Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 18.00 WIB
Aia
menatap ke jalan yang bermandikan sinar lampu-lampu kendaraan. Lengkap dengan backsound
klakson-klaksonnya. Indah? Tentu saja tidak. Klakson itu hanya membuat sakit
kepala. Ough! Apa mereka tidak bisa sabar sedikit? Untuk apa meneriaki
pengendara lain yang ada di depan. Kalaulah bisa maju atau ngebut sekalian,
tidak perlu diteriaki pengendara yang ada di depan pasti sudah melakukannya
sejak tadi.
Bi
Tiah tertidur sejak setengah jam yang lalu. Aia menghela napas seraya menatap
langit yang masih tersaput awan. Satu-dua bintang mulai terlihat kerlipnya. Nur
dan berita rekrutmen teroris muda adalah dua hal yang tiba-tiba membuat sesak
hidup Aia. Ada
saja hal baru yang Bunda ceritakan tentang Nur saat sarapan. Meski kadang hanya
nostalgia masa-masa mereka di pesantren.
“Sepertinya
menyenangkan ya, jadi aktivis seperti Tante Nur?” ujar Bunda pada Aia.
Pagi
itu mereka hanya sarapan berdua. Pagi-pagi sekali Adam sudah berangkat. Sedang
sibuk mengejar-ngejar dosen, minta bimbingan skripsi. Tunggu, bukan! Bukan
mengejar-ngejar. Tapi, justru Adam lah yang dikejar-kejar dosen pembimbingnya.
Mendesaknya untuk segera menyelesaikan skripsi. Sempat menggerutu dengan
kelakuan dosennya pada Bunda.
Tapi, Bunda malah
tersenyum simpul, “Abang sebenarnya beruntung. Mana ada coba, dosen yang rajin seperti itu. Lagian,
kalau nggak begitu kapan skripsi Abang selesai? Ya, kan?”
Adam
diam, tidak (ingin) berkomentar lagi. Lantas bergegas meninggalkan Bunda dan
Aia yang baru mulai sarapan.
“Memang apa menyenangkannya kalau jadi aktivis kayak
Tante Nur?!” tanya
Aia. Tanpa sadar
nada bicaranya terdengar jelas kalau ia tidak suka.
“Ai, kok tanyanya gitu, sih?”
tegur Bunda. Sama seperti Aia, Bunda juga menyadari perbedaan itu.
Bunda merasa Aia mulai sering membantahnya. Tentang
perempuan. Tentang Nur. Entah berapa kali mereka berselisih paham soal ini di meja sarapan.
“Lho, Aia kan cuma tanya,” sahut Aia sekenanya.
Tidak ingin memperpanjang
topik. Bosan. Tidak ingin pagi ini
ada perdebatan atau semacamnya.
“Hm,
nanti ya. Kalau
ada waktu, Bunda ajak Aia bertemu dengan Tante Nur,” ucap Bunda mantap kemudian
menyudahi sarapan.
Aia
menelan ludah, bertemu?
***
Aia
kira Bunda tidak serius dengan kalimatnya pagi itu. Mempertemukannya dengan Nur?
Seminggu setelah sarapan pagi itu, mendadak Bunda menelepon Aia yang baru saja
sampai di gerbang sekolah, hendak kajian rohis. Tiba-tiba menyuruhnya datang ke
satu restoran di pusat ibukota.
“Tapi,
Bun … Aia mau kajian rohis,” Aia mencoba menolak.
“Izin
lah satu hari ini, Ai. Mumpung Tante Nur ada waktu. Bunda tunggu, ya.”
Nut.
Bunda mematikan sambungan telepon. Artinya, Bunda tidak mau lagi dengar alasan
apa pun. Aia harus datang. Aia meniup ujung kerudung, pipinya mengembung, kesal.
Bunda kenapa, coba?! Kok ngoyo
ingin mempertemukannya dengan Tante Nur?! Menarik napas dalam-dalam. Diam
sejenak. Ya sudahlah, tidak ada salahnya menuruti Bunda. Lagian penasaran
juga, seperti apa sebenarnya Tante Nur itu. Pikirnya, mencoba mengambil
sisi positif dari rencana Bunda.
Aia
urung masuk ke dalam. Memutar balik langkahnya
seraya
mencari-cari nomor Raras. Memberi kabar kalau ia tidak bisa mengikuti kajian
rohis hari ini.
***
“Mana
Tante Nur-nya, Bun? Katanya ini dekat dengan kantornya, kok sudah setengah jam nggak
muncul-muncul?” Aia mulai jenuh menunggu. Bahkan sampai ia menghabiskan
makanannya pun, orang yang Bunda maksud belum juga datang.
“Tunggu
sebentar, Ai. Namanya juga orang sibuk,” sahut Bunda.
“Nah,
itu dia datang!” seru Bunda sambil melambaikan tangan. Aia menoleh. Matanya
menangkap sosok perempuan seusia Bunda. Badannya sedikit lebih gemuk dari Bunda
dengan setelan
pakaian kantor berwarna pink. Kerudung putih bermotif bunga-bunga kecil warna
pink yang dimasukkan ke kerah baju. Aia bergumam dalam hati, Oh, jadi itu,
Tante Nur ....
“Maaf
lama ya, tadi ada urusan mendadak,” ujar Nur sambil menyalami Bunda.
“Ya,
tidak apa-apa,” sahut Bunda yang tersenyum sumringah sejak kedatangan temannya
itu. “Oh ya, kenalkan, ini putriku, Aia. Cahaya. Nah, Ai, ini Tante Nur yang
sering Bunda ceritakan itu.”
Aia
segera mencium tangan Nur seraya memperkenalkan diri, “Cahaya, tante.”
“Cahaya?”
Nur mengerutkan dahi, “kalau begitu nama kita sama, ya? Cuma beda bahasa.”
Aia
dan Bunda mengerling sejenak lantas tersenyum lebar. “Oh, iya, ya!” seru Bunda
lalu disambut dengan tawa ketiganya.
Awal
pertemuan yang cukup hangat. Setelah lima belas menit berbasa-basi, memesan
minuman untuk teman bercakap-cakap, Aia masih merasa baik-baik saja. Tak ada
yang salah dari Tante Nur. Ternyata orangnya sangat ramah, beliau juga sempat
bertanya tentang aktivitas di sekolah. Sampai akhirnya Aia menanyakan alasan
Nur menjadi aktivis yang memperjuangkan perempuan.
“Karena
Tante paling nggak
suka dengan orang yang menilai apa-apa dari gender. Bilang perempuan itu lemah,
tugasnya cuma mengurus
rumah, merawat anak dan apalah kata mereka-mereka itu. Yang kerja itu
laki-laki, yang jadi pemimpin juga laki-laki. Itu sangat nggak adil lho, Ai. Kok seakan-akan
dunia ini milik laki-laki saja. Dunia perempuan, ya, di rumah.” papar Nur pada
Aia.
Aia
menyimak.
“Makanya,
Tante sudah janji pada diri sendiri untuk mengubah pandangan mereka. Seperti
nama Tante, Nur. Cahaya. Tante ingin jadi cahaya yang akan menerangi pemikiran
kaum perempuan. Turut berkontribusi membebaskan mereka dari penindasan. Makanya
sekarang Tante jadi aktivis yang memperjuangkan hak perempuan. Tante ingin, kita,
perempuan dipandang sama haknya dengan laki-laki.”
Wah,
Aia terkesan dengan filosofi Nur barusan. Tapi, mendengar persamaan hak, tiba-tiba
kata-kata Kak Zia melintas di benaknya, kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam.
Dengan polosnya bertanya, “Ta, tapi, memangnya orang Islam juga harus memperjuangkan
kesetaraan gender ya, Tan? Bukannya
kesetaraan gender itu datang dari perempuan-perempuan
di Barat?”
“Cahaya!”
tegur Bunda dengan suara tertahan. Apa coba yang Aia tanyakan? Lancang
sekali! Bunda membatin. Pertanyaan Aia membuat Bunda tidak enak hati pada
Nur.
“Cuma tanya, Bun ...,” Aia juga
menyahut tertahan.
Nur
justru tersenyum simpul. Sejak tadi sikunya bertumpu di meja, sambil
menyilangkan jemari kanan dan kirinya. Terlihat
sangat tenang lalu menanggapi
pertanyaan Aia. “Kenapa nggak?
Kamu bukan orang pertama yang menanyakan itu, Ai. Sebenarnya, bicara kesetaraan
artinya kita bicara tentang manusia. Inti dari kesetaraan gender itu adalah gerakan
yang menyadari adanya ketidakadilan terhadap kemanusiaan. Dan kebetulan ketidakadilan
itu dialami kita,
perempuan. Kata siapa kesetaraan gender
itu bukan berasal dari Islam? Kalau kita mau benar-benar melihat,
sebenarnya Rasulullah juga pejuang kesetaraan gender. Jadi, kalau dilihat dari perspektif Feminisme,
Rasulullah adalah Feminis pertama di dunia!”
Aia
terkejut mendengarnya. Rasulullah
Feminis pertama?! Tapi, kemarin
Kak Zia mengatakan kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam?
“Kamu
tahu, zaman jahiliyyah dulu, perempuan benar-benar dipandang hina. Setiap bayi
perempuan yang lahir, dikubur hidup-hidup. Mereka bilang bayi perempuan itu
aib. Perempuan tidak berhak mendapatkan waris, malah perempuan bisa diwarisi. Masyarakat
jahiliyyah dulu adalah masyarakat poligam. Bahkan poligami mereka nggak dibatasi sedikit pun!
Tapi,
setelah Rasul diutus, Rasul
melarang penguburan bayi perempuan hidup-hidup. Itu artinya Rasul sudah memperjuangkan hak hidup pada
perempuan. Rasul juga memperjuangkan
hak waris pada perempuan. Selain itu, syariah juga membatasi
poligami menjadi hanya empat saja. Itu
semua juga bentuk kesadaran dari ketidakadilan yang terjadi pada perempuan,
kan?
Rasulullah
lah yang pertama kali mengangkat derajat perempuan. Rasul sudah memperjuangkan
kesetaraan pada masanya. Itulah kenapa Tante berani mengatakan bahwa Rasul
adalah Feminis pertama di dunia. Nah, kalau Rasul saja melakukannya, masa kita
yang muslimah dan mengaku umatnya, nggak
mau?”
“Dengar
apa kata Tante Nur, Ai? Kamu jangan mikir aneh-aneh!” ucap Bunda.
“Aia kan cuma tanya, Bun,” Aia membela diri.
“Maaf ya, Nur. Aia itu memang suka banyak
tanya,” Bunda benar-benar tidak enak hati.
“Ya,
tidak apa-apa. Itu sudah biasa,” jawab Nur seraya tersenyum. Meyakinkan Bunda
bahwa pertanyaan Aia sama sekali bukan masalah baginya. “Kamu juga harus
hati-hati, Ai. Sekarang banyak lho, pemikiran
aneh-sesat yang sudah masuk ke sekolah-sekolah lewat rohis,” Nur menasehati
Aia.
Aia
yang tidak terlalu mendengarkan Nur tersenyum tawar. Sekedar menghargai. Ia masih tercengang.
Terus terang saja, ia masih bingung dengan kata-kata Nur tentang Rasulullah
tadi. Jadi, Rasul juga memperjuangkan kesetaraan gender? Kenapa
sangat berbeda dengan apa yang Kak Zia katakan?
Belum
habis pertanyaan Aia dalam benak, Nur kembali berkata, “Kalian tahu kan,
sekarang ini sedang marak rekrutmen teroris muda lewat rohis sekolah. Kamu
harus hati-hati Ai, jangan sampai ikut-ikutan kelompok radikal, bahaya.”
Berita
itu lagi-lagi menjadi topik pembicaraan. Tunggu! Apa tadi yang Tante Nur
katakan? Rasanya ada kata yang menarik perhatian Aia, “Kelompok radikal”?
“Iya,
kelompok-kelompok ekstrem, fanatik, yang katanya ingin memperjuangkan Islam
dengan jalan jihad,” sahut Nur. “Kamu juga harus mengawasi Aia, Al,” Nur
mengingatkan Bunda. “Jangan sampai apa yang diberitakan itu kejadian,”
tambahnya. Kemudian menyeruput kopi setelah sebelumnya melirik Bunda sejenak.
Bunda
tersenyum, “Itulah kenapa aku mempertemukanmu dengan Aia. Tapi jangan khawatir,
Aia nggak akan ikut-ikutan kelompok seperti itu. Iya kan, Ai?”
“Tapi,
Aia nggak setuju dengan
pemberitaan itu, Tan!” sergah Aia.
Bunda
dan Nur tertegun. Kompak
menoleh dan menatap Aia yang sempat
kikuk
dengan tatapan keduanya. Namun,
segera diusirnya perasaan itu. Dan kembali berkata, “Seharusnya, mereka nggak boleh dong mengeneralisir seperti itu. Cuma karena
satu-dua orang, nggak
lantas membuat mereka berhak mengatakan rohis adalah tempat untuk merekrut
teroris. Yang Aia tahu, rohis itu sudah ada sejak akhir tahun 80-an. Kalau
benar apa yang mereka katakan, sudah
ada berapa juta teroris di negeri ini? Nyatanya nggak begitu kan, Tan?”
Bunda
menghela napas. Baik. Sekarang Bunda merasa harus mulai khawatir.
“Memang,
mayoritas anak rohis bahkan alumninya menolak berita itu. Tapi, ada anak rohis
yang jadi teroris, itu juga fakta yang tidak
bisa disangkal terjadi hari ini,” Nur tersenyum datar
pada Aia. Entah apa maksudnya. Yang jelas, Aia tidak suka senyuman itu.
“Oh
ya, Nur, kamu jadi mengisi seminar di pesantren kita dulu?” Bunda buru-buru
mengganti topik pembicaraan. Aia tidak akan berhenti jika terus dibiarkan.
“Oh,
iya. Kalau tidak ada halangan kemungkinan bulan depan,” sahut Nur.
Aia
menyeruput jus jeruk kesukaannya. Menatap langit dari jendela kaca lebar di
samping kanannya. Matahari sudah meninggi. Sama dengan benaknya yang kian
meninggi. Masih berkutat dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan tadi. Benarkah
yang dikatakan Tante Nur? Tapi, kenapa sangat berbeda dengan yang Kak Zia
sampaikan?
***
“Cahaya!”
seru Bunda yang berdiri di depan pintu kamarnya. Beberapa kali dipanggil,
putrinya yang sedang duduk di ruang tengah
tidak juga menyahut.
“Astaghfirullah,”
Aia terkesiap. Membuat pulpen yang sejak tadi ia gigit jatuh dan menggelinding
ke kolong meja. “Bunda, bikin kaget
aja!” gerutunya kesal.
Malam
itu usai shalat Isya’ Aia membawa beberapa buku pelajarannya ke ruang tengah. Duduk dilantai,
bertopang dagu sambil menggigit ujung pulpen yang dipegangnya. Niatnya
mengerjakan tugas sekolah. Namun, Aia malah teringat Nur. Ini benar-benar
ganjil. Bagaimana mungkin dua orang yang ia tahu sama-sama paham agama, tapi
justru berbeda pendapat dalam satu masalah yang sama. Kalau berbeda dalam fiqih
mungkin sudah biasa. Tapi, ia pikir perbedaan yang ini tidak seperti perbedaan
antara shalat subuh dengan qunut atau tidak. Ini lebih rumit!
Kak
Zia bilang kesetaraan gender itu bukan
berasal dari Islam, gumam hati Aia. Tapi, Tante Nur
bilang justru Rasul adalah pejuang hak perempuan, apa kata Tante Nur tadi? Feminis
pertama di dunia? Jadi, mana yang benar?
“Lagi
mikir apa, sih? Sampai nggak
dengar Bunda panggil-panggil, hm?”
Aia
mengubah posisi duduknya usai mengambil kembali pulpen yang jatuh. Ragu.
Sejurus kemudian menghempaskan napas berat. Berharap ragu itu juga ikut
terhempas. “Hm … masih
kepikiran Tante Nur, Bun.”
Mendengar
Aia menyebut nama Nur, Bunda menghampiri lalu
duduk di sebelahnya. “Tante Nur? Kenapa?”
“Ya
... aneh saja,” Aia menghadapkan wajah ke arah Bunda, “maksud Aia, Aia baru
pertama kali mendengar Rasul dapat gelar baru,” Aia membentuk tanda petik
dengan jari-jarinya.
“Apa?
Feminis pertama?” Bunda memperjelas maksud Aia yang kemudian mengangguk. “Itu kan
cuma istilah yang digunakan Tante Nur. Esensinya Rasul juga melakukan apa yang
sekarang ia lakukan, memperjuangkan hak perempuan.”
“Tapi,
kata orang kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam lho, Bun?” Aia menggigit
bibir. Maksudnya, kata Kak Zia.
Lihat,
lagi-lagi Aia meragukan Nur. “Lalu, Aia mau menuduh Tante Nur keliru dengan
semua pemikiran dan apa yang diperjuangkannya? Aia pikir Tante Nur mengarang
soal Rasulullah yang mengangkat derajat perempuan pada masanya, hm?”
“Bukan
begitu ....”
“Tante
Nur itu bukan orang awam yang nggak
tahu apa-apa, Ai,” Bunda memotong. “Ia guru besar di universitas Islam. Ia
paham agama lebih dari kita, bahkan mungkin lebih dari siapa pun. Bunda sangat
yakin, Tante Nur tentu tahu betul apa yang diucapkan dan dilakukannya,” ucap
Bunda berusaha menghalau kekhawatiran Aia. Bunda justru khawatir dengan Aia.
“Lagi
pula, apa salahnya memperjuangkan hak perempuan. Hak kaumnya sendiri?” tambah
Bunda, mencoba memberi pengertian pada putrinya.
Aia
menghela napas. Diam untuk waktu yang cukup lama. Boleh jadi Bunda benar,
bagaimana mungkin seorang guru besar melakukan hal yang melenceng dari agama?
Bukankah yang dikatakan Nur tentang Rasulullah benar adanya? Itu artinya Nur
dan idenya benar, bukan? Mungkin Kak Zia yang keliru?
Hah? Kak Zia? Keliru? Aia kembali membatin.
“Siapa
sih, mentor rohis Aia?” tanya Bunda.
“Ah?”
Aia tersentak. “Mm, mentor Aia ... Kak Zia. Kak Zia juga mahasiswa di kampus Tante
Nur. Kenapa, Bun?” tanya Aia. Kenapa tiba-tiba Bunda menanyakan ini? Biasanya,
Bunda tidak pernah bertanya urusan
sekolah kalau bukan Aia yang menceritakannya lebih dulu.
Bunda
mengangkat bahu. “Bunda cuma khawatir. Mudah-mudahan Bunda salah, ya.”
“Memang,
Aia kelihatan mengkhawatirkan?” Aia mempertanyakan kehawatiran Bunda. Apa yang salah dari
dirinya? Aia justru mengkhawatirkan Bunda.
“Bagus
kalau yang Bunda pikirkan salah,” sahut Bunda kemudian beranjak ke kamar.
***
Bagian 7 - Kabar dari Kotak Sihir [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 25, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar