Sabtu, 25 Februari 2017

Sejak percakapannya dengan Bunda tentang Kartini. Aia mulai menyadari ada yang berbeda dari yang ia dan Bunda pahami. Aia tidak tahu persis sejauh apa Bunda meyakini kesetaraan gender. Yang Aia tahu Bunda masih tetap menjalin hubungan dengan orang yang Bunda sebut, Nur. Bahkan, saat pengambilan raport kenaikan kelas kemarin, Bi Tiah lagi-lagi menjadi badal Bunda yang lebih memilih menghadiri undangan Nur. Entah undangan apa. Aia benar-benar tidak berminat mencari tahu.

Lambat laun kedekatan Bunda dengan Nur membuat Aia mulai bertanya-tanya. Jika kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam, seandainya Bunda berpihak pada Nur dan pemikirannya tentang itu, apa Bunda berada di posisi yang salah?

Sebenarnya ingin sekali mencari solusi. Tapi, Aia juga belum berani, malu lebih tepatnya, untuk menceritakan ini pada Zia atau pada Raras dan Azki. Entahlah. Hanya takut mereka berpikir buruk tentang Bunda. Lagi pula, siapa tahu ia yang salah mengira. Berpikir bahwa Bunda setuju dengan kesetaraan gender padahal sebenarnya tidak. Atau siapa tahu itu hanya karena Bunda baru bertemu dengan Nur, teman lamanya. Nanti, seiring dengan kesibukan kerjanya, Bunda juga akan lupa dengan semua itu.

Aaarrggh! Masalahnya seberapapun Aia mencoba mengalihkan. Tetap saja kekhawatiran bahwa Bunda benar-benar setuju dengan kesetaraan gender tidak bisa ia tepis!

Belum habis pertanyaan Aia tentang Bunda. Tiba-tiba sebuah berita di salah satu stasiun TV menambah rumit hidupnya. Sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara Aia dengan berita itu. Tapi, sungguh benda berbentuk kotak itu seperti punya sihir. Menyihir siapapun yang ada di hadapnya.

Aia mengerti sekarang, media adalah alat paling ampuh dalam membangun opini publik. Opini yang dibuat stasiun TV tersebut benar-benar memengaruhi publik. Meski menuai kontroversi, belum pasti kebenarannya, tetap saja pada kenyataannya publik meyakini –menelan bulat-bulat- bahwa apa yang disampaikan oleh media adalah kebenaran. Aia merasakan benar bagaimana opini yang diciptakan stasiun TV tersebut juga berdampak padanya.

9 September 2012

“Apa-apaan nih berita!” protes Aia yang menyimak infografis yang ditampilkan program berita sore di sebuah stasiun TV swasta. Tangannya langsung meraih smartphone. Mengetik pesan sambil tetap menyimak.

“Kenapa Dek beritanya?” Bi Tiah yang melintas hendak ke toko sembako di depan menunda langkahnya dan malah ikut menyimak berita.

Adam yang baru pulang pun langsung ikut menyimak siaran berita tersebut. Duduk seraya menyenggol bahu Aia lalu mendongakkan kepalanya ke arah televisi. Bertanya, ada apa?

Aia tidak menyahut. Masih sibuk membaca infografis yang terpampang di layar kaca.

Pola Rekrutmen Teroris Muda :
  1. Sasarannya siswa SMP akhir-SMA dari sekolah-sekolah umum.
  2. Masuk melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah.
  3. Siswa-siswi yang terlihat tertarik kemudian diajak diskusi di luar sekolah.
  4. Dijejali berbagai kondisi sosial yang buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang.
  5. Dijejali dengan doktrin bahwa penguasa adalah thaghut/kafir/musuh.
Awas, Generasi Baru Teroris!

“Masuk melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah? Ini sih sama aja menuduh rohis jadi tempat rekrutmen teroris!” seru Aia kesal. Sebagai anak rohis tentu saja ia tidak terima dengan pemberitaan itu.

“Wah, hati-hati lu, De! Jangan-jangan lu yang jadi target selanjutnya!” cetus Adam yang tak kalah serius menyimak.

“Enak aja!” Aia memukul lengan Adam, “Nggak lah! Rohis sekolah Aia mana pernah ngajarin yang nggak benar!” bantahnya.

“Iya, nggak mungkin lah Bang Adam. Masa Dek Aia baik gini jadi teroris,” Bi Tiah membela. Buatnya, yang dikatakan Adam tidak mungkin terjadi. Yang Bi Tiah lihat justru banyak perubahan positif pada Aia sejak aktif di rohis.

“Tahu nih, Abang! Mana mungkin teroris potongannya manis begini!” gurau Aia seraya mengangkat alis.

Adam malah memasang ekspresi mau muntah mendengarnya.

“Itu beritanya yang salah, tuh! Nanti Aia laporin ke KPK!” ucap Aia ketus.

“KPK?” Adam bergumam heran.

“Eh, salah ya, KPI maksudnya,” Aia nyengir sambil menutupi setengah wajahnya dengan bantal sofa.
Bi Tiah tertawa geli melihat Aia dan Adam. Geleng-geleng kepala lalu beranjak ke depan. Melanjutkan misinya, membeli sesuatu.

“Hati-hati lu, De! Jadi teroris dimarahin Bunda, lho!” goda Adam lagi.

Aia buru-buru melempar bantal ke arah Adam yang tidak kalah cepat menghindar.

***

Aia pikir hanya dia yang merasa kesal, tidak terima atas pemberitaan sore itu. Ternyata anak-anak GARIS yang lain juga demikian. Sebal sekali dengan berita yang secara tidak langsung mencoreng nama rohis, yang selama ini menjadi wadah bagi mereka untuk mengkaji islam serta belajar mendakwahkannya.

Bagi mereka, rohis ibarat cahaya yang berpendar di tengah kegelapan. Di tengah kondisi pergaulan remaja yang “gelap”. Rohis memberi cahaya, memperlihatkan pada mereka bahwa ada jalan lain yang bisa mereka pilih. Ya, begitulah. Jika seseorang sudah memiliki pemahaman yang sama. Maka perasaannya terhadap sesuatu pun akan sama.

Hei. Ternyata tidak hanya anak-anak GARIS. Anak-anak rohis se-Indonesia bahkan alumni rohis juga ikut resah dan memprotes stasiun TV tersebut. Mereka juga membuat gerakan menuntut stasiun TV tersebut sebagai wujud protes dan ketidaksetujuan mereka pada pemberitaan kontroversial itu via media sosial. Sayangnya, saat protes terus bergulir. Ternyata tetap ada orang-orang yang terlanjur menganggap yang disampaikan berita itu sebagai kebenaran.

Seperti keesokan harinya saat Aia bersama Raras dan Azki baru saja tiba di sekolah. Ada yang aneh hari ini. Sepanjang menyusuri koridor menuju kelas, rasanya semua tatapan tertuju pada mereka. Tatapan aneh, takut, jijik bahkan tatapan jaksa penuntut umum pada terdakwa. Tatapan yang membuat Aia, Raras dan Azki saling tatap. Memeriksa diri sendiri dari atas hingga bawah. Bertanya, apa ada yang salah? Apa kita salah kostum hari ini? Sesekali Aia menatap balik –melototi-. Kalau sudah begitu, yang awalnya menatap akan mengalihkan tatapannya. Tapi, tiba-tiba ….

 “Sssst, awas hati-hati! Ada calon teroris!” celetuk salah seorang siswa yang sedang berdiri di depan pintu kelas. Celetukan itu langsung disambut tawa terbahak dari lima orang siswa lainnya. Mereka anak-anak kelas 2 IPS.

Mendengar celetukan itu, kontan Aia menghentikan langkah dan menoleh ke arah adik kelasnya. “Eh, apa maksud kalian?!” Aia bertanya geram. Hendak mendekati mereka tapi Raras dan Azki menahannya.

Adik kelas yang tadinya begitu pongah mendadak ciut melihat ekspresi Aia. Salah seorang dari mereka tetap berusaha cool, “Emang gitu, kok. Kakak nggak lihat berita kemarin sore?”

Mendengar itu, langsung mengerti lah mereka bertiga. Jadi, itu penyebabnya?!

***

21 September 2012

Aia pikir itu hanya angin lalu. Dalam satu-dua hari semua akan kembali normal. Salah! Hari-hari berikutnya cap “calon teroris” tetap melekat pada mereka. Bukan cuma Aia, Raras dan Azki. Melainkan semua siswa yang bergabung di GARIS. Tidak semua siswa begitu memang. Tapi, kebanyakan seperti itu.

“Sumpah, itu berita parah!” komentar Rizky saat rapat GARIS.

“Khawatirnya ini bakal berpengaruh buat GARIS, lho. Sekarang aja, anak-anak lain mandang kita jadi negatif,” ucap Raras.

“Iya, benar. Lama-lama berita ini bisa aja bikin teman-teman, guru, sekolah, orang tua jadi phobia sama rohis. Ya kan?!” Panji menambahkan.

“Astaghfirullah. Bahaya, itu! Sama saja mereka menutup pintu dakwah di sekolah namanya!” ucap Kamal. Tangannya mengepal, benci.

Yang lain pun merasakan hal yang sama.

“Kalo itu sampai terjadi di sekolah kita. Pokoknya kita nggak boleh tinggal diam!” cetus Aia sungguh-sungguh.

“Ya, setuju! Walaupun tahun depan kita sudah nggak sekolah di sini. Tapi, rohis harus tetap ada, supaya siswa di sini tetap punya wadah untuk mengkaji Islam,” timpal Raras mengingat mereka sudah duduk di bangku kelas tiga sekarang.

***


Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar