dengan mudahnya mereka hanya mengambil esensi dalam
urusan melaksanakan perintah-Nya? Apakah besok mereka juga akan mengatakan
telah sholat hanya dengan mengingat Allah tanpa benar-benar melaksanakannya
dengan dalih esensi sholat adalah mengingat Allah? Ayolah, tidak ada yang membuat
perintah hanya untuk diambil esensinya. Melainkan agar perintah itu benar-benar
dilaksanakan.
***
Siang hari di universitas Al-Kalam.
Adam terlihat lebih rapi kali ini. Jika biasanya kaos
adalah komitmen stylenya. Kali ini Adam justru mengenakan kemeja
berwarna hitam-strip putih di dada. naik ke lantai 3. Ke Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik (FISIP) jurusan Ilmu Komunikasi.
Sementara di salah satu ruangan FISIP, Zia baru saja
selesai dengan bimbingan skripsi terakhirnya. Walaupun bukan akhir dari segalanya,
tapi melegakan sekali bisa merampungkan pekerjaan berbulan-bulan ini. Semoga
dalam waktu dekat ia bisa segera melakukan sidang. Zia pamit pada dosen
pembimbing sebelum akhirnya keluar.
Sejak lima belas menit yang lalu Adam menyusuri
koridor sambil celingukan. Melongok ke dalam kelas. Tidak ada. Ke kelas
berikutnya, juga tidak ada. Adam tidak ingat betul wajahnya. Tapi, ia yakin
masih bisa mengenali kalau melihatnya. Maka ia terus menyusuri koridor hingga
tiba di satu ruangan, ekspresinya tiba-tiba berubah girang sambil
menunjuk-tunjuk ke seseorang yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.
Ketika Adam mendadak girang. Seseorang yang baru
keluar ruangan justru mendadak terperanjat. Meski tidak begitu yakin bahwa Adam
sedang menunjuknya, Zia memilih pura-pura tidak melihat Adam dan melewatinya
begitu saja.
“Eh?” Adam kebingungan. Apa ia salah orang? Tidak.
Adam yakin yang baru saja melewatinya adalah Zia, mentor Aia. Kenapa lagi-lagi
ekspresinya seperti orang melihat hantu? Atau mungkin Zia tidak mengenalinya? Adam
membuntuti Zia.
“Cepat juga jalannya,” gumam Adam yang kemudian
berusaha menyamai langkah Zia. Dan mencegatnya begitu ada kesempatan.
Zia buru-buru mengerem langkahnya. Menghela napas, mau
apa sebenarnya orang ini?
Adam cengengesan, “Zia, kan? Mentornya Aia?”
Zia mengangguk sekedarnya kemudian memaku pandangannya
ke sepanjang koridor di belakang Adam. Semoga cuma itu yang ia ingat,
harapnya dalam hati.
Adam menggaruk kepala. Rasanya ia pernah bertemu
dengan Zia sebelumnya, tapi di mana?
Zia berdehem. Kalau ada yang mau dikatakan
sebaiknya cepat!
Adam tersentak. Ah, peduli amat di mana! Bukan
itu tujuannya menemui Zia. “Tolong kuatkan Aia, ya,” pinta Adam.
Zia mengerutkan dahi, kenapa tiba-tiba minta ia
menguatkan Aia? “Maksudnya?”
“Soal surat panggilan dari sekolah gara-gara jilbab,”
Adam buru-buru menjelaskan.
“Surat panggilan? Lagi?!” tanya Zia, apa ia
melewatkan sesuatu?
“Iya. Memang nggak tahu?” Adam memastikan.
Zia terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu soal itu. Dan
memang belum bertemu mereka satu minggu ini. Ah, kenapa mereka tidak
mengabarinya? Apakah mereka baik-baik saja sekarang?
“Kalau cuma sekolah yang larang mungkin dia masih bisa
hadapi. Masalahnya Bunda juga larang dia pakai jilbab. Hari ini dia juga nggak
sekolah karena semua jilbabnya, termasuk seragam sempat dibuang Bunda kemarin,”
terang Adam. Itulah yang membuatnya khawatir sampai merasa perlu menemui Zia
sekarang. Adam menghela napas, “Belakangan Bunda memang agak aneh. Omongannya
suka ngaco. Apalagi setelah dapat surat panggilan dari sekolah Aia gara-gara
rohis ….”
Kenapa dia malah curhat sekarang? Zia membatin.
“Terima kasih infonya!” potong Zia. “Nanti saya hubungi Aia. Assalamu’alaikum,”
pungkasnya kemudian buru-buru meninggalkan Adam.
“Wa, wa’alaikumsalam,” jawab Adam pelan seraya
menggaruk kepalan. Sementara Zia sudah menghilang dari pandangan. Dasar
perempuan itu! Padahal, ia belum selesai bicara tapi dia malah sudah pergi
begitu saja.
***
Berikutnya :
Sebelumnya :
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Mei 27, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar