Sabtu, 18 Februari 2017

20 April 2012
Suara riuh rendah tak juga berhenti sejak tadi pagi di sekolah. Tidak ada kegiatan belajar mengajar hari ini. Lantaran semua warga sekolah tengah sibuk menyiapkan acara untuk besok. Di halaman, orang-orang sibuk mendekorasi panggung acara. Di aula, para siswa yang ditunjuk mengisi acara tengah sibuk latihan. Di ruang osis, beberapa orang juga sibuk menerima pendaftaran lomba. Di ruangnya, Kepala Sekolah yang baru menjabat beberapa bulan lalu menggantikan kepala sekolah sebelumnya juga tengah sibuk latihan pidato. Disaksikan Pak Edi, sang security sekolah yang memberi tepuk tangan sambil cengengesan tiap kali Kepala Sekolah selesai membaca satu paragraf pidatonya. Semua sibuk. Kecuali beberapa orang yang tidak ingin melibatkan diri dalam acara tersebut. Termasuk Aia, Raras dan Azki.

21 April menjadi salah satu tanggal yang selalu diperingati oleh penduduk negeri ini. Hari di mana lahirnya RA Kartini. Seorang perempuan yang –katanya- melalui surat-suratnya telah memperjuangkan hak perempuan. Habis gelap terbitlah terang, begitu judul buku kumpulan suratnya.
Emansipasi, begitu orang mengenal ide yang -katanya- diperjuangkan Kartini. Semua lapisan masyarakat ikut tenggelam dalam euforia peringatannya. Meski sekadar ikut lomba pakai kebaya dan konde tingkat RT. Dan sebagai bagian dari negeri ini, sekolah pun tak pernah absen menggelar acara untuk ikut menjadi bagian peringatan tersebut.

Awalnya Aia menganggap wajar tanggal itu. Menganggap sah-sah saja peringatan seperti apapun yang akan sekolah gelar. Sejak TK hingga kelas 1 SMA kemarin, Aia juga selalu ikut serta dalam peringatan itu. Ia tidak begitu peduli tentang siapa Kartini apalagi dengan apa yang diperjuangkannya. Sejak kecil ia hanya memaknai 21 April sebagai hari berkebaya dan berkonde. Karena memang hanya itu yang ia lakukan. Tapi, tahun ini berbeda. Bergabung dengan GARIS membuatnya banyak berpikir. 21 April. Kartini. Emansipasi. Ada apa dengan semua itu?

Tidak mau terus dihantui rasa ingin tahu, beberapa hari yang lalu Aia sudah membeli buku berisi kumpulan surat Kartini. Susah sekali mencarinya. Baru saja semalam ia khatamkan buku itu. Namun, ternyata itu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Tetap saja ia butuh seseorang untuk menjelaskan semua. Maka pagi itu Aia meninggalkan sekolah dengan hiruk pikuknya. Menghubungi Zia untuk bertemu di taman Langsat.

“Assalamu’alaikum, Kak,” sapa Aia yang masih terengah-engah setelah setengah berlari. Khawatir Zia terlalu lama menunggunya.

“Wa’alaikumussalam  warahmatullahi wabarakatuh,” Zia menutup buku dan menoleh, “sendiri? Duduk, duduk. Kok, ngos-ngosan gitu ....”

Belum selesai Zia bicara, Aia sudah lebih dulu duduk meluruskan kaki. Menarik napas dalam-dalam sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Iya. Ada yang pengin aku tanyain ke Kakak,” sahut Aia setelah tenang. Tangannya sibuk mengubek-ubek isi tas, mencari sesuatu. Dalam hitungan detik, tangannya mengacungkan sebuah buku ke hadapan Zia. Habis Gelap Terbitlah Terang.

***

Maka keesokkan harinya Aia tidak merasa perlu untuk datang ke sekolah. Tidak boleh ada kegiatan ekstrakurikuler hari ini, termasuk rohis. Jadi, buat apa ke sekolah? Menyaksikan acara peringatan itu? Hhh, yang benar saja! Aia lebih memilih duduk santai di depan TV. Menonton berita sambil sesekali mengganti channelnya ke program kartun.

Hei, ternyata bukan hanya Aia. Bunda pun terlihat masih santai saat keluar kamar. Aia menoleh. Matanya mengikuti Bunda yang bergerak menuju dapur, hendak membantu Bi Tiah menyiapkan sarapan pagi. Bunda melirik, “Aia nggak sekolah hari ini?”

“Nggak. Bunda hari ini libur, ya?” Aia bertanya berbalik penuh harap.

“Nggak,” sahut Bunda singkat. Tangannya terampil memotong bawang merah. Tentu saja, ini adalah pekerjaan yang dulu Bunda lakukan tiap hari. Dulu. “Cuma mau berangkat agak siang,” tambah Bunda seolah tahu kalau Aia hendak menanyakan itu.

Aia Mengembungkan pipi lalu mengembuskan napas. Berbalik. Memilih kembali fokus ke televisi.
Bunda menghentikan pekerjaannya, menatap Aia sejenak. Beberapa detik kemudian meletakkan pisau. Mencuci tangan. Kemudian ikut duduk di sebelah Aia. “Memang hari ini sekolah libur?” tanya Bunda.

Aia menggeleng tanpa menoleh. Sedetik kemudian tertawa kecil melihat adegan lucu kartun yang tengah ditontonnya.

“Oh ya, hari ini kan tanggal 21, Ai? Nggak ada acara di sekolah?” tanya Bunda lagi.

Aia akhirnya menoleh. “Ada. Dan justru karena ada, makanya Aia nggak ke sekolah hari ini,” sahutnya santai.

“Lho, kenapa? Bukan biasanya Aia ikut? Kan bisa pakai kebaya sama kerudung.”

“Kebaya itu nggak syar’i, Bun. Makanya Aia nggak mau ikut. Lagian ngapain juga ikut memperingati?

“Hei, Kartini itu pejuang perempuan. Memperjuangkan emansipasi perempuan. Jadi, sudah sepantasnya kita memperingati hari kelahiran beliau,” Bunda mengingatkan.

“Pemikirannya Kartini itu kan sedikit-banyak sudah terpengaruh pemikiran liberal, Bun. Karena Kartini kan, kalangan ningrat yang memang jadi target Belanda untuk dibaratkan. Lihat aja beberapa teman dekatnya dari Belanda,” sahut Aia.

Bunda mengerutkan dahi, “Aia tahu dari mana?”

“Baca. Banyak kok artikel yang bahas itu. Waktu itu Belanda berusaha menghentikan pengaruh Islam dari masyarakat. Karena waktu itu, kelompok yang menentang keras penjajahan datangnya dari orang-orang Islam. Cara yang paling ampuh ya dengan pengaruhi dulu kalangan ningratnya. Karena kalau ningratnya sudah barat, rakyatnya sudah pasti ikutan barat juga.

Terus Aia juga kemarin dipinjami buku judulnya “Kartini Nyantri”. Di buku itu digambarin jelas kalau sebenarnya rasa ingin tahu Kartini terhadap Islam juga tinggi. Tapi, saat itu akses untuk belajar Islam dibatasi oleh Belanda. Akhirnya Kartini malah lebih akrab dengan pemikiran Belanda dibanding Islam. Dan Kartini baru benar-benar terbuka tentang Islam setelah mendapat kajian terjemah surat al-Fatihah dari Kiai Soleh Darat,” papar Aia panjang lebar. Seperti sedang bicara pada seusianya. Buku yang Aia ceritakan sebenarnya pinjaman dari Zia.

Bunda mendengarkan untuk kemudian berkomentar, “Tetap saja, semua gagasannya itu jadi pencerahan buat perempuan di negeri kita. Beliau yang protes tentang hak pendidikan untuk perempuan.”

Hm, Aia tiba-tiba teringat salah satu surat Kartini yang ia baca. ‘Bagaimana ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah ia dipersalahkan bahwa dia merusak anaknya, merusak masa depan yang disebabkan oleh kelemahan dan kebodohannya?’. Potongan surat itu terlihat benar Kartini adalah orang yang kritis terhadap kondisi perempuan di lingkungannya.

“Tahun 1900an beliau juga buat nota ke pemerintah kolonial Hindia Belanda yang judulnya, ‘Berilah Pendidikan Kepada Bangsa Jawa’. Pastinya itu semua karena Kartini sadar pentingnya emansipasi. Hak perempuan dan laki-laki harus sama. Supaya tidak ada diskriminasi lagi terhadap perempuan. Perempuan punya hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam semua bidang,” tambah Bunda.

Akhir-akhir ini Bunda sering kali mengatakan perempuan terdiskriminasi. Aia beranjak dari duduknya menuju kamar. Bunda menunggu. Penasaran, apa yang hendak putrinya lakukan.

Tidak lama kemudian Aia kembali sambil membolak-balik halaman demi halaman sebuah buku. “Ini Bun, tanggal 4 Oktober 1901 Kartini menulis surat pada Prof. Anton dan Nyonya. Bunyinya, ‘kami disini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama’.

Bukannya ini bentuk penegasan, kalau Kartini bukan sedang minta penyamaan hak seperti kesetaraan gender yang sekarang orang-orang bilang. Tapi, justru karena Kartini sadar pentingnya pendidikan. Supaya perempuan bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu dengan baik?”

Bunda menghela napas. Ia tahu Aia sedang berusaha membantahnya.

Aia masih membolak-balik halaman, “Nah, ini juga. Agustus tahun 1900, ‘Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya’. Kalau menurut Aia, dalam surat ini, Kartini ingin menyampaikan bahwa saat perempuan menjalankan tugas utamanya sebagai ibu dan pendidik, bukan berarti perempuan lantas menjadi terdiskriminasi.”

“Itu kan perspektif Aia. Aia tahu, apa yang dimaksud Kartini dalam surat-surat itu?” tanya Bunda.

Aia hendak menjawab, tapi Bunda mendahului. “Dalam surat-suratnya itu, Kartini bercerita tentang getirnya hidup yang dialaminya sebagai anak-perempuan seorang priyayi Jawa. Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami yang membuatnya sangat tidak senang. Ia pun harus menerima kenyataan menjadi istri keempat Bupati Rembang.

Atas pengalaman pahit yang dialaminya itu, Kartini sampai pada kesimpulan bahwa perempuan Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan penindasan ini. Makanya, Kartini bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, agar mereka menjadi ibu yang berbudi luhur. Yang dapat berdiri sendiri. Mencari nafkah sendiri. Jadi mereka nggak perlu menikah kalau mereka nggak mau. Jadi, Kartini juga memperjuangkan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Allah menciptakan kehidupan ini kan bukan hanya untuk laki-laki saja.”

Aia terdiam. Mimik wajahnya menunjukkan ia sedang berpikir keras. Aia tidak tahu pasti apakah Kartini benar-benar memperjuangkan emansipasi atau tidak. Yang jelas, Aia yakin emansipasi atau kesetaraan gender itu tidak ada dalam Islam.  Bagaimana caranya meyakinkan Bunda?

Bunda tersenyum tipis saat melirik Aia seraya mengambil majalah di meja. Bersandar santai sambil membaca majalah.

“Tapi, Aia tetap nggak setuju dengan emansipasi!” cetus Aia.

Bunda menoleh cepat, “Kenapa?”

“Ya ... menurut Aia, sebagai muslimah, apa nggak sebaiknya kita menilai masalah dari sudut pandang Islam, Bun? Islam kan juga punya aturan kehidupan. Aturannya tanpa emansipasi. Tapi, setahu Aia nggak ada diskriminasi. Buktinya, shahabiyah atau muslimah yang hidup di zaman Islam berkuasa, nggak ada yang menuntut emansipasi. Ya kan, Bun?”

Pertemuannya dengan Zia kemarin benar-benar berguna. Semua yang Aia katakan tadi, sebenarnya ia dapat dari Zia.

Bunda menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Ada apa dengan Aia? Tiba-tiba membantahnya soal kesetaraan gender. Bunda menutup majalah lalu melemparnya ke meja begitu saja. Matanya menatap tajam Aia. “Kebenaran itu relatif, Cahaya. Kita nggak bisa memaksa orang untuk membenarkan apa yang kita anggap benar, ngerti?!”

Bunda beranjak menuju kamar. Tidak ingin melanjutkan percakapan. Percakapan? Bukan! Ini bukan percakapan! Bunda mulai khawatir pada putrinya. Bagaimana bisa ia punya pemikiran seperti itu tentang emansipasi? Menolak pernyataannya tentang kesetaraan?

Aia menggigit bibir. Cemas. Ia tidak bisa menjawab lagi kalau Bunda sudah menyebut nama lengkapnya. Untuk kali pertamanya Aia benar-benar merasa khawatir. Kenapa kalimat Bunda barusan seperti .... Jangan-jangan ...?

“Astaghfirullahal’adziim,” Aia menelungkupkan tangannya di wajah. Mulutnya tak henti beristighfar. Hatinya terus berdo’a, semoga apa yang ia pikirkan saat ini tidak benar-benar terjadi. Ya Allah, jaga hati Bunda ....
***
Bagian 7 - Kabar dari Kotak Sihir

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar