Sejak percakapannya dengan Bunda tentang Kartini. Aia
mulai menyadari ada yang berbeda dari yang ia dan Bunda pahami. Aia tidak tahu persis sejauh apa Bunda meyakini
kesetaraan gender. Yang Aia tahu Bunda masih tetap menjalin hubungan dengan
orang yang Bunda sebut, Nur. Bahkan, saat pengambilan raport kenaikan kelas
kemarin, Bi Tiah lagi-lagi menjadi badal Bunda yang lebih memilih menghadiri
undangan Nur. Entah undangan apa. Aia benar-benar tidak berminat mencari tahu.
Lambat laun kedekatan Bunda dengan Nur membuat Aia mulai bertanya-tanya.
Jika kesetaraan gender itu bukan berasal dari Islam, seandainya
Bunda
berpihak pada Nur dan pemikirannya tentang itu,
apa Bunda berada di posisi yang salah?
Sebenarnya ingin sekali mencari solusi. Tapi,
Aia juga belum berani, malu lebih tepatnya, untuk menceritakan ini pada Zia
atau pada Raras dan Azki. Entahlah. Hanya takut mereka berpikir buruk tentang
Bunda. Lagi pula, siapa tahu ia yang salah mengira. Berpikir bahwa Bunda setuju
dengan kesetaraan gender padahal sebenarnya tidak. Atau siapa tahu itu hanya
karena Bunda baru bertemu dengan Nur, teman lamanya. Nanti, seiring dengan
kesibukan kerjanya, Bunda juga akan lupa
dengan semua itu.
Aaarrggh! Masalahnya seberapapun Aia mencoba
mengalihkan. Tetap saja kekhawatiran bahwa Bunda benar-benar setuju dengan
kesetaraan gender tidak bisa ia tepis!
Belum
habis pertanyaan Aia tentang Bunda. Tiba-tiba sebuah berita di salah satu
stasiun TV menambah rumit hidupnya. Sebenarnya tidak ada kaitan langsung antara
Aia dengan berita itu. Tapi, sungguh benda berbentuk kotak itu seperti punya
sihir. Menyihir siapapun yang ada di hadapnya.
Aia
mengerti sekarang, media adalah alat paling ampuh dalam membangun opini publik.
Opini yang dibuat stasiun TV tersebut benar-benar memengaruhi publik. Meski
menuai kontroversi, belum pasti kebenarannya, tetap saja pada kenyataannya publik
meyakini –menelan bulat-bulat- bahwa
apa yang disampaikan oleh media adalah kebenaran. Aia merasakan benar bagaimana
opini yang diciptakan stasiun TV tersebut juga berdampak padanya.
9
September 2012
“Apa-apaan
nih berita!” protes Aia yang
menyimak infografis
yang ditampilkan program berita sore di sebuah stasiun TV swasta. Tangannya
langsung meraih smartphone.
Mengetik pesan sambil tetap menyimak.
“Kenapa
Dek beritanya?” Bi Tiah
yang melintas hendak ke toko sembako di depan menunda langkahnya dan malah ikut menyimak
berita.
Adam
yang baru pulang pun langsung ikut menyimak siaran berita tersebut. Duduk
seraya menyenggol bahu Aia lalu mendongakkan kepalanya ke arah televisi. Bertanya, ada apa?
Aia
tidak menyahut. Masih sibuk membaca infografis yang terpampang di layar kaca.
Pola
Rekrutmen Teroris Muda :
- Sasarannya siswa SMP akhir-SMA dari
sekolah-sekolah umum.
- Masuk melalui program ekstrakurikuler di
masjid-masjid sekolah.
- Siswa-siswi yang terlihat tertarik
kemudian diajak diskusi di luar sekolah.
- Dijejali berbagai kondisi sosial yang
buruk, penguasa korup, keadilan tidak seimbang.
- Dijejali dengan doktrin bahwa penguasa
adalah thaghut/kafir/musuh.
Awas, Generasi
Baru Teroris!
“Masuk
melalui program ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah? Ini sih sama aja menuduh
rohis jadi tempat rekrutmen teroris!” seru Aia kesal. Sebagai anak rohis tentu
saja ia tidak terima dengan pemberitaan itu.
“Wah,
hati-hati lu, De! Jangan-jangan lu yang jadi target selanjutnya!” cetus Adam
yang tak kalah serius menyimak.
“Enak
aja!” Aia memukul lengan Adam, “Nggak lah! Rohis sekolah Aia mana pernah
ngajarin yang nggak benar!” bantahnya.
“Iya,
nggak
mungkin lah Bang Adam. Masa Dek Aia baik gini
jadi teroris,” Bi Tiah membela. Buatnya, yang dikatakan Adam tidak mungkin
terjadi. Yang Bi Tiah lihat justru banyak perubahan positif pada Aia sejak aktif
di rohis.
“Tahu
nih, Abang!
Mana mungkin teroris potongannya manis begini!” gurau Aia seraya mengangkat
alis.
Adam
malah memasang ekspresi mau muntah mendengarnya.
“Itu
beritanya yang salah, tuh! Nanti Aia laporin ke KPK!” ucap Aia ketus.
“KPK?”
Adam bergumam heran.
“Eh,
salah ya, KPI maksudnya,” Aia nyengir sambil menutupi setengah wajahnya dengan
bantal sofa.
Bi
Tiah tertawa geli melihat Aia dan Adam. Geleng-geleng kepala lalu beranjak ke
depan. Melanjutkan misinya, membeli sesuatu.
“Hati-hati
lu,
De! Jadi teroris dimarahin Bunda, lho!” goda Adam lagi.
Aia buru-buru melempar bantal ke arah Adam yang tidak kalah cepat
menghindar.
***
Aia
pikir hanya dia yang merasa kesal, tidak terima atas pemberitaan sore itu. Ternyata anak-anak GARIS
yang lain juga demikian. Sebal
sekali dengan berita yang secara tidak langsung mencoreng nama rohis, yang
selama ini menjadi wadah bagi mereka untuk mengkaji islam serta belajar
mendakwahkannya.
Bagi
mereka, rohis ibarat cahaya yang berpendar di tengah kegelapan. Di tengah
kondisi pergaulan remaja yang “gelap”. Rohis memberi cahaya, memperlihatkan
pada mereka bahwa ada jalan lain yang bisa mereka pilih. Ya, begitulah. Jika
seseorang sudah memiliki pemahaman yang sama. Maka perasaannya terhadap sesuatu
pun akan sama.
Hei. Ternyata tidak hanya
anak-anak GARIS. Anak-anak rohis se-Indonesia
bahkan alumni rohis juga ikut resah dan memprotes stasiun TV tersebut. Mereka
juga membuat gerakan menuntut stasiun TV tersebut
sebagai wujud protes dan ketidaksetujuan mereka pada pemberitaan kontroversial
itu via media sosial. Sayangnya, saat protes terus bergulir. Ternyata tetap ada
orang-orang yang terlanjur menganggap yang disampaikan berita itu sebagai
kebenaran.
Seperti keesokan harinya saat Aia bersama Raras dan Azki
baru saja tiba di sekolah. Ada yang aneh hari ini. Sepanjang menyusuri koridor
menuju kelas, rasanya semua tatapan tertuju pada mereka. Tatapan aneh, takut,
jijik bahkan tatapan jaksa penuntut umum pada terdakwa. Tatapan yang membuat
Aia, Raras dan Azki saling tatap. Memeriksa diri sendiri dari atas hingga
bawah. Bertanya, apa ada yang salah? Apa kita salah kostum hari ini? Sesekali
Aia menatap balik –melototi-. Kalau sudah begitu, yang awalnya menatap akan
mengalihkan tatapannya. Tapi, tiba-tiba ….
“Sssst, awas
hati-hati! Ada calon teroris!” celetuk salah seorang siswa yang sedang berdiri
di depan pintu kelas. Celetukan itu langsung disambut tawa terbahak dari lima
orang siswa lainnya. Mereka anak-anak kelas 2 IPS.
Mendengar celetukan itu, kontan Aia menghentikan
langkah dan menoleh ke arah adik kelasnya. “Eh, apa maksud kalian?!” Aia
bertanya geram. Hendak mendekati mereka tapi Raras dan Azki menahannya.
Adik kelas yang tadinya begitu pongah mendadak ciut
melihat ekspresi Aia. Salah seorang dari mereka tetap berusaha cool, “Emang
gitu, kok. Kakak nggak lihat berita kemarin sore?”
Mendengar itu, langsung mengerti lah mereka bertiga.
Jadi, itu penyebabnya?!
***
21 September 2012
Aia pikir itu hanya angin lalu. Dalam satu-dua hari
semua akan kembali normal. Salah! Hari-hari berikutnya cap “calon teroris”
tetap melekat pada mereka. Bukan cuma Aia, Raras dan Azki. Melainkan semua
siswa yang bergabung di GARIS. Tidak semua siswa begitu memang. Tapi,
kebanyakan seperti itu.
“Sumpah,
itu berita parah!” komentar Rizky
saat rapat GARIS.
“Khawatirnya
ini bakal berpengaruh buat GARIS,
lho. Sekarang aja, anak-anak lain mandang kita jadi
negatif,” ucap Raras.
“Iya,
benar. Lama-lama berita
ini bisa aja bikin teman-teman,
guru, sekolah, orang tua jadi phobia sama rohis. Ya kan?!” Panji menambahkan.
“Astaghfirullah.
Bahaya, itu! Sama saja mereka menutup pintu dakwah di sekolah namanya!” ucap
Kamal. Tangannya mengepal, benci.
Yang
lain pun merasakan hal yang sama.
“Kalo
itu sampai terjadi di sekolah kita. Pokoknya kita nggak boleh tinggal diam!”
cetus Aia sungguh-sungguh.
“Ya,
setuju! Walaupun tahun depan kita sudah nggak sekolah di sini. Tapi, rohis
harus tetap ada, supaya siswa di sini tetap punya wadah untuk mengkaji Islam,”
timpal Raras mengingat mereka sudah duduk di bangku kelas tiga sekarang.
***
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 25, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar