20
April 2012
Suara
riuh rendah tak juga berhenti sejak tadi pagi di sekolah. Tidak ada kegiatan
belajar mengajar hari ini. Lantaran semua warga sekolah tengah sibuk menyiapkan
acara untuk besok. Di halaman, orang-orang sibuk mendekorasi panggung acara. Di
aula, para siswa yang ditunjuk mengisi acara tengah sibuk latihan. Di ruang
osis, beberapa orang juga sibuk menerima pendaftaran lomba. Di ruangnya, Kepala
Sekolah yang baru menjabat beberapa bulan lalu menggantikan kepala sekolah
sebelumnya juga tengah sibuk latihan pidato. Disaksikan Pak Edi, sang security
sekolah yang memberi tepuk tangan sambil cengengesan tiap kali Kepala Sekolah
selesai membaca satu paragraf pidatonya. Semua sibuk. Kecuali beberapa orang
yang tidak ingin melibatkan diri dalam acara tersebut. Termasuk Aia, Raras dan
Azki.
21
April menjadi salah satu tanggal yang selalu diperingati oleh penduduk negeri
ini. Hari di mana lahirnya RA Kartini. Seorang perempuan yang –katanya- melalui
surat-suratnya telah memperjuangkan hak perempuan. Habis gelap terbitlah
terang, begitu judul buku kumpulan suratnya.
Emansipasi,
begitu orang mengenal ide yang -katanya- diperjuangkan Kartini. Semua lapisan
masyarakat ikut tenggelam dalam euforia peringatannya. Meski sekadar ikut lomba
pakai kebaya dan konde tingkat RT. Dan sebagai bagian dari negeri ini, sekolah
pun tak pernah absen menggelar acara untuk ikut menjadi bagian peringatan
tersebut.
Awalnya
Aia menganggap wajar tanggal itu. Menganggap sah-sah saja peringatan seperti
apapun yang akan sekolah gelar. Sejak TK hingga kelas 1 SMA kemarin, Aia juga
selalu ikut serta dalam peringatan itu. Ia tidak begitu peduli tentang siapa
Kartini apalagi dengan apa yang diperjuangkannya. Sejak kecil ia hanya memaknai
21 April sebagai hari berkebaya dan berkonde. Karena memang hanya itu yang ia
lakukan. Tapi, tahun ini berbeda. Bergabung dengan GARIS membuatnya banyak
berpikir. 21 April. Kartini. Emansipasi. Ada apa dengan semua itu?
Tidak
mau terus dihantui rasa ingin tahu, beberapa hari yang lalu Aia sudah membeli
buku berisi kumpulan surat Kartini.
Susah sekali mencarinya. Baru saja semalam ia
khatamkan buku itu.
Namun, ternyata itu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaannya. Tetap saja
ia butuh seseorang untuk menjelaskan semua. Maka pagi itu Aia meninggalkan sekolah
dengan hiruk pikuknya. Menghubungi
Zia untuk bertemu di taman Langsat.
“Assalamu’alaikum,
Kak,” sapa Aia yang masih terengah-engah setelah setengah berlari. Khawatir Zia
terlalu lama menunggunya.
“Wa’alaikumussalam
warahmatullahi wabarakatuh,” Zia menutup
buku dan menoleh, “sendiri? Duduk, duduk. Kok, ngos-ngosan gitu ....”
Belum
selesai Zia bicara, Aia sudah lebih dulu duduk meluruskan kaki. Menarik napas
dalam-dalam sambil mengibas-ngibaskan tangan. “Iya. Ada yang pengin aku tanyain
ke Kakak,” sahut Aia setelah tenang. Tangannya sibuk mengubek-ubek isi tas,
mencari sesuatu. Dalam hitungan detik, tangannya mengacungkan sebuah buku ke
hadapan Zia. Habis Gelap Terbitlah Terang.
***
Maka
keesokkan harinya Aia tidak merasa perlu untuk datang ke sekolah. Tidak boleh
ada kegiatan ekstrakurikuler hari ini, termasuk rohis. Jadi, buat apa ke
sekolah? Menyaksikan acara peringatan itu? Hhh, yang benar saja! Aia lebih
memilih duduk santai di depan TV. Menonton berita sambil sesekali mengganti
channelnya ke program kartun.
Hei,
ternyata bukan hanya Aia. Bunda pun terlihat masih santai saat keluar kamar.
Aia menoleh. Matanya mengikuti Bunda yang bergerak menuju dapur, hendak
membantu Bi Tiah menyiapkan sarapan pagi. Bunda melirik, “Aia nggak sekolah
hari ini?”
“Nggak.
Bunda hari ini libur, ya?” Aia bertanya berbalik penuh harap.
“Nggak,”
sahut Bunda singkat. Tangannya terampil memotong bawang merah. Tentu saja, ini
adalah pekerjaan yang dulu Bunda lakukan tiap hari. Dulu. “Cuma mau berangkat
agak siang,” tambah Bunda seolah tahu kalau Aia hendak menanyakan itu.
Aia
Mengembungkan pipi lalu
mengembuskan napas. Berbalik. Memilih kembali fokus ke
televisi.
Bunda
menghentikan pekerjaannya, menatap Aia sejenak. Beberapa detik kemudian
meletakkan pisau. Mencuci tangan. Kemudian ikut duduk di sebelah Aia. “Memang
hari ini sekolah libur?” tanya Bunda.
Aia
menggeleng tanpa menoleh. Sedetik kemudian tertawa kecil melihat adegan lucu
kartun yang tengah ditontonnya.
“Oh
ya, hari ini kan tanggal 21, Ai? Nggak ada acara di sekolah?” tanya Bunda lagi.
Aia
akhirnya menoleh. “Ada. Dan justru karena ada, makanya Aia nggak ke sekolah
hari ini,” sahutnya santai.
“Lho,
kenapa? Bukan biasanya Aia ikut? Kan bisa pakai kebaya sama kerudung.”
“Kebaya
itu nggak syar’i, Bun. Makanya Aia nggak mau ikut. Lagian ngapain juga ikut memperingati?”
“Hei,
Kartini itu pejuang perempuan. Memperjuangkan emansipasi perempuan. Jadi, sudah
sepantasnya kita memperingati hari kelahiran beliau,” Bunda mengingatkan.
“Pemikirannya
Kartini itu kan sedikit-banyak
sudah terpengaruh pemikiran
liberal, Bun. Karena Kartini kan, kalangan ningrat yang memang jadi target
Belanda untuk dibaratkan. Lihat aja beberapa teman dekatnya dari Belanda,”
sahut Aia.
Bunda
mengerutkan dahi, “Aia tahu dari mana?”
“Baca.
Banyak kok artikel yang bahas itu. Waktu itu Belanda berusaha menghentikan
pengaruh Islam dari masyarakat. Karena waktu itu, kelompok yang menentang keras
penjajahan datangnya dari orang-orang Islam. Cara yang paling ampuh ya dengan
pengaruhi dulu kalangan ningratnya. Karena kalau ningratnya sudah barat,
rakyatnya sudah pasti ikutan barat juga.
Terus Aia juga kemarin dipinjami buku judulnya
“Kartini Nyantri”. Di buku itu digambarin jelas kalau sebenarnya rasa ingin
tahu Kartini terhadap Islam juga tinggi. Tapi, saat itu akses untuk belajar
Islam dibatasi oleh Belanda. Akhirnya Kartini malah lebih akrab dengan
pemikiran Belanda dibanding Islam. Dan Kartini baru benar-benar terbuka tentang
Islam setelah mendapat kajian terjemah surat al-Fatihah dari Kiai Soleh Darat,”
papar Aia panjang lebar. Seperti sedang bicara pada seusianya. Buku yang Aia ceritakan sebenarnya pinjaman dari Zia.
Bunda
mendengarkan untuk kemudian berkomentar, “Tetap saja, semua gagasannya itu jadi
pencerahan buat perempuan di negeri kita. Beliau yang protes tentang hak
pendidikan untuk perempuan.”
Hm, Aia
tiba-tiba teringat salah satu surat Kartini yang ia baca. ‘Bagaimana ibu-ibu bumiputera
dapat mendidik anak-anaknya kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah
ia dipersalahkan bahwa dia merusak anaknya, merusak masa depan yang disebabkan
oleh kelemahan dan kebodohannya?’. Potongan surat itu terlihat benar
Kartini adalah orang yang kritis terhadap kondisi perempuan di lingkungannya.
“Tahun
1900an beliau juga buat nota ke pemerintah kolonial Hindia Belanda yang
judulnya, ‘Berilah Pendidikan Kepada
Bangsa Jawa’. Pastinya itu semua karena Kartini sadar pentingnya emansipasi.
Hak perempuan dan laki-laki harus sama. Supaya tidak ada diskriminasi lagi
terhadap perempuan. Perempuan punya hak dan kesempatan yang sama dengan
laki-laki dalam semua bidang,” tambah Bunda.
Akhir-akhir
ini Bunda sering kali mengatakan perempuan terdiskriminasi. Aia beranjak dari
duduknya menuju kamar. Bunda menunggu. Penasaran, apa yang hendak putrinya
lakukan.
Tidak
lama kemudian Aia kembali sambil membolak-balik halaman demi halaman sebuah buku.
“Ini Bun, tanggal 4 Oktober 1901 Kartini menulis surat pada Prof. Anton dan
Nyonya. Bunyinya, ‘kami disini memohon diusahakan
pengajaran dan pendidikan anak-anak wanita, bukan sekali-kali karena kami
menginginkan anak-anak wanita itu menjadi saingan laki-laki dalam hidupnya.
Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya yang diserahkan alam sendiri ke
dalam tangannya : menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama’.
Bukannya
ini bentuk penegasan, kalau Kartini bukan sedang minta penyamaan hak seperti kesetaraan
gender yang sekarang orang-orang bilang. Tapi, justru karena Kartini sadar
pentingnya pendidikan. Supaya perempuan bisa menjalankan tugasnya sebagai ibu
dengan baik?”
Bunda
menghela napas. Ia tahu Aia sedang berusaha membantahnya.
Aia
masih membolak-balik halaman, “Nah, ini juga. Agustus tahun 1900, ‘Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa
berhenti menjadi wanita sepenuhnya’. Kalau menurut Aia, dalam surat ini,
Kartini ingin menyampaikan bahwa saat perempuan menjalankan tugas utamanya
sebagai ibu dan pendidik, bukan berarti perempuan lantas menjadi
terdiskriminasi.”
“Itu kan perspektif Aia. Aia tahu, apa yang dimaksud Kartini dalam
surat-surat itu?” tanya Bunda.
Aia hendak menjawab, tapi Bunda mendahului. “Dalam surat-suratnya itu, Kartini bercerita tentang getirnya
hidup yang dialaminya sebagai anak-perempuan seorang priyayi Jawa. Ia selalu
ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara laki-lakinya. Perannya
dianggap lebih rendah dibandingkan laki-laki. Ayahnya menikah secara poligami
yang membuatnya sangat tidak senang. Ia pun harus menerima kenyataan menjadi
istri keempat Bupati Rembang.
Atas pengalaman pahit yang dialaminya itu, Kartini sampai pada
kesimpulan bahwa perempuan Indonesia harus bergerak dan bangkit melawan
penindasan ini. Makanya, Kartini
bercita-cita memberi bekal pendidikan kepada anak-anak perempuan, agar mereka
menjadi ibu yang berbudi luhur. Yang dapat berdiri sendiri. Mencari nafkah sendiri.
Jadi
mereka nggak
perlu menikah kalau mereka nggak mau. Jadi,
Kartini juga memperjuangkan persamaan hak laki-laki dan perempuan. Allah
menciptakan kehidupan ini kan bukan hanya untuk laki-laki saja.”
Aia
terdiam. Mimik wajahnya menunjukkan
ia sedang berpikir keras. Aia tidak tahu pasti apakah Kartini benar-benar
memperjuangkan emansipasi atau tidak. Yang jelas, Aia yakin emansipasi atau kesetaraan gender itu
tidak ada dalam Islam. Bagaimana
caranya meyakinkan Bunda?
Bunda
tersenyum tipis saat melirik Aia seraya mengambil majalah di meja. Bersandar
santai sambil membaca majalah.
“Tapi,
Aia tetap nggak setuju dengan emansipasi!” cetus Aia.
Bunda
menoleh cepat, “Kenapa?”
“Ya
... menurut Aia,
sebagai muslimah, apa nggak sebaiknya kita menilai masalah dari sudut pandang Islam, Bun? Islam
kan juga punya aturan kehidupan. Aturannya tanpa emansipasi. Tapi, setahu Aia nggak ada diskriminasi. Buktinya,
shahabiyah atau muslimah yang hidup di zaman Islam berkuasa, nggak ada yang
menuntut emansipasi. Ya kan, Bun?”
Pertemuannya
dengan Zia kemarin benar-benar berguna. Semua yang Aia katakan tadi, sebenarnya
ia dapat dari Zia.
Bunda
menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Ada apa dengan Aia? Tiba-tiba
membantahnya soal kesetaraan gender.
Bunda menutup majalah lalu melemparnya ke meja begitu saja. Matanya menatap
tajam Aia. “Kebenaran itu relatif, Cahaya. Kita nggak bisa memaksa orang untuk membenarkan
apa yang kita anggap benar, ngerti?!”
Bunda
beranjak menuju kamar. Tidak ingin melanjutkan percakapan. Percakapan? Bukan! Ini
bukan percakapan! Bunda mulai khawatir pada putrinya. Bagaimana bisa ia punya
pemikiran seperti itu tentang emansipasi? Menolak pernyataannya tentang
kesetaraan?
Aia
menggigit bibir. Cemas. Ia tidak bisa menjawab lagi kalau Bunda sudah menyebut
nama lengkapnya. Untuk kali pertamanya Aia benar-benar merasa khawatir. Kenapa
kalimat Bunda barusan seperti .... Jangan-jangan ...?
“Astaghfirullahal’adziim,”
Aia menelungkupkan tangannya di wajah. Mulutnya tak henti beristighfar. Hatinya
terus berdo’a, semoga apa yang ia pikirkan saat ini tidak benar-benar terjadi. Ya
Allah, jaga hati Bunda ....
***
Bagian 7 - Kabar dari Kotak Sihir
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 18, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar