Sabtu, 04 Februari 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.20 WIB
Tok, tok, tok.
Seseorang mengetuk pintu kamar. Membuyarkan semua ingatan Aia. Itulah terakhir kali ia bertemu dengan Ayah. Dan sampai hari ini, Aia tetap merasa belum siap jika Ayah mengajaknya bertemu. Apalagi dengan keluarga barunya.

Aia tidak mengerti, kenapa semua cahayanya meredup bahkan sirna begitu saja? Apa ia tidak boleh memiliki cahaya dalam hidup ini? Mengapa hidupnya tak seperti Bumi? Punya matahari dan bulan yang bergantian menjadi cahayanya. Sementara ia, meski bernama Cahaya. Faktanya ia justru selalu kehilangan cahaya!

Tok, tok, tok. Pintu kembali diketuk.

“Ya, kenapa, Bi?” Tidak perlu membuka pintu, Aia sudah tahu siapa yang mengetuk. Karena memang hanya mereka berdua yang sedang di rumah.

“Ada tukang taksi, Dek,” sahut Bi Tiah setengah berteriak dari balik pintu. Khawatir Aia tidak mendengar. Juga sedikit kaget, kenapa tiba-tiba ada sopir taksi yang mencari Aia. Maklum, Bi Tiah tidak pernah reservasi taksi.

Dahi Aia berkerut, tukang taksi? Memangnya, ada orang yang jualan taksi?

Ya, tentu saja bukan itu maksud Bi Tiah. Beberapa jam yang lalu Aia memang memesan taksi. Diraihnya tas kecil berwarna biru. Memasukkan satu-dua barang yang kiranya diperlukan kemudian bergegas keluar. “Ayo, Bi, temani Aia ke bandara, jemput Bunda.”

“Bibi ikut ke bandara? Sekarang?!”

Aia mengangguk, “Iyalah, sekarang! Tadi Aia lupa bilang. Bi Tiah tega Aia naik taksi sendiri?”

“Yah tahu begitu Bibi dandan dulu yang rapi,” gumam Bi Tiah.

Aia tertawa kecil, “Bibi jangan dandan, nanti sopir taksinya naksir lagi!” goda Aia.

“Ganti kerudungnya aja, deh?!” Bi Tiah menawar. Ini pertama kalinya Bi Tiah ke bandara. Masa penampilannya biasa-biasa saja, harus rapi lah sedikit.

Aia menggeleng. “Nanti telat, Bi. Kasihan sopirnya nunggu lama. Lagian, Bibi udah cantik, kok.”
Aia menarik tangan Bi Tiah. Harus segera berangkat.

Sialnya, meski tadi sempat buyar. Ingatan tentang kabar Ayah yang akan menikah kembali terkumpul. Saat di mana perasaan bahwa tidak ada satu pun yang mengerti dan peduli padanya menguasai hati. Hingga dengan alasan itu, ia merasa berhak marah atas apa yang terjadi dengan keluarganya. Singkatnya, saat di mana Aia tidak mengerti apa itu ikhlas.

***
Rabu malam, 22 Februari 2013
Nuut. Nuut. Nuut. Sambil terisak, Aia yang masih mengenakan mukena di ruang sholat, menunggu Bunda mengangkat telepon. Ini sudah kali ketiga Aia menelepon. Sudah lewat maghrib. Harusnya Bunda sudah di rumah. Namun, entah di mana Bunda sekarang. Padahal, Aia benar-benar membutuhkannya.

Sementara di seberang sana. Di gedung perkantoran berlantai empat. Usai berkoordinasi dengan dua rekannya, barulah Bunda mengangkat telepon. “Kenapa, Ai?” tanya Bunda.

“Bunda, Bunda di mana …?” suara Aia terdengar samar karena isaknya.

“Aia kenapa?!” seru Bunda panik mendengar tangis Aia. Yasti dan Rudi, dua rekan kerja yang masih berdiskusi di meja sebelah ikut menoleh mendengarnya. “Ada apa?” Bunda memelankan suara begitu sadar suaranya mengundang perhatian.

“A, Ayah, Bunda ….”

Bunda menghela napas lega. Tahu penyebab Aia menangis. “Ayah kenapa?”

Isak Aia masih terdengar, “Ayah, Ayah mau ….”

 “Ai, ini sebentar lagi Bunda mau jalan pulang,” Bunda memotong lantaran Yasti menghadap Bunda sambil membawa berkas, “kita ngobrol di rumah saja, ya? Ai? Aia?”

Sambungan terputus. Bukan karena sinyal jelek apalagi kehabisan pulsa. Telepon sengaja dimatikan oleh Aia. Kesal. Kenapa Bunda harus memotong kalimatnya?! Apa susahnya Bunda mendengarkan dulu. Sebentar saja. Aia hanya ingin mengungkapkan kekecewaannya. Bukan berkurang, kecewanya justru bertambah sekarang. Bunda tidak pernah ada saat ia butuh!

***

Benar saja. Dua jam sudah Aia menunggu. Namun, Bunda tak kunjung pulang. Tidak mendapat respon sesuai harapan dari Bunda, Aia mendatangi sang kakak. Duduk memeluk guling di sebelah Adam yang tengah memindahkan foto dari memory card ke laptop di kamar. “Abang kok bisa setuju-setuju aja Ayah mau menikah lagi?”

“Memang harus gimana, De? Mau larang Ayah menikah? Buat apa?” sahut Adam. Melirik Aia sejenak lalu kembali fokus pada pekerjaannya.

“Ya. Setidaknya. Kalau Ayah nggak menikah … kita masih bisa berharap Ayah dan Bunda kembali, Bang!” jawab Aia terbata-bata namun dengan nada yang kian meninggi. Masa Abang tidak mengerti itu?!

“De, ini sudah sebelas tahun! Mau sampai kapan mengharapkan hal yang jelas-jelas nggak mungkin?!” Adam refleks membentak. Kesal dengan adiknya yang tidak juga mengerti bahwa harapan itu semu.

Raut wajah Aia berubah seketika. Tidak kalah kesalnya dengan Adam yang seenak jidat mencela harapannya. Memang apa salahnya berharap?! Baginya tidak masalah sudah sebelas atau lima puluh tahun sekalipun! Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?!

Adam menghela napas. Baru sadar kalau barusan membentak Aia. “De, biar bagaimanapun Ayah dan Bunda sudah punya kehidupan sendiri yang nggak bisa kita campuri. Termasuk urusan ini. Kita nggak bisa paksa-paksa mereka,” Adam berusaha memberi pengertian.

“Ayah! Bunda! Abang! Semuanya sama! Nggak ada yang ngertiin Aia!” Aia menghardik.

Seraya berdiri, dilemparnya guling yang sejak tadi dipelukan ke arah Adam. Beruntung Adam sigap menangkap guling yang nyaris menimpa kamera. Ia tidak lagi berkomentar. Sementara Aia langsung berbalik. Melangkah kesal menuju kamar. Hatinya terus menghardik. Apa semua orang di rumah ini sudah tidak lagi peduli padanya?! Kenapa tidak ada yang mengerti perasaannya?! Baiklah. Aia tahu, harapan itu mungkin semu. Tapi, tidak adakah yang bersedia sedikit menghiburnya? Berpura-pura mengerti untuk tidak mencela harapan itu. Baik. Baik. Tidak perlu menghibur. Cukup duduk di sebelahnya. Lalu biarkan ia mengungkapkan semua perasaaanya. Ya, Aia hanya butuh didengar.

Namun, apa daya? Tak ada seorang pun bersedia duduk di sebelahnya. Hanya bisa duduk memeluk bantal di tempat tidur. Menangis tanpa suara sejadi-jadinya. Bulir-bulir bening yang perlahan menderas jadi saksi betapa terguncangnya jiwa Aia menghadapi semua sendiri. Ya Allah, bukankah Engkau Maha membolak-balikkan hati? Kenapa tidak Kau kembalikan saja hati Ayah dan Bunda seperti dulu?  Bukankah Engkau Maha Mengabulkan do’a? Kenapa do’aku yang bertahun-tahun itu tidak pernah Kaukabulkan?! Protes Aia lirih.

Dan Bunda? Kemana wanita lembut yang seharusnya ada di sisinya saat ini? Bukankah hal yang wajar jika berharap bahwa saat ini Bunda memeluk dan menenangkannya? Menemani Aia menghadapi kenyataan yang terasa pahit baginya?
***
Bagian 6 - Teman Lama Bunda [Part I]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar