Sabtu, 15 April 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 18.30 WIB
Setelah dua jam berteman macet, pukul 18.30 taksi yang membawa Aia dan Bi Tiah akhirnya tiba di bandara. Bergegas mencari musholla untuk sholat Maghrib. Lanjut cari makan. Barulah keduanya bergegas menuju lobi terminal kedatangan. Aia sedikit mendongakkan wajah. Melihat flight information display system (FIDS) di TV plasma yang berjejer rapi. Bi Tiah bilang, “TV gede”. Mengecek jadwal kedatangan pesawat yang Bunda tumpangi.

Delay, Bi,” ucap Aia pada Bi Tiah yang sejak tadi juga ikut mengamati layar LED. Meski sudah berpikir keras, menatap layar lama-lama, tapi tidak juga membuat Bi Tiah mengerti informasi apa yang disajikan di TV itu.

“Kok Dek Aia tahu Ibu lagi di-lei? Eh, emang di-lei itu di mana?” Bi Tiah bingung sendiri.

Aia tertawa, “Delay bi ... bukan di-lei, artinya pesawat Bunda terlambat dari jadwal yang seharusnya.”

Bi Tiah ber-o ria lalu nyengir, minta pemakluman, namanya juga orang tua yang baru pertama kali ke bandara.

“Kita duduk di sana saja, Bi,” Aia menunjuk bangku yang masih kosong.

Meski Bi Tiah mampu mengundang tawa. Tapi, itu sama sekali tidak mengusir gelisahnya. Takut Bunda masih marah. Sudah seminggu ini Bunda mendiamkannya. Aia paling tidak suka didiamkan, diabaikan, dianggap tidak ada.

Bunda marah karena satu hal. Bahkan hari ini Aia tahu jadwal kepulangan Bunda pun, karena bertanya pada Yasti, teman kerja Bunda. Sebelumnya sudah mencoba menghubungi Bunda, tapi tidak ada jawaban. Aia duduk bersandar. Setidaknya meski hati tak juga nyaman, tubuhnya bisa sedikit nyaman. Pikirannya kembali melambung.

17 September 2012

Suka tidak suka. Mau tidak mau. Pertemuan dengan Nur di restoran waktu itu membuat Aia sesak. Dibenaknya penuh tanda tanya. Separuh hati meragukan apa yang dikatakan Nur. Separuh lainnya menampik, teringat kata Bunda, “Tante Nur itu bukan orang awam yang tidak tahu apa-apa, Ai. Ia bahkan guru besar di salah satu universitas Islam. Ia paham agama lebih dari kita, bahkan mungkin lebih dari siapa pun. Bunda sangat yakin, Tante Nur tentu tahu betul apa yang dilakukannya.”

Tapi, di saat ia menampik rasa ragu terhadap Nur, Aia juga teringat Zia. Membenarkan Nur sama saja ia meragukan Zia. Bagaimana mungkin Aia bisa meragukan Zia? Selama ini Zia lah yang mengajarinya banyak hal tentang Islam. Setelah mengkaji Islam dengan Zia lah Aia merasa yakin pada agamanya. Bukan sekedar karena keturunan apalagi ikut-ikutan.

***

Ditengah kebingungannya, untuk kali kedua Bunda kembali mengajaknya bertemu dengan Nur. Mulanya Aia tidak tahu. Tiba-tiba saja Senin itu Bunda pulang lebih awal lalu minta Aia menemaninya ke sebuah tempat. Tentu saja dengan senang hati Aia bersedia menemani Bunda.

Aia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Melihat ruang-ruang yang ada, tempat ini lebih tepat disebut rumah ketimbang kantor. Hanya saja interiornya didesain layaknya sebuah kantor. Tiga perempuan berusia sekitar 25-35an terlihat masih sibuk berdiskusi di ruang sebelah, sedang rapat sepertinya. Aia juga tidak tahu benar tempat apa sebenarnya ini. Dan tidak tahu persis kenapa Bunda minta ditemani ke tempat ini. Sampai akhirnya sebuah suara menyapa mereka, “Kalian sudah lama?”
Bunda menoleh. Tersenyum pada yang menyapanya.

Aia ikut menoleh. Mengerutkan dahi, Tante Nur?

“Dulu ini rumah Tante, Ai,” aku Nur. Aia ber-o ria sambil mengangguk pelan. Mereka sudah duduk di kursi kayu putih di beranda depan. Mengelilingi meja kayu bulat yang juga berwarna putih. Menghadap halaman berlapis rumput hijau yang juga langsung menghadap ke jalan. Tiga cangkir teh ikut serta dalam perbincangan sore itu. “Setelah pindah ke rumah baru tahun lalu, rumah ini sengaja Tante jadikan kantor. Untuk program pemberdayaan perempuan,” lanjutnya.

“Pemberdayaan perempuan?” Aia mengerling.

“Iya. Tante Nur sedang aktif melakukan pemberdayaan perempuan, Ai,” cetus Bunda.

“Pemberdayaan apa maksudnya, Tan?” selidik Aia. Benaknya langsung menaruh curiga, pasti ini ada kaitannya dengan kesetaraan gender.

“Pemberdayaan ekonomi perempuan. Supaya perempuan bisa mandiri secara finansial. Jadi, perempuan nggak perlu lagi bergantung pada laki-laki. Posisi perempuan dan laki-laki juga harus sejajar dalam hal ekonomi,” sahut Nur. Bersandar santai di kursinya sambil menyilangkan jemari kanan-kiri.

Benar, kan?! Aia menghempaskan napas pelan. “Memang perempuan akan sangat rendah kalau nggak mandiri secara finansial ya, Tan?”

Nur mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. “Kenyataannya begitu. Banyak yang menganggap kalau perempuan itu makhluk yang selalu bergantung pada laki-laki. Sebelum menikah, perempuan bergantung pada Ayahnya. Setelah menikah, perempuan bergantung pada suaminya.

Itulah kenapa pada akhirnya banyak laki-laki yang bertindak sewenang-wenang, melakukan kekerasan terhadap perempuan. Ini juga bentuk ketidakadilan. Ketimpangan sosial yang menganggap perempuan itu lemah. Tidak bisa mandiri, tidak bisa berdiri di atas kaki sendiri,” papar Nur kemudian mengulas senyum tipis.

Aia menyimak saksama dengan benak yang tetap memasang status waspada terhadap setiap kalimat Nur. Bunda melirik Aia untuk waktu yang lama. Memastikan kalau putrinya mendengar dan menerima apa yang temannya katakan.

Tante ingin menghapus paradigma itu. Perempuan bisa kok mandiri, nggak perlu bergantung dengan laki-laki. Caranya dengan mereka diberdayakan. Diberi peluang untuk punya penghasilan sendiri, Ai. Supaya laki-laki juga nggak memandang perempuan sebelah mata lagi, sambung Nur. “Kalaupun terpaksa harus mengakhiri pernikahannya dengan bercerai pun mereka tidak khawatir. Karena mereka punya penghasilan untuk hidupnya ke depan.”

Aia berusaha mencerna kalimat Nur. Jadi, perempuan mandiri itu yang nggak takut cerai? Itu yang ingin ditanyakan. Namun urung lantaran khawatir Bunda tersinggung. Dulu, Bunda berpisah dengan Ayah juga setelah punya penghasilan.

Aia hanya mengangguk polos, berlagak mendengarkan dengan baik. Terus Tan, gimana dengan perempuan yang sudah menikah, punya anak? Mereka kan juga punya tugas sebagai istri. Sebagai ibu. Kalo perempuan juga harus sibuk mencari penghasilan, apa itu bukan malah bikin mereka nggak fokus? Sementara dalam Islam guru agama Aia bilang, peran sebagai istri dan ibu itu kewajiban buat perempuan?”

“Itulah kenapa muslimah juga harus memperjuangkan kesetaraan gender,” tukas Nur.

Dalam hati Aia terkejut, apa maksudnya?! Tapi berusaha menahan keterkejutan itu. Hanya matanya yang terbuka sedikit lebih lebar.

“Karena dengan membangun kesetaraan, Tante berharap tidak ada lagi ketidakadilan. Kekerasan. Diskriminasi. Bukan cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Tante pernah bilang kan, bicara kesetaraan gender artinya kita bicara tentang manusia. Tentang laki-laki dan perempuan.

Cuma memang, yang terjadi di masyarakat kita sekarang, yang mengalami diskriminasi. Ketidakadilan. Ya, perempuan. Nah, kalau kita bicara diskriminasi terhadap perempuan. Justru banyak hukum Islam yang mendiskriminasi perempuan. Coba kamu lihat, laki-laki berhak menjadi pemimpin, tapi perempuan? Tidak. Hak waris, perempuan hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki. Istri harus minta izin suami untuk melakukan sesuatu. Tapi suami? Nggak tuh. Belum lagi poligami. Itu juga bentuk diskriminasi, Ai.”

Bunda yang sesekali masih melirik Aia sontak menoleh ke arah Nur. Gesturnya berubah. Mengerutkan dahi untuk beberapa detik. Seperti ada rasa terkejut yang tertahan. Lalu menghela napas amat pelan –agar tidak ada yang tahu- dan berusaha kembali fokus ke forum perbincangan.

Hei, apa-apaan guru besar ini?! Kemarin bilang Rasulullah Feminis pertama, sekarang malah mengkritik Islam! Maki hati Aia. Tunggu, tunggu! Bukankah yang dikatakan Tante Nur benar? Memang Islam mengatur posisi perempuan seperti itu kan? Tiba-tiba, Aia merasa tidak bisa menolak pernyataan Nur. Perempuan tidak boleh menjadi pemimpin. Hak waris perempuan setengah dari bagian laki-laki. Istri harus izin pada suami. Memang benar begitu, kan? Aia menggeleng pelan. Berusaha membantah hatinya sendiri. Tapi ... yang Tante Nur katakan itu memang benar, kan? Jadi ... Tante Nur benar? Kesetaraan gender itu memang harus?

Yang dikatakan Tante Nur benar, Ai,ujar Bunda.

Aia Mengembungkan pipi seraya menarik napas. Ia sempat menangkap lirikkan mata Bunda. Juga senyum datar Nur. Lirikkan dan senyum yang sesaat membuat Aia merasa kalah.

Bunda tahu Aia masih menyangsikan Nur dengan pemikirannya. Beberapa kali Aia juga membantah pendapat Bunda mengenai perempuan. Dari caranya membantah, Bunda khawatir kalau Aia mendapat pemahaman radikal di rohis. Dan Bunda ingin Aia berhenti meragukannya. Berhenti menolak kesetaraan dan semua yang disuarakan Nur. Sebab itulah Bunda sengaja mengajak Aia bertemu Nur.

“Jangan kaget, Ai. Bahkan sekaliber shahabiyah saja ada yang memprotes Islam,” ujar Nur. Matanya menatap Aia penuh seraya tersenyum tipis lagi. Senyum yang membuat Aia merasa kalah.

“Protes?” Tanya Aia setengah sangsi.

Iya. Kamu tahu Ummu Salamah? Ummu Salamah pernah protes pada Rasul, kenapa kaum laki-laki berperang sedangkan perempuan tidak? Kenapa perempuan hanya mendapat setengah dari warisan laki-laki? Seorang shahabiyah lain juga memprotes hal yang sama, perempuan hanya mendapat setengah dari warisan laki-laki, dua orang saksi perempuan sama dengan satu saksi laki-laki. Sangat tidak adil, kan?! Itu ada dalam hadits riwayat Tirmidzi. Kamu bisa cek,” terang Nur.

Aia tercenung. Masa sih ada shahabiyah yang protes seperti itu? Bukankah semua shahabiyah selalu menaati Allah dan Rasulnya? Aia tidak pernah mendengar shahabiyah menggugat hukum yang Allah tetapkan. Lagian, memang boleh menggugat hukum Allah?

“Makanya, Aia jangan buru-buru menjudge kalau belum tahu pasti kebenarannya,” ujar Bunda. Matanya menatap Aia sungguh-sungguh.

Aia menelan ludah. Matanya mengerling. Satu sisi merasa semua yang Nur katakan benar. Apalagi, Nur juga menggunakan hadits riwayat Tirmidzi yang terkenal shohih periwayatannya. Atau mungkin, Tante Nur memang ... benar?

***

Jam istirahat akan segera berakhir. Aia berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Nafsu makannya tiba-tiba saja surut begitu teringat pertemuannya dengan Nur kemarin. Semalam penuh Aia terngiang kalimat-kalimat Nur. Meski Nur menggunakan hadits, entah kenapa Aia tetap merasa ada yang ganjil.
“Sorry ya Ras, Ki, aku ke kelas duluan,” putus Aia akhirnya. Pergi sebelum Raras dan Azki bertanya ‘kenapa?’.

Ough! Aia menggeleng-gelengkan kepala. Segera duduk sambil berusaha mengusir semua pertanyaan di benak. Bukan hanya soal Nur. Semalam, Aia iseng mengetik “kesetaraan gender” di mesin pencari. Aia terkejut ketika menemukan sebuah artikel tentang seorang muslimah yang juga aktivis kesetaraan gender dari negara Barat. Disebutkan aktivis itu memimpin sholat Jum’at dengan makmum laki-laki dan perempuan. Shaf-nya bahkan campur baur.

Ya Allah, seperti itu kah kesetaraan yang diperjuangkan muslimah seperti Tante Nur? Aia menempelkan dahi di meja. Sementara itu, sekelompok teman -termasuk Feby, Rindi dan Lita- di pojok belakang tidak berhenti tertawa membuat Aia semakin pusing.

“Wah, jangan remehin cewek-cewek gitu dong, Dan!” seru Feby pada Dani. Sejak tadi mereka sibuk membanding-bandingkan antara laki-laki dengan perempuan. “Sekarang tuh zamannya emansipasi! Cewek-cewek juga bisa ngelakuin semua yang cowok lakuin! Ya, nggak? Ya, nggak?” tambahnya.
Yang perempuan mengiyakan. Sementara yang laki-laki menertawakan sambil menantang, “Apa buktinya?”

“Yeee, Lo nggak tau presiden kita ada yang perempuan?! Sampe olah raga angkat beban, juga ada yang perempuan! Emansipasi tuh namanya!” seru Lita.

“Iya! Huuuu …,” yang lain menyambut.

Sementara di kursinya, Aia merasa semakin terganggu. Aia menoleh. Menggebrak meja di belakang kursinya. “Heh! Kalian ngapain sih ngomongin emansipasi?! Kayak ngerti aja! Kalian nggak ada tema lain buat diobrolin?!”

Kelas yang semula riuh, senyap untuk beberapa detik. Semua mata mengarah pada Aia. Termasuk Raras dan Azki yang baru saja masuk.

“Kamu kenapa, Ai?” Raras menyentuh bahu Aia.

“Hissh!” Aia mendesis. Bersamaan dengan teman-teman lain yang kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dipojok, Febi hanya mengibaskan tangan kemudian melanjutkan obrolan. Anak itu makin lama emang makin nyebelin! Febi membatin.

Sementara di baris depan, Raras dan Azki sudah duduk di kanan-kiri Aia. Menunggu jawaban. Mereka mencium aroma ketidakberesan. Tapi, yang ditunggu tidak juga menjawab. Hanya beristighfar sambil mengusap-usap dahi. Azki menyenggol bahu Aia dengan bahunya. “Kenapa?”

“Hh? Nggak. Itu, mereka berisik banget tadi. Pusing dengarnya. Terus aku kelepasan gebrak meja,” Aia meringis. Setengah karena lagi-lagi tidak bisa mengendalikan emosi. Setengah lagi karena ia tidak bisa memberitahu alasan sebenarnya.

Raras dan Azki menghela napas lega. “Aia … ! Kirain kenapa!!”

“Oh ya, tadi Kak Zia telepon. Hari ini mau ke sekolah, terus ngajakin kita ketemuan pulang sekolah,” ucap Azki.

“Oh ya? Aku bisa kok, Insya Allah,” sahut Aia.

“Alhamdulillah … !” Raras dan Azki berseru kompak. Lega.

“Kenapa?”

“Soalnya, kita berdua nggak bisa. Aku udah janji mau temani Mama ke rumah saudara. Raras juga mau bantu Ibunya, mau ada acara keluarga. Jadi, kamu sendirian nggak apa-apa, ya?” jelas Azki.

“Hmm …,” Aia pura-pura berpikir. Sementara wajah Raras dan Azki kian memelas. “Iya. Iya. Nggak apa-apa.”

Wajah memelas itu berubah girang. Sama girangnya dengan wajah Aia. Beberapa detik yang lalu terbersit untuk menanyakan semua yang ia dengar dari Nur pada Zia. Tanpa Raras dan Azki, Aia akan lebih leluasa menanyakannya.

***

Sekolah sudah sepi. Lima belas menit yang lalu bel pulang sudah nyaring berbunyi. Bertambah riuh dengan sorak girang seluruh warga sekolah. Aia duduk bersandar di bangku panjang di tepi lapangan. Di bawah bayang pohon yang tertimpa teriknya matahari. Menunggu Kak Zia yang saat ini bersama tiga mentor rohis lainnya sedang menghadap Kepala Sekolah. Katanya ada hal penting yang hendak dibicarakan. Entah apa, Aia tidak tahu persis.

Samar-samar terdengar suara orang yang keluar dari ruangan. Aia menoleh ke asal suara. Tepat sekali. Zia, Nisa, Raihan dan Muslim baru saja keluar dari ruangan Kepala Sekolah. Mereka melangkah pelan sambil membicarakan sesuatu dengan wajah serius.

“Aku punya feeling yang nggak enak sama kepala sekolah baru ini,” gumam Raihan.

“Sudahlah, nanti kita pikirkan solusinya. Sekarang, lebih baik kita pulang dulu,” Muslim menyudahi. Berdiskusi di koridor sekolah seperti ini juga percuma, tidak akan menemukan solusi.

“Iyalah, setuju. Lagian aku juga masih harus balik ke kampus,” Nisa menyetujui. Disambut dengan anggukan Zia dan Raihan.

Muslim dan Raihan langsung berpamitan.

“Maaf ya Zia, saat di sini ada masalah, aku malah harus pindah,” gumam Nisa. Berat sekali rasanya harus meninggalkan rohis. Ia masih ingat bagaimana perjuangannya dan Zia untuk bisa masuk menjadi mentor rohis di sekolah ini. Suliiit sekali.

Zia tersenyum. Menatap wajah sahabatnya, “Ya, it’s okay. Insya Allah akan ada jalan keluarnya. Do’akan ya ....”

Aia hanya bisa memperhatikan. Terlalu jauh untuk bisa mendengarkan percakapan keempat mentor itu.

Tidak lama kemudian Zia sudah duduk di sebelahnya. Ikut bersandar, menatap langit yang sedang cerah seperti yang Aia lakukan. Kemudian, menghela napas bersamaan.

“Kenapa?” bertanya pun bersamaan. Membuat keduanya tertawa kecil seraya menggeleng.

“Kenapa, Ai?” Zia bertanya lagi sebelum Aia juga kembali bertanya.

Aia mengangkat bahu. Bertanya balik, “Kak Zia sendiri kenapa? Terus ada apa tadi Kakak dipanggil Kepala Sekolah?” tanya Aia yang memang dari tadi penasaran.

“Nggak ada apa-apa, cuma mau ketemu aja.” Zia berkata pelan. Sekali lagi menatap langit lalu tertunduk pelan. Ragu, haruskah ia menceritakan apa yang Kepala Sekolah katakan tadi? Zia takut ini hanya akan mengganggu pikiran adik-adik rohisnya saja.

Aia hanya menatap wajah Zia yang mengundang tanda tanya. Menunggu hingga Zia melanjutkan kalimatnya, “Tadi ... ada beberapa hal penting yang dibicarakan Pak Kepala Sekolah.”

Sudahlah. Biar ia dan tiga temannya berembuk dulu, mencari solusi. Zia rasa itu lebih baik. Dan semoga segera menemukan solusi terbaik tanpa perlu melibatkan mereka. Bukankah selalu ada jalan yang baik untuk niat yang baik?

“Rohis?”

Zia mengangguk, “Apa lagi?”

Aia garuk-garuk kepala. Kenapa dia harus menanyakan hal yang sebenarnya sudah pasti? Payah! Memang apalagi yang hendak dibicarakan selain rohis. “Tahu nggak sih, Kak? Kemarin kita sempat khawatir berita miring tentang rohis di TV itu akan berpengaruh di rohis sekolah,” cerita Aia. “Tapi, Alhamdulillah sampai hari ini semua baik-baik saja ternyata.”

Zia menoleh sejurus kemudian meluruskan pandangan ke depan. Hening sejenak. “Tapi, kita harus siap, Ai,” gumam Zia.

Aia menoleh, “Siap? Untuk?”

Zia masih menatap lurus ke depan, “Siap untuk sesuatu yang nggak pernah kita duga. Kita nggak pernah tahu kan, apa yang akan terjadi lusa, besok bahkan satu detik dari sekarang? Setiap detik akan selalu jadi kejutan bagi kita. Jadi, kita harus siap. Bersiap untuk banyak hal. Juga …,” tiba-tiba tenggorokannya sedikit tercekat.

Zia menelan ludah, perlahan menatap Aia, “Juga siap untuk hal-hal yang boleh jadi tidak kita sukai. Terjadi sesuatu dengan rohis, misal. Karena Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya yang mengaku beriman begitu saja. Allah akan mengujinya.”

Aia terpaku mendengarnya. Terpaku dengan tatapan Zia yang menyiratkan kesungguhan saat mengatakannya. Aia bahkan lupa dengan pertanyaan yang hendak ia tanyakan. Kalimat Zia membiusnya. Kata-katanya menyusup ke dalam rongga dada. Seolah hendak Aia tanam kalimat itu di sana. Perlahan dahinya mengernyit, heran. Mengapa tiba-tiba Zia berkata seperti itu?

***

Bagian 7 | Kabar dari Kotak Sihir [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.


Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar