Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 16.20 WIB
Tok,
tok, tok.
Seseorang
mengetuk pintu kamar. Membuyarkan semua ingatan Aia. Itulah terakhir kali ia bertemu
dengan Ayah. Dan sampai hari ini, Aia tetap merasa belum siap jika Ayah
mengajaknya bertemu. Apalagi
dengan keluarga barunya.
Aia
tidak mengerti, kenapa semua cahayanya meredup bahkan sirna begitu saja? Apa ia tidak boleh memiliki cahaya
dalam hidup ini? Mengapa hidupnya tak seperti Bumi? Punya matahari dan bulan
yang bergantian menjadi cahayanya.
Sementara ia, meski bernama Cahaya. Faktanya ia justru selalu kehilangan
cahaya!
Tok,
tok, tok. Pintu kembali diketuk.
“Ya,
kenapa, Bi?” Tidak perlu membuka pintu, Aia sudah tahu siapa yang mengetuk.
Karena memang hanya mereka berdua yang sedang di rumah.
“Ada
tukang taksi, Dek,”
sahut Bi Tiah setengah berteriak dari balik pintu. Khawatir Aia tidak
mendengar. Juga sedikit kaget, kenapa tiba-tiba ada sopir taksi yang mencari
Aia. Maklum, Bi Tiah tidak pernah reservasi
taksi.
Dahi Aia berkerut,
tukang taksi? Memangnya, ada orang yang jualan taksi?
Ya, tentu saja bukan itu maksud Bi Tiah. Beberapa
jam yang lalu Aia
memang memesan taksi. Diraihnya tas
kecil berwarna biru. Memasukkan satu-dua barang yang kiranya diperlukan
kemudian bergegas keluar. “Ayo, Bi, temani Aia ke
bandara, jemput Bunda.”
“Bibi
ikut ke bandara? Sekarang?!”
Aia
mengangguk, “Iyalah, sekarang! Tadi Aia lupa bilang. Bi Tiah tega Aia naik
taksi sendiri?”
“Yah … tahu begitu Bibi
dandan dulu yang rapi,” gumam Bi Tiah.
Aia
tertawa kecil, “Bibi jangan dandan, nanti sopir taksinya naksir lagi!” goda
Aia.
“Ganti
kerudungnya aja, deh?!” Bi Tiah menawar. Ini pertama kalinya Bi Tiah ke
bandara. Masa penampilannya biasa-biasa saja, harus rapi lah sedikit.
Aia
menggeleng. “Nanti telat, Bi. Kasihan sopirnya nunggu lama. Lagian, Bibi udah
cantik, kok.”
Aia
menarik tangan Bi Tiah. Harus segera berangkat.
Sialnya, meski tadi sempat buyar. Ingatan tentang
kabar Ayah yang akan menikah kembali terkumpul. Saat di mana perasaan bahwa
tidak ada satu pun yang mengerti dan peduli padanya menguasai hati. Hingga
dengan alasan itu, ia merasa berhak marah atas apa yang terjadi dengan
keluarganya. Singkatnya, saat di mana Aia tidak mengerti apa itu ikhlas.
***
Rabu malam, 22 Februari 2013
Nuut. Nuut. Nuut. Sambil terisak, Aia yang masih
mengenakan mukena di ruang sholat, menunggu Bunda mengangkat telepon. Ini sudah
kali ketiga Aia menelepon. Sudah lewat maghrib. Harusnya Bunda sudah di rumah.
Namun, entah di mana Bunda sekarang. Padahal, Aia benar-benar membutuhkannya.
Sementara di seberang sana. Di gedung perkantoran
berlantai empat. Usai berkoordinasi dengan dua rekannya, barulah Bunda
mengangkat telepon. “Kenapa, Ai?” tanya Bunda.
“Bunda, Bunda di mana …?” suara Aia terdengar samar
karena isaknya.
“Aia kenapa?!” seru Bunda panik mendengar tangis Aia. Yasti
dan Rudi, dua rekan kerja yang masih berdiskusi di meja sebelah ikut menoleh
mendengarnya. “Ada apa?” Bunda memelankan suara begitu sadar suaranya
mengundang perhatian.
“A, Ayah, Bunda ….”
Bunda menghela napas lega. Tahu penyebab Aia menangis.
“Ayah kenapa?”
Isak Aia masih terdengar, “Ayah, Ayah mau ….”
“Ai, ini sebentar
lagi Bunda mau jalan pulang,” Bunda memotong lantaran Yasti menghadap Bunda
sambil membawa berkas, “kita ngobrol di rumah saja, ya? Ai? Aia?”
Sambungan terputus. Bukan karena sinyal jelek apalagi
kehabisan pulsa. Telepon sengaja dimatikan oleh Aia. Kesal. Kenapa Bunda harus
memotong kalimatnya?! Apa susahnya Bunda mendengarkan dulu. Sebentar saja. Aia
hanya ingin mengungkapkan kekecewaannya. Bukan berkurang, kecewanya justru
bertambah sekarang. Bunda tidak pernah ada saat ia butuh!
***
Benar saja. Dua jam sudah Aia menunggu. Namun, Bunda
tak kunjung pulang. Tidak mendapat respon sesuai harapan dari Bunda, Aia
mendatangi sang kakak. Duduk memeluk
guling di sebelah Adam yang tengah memindahkan foto dari memory card ke
laptop di kamar. “Abang kok bisa setuju-setuju aja Ayah mau menikah lagi?”
“Memang harus gimana, De? Mau larang Ayah menikah?
Buat apa?” sahut Adam. Melirik Aia sejenak lalu kembali fokus pada
pekerjaannya.
“Ya. Setidaknya. Kalau Ayah nggak menikah … kita masih
bisa berharap Ayah dan Bunda kembali, Bang!” jawab Aia terbata-bata namun dengan
nada yang kian meninggi. Masa Abang tidak mengerti itu?!
“De, ini sudah sebelas tahun!
Mau sampai kapan mengharapkan hal yang jelas-jelas
nggak mungkin?!” Adam refleks membentak. Kesal dengan adiknya yang tidak juga
mengerti bahwa harapan itu semu.
Raut wajah Aia berubah seketika. Tidak kalah kesalnya
dengan Adam yang seenak jidat mencela harapannya. Memang apa salahnya
berharap?! Baginya tidak masalah sudah sebelas atau lima puluh tahun sekalipun!
Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?!
Adam menghela napas. Baru sadar kalau barusan
membentak Aia. “De, biar bagaimanapun Ayah dan Bunda sudah punya kehidupan sendiri
yang nggak bisa kita campuri. Termasuk urusan ini. Kita nggak bisa paksa-paksa
mereka,” Adam berusaha memberi pengertian.
“Ayah! Bunda! Abang! Semuanya sama! Nggak ada yang
ngertiin Aia!” Aia menghardik.
Seraya berdiri, dilemparnya guling yang sejak tadi
dipelukan ke arah Adam. Beruntung Adam sigap menangkap guling yang nyaris
menimpa kamera. Ia tidak lagi berkomentar. Sementara Aia langsung berbalik. Melangkah
kesal menuju kamar. Hatinya terus menghardik. Apa semua orang di rumah ini
sudah tidak lagi peduli padanya?! Kenapa tidak ada yang mengerti perasaannya?!
Baiklah. Aia tahu, harapan itu mungkin semu. Tapi, tidak adakah yang bersedia
sedikit menghiburnya? Berpura-pura mengerti untuk tidak mencela harapan itu. Baik.
Baik. Tidak perlu menghibur. Cukup duduk di sebelahnya. Lalu biarkan ia
mengungkapkan semua perasaaanya. Ya, Aia hanya butuh didengar.
Namun, apa daya? Tak ada seorang pun bersedia duduk di
sebelahnya. Hanya bisa duduk memeluk bantal di tempat tidur. Menangis tanpa
suara sejadi-jadinya. Bulir-bulir bening yang perlahan menderas jadi saksi
betapa terguncangnya jiwa Aia menghadapi semua sendiri. Ya Allah, bukankah
Engkau Maha membolak-balikkan hati? Kenapa tidak Kau kembalikan saja hati Ayah
dan Bunda seperti dulu? Bukankah
Engkau Maha Mengabulkan do’a? Kenapa do’aku yang bertahun-tahun itu tidak
pernah Kaukabulkan?! Protes Aia lirih.
Dan Bunda? Kemana wanita lembut yang seharusnya ada di
sisinya saat ini? Bukankah hal yang wajar jika berharap bahwa saat ini Bunda
memeluk dan menenangkannya? Menemani Aia menghadapi kenyataan yang terasa pahit
baginya?
***
Bagian 6 - Teman Lama Bunda [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 04, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar