Sabtu, 25 Februari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 18.00 WIB
Aia menatap ke jalan yang bermandikan sinar lampu-lampu kendaraan. Lengkap dengan backsound klakson-klaksonnya. Indah? Tentu saja tidak. Klakson itu hanya membuat sakit kepala. Ough! Apa mereka tidak bisa sabar sedikit? Untuk apa meneriaki pengendara lain yang ada di depan. Kalaulah bisa maju atau ngebut sekalian, tidak perlu diteriaki pengendara yang ada di depan pasti sudah melakukannya sejak tadi.

Bi Tiah tertidur sejak setengah jam yang lalu. Aia menghela napas seraya menatap langit yang masih tersaput awan. Satu-dua bintang mulai terlihat kerlipnya. Nur dan berita rekrutmen teroris muda adalah dua hal yang tiba-tiba membuat sesak hidup Aia. Ada saja hal baru yang Bunda ceritakan tentang Nur saat sarapan. Meski kadang hanya nostalgia masa-masa mereka di pesantren.

“Sepertinya menyenangkan ya, jadi aktivis seperti Tante Nur?” ujar Bunda pada Aia.

Pagi itu mereka hanya sarapan berdua. Pagi-pagi sekali Adam sudah berangkat. Sedang sibuk mengejar-ngejar dosen, minta bimbingan skripsi. Tunggu, bukan! Bukan mengejar-ngejar. Tapi, justru Adam lah yang dikejar-kejar dosen pembimbingnya. Mendesaknya untuk segera menyelesaikan skripsi. Sempat menggerutu dengan kelakuan dosennya pada Bunda.

Tapi, Bunda malah tersenyum simpul, “Abang sebenarnya beruntung. Mana ada coba, dosen yang rajin seperti itu. Lagian, kalau nggak begitu kapan skripsi Abang selesai? Ya, kan?”

Adam diam, tidak (ingin) berkomentar lagi. Lantas bergegas meninggalkan Bunda dan Aia yang baru mulai sarapan.

Memang apa menyenangkannya kalau jadi aktivis kayak Tante Nur?!tanya Aia. Tanpa sadar nada bicaranya terdengar jelas kalau ia tidak suka.

Ai, kok tanyanya gitu, sih?tegur Bunda. Sama seperti Aia, Bunda juga menyadari perbedaan itu. Bunda merasa Aia mulai sering membantahnya. Tentang perempuan. Tentang Nur. Entah berapa kali mereka berselisih paham soal ini di meja sarapan.

“Lho, Aia kan cuma tanya,” sahut Aia sekenanya. Tidak ingin memperpanjang topik. Bosan. Tidak ingin pagi ini ada perdebatan atau semacamnya.

“Hm, nanti ya. Kalau ada waktu, Bunda ajak Aia bertemu dengan Tante Nur,” ucap Bunda mantap kemudian menyudahi sarapan.

Aia menelan ludah, bertemu?

***

Aia kira Bunda tidak serius dengan kalimatnya pagi itu. Mempertemukannya dengan Nur? Seminggu setelah sarapan pagi itu, mendadak Bunda menelepon Aia yang baru saja sampai di gerbang sekolah, hendak kajian rohis. Tiba-tiba menyuruhnya datang ke satu restoran di pusat ibukota.

“Tapi, Bun … Aia mau kajian rohis,” Aia mencoba menolak.

“Izin lah satu hari ini, Ai. Mumpung Tante Nur ada waktu. Bunda tunggu, ya.

Nut. Bunda mematikan sambungan telepon. Artinya, Bunda tidak mau lagi dengar alasan apa pun. Aia harus datang. Aia meniup ujung kerudung, pipinya mengembung, kesal. Bunda kenapa, coba?! Kok ngoyo ingin mempertemukannya dengan Tante Nur?! Menarik napas dalam-dalam. Diam sejenak. Ya sudahlah, tidak ada salahnya menuruti Bunda. Lagian penasaran juga, seperti apa sebenarnya Tante Nur itu. Pikirnya, mencoba mengambil sisi positif dari rencana Bunda.

Aia urung masuk ke dalam. Memutar balik langkahnya seraya mencari-cari nomor Raras. Memberi kabar kalau ia tidak bisa mengikuti kajian rohis hari ini.

***

“Mana Tante Nur-nya, Bun? Katanya ini dekat dengan kantornya, kok sudah setengah jam nggak muncul-muncul?” Aia mulai jenuh menunggu. Bahkan sampai ia menghabiskan makanannya pun, orang yang Bunda maksud belum juga datang.

“Tunggu sebentar, Ai. Namanya juga orang sibuk,” sahut Bunda.

“Nah, itu dia datang!” seru Bunda sambil melambaikan tangan. Aia menoleh. Matanya menangkap sosok perempuan seusia Bunda. Badannya sedikit lebih gemuk dari Bunda dengan setelan pakaian kantor berwarna pink. Kerudung putih bermotif bunga-bunga kecil warna pink yang dimasukkan ke kerah baju. Aia bergumam dalam hati, Oh, jadi itu, Tante Nur ....

“Maaf lama ya, tadi ada urusan mendadak,” ujar Nur sambil menyalami Bunda.

“Ya, tidak apa-apa,” sahut Bunda yang tersenyum sumringah sejak kedatangan temannya itu. “Oh ya, kenalkan, ini putriku, Aia. Cahaya. Nah, Ai, ini Tante Nur yang sering Bunda ceritakan itu.”

Aia segera mencium tangan Nur seraya memperkenalkan diri, “Cahaya, tante.”

“Cahaya?” Nur mengerutkan dahi, “kalau begitu nama kita sama, ya? Cuma beda bahasa.”

Aia dan Bunda mengerling sejenak lantas tersenyum lebar. “Oh, iya, ya!” seru Bunda lalu disambut dengan tawa ketiganya.

Awal pertemuan yang cukup hangat. Setelah lima belas menit berbasa-basi, memesan minuman untuk teman bercakap-cakap, Aia masih merasa baik-baik saja. Tak ada yang salah dari Tante Nur. Ternyata orangnya sangat ramah, beliau juga sempat bertanya tentang aktivitas di sekolah. Sampai akhirnya Aia menanyakan alasan Nur menjadi aktivis yang memperjuangkan perempuan.

“Karena Tante paling nggak suka dengan orang yang menilai apa-apa dari gender. Bilang perempuan itu lemah, tugasnya cuma mengurus rumah, merawat anak dan apalah kata mereka-mereka itu. Yang kerja itu laki-laki, yang jadi pemimpin juga laki-laki. Itu sangat nggak adil lho, Ai. Kok seakan-akan dunia ini milik laki-laki saja. Dunia perempuan, ya, di rumah.” papar Nur pada Aia.

Aia menyimak.

“Makanya, Tante sudah janji pada diri sendiri untuk mengubah pandangan mereka. Seperti nama Tante, Nur. Cahaya. Tante ingin jadi cahaya yang akan menerangi pemikiran kaum perempuan. Turut berkontribusi membebaskan mereka dari penindasan. Makanya sekarang Tante jadi aktivis yang memperjuangkan hak perempuan. Tante ingin, kita, perempuan dipandang sama haknya dengan laki-laki.”

Wah, Aia terkesan dengan filosofi Nur barusan. Tapi, mendengar persamaan hak, tiba-tiba kata-kata Kak Zia melintas di benaknya, kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam. Dengan polosnya bertanya, “Ta, tapi, memangnya orang Islam juga harus memperjuangkan kesetaraan gender ya, Tan? Bukannya kesetaraan gender itu datang dari perempuan-perempuan di Barat?”

“Cahaya!” tegur Bunda dengan suara tertahan. Apa coba yang Aia tanyakan? Lancang sekali! Bunda membatin. Pertanyaan Aia membuat Bunda tidak enak hati pada Nur.

Cuma tanya, Bun ...,” Aia juga menyahut tertahan.

Nur justru tersenyum simpul. Sejak tadi sikunya bertumpu di meja, sambil menyilangkan jemari kanan dan kirinya. Terlihat sangat tenang lalu menanggapi pertanyaan Aia. “Kenapa nggak? Kamu bukan orang pertama yang menanyakan itu, Ai. Sebenarnya, bicara kesetaraan artinya kita bicara tentang manusia. Inti dari kesetaraan gender itu adalah gerakan yang menyadari adanya ketidakadilan terhadap kemanusiaan. Dan kebetulan ketidakadilan itu dialami kita, perempuan. Kata siapa kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam? Kalau kita mau benar-benar melihat, sebenarnya Rasulullah juga pejuang kesetaraan gender. Jadi, kalau dilihat dari perspektif Feminisme, Rasulullah adalah Feminis pertama di dunia!”

Aia terkejut mendengarnya. Rasulullah Feminis pertama?! Tapi, kemarin Kak Zia mengatakan kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam?

“Kamu tahu, zaman jahiliyyah dulu, perempuan benar-benar dipandang hina. Setiap bayi perempuan yang lahir, dikubur hidup-hidup. Mereka bilang bayi perempuan itu aib. Perempuan tidak berhak mendapatkan waris, malah perempuan bisa diwarisi. Masyarakat jahiliyyah dulu adalah masyarakat poligam. Bahkan poligami mereka nggak dibatasi sedikit pun!

Tapi, setelah Rasul diutus, Rasul melarang penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Itu artinya Rasul sudah memperjuangkan hak hidup pada perempuan. Rasul juga memperjuangkan hak waris pada perempuan. Selain itu, syariah juga membatasi poligami menjadi  hanya empat saja. Itu semua juga bentuk kesadaran dari ketidakadilan yang terjadi pada perempuan, kan?

Rasulullah lah yang pertama kali mengangkat derajat perempuan. Rasul sudah memperjuangkan kesetaraan pada masanya. Itulah kenapa Tante berani mengatakan bahwa Rasul adalah Feminis pertama di dunia. Nah, kalau Rasul saja melakukannya, masa kita yang muslimah dan mengaku umatnya, nggak mau?”

“Dengar apa kata Tante Nur, Ai? Kamu jangan mikir aneh-aneh!” ucap Bunda.

“Aia kan cuma tanya, Bun,” Aia membela diri.

 “Maaf ya, Nur. Aia itu memang suka banyak tanya,” Bunda benar-benar tidak enak hati.

“Ya, tidak apa-apa. Itu sudah biasa,” jawab Nur seraya tersenyum. Meyakinkan Bunda bahwa pertanyaan Aia sama sekali bukan masalah baginya. “Kamu juga harus hati-hati, Ai. Sekarang banyak lho, pemikiran aneh-sesat yang sudah masuk ke sekolah-sekolah lewat rohis,” Nur menasehati Aia.

Aia yang tidak terlalu mendengarkan Nur tersenyum tawar. Sekedar menghargai. Ia masih tercengang. Terus terang saja, ia masih bingung dengan kata-kata Nur tentang Rasulullah tadi. Jadi, Rasul juga memperjuangkan kesetaraan gender? Kenapa sangat berbeda dengan apa yang Kak Zia katakan?

Belum habis pertanyaan Aia dalam benak, Nur kembali berkata, “Kalian tahu kan, sekarang ini sedang marak rekrutmen teroris muda lewat rohis sekolah. Kamu harus hati-hati Ai, jangan sampai ikut-ikutan kelompok radikal, bahaya.”

Berita itu lagi-lagi menjadi topik pembicaraan. Tunggu! Apa tadi yang Tante Nur katakan? Rasanya ada kata yang menarik perhatian Aia, “Kelompok radikal”?

“Iya, kelompok-kelompok ekstrem, fanatik, yang katanya ingin memperjuangkan Islam dengan jalan jihad,” sahut Nur. “Kamu juga harus mengawasi Aia, Al,” Nur mengingatkan Bunda. “Jangan sampai apa yang diberitakan itu kejadian,” tambahnya. Kemudian menyeruput kopi setelah sebelumnya melirik Bunda sejenak.

Bunda tersenyum, “Itulah kenapa aku mempertemukanmu dengan Aia. Tapi jangan khawatir, Aia nggak akan ikut-ikutan kelompok seperti itu. Iya kan, Ai?”

“Tapi, Aia nggak setuju dengan pemberitaan itu, Tan!” sergah Aia.

Bunda dan Nur tertegun. Kompak menoleh dan menatap Aia yang sempat kikuk dengan tatapan keduanya. Namun, segera diusirnya perasaan itu. Dan kembali berkata, “Seharusnya, mereka nggak boleh dong mengeneralisir seperti itu. Cuma karena satu-dua orang, nggak lantas membuat mereka berhak mengatakan rohis adalah tempat untuk merekrut teroris. Yang Aia tahu, rohis itu sudah ada sejak akhir tahun 80-an. Kalau benar apa yang mereka katakan, sudah ada berapa juta teroris di negeri ini? Nyatanya nggak begitu kan, Tan?”

Bunda menghela napas. Baik. Sekarang Bunda merasa harus mulai khawatir.

“Memang, mayoritas anak rohis bahkan alumninya menolak berita itu. Tapi, ada anak rohis yang jadi teroris, itu juga fakta yang tidak bisa disangkal terjadi hari ini,” Nur tersenyum datar pada Aia. Entah apa maksudnya. Yang jelas, Aia tidak suka senyuman itu.

“Oh ya, Nur, kamu jadi mengisi seminar di pesantren kita dulu?” Bunda buru-buru mengganti topik pembicaraan. Aia tidak akan berhenti jika terus dibiarkan.

“Oh, iya. Kalau tidak ada halangan kemungkinan bulan depan,” sahut Nur.

Aia menyeruput jus jeruk kesukaannya. Menatap langit dari jendela kaca lebar di samping kanannya. Matahari sudah meninggi. Sama dengan benaknya yang kian meninggi. Masih berkutat dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan tadi. Benarkah yang dikatakan Tante Nur? Tapi, kenapa sangat berbeda dengan yang Kak Zia sampaikan?

                                                                    ***              
                 
“Cahaya!” seru Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya. Beberapa kali dipanggil, putrinya yang sedang duduk di ruang tengah tidak juga menyahut.

“Astaghfirullah,” Aia terkesiap. Membuat pulpen yang sejak tadi ia gigit jatuh dan menggelinding ke kolong meja. “Bunda, bikin kaget aja!” gerutunya kesal.

Malam itu usai shalat Isya’ Aia membawa beberapa buku pelajarannya ke ruang tengah. Duduk dilantai, bertopang dagu sambil menggigit ujung pulpen yang dipegangnya. Niatnya mengerjakan tugas sekolah. Namun, Aia malah teringat Nur. Ini benar-benar ganjil. Bagaimana mungkin dua orang yang ia tahu sama-sama paham agama, tapi justru berbeda pendapat dalam satu masalah yang sama. Kalau berbeda dalam fiqih mungkin sudah biasa. Tapi, ia pikir perbedaan yang ini tidak seperti perbedaan antara shalat subuh dengan qunut atau tidak. Ini lebih rumit!

Kak Zia bilang  kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam, gumam hati Aia. Tapi, Tante Nur bilang justru Rasul adalah pejuang hak perempuan, apa kata Tante Nur tadi? Feminis pertama di dunia? Jadi, mana yang benar?

“Lagi mikir apa, sih? Sampai nggak dengar Bunda panggil-panggil, hm?”

Aia mengubah posisi duduknya usai mengambil kembali pulpen yang jatuh. Ragu. Sejurus kemudian menghempaskan napas berat. Berharap ragu itu juga ikut terhempas. “Hmmasih kepikiran Tante Nur, Bun.”

Mendengar Aia menyebut nama Nur, Bunda menghampiri lalu duduk di sebelahnya. “Tante Nur? Kenapa?”

“Ya ... aneh saja,” Aia menghadapkan wajah ke arah Bunda, “maksud Aia, Aia baru pertama kali mendengar Rasul dapat gelar baru,” Aia membentuk tanda petik dengan jari-jarinya.

“Apa? Feminis pertama?” Bunda memperjelas maksud Aia yang kemudian mengangguk. “Itu kan cuma istilah yang digunakan Tante Nur. Esensinya Rasul juga melakukan apa yang sekarang ia lakukan, memperjuangkan hak perempuan.”

“Tapi, kata orang kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam lho, Bun?” Aia menggigit bibir. Maksudnya, kata Kak Zia.

Lihat, lagi-lagi Aia meragukan Nur. “Lalu, Aia mau menuduh Tante Nur keliru dengan semua pemikiran dan apa yang diperjuangkannya? Aia pikir Tante Nur mengarang soal Rasulullah yang mengangkat derajat perempuan pada masanya, hm?”

“Bukan begitu ....”

“Tante Nur itu bukan orang awam yang nggak tahu apa-apa, Ai,” Bunda memotong. “Ia guru besar di universitas Islam. Ia paham agama lebih dari kita, bahkan mungkin lebih dari siapa pun. Bunda sangat yakin, Tante Nur tentu tahu betul apa yang diucapkan dan dilakukannya,” ucap Bunda berusaha menghalau kekhawatiran Aia. Bunda justru khawatir dengan Aia.

“Lagi pula, apa salahnya memperjuangkan hak perempuan. Hak kaumnya sendiri?” tambah Bunda, mencoba memberi pengertian pada putrinya.

Aia menghela napas. Diam untuk waktu yang cukup lama. Boleh jadi Bunda benar, bagaimana mungkin seorang guru besar melakukan hal yang melenceng dari agama? Bukankah yang dikatakan Nur tentang Rasulullah benar adanya? Itu artinya Nur dan idenya benar, bukan? Mungkin Kak Zia yang keliru?

Hah? Kak Zia? Keliru? Aia kembali membatin.

“Siapa sih, mentor rohis Aia?” tanya Bunda.

“Ah?” Aia tersentak. “Mm, mentor Aia ... Kak Zia. Kak Zia juga mahasiswa di kampus Tante Nur. Kenapa, Bun?” tanya Aia. Kenapa tiba-tiba Bunda menanyakan ini? Biasanya, Bunda tidak pernah bertanya urusan sekolah kalau bukan Aia yang menceritakannya lebih dulu.

Bunda mengangkat bahu. “Bunda cuma khawatir. Mudah-mudahan Bunda salah, ya.”

“Memang, Aia kelihatan mengkhawatirkan?” Aia mempertanyakan kehawatiran Bunda. Apa yang salah dari dirinya? Aia justru mengkhawatirkan Bunda.

“Bagus kalau yang Bunda pikirkan salah,” sahut Bunda kemudian beranjak ke kamar.
***

Bagian 7 - Kabar dari Kotak Sihir [Part I]


Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar