Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.25 WIB
Aia
terus menarik Bi Tiah masuk ke dalam taksi. Sementara
yang ditarik hanya bisa pasrah mengikuti. “Ayo Pak,
kita berangkat,” ucap Aia pada Sopir taksi yang bergegas masuk mobil. Tangannya
terampil memutar kunci, menarik tuas, kemudian menginjak gas perlahan.
Taksi
melesat membelah jalan sore ibukota yang kalian pasti tahu, macet. Aia sudah
memprediksi, itulah mengapa ia berangkat tiga jam lebih awal dari jadwal
pesawat Bunda yang baru landing sekitar jam tujuh nanti.
Aia
membenamkan tubuh di kursi taksi. Memejamkan mata. Inginnya tidur sejenak. Bukannya tidur, ia malah
kembali teringat kejadian malam itu.
Rabu malam, 22 Februari 2012
Ingat betul malam itu, setelah menelepon Bunda dan
menemui Adam di kamar, Aia merasa tidak ada yang mengerti perasaannya. Sama
sekali tidak ada yang mau mendengarkannya. Bahkan kemudian berani memprotes
Allah. Kenapa Ayah harus menikah dengan perempuan lain? Semua orang bilang
Engkau Maha mengabulkan do’a? Kenapa do’aku selama bertahun-tahun tidak Kau kabulkan? Aarrggh … Aia benar-benar
tidak bisa menerimanya waktu itu!
Hingga tiba-tiba Aia teringat Zia. Menimbang sesaat,
akhirnya memberanikan diri menelepon. Ya Allah … Aia masih ingat rasanya hingga
hari ini. Ketika Zia dengan sabar mendengarkannya yang masih sambil terisak.
Bahkan tidak berkomentar hingga Aia selesai.
“Aia kecewa banget ya?” tanya Zia diujung telepon.
Berusaha mengerti apa yang Aia rasakan.
Sementara Aia hanya bisa mengangguk sambil terisak
meski tahu kalau Zia jelas tidak melihat anggukannya. Tapi, ia sudah tidak bisa
bahkan untuk sekedar berkata “ya”.
“Ya, pasti kecewa banget kalau harapan kita nggak
sesuai dengan kenyataan,” Zia bersuara lagi, “tapi, Aia juga harus tetap yakin
Allah Maha mengabulkan do’a hamba-Nya. Karena kadang Allah mengabulkan do’a
dengan langsung memberi yang kita minta. Kadang juga Allah mengabulkannya
dengan cara memberi kita yang lebih baik dari yang kita minta. Atau, kadang
Allah menyimpannya hingga di akhirat.”
Lengang sejenak.
Aia menarik nafas dalam-dalam. Dari suaranya, Aia tahu
Zia sedang tersenyum di sana.
“Bismillah. Ikhlas, Ai. Berat memang. Tapi, sebagai
muslim, kita harus ridho dengan semua ketetapan Allah. Yakin, Allah tahu mana
yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin juga Allah ingin menguji Aia. Coba deh,
kalau semua harapan kita harus sesuai kenyataan, dari mana kita bisa belajar
sabar dan ikhlas? Dan … Aia juga harus yakin bahwa Allah tidak akan menguji
hamba di luar kemampuannya.”
Nasihat Zia malam itu membuat Aia merenung semalaman.
Baru sadar kalau ia hanya sibuk mengeluh bahkan kemudian memprotes Allah akan
semua yang menimpanya. Padahal Allah punya hak prerogatif untuk menentukan
siapa saja diuji dengan apa saja. Sebagai hamba, kita harus ikhlas menerima
semua ketetapanNya. Dan yakin, laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa.
Allah tidak akan menguji hamba di luar kemampuan-Nya.
Dan tahu apa lagi yang Aia sadari malam itu? Aia jadi
mengerti kenapa saat SMA Adam tumbuh menjadi anak yang tidak terkendali. Karena
ada saat di mana Adam membutuhkan Bunda. Sementara Bunda tidak dapat
memenuhinya. Seperti ia yang kemudian mencari seseorang yang bisa mengerti.
Adam juga mencari. Bedanya, Adam salah tempat. Ia bertemu dengan teman-teman
yang buruk. Ikutlah Adam bersama mereka. Tapi, Allah memberi nikmat lebih.
Ditunjuki-Nya Aia jalan yang lebih baik. Dipertemukan-Nya Aia dengan
orang-orang yang baik.
Aia menghela napas. Memperbaiki posisi bersandarnya di
dalam taksi. Kelak, jika ia menjadi ibu, akan ia pastikan bahwa ia selalu ada
saat anak-anak membutuhkannya. Pikir Aia. Hah, anak? Aku kan baru SMA.
Gumam hatinya yang shock sendiri tiba-tiba terpikirkan hal itu.
Eh, tapi ada benarnya juga sih. Semua perempuan kan,
akan menjadi ibu? Mungkin akan lebih baik kalau dipersiapkan dari sekarang. Aia tiba-tiba berubah pikiran. Apalagi mengingat
bagaimana ia membutuhkan Bunda. Itu artinya peran ibu sangat penting bagi
anak-anaknya.
***
Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 17.00 WIB
Setelah
hubungannya dengan Ayah renggang karena
keputusan Ayah, ah, bukan! Sebenarnya Aia lah yang berusaha menghindar tiap
kali Ayah menghubungi. Yang juga tidak bisa terlupa adalah saat itu hubungannya
dengan Bunda mulai goyah.
Aia ingat betul saat pertama kali Bunda mulai bercerita tentang teman lamanya,
Nur, lebih tepatnya Prof. DR.
Nuriyah, MA. Agaknya tidak salah kalau Aia
anggap wanita itulah yang menjadi awal
dari semua yang menurutnya ... rumit.
3
Maret 2012
Sinar
matahari menelisik jendela ruang tamu. Menghangatkan seisi rumah. Meski tidak
sehangat hati Aia pagi ini.
“Aia
benar nggak mau ikut Abang ke
Yogya?” tanya Bunda.
Seperti
biasa, perbincangan di meja makan saat sarapan. Kebetulan Adam tengah sibuk
berkemas untuk berangkat ke Yogyakarta siang ini. Pernikahan Ayah akan
berlangsung besok.
Aia berhenti memotong roti, menghela napas pelan.
Menggigit bibir baru kemudian menjawab, “tadinya sih kepikiran mau ikut. Tapi
….”
“Ciee …. Jadi udah bisa terima kenyataan, De?” celetuk
Adam yang baru keluar kamar. Jahil mengambil roti yang sudah Aia potong. Duduk
di sebelahnya. Dengan cepat memasukkan roti ke mulut sebelum Aia sempat
mengambilnya kembali.
Aia refleks memukul lengan Adam.
“Iyalah!” ucap Aia menjawab celetukan Adam, “lagian
kalau semua harapan harus sesuai kenyataan, dari mana kita bisa belajar sabar
dan ikhlas?” Aia menirukan kalimat Zia.
“Wooow …,” Adam berseru terkejut mendengar kalimat
Aia. Tidak menyangka adiknya akan sedewasa itu menghadapi masalah.
Terlebih Bunda yang sejak minggu lalu khawatir Aia
masih belum bisa menerima Ayahnya yang akan menikah lagi. Sekarang ia bisa
tersenyum lega karena putrinya bisa menyikapi hal ini dengan dewasa. “Jadi,
sekarang sudah ikhlas?”
“Ikhlas kok nggak mau datang!” lagi-lagi Adam nyeletuk
saat Aia baru mengangguk dan hendak menjawab.
Kali ini Aia menghela napas kesal. “Iih, Abang jangan
nyela dong! Aia tadinya mau ikut! Tapi, dua minggu yang lalu Aia sama temen-temen
rohis udah buat agenda di sekolah besok!” Aia ngotot. Berhenti sejenak. “Aia
nggak bisa ninggalin itu …,” nada bicaranya melemah.
Aia menelan ludah. Bohong! Sebenarnya Aia bisa saja
meninggalkan agenda itu. Teman-teman pasti mengerti jika ia sampaikan
alasannya. Tapi, Aia tidak ingin. Bukan tidak ikhlas. Hanya saja belum siap.
Belum siap melihat Ayah yang akan punya keluarga
baru. Itu artinya sebentar lagi ia akan kehilangan Ayah. Ah, apa itu artinya ia belum benar-benar ikhlas?
Adam meninggalkan forum ketika mendengar handphone-nya
berdering di kamar. Sementara Bunda, melihat ekspresi Aia berubah,
memilih mengganti topik
pembicaraan. Ia juga tidak terlalu
berminat membicarakan ini lebih lanjut. “Oh ya, Bunda
sudah cerita belum ya ke Aia soal
Tante Nur, teman lama Bunda?”
Aia
menoleh. Mengernyitkan dahi. Lalu menggeleng setelah memastikan ingatannya
bahwa Bunda tidak pernah menyebut nama itu sebelumnya.
“Jadi
dulu, waktu sama-sama di pesantren, Bunda sama tante Nur itu sangat dekat, Ai.
Sahabatan. Tapi setelah lulus, karena Bunda melanjutkan sekolah di SMA negeri
sementara Tante Nur tetap pesantren. Akhirnya kita nggak pernah ketemu lagi,”
cerita Bunda yang berusaha mengalihkan perhatian Aia.
“Nggak
sangka. Waktu Bunda ikut seminar di Bandung akhir tahun kemarin. Bunda bertemu
Tante Nur lagi. Kebetulan dia juga sedang ada seminar di sana. Dulu, Tante Nur sering sekali
mengatakan akan jadi orang besar. Sekarang dia sudah mewujudkannya,” tambahnya
sambil mengenang masa-masa pesantrennya dulu.
Aia
sebenarnya tidak tertarik mendengarkan. Tapi, untuk terlihat lebih menyimak,
Aia bertanya meski pelan, “Orang besar gimana,
Bun?”. Padahal, Aia
juga tidak tahu siapa orang yang sedang Bunda bicarakan itu.
“Tante
Nur sekarang aktivis perempuan. Dan ternyata beliau juga guru besar di kampus Abang, lho.
Kalau Aia bertemu dengan Tante Nur, pasti Aia suka,” ujar Bunda mengingat
anaknya sekarang terlihat lebih religius.
Jadi, Bunda pikir jika Aia dan Nur bertemu, mereka pasti cocok.
“Wah ... hebat banget dong,
Bun,” ujar Aia. Kampus Abang
kan, salah satu universitas Islam yang lumayan punya nama
di ibukota, sudah pasti beliau orang besar,
pikir Aia.
Aia
mulai tertarik dengan cerita Bunda. Kagum pada teman yang Bunda ceritakan. Yang
ada di benak Aia, Nur adalah seorang intelektual muslimah. Paham agama, cerdas
serta berdedikasi penuh terhadap perempuan. Hebat bukan?
“Bunda
tahu banyak tentang masalah perempuan juga dari Tante Nur,” aku Bunda.
“Termasuk
sejarah perempuan yang pernah Bunda cerita?” tanya Aia. Semua tersimpan baik di
memorinya. Tentang sejarah itu.
“Sebagian, ya.”
***
Ternyata
Bunda cukup sering bertemu dengan teman lamanya itu. Kadang Bunda juga diundang
menghadiri seminar, bedah buku atau apalah yang Nur terlibat di dalamnya. Dan
dengan senang hati, Bunda memenuhi undangan itu. Aia tahu semua. Karena setelah
menghadiri acara-acara tersebut, paginya, di meja makan, Bunda akan
menceritakan semua. Satu lagi, Bunda juga terlihat sedang rajin membaca
buku-buku yang diberikan oleh Nur.
Akhir-akhir
ini Bunda senang sekali mengomentari isu-isu yang berkaitan dengan perempuan.
Malam itu, kebetulan sepulang kerja Bunda menonton berita di televisi. Aia
duduk di sebelah Bunda, sibuk membolak-balik lembar demi lembar majalah
langganan Bunda.
“Makanya
perempuan juga harus mandiri. Kalau masih bergantung jadinya begini,” gumam
Bunda mengomentari berita KDRT.
Mendengar
komentar Bunda, Aia mengalihkan perhatiannya dari majalah ke televisi. Menyimak
hingga mendapat poin berita tersebut, kemudian bertanya, “Itu kan kasus KDRT
Bun, apa hubungannya dengan mandiri atau nggak?”
“Kalau
istri masih bergantung sepenuhnya pada suami. Yang terjadi ya seperti itu! Suami akan dengan
mudah bersikap semena-mena pada istri,” jelas Bunda sambil mendongakkan wajah
ke televisi. “Makanya, istri juga harus punya penghasilan sendiri. Kalau istri
mandiri, suami juga nggak akan berani semena-mena apalagi melakukan KDRT,”
tambah Bunda.
Aia
mengerutkan dahi, “Lho, tapi suami kan memang bertanggung jawab menafkahi
istrinya. Jadi, bukannya wajar kalau istri bergantung pada suami?”
“Iya,
tapi kalau istri bergantung sepenuhnya. Akhirnya suami justru nggak menghargai
istri. Makanya, nanti kalau Aia sudah berumah tangga, Aia juga harus jadi istri
yang mandiri.”
Aia
kembali mengerutkan dahi, “Bukannya Tante Yasti juga kerja? Tapi tetap jadi
korban KDRT, Bun.”
Aia
menatap Bunda lekat-lekat, hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Aia menelan
ludah. Bukannya
dulu, setelah bekerja, Bunda justru berpisah dengan Ayah?
Bunda
sempat merasakan getaran dalam tatapan
Aia. Refleks membuatnya juga ikut
menatap Aia. Bunda menghela napas. Menghilangkan getaran aneh itu. “Nanti kalau
sudah berumah tangga, baru Aia mengerti,” ujar Bunda seraya mengambil majalah
dari tangan Aia yang hendak protes. Tapi Bunda kembali berkata sambil menunjuk
jam dinding dengan matanya, “sudah jam sebelas. Tidur,
Ai.”
“Nanti
aja ah, belum ngantuk,” sahut
Aia seraya menekan Hp-nya sembarangan. Hp-nya menyala seketika. “Bunda juga
belum mau tidur, kan?”
“Bunda
masih ada pekerjaan yang mau diselesaikan.”
“Ya
Allah … Bunda kan baru pulang kerja! Masa sekarang mau kerja lagi? Yang
harusnya istirahat itu justru Bunda,” ucap Aia lalu menyandarkan kepala di bahu
Bunda. Aia heran, kenapa pekerjaan Bunda begitu banyak? Padahal, Bunda sudah
cukup sering lembur.
Kadang
Aia juga merasa kasihan dengan Bunda. Menjadi ibu dan tulang punggung keluarga
sekaligus. Pasti
sangat lelah. Coba kalau Bunda tidak pernah berpisah dengan Ayah, pasti Bunda
tidak perlu melakukan ini. Dan pastinya, ia dan kakaknya juga tidak perlu
kehilangan sosok Ayah dan Bunda di
rumah. Ah, lupa! Sekarang Ayah kan sudah punya keluarga
baru. Entah kenapa Aia masih saja menyimpan harapan bahwa Ayah dan Bunda bisa
kembali bersama.
Sementara
Aia sibuk dengan pikirannya, Bunda hanya tersenyum. Mau bagaimana lagi,
pekerjaannya memang seringkali menumpuk. Menunggu giliran untuk diselesaikan.
Meski ia tahu betul bahwa pekerjaan ini membuatnya tak bisa terus berada di
samping Aia dan Adam saat mereka membutuhkannya. Tapi, demi membuat ia dan
kedua anaknya bertahan hidup dan tidak kekurangan, Bunda (terpaksa) akan tetap
melakukannya.
***
Bagian 5 - Ayah [Part I]
Bagian 5 - Ayah [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Jumat, Februari 17, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar