Jumat, 17 Februari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.25 WIB
Aia terus menarik Bi Tiah masuk ke dalam taksi. Sementara yang ditarik hanya bisa pasrah mengikuti. “Ayo Pak, kita berangkat,” ucap Aia pada Sopir taksi yang bergegas masuk mobil. Tangannya terampil memutar kunci, menarik tuas, kemudian menginjak gas perlahan.

Taksi melesat membelah jalan sore ibukota yang kalian pasti tahu, macet. Aia sudah memprediksi, itulah mengapa ia berangkat tiga jam lebih awal dari jadwal pesawat Bunda yang baru landing sekitar jam tujuh nanti.

Aia membenamkan tubuh di kursi taksi. Memejamkan mata. Inginnya tidur sejenak. Bukannya tidur, ia malah kembali teringat kejadian malam itu.

Rabu malam, 22 Februari 2012

Ingat betul malam itu, setelah menelepon Bunda dan menemui Adam di kamar, Aia merasa tidak ada yang mengerti perasaannya. Sama sekali tidak ada yang mau mendengarkannya. Bahkan kemudian berani memprotes Allah. Kenapa Ayah harus menikah dengan perempuan lain? Semua orang bilang Engkau Maha mengabulkan do’a? Kenapa do’aku selama bertahun-tahun tidak  Kau kabulkan? Aarrggh … Aia benar-benar tidak bisa menerimanya waktu itu!

Hingga tiba-tiba Aia teringat Zia. Menimbang sesaat, akhirnya memberanikan diri menelepon. Ya Allah … Aia masih ingat rasanya hingga hari ini. Ketika Zia dengan sabar mendengarkannya yang masih sambil terisak. Bahkan tidak berkomentar hingga Aia selesai.

“Aia kecewa banget ya?” tanya Zia diujung telepon. Berusaha mengerti apa yang Aia rasakan.

Sementara Aia hanya bisa mengangguk sambil terisak meski tahu kalau Zia jelas tidak melihat anggukannya. Tapi, ia sudah tidak bisa bahkan untuk sekedar berkata “ya”.

“Ya, pasti kecewa banget kalau harapan kita nggak sesuai dengan kenyataan,” Zia bersuara lagi, “tapi, Aia juga harus tetap yakin Allah Maha mengabulkan do’a hamba-Nya. Karena kadang Allah mengabulkan do’a dengan langsung memberi yang kita minta. Kadang juga Allah mengabulkannya dengan cara memberi kita yang lebih baik dari yang kita minta. Atau, kadang Allah menyimpannya hingga di akhirat.”

Lengang sejenak.

Aia menarik nafas dalam-dalam. Dari suaranya, Aia tahu Zia sedang tersenyum di sana.

“Bismillah. Ikhlas, Ai. Berat memang. Tapi, sebagai muslim, kita harus ridho dengan semua ketetapan Allah. Yakin, Allah tahu mana yang terbaik untuk hamba-Nya. Mungkin juga Allah ingin menguji Aia. Coba deh, kalau semua harapan kita harus sesuai kenyataan, dari mana kita bisa belajar sabar dan ikhlas? Dan … Aia juga harus yakin bahwa Allah tidak akan menguji hamba di luar kemampuannya.”

Nasihat Zia malam itu membuat Aia merenung semalaman. Baru sadar kalau ia hanya sibuk mengeluh bahkan kemudian memprotes Allah akan semua yang menimpanya. Padahal Allah punya hak prerogatif untuk menentukan siapa saja diuji dengan apa saja. Sebagai hamba, kita harus ikhlas menerima semua ketetapanNya. Dan yakin, laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa. Allah tidak akan menguji hamba di luar kemampuan-Nya.

Dan tahu apa lagi yang Aia sadari malam itu? Aia jadi mengerti kenapa saat SMA Adam tumbuh menjadi anak yang tidak terkendali. Karena ada saat di mana Adam membutuhkan Bunda. Sementara Bunda tidak dapat memenuhinya. Seperti ia yang kemudian mencari seseorang yang bisa mengerti. Adam juga mencari. Bedanya, Adam salah tempat. Ia bertemu dengan teman-teman yang buruk. Ikutlah Adam bersama mereka. Tapi, Allah memberi nikmat lebih. Ditunjuki-Nya Aia jalan yang lebih baik. Dipertemukan-Nya Aia dengan orang-orang yang baik.

Aia menghela napas. Memperbaiki posisi bersandarnya di dalam taksi. Kelak, jika ia menjadi ibu, akan ia pastikan bahwa ia selalu ada saat anak-anak membutuhkannya. Pikir Aia. Hah, anak? Aku kan baru SMA. Gumam hatinya yang shock sendiri tiba-tiba terpikirkan hal itu.

Eh, tapi ada benarnya juga sih. Semua perempuan kan, akan menjadi ibu? Mungkin akan lebih baik kalau dipersiapkan dari sekarang. Aia tiba-tiba berubah pikiran. Apalagi mengingat bagaimana ia membutuhkan Bunda. Itu artinya peran ibu sangat penting bagi anak-anaknya.

***

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 17.00 WIB

Setelah hubungannya dengan Ayah renggang karena keputusan Ayah, ah, bukan! Sebenarnya Aia lah yang berusaha menghindar tiap kali Ayah menghubungi. Yang juga tidak bisa terlupa adalah saat itu hubungannya dengan Bunda mulai goyah. Aia ingat betul saat pertama kali Bunda mulai bercerita tentang teman lamanya, Nur, lebih tepatnya Prof. DR. Nuriyah, MA. Agaknya tidak salah kalau Aia anggap wanita itulah yang menjadi awal dari semua yang menurutnya ... rumit.

3 Maret 2012

Sinar matahari menelisik jendela ruang tamu. Menghangatkan seisi rumah. Meski tidak sehangat hati Aia pagi ini.

“Aia benar nggak mau ikut Abang ke Yogya?” tanya Bunda.

Seperti biasa, perbincangan di meja makan saat sarapan. Kebetulan Adam tengah sibuk berkemas untuk berangkat ke Yogyakarta siang ini. Pernikahan Ayah akan berlangsung besok.

Aia berhenti memotong roti, menghela napas pelan. Menggigit bibir baru kemudian menjawab, “tadinya sih kepikiran mau ikut. Tapi ….”

“Ciee …. Jadi udah bisa terima kenyataan, De?” celetuk Adam yang baru keluar kamar. Jahil mengambil roti yang sudah Aia potong. Duduk di sebelahnya. Dengan cepat memasukkan roti ke mulut sebelum Aia sempat mengambilnya kembali.

Aia refleks memukul lengan Adam.

“Iyalah!” ucap Aia menjawab celetukan Adam, “lagian kalau semua harapan harus sesuai kenyataan, dari mana kita bisa belajar sabar dan ikhlas?” Aia menirukan kalimat Zia.

“Wooow …,” Adam berseru terkejut mendengar kalimat Aia. Tidak menyangka adiknya akan sedewasa itu menghadapi masalah.

Terlebih Bunda yang sejak minggu lalu khawatir Aia masih belum bisa menerima Ayahnya yang akan menikah lagi. Sekarang ia bisa tersenyum lega karena putrinya bisa menyikapi hal ini dengan dewasa. “Jadi, sekarang sudah ikhlas?”

“Ikhlas kok nggak mau datang!” lagi-lagi Adam nyeletuk saat Aia baru mengangguk dan hendak menjawab.

Kali ini Aia menghela napas kesal. “Iih, Abang jangan nyela dong! Aia tadinya mau ikut! Tapi, dua minggu yang lalu Aia sama temen-temen rohis udah buat agenda di sekolah besok!” Aia ngotot. Berhenti sejenak. “Aia nggak bisa ninggalin itu …,” nada bicaranya melemah.

Aia menelan ludah. Bohong! Sebenarnya Aia bisa saja meninggalkan agenda itu. Teman-teman pasti mengerti jika ia sampaikan alasannya. Tapi, Aia tidak ingin. Bukan tidak ikhlas. Hanya saja belum siap. Belum siap melihat Ayah yang akan punya keluarga baru. Itu artinya sebentar lagi ia akan kehilangan Ayah. Ah, apa itu artinya ia belum benar-benar ikhlas?

Adam meninggalkan forum ketika mendengar handphone-nya berdering di kamar. Sementara Bunda, melihat ekspresi Aia berubah, memilih mengganti topik pembicaraan. Ia juga tidak terlalu berminat membicarakan ini lebih lanjut. “Oh ya, Bunda sudah cerita belum ya ke Aia soal Tante Nur, teman lama Bunda?”

Aia menoleh. Mengernyitkan dahi. Lalu menggeleng setelah memastikan ingatannya bahwa Bunda tidak pernah menyebut nama itu sebelumnya.

“Jadi dulu, waktu sama-sama di pesantren, Bunda sama tante Nur itu sangat dekat, Ai. Sahabatan. Tapi setelah lulus, karena Bunda melanjutkan sekolah di SMA negeri sementara Tante Nur tetap pesantren. Akhirnya kita nggak pernah ketemu lagi,” cerita Bunda yang berusaha mengalihkan perhatian Aia.

“Nggak sangka. Waktu Bunda ikut seminar di Bandung akhir tahun kemarin. Bunda bertemu Tante Nur lagi. Kebetulan dia juga sedang ada seminar di sana. Dulu, Tante Nur sering sekali mengatakan akan jadi orang besar. Sekarang dia sudah mewujudkannya,” tambahnya sambil mengenang masa-masa pesantrennya dulu.

Aia sebenarnya tidak tertarik mendengarkan. Tapi, untuk terlihat lebih menyimak, Aia bertanya meski pelan, “Orang besar gimana, Bun?”. Padahal, Aia juga tidak tahu siapa orang yang sedang Bunda bicarakan itu.

“Tante Nur sekarang aktivis perempuan. Dan ternyata beliau juga guru besar di kampus Abang, lho. Kalau Aia bertemu dengan Tante Nur, pasti Aia suka,” ujar Bunda mengingat anaknya sekarang terlihat lebih religius. Jadi, Bunda pikir jika Aia dan Nur bertemu, mereka pasti cocok.

“Wah ... hebat banget dong, Bun,” ujar Aia. Kampus Abang kan, salah satu universitas Islam yang lumayan punya nama di ibukota, sudah pasti beliau orang besar, pikir Aia.

Aia mulai tertarik dengan cerita Bunda. Kagum pada teman yang Bunda ceritakan. Yang ada di benak Aia, Nur adalah seorang intelektual muslimah. Paham agama, cerdas serta berdedikasi penuh terhadap perempuan. Hebat bukan?

“Bunda tahu banyak tentang masalah perempuan juga dari Tante Nur,” aku Bunda.

“Termasuk sejarah perempuan yang pernah Bunda cerita?” tanya Aia. Semua tersimpan baik di memorinya. Tentang sejarah itu.

“Sebagian, ya.”

***

Ternyata Bunda cukup sering bertemu dengan teman lamanya itu. Kadang Bunda juga diundang menghadiri seminar, bedah buku atau apalah yang Nur terlibat di dalamnya. Dan dengan senang hati, Bunda memenuhi undangan itu. Aia tahu semua. Karena setelah menghadiri acara-acara tersebut, paginya, di meja makan, Bunda akan menceritakan semua. Satu lagi, Bunda juga terlihat sedang rajin membaca buku-buku yang diberikan oleh Nur.

Akhir-akhir ini Bunda senang sekali mengomentari isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Malam itu, kebetulan sepulang kerja Bunda menonton berita di televisi. Aia duduk di sebelah Bunda, sibuk membolak-balik lembar demi lembar majalah langganan Bunda.

“Makanya perempuan juga harus mandiri. Kalau masih bergantung jadinya begini,” gumam Bunda mengomentari berita KDRT.

Mendengar komentar Bunda, Aia mengalihkan perhatiannya dari majalah ke televisi. Menyimak hingga mendapat poin berita tersebut, kemudian bertanya, “Itu kan kasus KDRT Bun, apa hubungannya dengan mandiri atau nggak?”

“Kalau istri masih bergantung sepenuhnya pada suami. Yang terjadi ya seperti itu! Suami akan dengan mudah bersikap semena-mena pada istri,” jelas Bunda sambil mendongakkan wajah ke televisi. “Makanya, istri juga harus punya penghasilan sendiri. Kalau istri mandiri, suami juga nggak akan berani semena-mena apalagi melakukan KDRT,” tambah Bunda.

Aia mengerutkan dahi, “Lho, tapi suami kan memang bertanggung jawab menafkahi istrinya. Jadi, bukannya wajar kalau istri bergantung pada suami?”

“Iya, tapi kalau istri bergantung sepenuhnya. Akhirnya suami justru nggak menghargai istri. Makanya, nanti kalau Aia sudah berumah tangga, Aia juga harus jadi istri yang mandiri.”

Aia kembali mengerutkan dahi, “Bukannya Tante Yasti juga kerja? Tapi tetap jadi korban KDRT, Bun.”

Aia menatap Bunda lekat-lekat, hendak mengatakan sesuatu tapi tertahan. Aia menelan ludah. Bukannya dulu, setelah bekerja, Bunda justru berpisah dengan Ayah?

Bunda sempat merasakan getaran dalam tatapan Aia. Refleks membuatnya juga ikut menatap Aia. Bunda menghela napas. Menghilangkan getaran aneh itu. “Nanti kalau sudah berumah tangga, baru Aia mengerti,” ujar Bunda seraya mengambil majalah dari tangan Aia yang hendak protes. Tapi Bunda kembali berkata sambil menunjuk jam dinding dengan matanya, “sudah jam sebelas. Tidur, Ai.”

“Nanti aja ah, belum ngantuk,” sahut Aia seraya menekan Hp-nya sembarangan. Hp-nya menyala seketika. “Bunda juga belum mau tidur, kan?”

“Bunda masih ada pekerjaan yang mau diselesaikan.”

“Ya Allah … Bunda kan baru pulang kerja! Masa sekarang mau kerja lagi? Yang harusnya istirahat itu justru Bunda,” ucap Aia lalu menyandarkan kepala di bahu Bunda. Aia heran, kenapa pekerjaan Bunda begitu banyak? Padahal, Bunda sudah cukup sering lembur.

Kadang Aia juga merasa kasihan dengan Bunda. Menjadi ibu dan tulang punggung keluarga sekaligus. Pasti sangat lelah. Coba kalau Bunda tidak pernah berpisah dengan Ayah, pasti Bunda tidak perlu melakukan ini. Dan pastinya, ia dan kakaknya juga tidak perlu kehilangan sosok Ayah dan Bunda di rumah. Ah, lupa! Sekarang Ayah kan sudah punya keluarga baru. Entah kenapa Aia masih saja menyimpan harapan bahwa Ayah dan Bunda bisa kembali bersama.

Sementara Aia sibuk dengan pikirannya, Bunda hanya tersenyum. Mau bagaimana lagi, pekerjaannya memang seringkali menumpuk. Menunggu giliran untuk diselesaikan. Meski ia tahu betul bahwa pekerjaan ini membuatnya tak bisa terus berada di samping Aia dan Adam saat mereka membutuhkannya. Tapi, demi membuat ia dan kedua anaknya bertahan hidup dan tidak kekurangan, Bunda (terpaksa) akan tetap melakukannya.

***

Bagian 6 - Teman Lama Bunda [Part II]
Bagian 5 - Ayah [Part I]
Bagian 5 - Ayah [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar