Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 18.30 WIB
Setelah
dua jam berteman macet, pukul 18.30 taksi yang membawa Aia dan Bi Tiah akhirnya
tiba di bandara. Bergegas mencari musholla untuk sholat Maghrib. Lanjut cari makan.
Barulah keduanya bergegas menuju lobi terminal kedatangan. Aia sedikit
mendongakkan wajah. Melihat flight information display system (FIDS) di TV
plasma yang berjejer rapi. Bi Tiah bilang, “TV gede”. Mengecek
jadwal kedatangan pesawat yang Bunda tumpangi.
“Delay,
Bi,” ucap Aia pada Bi Tiah yang sejak tadi juga ikut mengamati layar LED. Meski
sudah berpikir keras, menatap layar lama-lama, tapi tidak juga membuat Bi Tiah
mengerti informasi apa yang disajikan di TV itu.
“Kok
Dek Aia tahu Ibu lagi
di-lei? Eh, emang di-lei itu di mana?” Bi Tiah bingung sendiri.
Aia
tertawa, “Delay bi ... bukan di-lei, artinya pesawat Bunda terlambat
dari jadwal yang seharusnya.”
Bi
Tiah ber-o ria lalu nyengir, minta pemakluman, namanya juga orang tua yang
baru pertama kali ke bandara.
“Kita
duduk di sana saja, Bi,” Aia menunjuk bangku yang masih kosong.
Meski
Bi Tiah mampu mengundang tawa. Tapi, itu sama sekali tidak mengusir gelisahnya.
Takut Bunda masih marah. Sudah seminggu ini Bunda mendiamkannya. Aia paling
tidak suka didiamkan, diabaikan, dianggap tidak ada.
Bunda
marah karena satu hal. Bahkan hari ini Aia tahu jadwal kepulangan Bunda pun, karena
bertanya pada Yasti, teman kerja Bunda. Sebelumnya
sudah mencoba menghubungi Bunda, tapi tidak ada
jawaban. Aia
duduk bersandar. Setidaknya meski hati tak juga nyaman, tubuhnya bisa sedikit
nyaman. Pikirannya kembali melambung.
17
September 2012
Suka
tidak suka. Mau tidak mau. Pertemuan dengan Nur di restoran waktu itu membuat Aia sesak.
Dibenaknya penuh tanda tanya. Separuh hati meragukan apa yang dikatakan Nur.
Separuh lainnya menampik, teringat kata Bunda, “Tante Nur itu bukan orang
awam yang tidak tahu apa-apa, Ai. Ia bahkan guru besar di salah satu
universitas Islam. Ia paham agama lebih dari kita, bahkan mungkin lebih dari siapa
pun. Bunda sangat yakin, Tante Nur tentu tahu betul apa yang dilakukannya.”
Tapi,
di saat ia menampik rasa ragu terhadap Nur, Aia juga teringat Zia. Membenarkan
Nur sama saja ia meragukan Zia. Bagaimana
mungkin Aia bisa meragukan Zia? Selama ini Zia lah yang mengajarinya banyak hal
tentang Islam. Setelah mengkaji Islam
dengan Zia lah Aia merasa yakin pada agamanya. Bukan sekedar karena keturunan
apalagi ikut-ikutan.
***
Ditengah
kebingungannya, untuk
kali kedua Bunda kembali mengajaknya bertemu dengan Nur. Mulanya Aia tidak
tahu. Tiba-tiba saja Senin itu Bunda pulang lebih awal lalu minta Aia
menemaninya ke sebuah tempat. Tentu saja dengan senang hati Aia bersedia
menemani Bunda.
Aia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Melihat ruang-ruang yang ada, tempat
ini lebih tepat disebut rumah ketimbang kantor. Hanya saja interiornya didesain layaknya
sebuah kantor. Tiga perempuan berusia sekitar 25-35an terlihat masih sibuk
berdiskusi di ruang sebelah, sedang rapat sepertinya. Aia juga tidak tahu benar
tempat apa sebenarnya ini. Dan tidak tahu persis kenapa Bunda minta ditemani ke
tempat ini. Sampai akhirnya sebuah suara menyapa mereka, “Kalian sudah lama?”
Bunda
menoleh. Tersenyum pada yang menyapanya.
Aia
ikut menoleh. Mengerutkan
dahi, Tante Nur?
“Dulu
ini rumah Tante, Ai,” aku Nur. Aia ber-o ria sambil mengangguk pelan. Mereka
sudah duduk di kursi kayu putih di beranda
depan. Mengelilingi meja kayu bulat yang juga berwarna
putih. Menghadap halaman berlapis rumput hijau yang juga langsung menghadap ke
jalan. Tiga cangkir teh ikut serta dalam perbincangan sore itu. “Setelah pindah
ke rumah baru tahun lalu, rumah ini sengaja Tante jadikan kantor. Untuk program
pemberdayaan perempuan,” lanjutnya.
“Pemberdayaan
perempuan?” Aia mengerling.
“Iya. Tante Nur sedang aktif
melakukan pemberdayaan perempuan, Ai,” cetus Bunda.
“Pemberdayaan
apa maksudnya, Tan?” selidik Aia. Benaknya langsung menaruh curiga, pasti ini
ada kaitannya dengan kesetaraan gender.
“Pemberdayaan
ekonomi perempuan. Supaya perempuan bisa mandiri secara finansial. Jadi, perempuan
nggak perlu lagi bergantung pada laki-laki. Posisi perempuan dan laki-laki juga
harus sejajar dalam hal ekonomi,” sahut Nur. Bersandar santai di kursinya
sambil menyilangkan jemari kanan-kiri.
Benar,
kan?! Aia menghempaskan napas pelan. “Memang perempuan akan
sangat rendah kalau nggak mandiri secara finansial ya, Tan?”
Nur mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak. “Kenyataannya
begitu. Banyak yang menganggap
kalau perempuan itu makhluk yang selalu bergantung pada laki-laki. Sebelum
menikah, perempuan bergantung pada Ayahnya. Setelah menikah, perempuan
bergantung pada suaminya.
Itulah
kenapa pada akhirnya banyak laki-laki yang bertindak sewenang-wenang, melakukan
kekerasan terhadap perempuan. Ini juga bentuk ketidakadilan. Ketimpangan sosial
yang menganggap perempuan itu lemah. Tidak bisa mandiri, tidak bisa berdiri di
atas kaki sendiri,” papar Nur
kemudian mengulas senyum tipis.
Aia menyimak saksama dengan benak yang tetap memasang
status waspada terhadap setiap kalimat Nur. Bunda melirik Aia untuk waktu yang
lama. Memastikan kalau putrinya mendengar dan menerima apa yang temannya katakan.
“Tante ingin menghapus
paradigma itu. Perempuan bisa kok
mandiri,
nggak perlu bergantung dengan laki-laki. Caranya dengan mereka diberdayakan.
Diberi peluang untuk punya penghasilan sendiri, Ai. Supaya laki-laki juga nggak memandang perempuan
sebelah mata lagi,” sambung Nur. “Kalaupun terpaksa harus mengakhiri
pernikahannya dengan bercerai pun mereka tidak khawatir. Karena mereka punya
penghasilan untuk hidupnya ke depan.”
Aia
berusaha mencerna kalimat Nur. Jadi,
perempuan mandiri itu yang nggak takut cerai? Itu yang ingin ditanyakan. Namun urung lantaran
khawatir Bunda tersinggung. Dulu, Bunda berpisah dengan Ayah juga setelah punya
penghasilan.
Aia hanya mengangguk polos, berlagak mendengarkan
dengan baik. “Terus
Tan,
gimana dengan perempuan yang sudah menikah,
punya anak?
Mereka kan juga punya tugas sebagai istri. Sebagai ibu. Kalo perempuan juga
harus sibuk mencari penghasilan, apa itu bukan malah bikin mereka nggak fokus? Sementara dalam Islam guru agama Aia bilang, peran sebagai istri dan ibu
itu kewajiban buat perempuan?”
“Itulah
kenapa muslimah juga harus memperjuangkan kesetaraan gender,” tukas Nur.
Dalam hati Aia terkejut,
apa maksudnya?! Tapi berusaha menahan keterkejutan itu. Hanya matanya
yang terbuka sedikit lebih lebar.
“Karena
dengan membangun kesetaraan, Tante
berharap tidak ada lagi ketidakadilan. Kekerasan. Diskriminasi.
Bukan cuma perempuan, tapi juga laki-laki. Tante pernah bilang kan, bicara kesetaraan gender artinya kita bicara tentang manusia. Tentang laki-laki dan perempuan.
Cuma memang, yang terjadi di masyarakat kita sekarang,
yang mengalami diskriminasi. Ketidakadilan. Ya, perempuan. Nah, kalau kita bicara
diskriminasi terhadap perempuan. Justru banyak hukum Islam
yang mendiskriminasi perempuan. Coba kamu lihat, laki-laki berhak menjadi
pemimpin, tapi perempuan? Tidak.
Hak waris, perempuan hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki. Istri harus
minta izin suami untuk melakukan sesuatu. Tapi suami? Nggak tuh. Belum lagi
poligami. Itu juga bentuk diskriminasi, Ai.”
Bunda
yang sesekali masih melirik Aia sontak menoleh ke arah
Nur. Gesturnya berubah. Mengerutkan dahi untuk beberapa
detik. Seperti ada rasa terkejut yang tertahan. Lalu menghela napas amat pelan
–agar tidak ada yang tahu- dan berusaha kembali fokus ke
forum perbincangan.
Hei,
apa-apaan guru besar ini?!
Kemarin bilang Rasulullah Feminis pertama, sekarang malah mengkritik Islam!
Maki hati Aia. Tunggu, tunggu! Bukankah yang dikatakan Tante
Nur benar? Memang Islam mengatur posisi perempuan seperti itu kan?
Tiba-tiba, Aia merasa tidak bisa menolak pernyataan Nur. Perempuan tidak
boleh menjadi pemimpin. Hak waris perempuan setengah dari bagian laki-laki.
Istri harus izin pada suami. Memang benar begitu, kan? Aia menggeleng
pelan. Berusaha membantah hatinya sendiri. Tapi ... yang Tante Nur katakan
itu memang benar, kan? Jadi ... Tante Nur benar? Kesetaraan gender itu memang
harus?
“Yang dikatakan Tante Nur benar, Ai,”
ujar Bunda.
Aia
Mengembungkan pipi seraya menarik napas. Ia sempat menangkap lirikkan mata
Bunda. Juga senyum datar Nur. Lirikkan dan senyum yang sesaat membuat Aia merasa kalah.
Bunda tahu Aia masih menyangsikan Nur dengan
pemikirannya. Beberapa kali Aia juga membantah pendapat
Bunda mengenai perempuan. Dari caranya membantah, Bunda khawatir kalau Aia
mendapat pemahaman radikal di rohis. Dan
Bunda ingin Aia berhenti meragukannya. Berhenti menolak kesetaraan dan semua yang disuarakan Nur. Sebab itulah Bunda sengaja mengajak Aia bertemu Nur.
“Jangan
kaget, Ai. Bahkan sekaliber shahabiyah
saja ada yang memprotes Islam,”
ujar Nur. Matanya menatap Aia penuh seraya tersenyum tipis lagi. Senyum yang
membuat Aia merasa kalah.
“Protes?” Tanya Aia setengah sangsi.
“Iya. Kamu tahu Ummu Salamah? Ummu
Salamah pernah protes pada Rasul, kenapa kaum laki-laki berperang sedangkan
perempuan tidak? Kenapa perempuan hanya mendapat setengah dari warisan
laki-laki? Seorang shahabiyah lain juga memprotes hal yang sama, perempuan hanya
mendapat setengah dari warisan laki-laki, dua orang saksi perempuan sama dengan
satu saksi laki-laki. Sangat tidak adil, kan?! Itu ada dalam hadits riwayat
Tirmidzi. Kamu bisa cek,” terang Nur.
Aia
tercenung. Masa sih ada shahabiyah yang protes seperti itu? Bukankah semua
shahabiyah selalu menaati Allah dan Rasulnya? Aia tidak pernah mendengar
shahabiyah menggugat hukum yang Allah tetapkan. Lagian, memang boleh menggugat
hukum Allah?
“Makanya,
Aia jangan buru-buru menjudge kalau belum tahu pasti kebenarannya,” ujar Bunda. Matanya
menatap Aia sungguh-sungguh.
Aia
menelan ludah. Matanya mengerling. Satu sisi merasa semua yang Nur katakan
benar. Apalagi, Nur juga menggunakan hadits riwayat Tirmidzi yang terkenal
shohih periwayatannya. Atau mungkin, Tante Nur memang ... benar?
***
Jam istirahat akan segera berakhir. Aia
berjalan menyusuri koridor menuju kelas. Nafsu makannya tiba-tiba saja surut begitu teringat
pertemuannya dengan Nur kemarin. Semalam penuh Aia terngiang kalimat-kalimat
Nur. Meski Nur menggunakan hadits, entah kenapa Aia tetap merasa ada yang
ganjil.
“Sorry ya Ras, Ki, aku ke kelas duluan,” putus Aia
akhirnya. Pergi sebelum Raras dan Azki bertanya ‘kenapa?’.
Ough!
Aia menggeleng-gelengkan kepala. Segera duduk sambil berusaha mengusir semua pertanyaan di
benak. Bukan hanya soal Nur. Semalam, Aia iseng mengetik
“kesetaraan gender” di mesin pencari. Aia terkejut ketika menemukan sebuah
artikel tentang seorang muslimah yang juga aktivis kesetaraan gender dari negara
Barat. Disebutkan aktivis itu memimpin sholat Jum’at dengan makmum laki-laki
dan perempuan. Shaf-nya bahkan campur baur.
Ya Allah, seperti itu kah kesetaraan yang
diperjuangkan muslimah seperti Tante Nur? Aia menempelkan dahi di meja. Sementara itu, sekelompok teman -termasuk
Feby, Rindi dan Lita- di pojok belakang tidak berhenti tertawa membuat Aia
semakin pusing.
“Wah, jangan remehin cewek-cewek gitu dong, Dan!” seru
Feby pada Dani. Sejak tadi mereka sibuk membanding-bandingkan antara laki-laki
dengan perempuan. “Sekarang tuh zamannya emansipasi! Cewek-cewek juga bisa
ngelakuin semua yang cowok lakuin! Ya, nggak? Ya, nggak?” tambahnya.
Yang perempuan mengiyakan. Sementara yang laki-laki
menertawakan sambil menantang, “Apa buktinya?”
“Yeee, Lo nggak tau presiden kita ada yang perempuan?!
Sampe olah raga angkat beban, juga ada yang perempuan! Emansipasi tuh namanya!”
seru Lita.
“Iya! Huuuu …,” yang lain menyambut.
Sementara di kursinya, Aia merasa semakin terganggu.
Aia menoleh. Menggebrak meja di belakang kursinya. “Heh! Kalian ngapain sih
ngomongin emansipasi?! Kayak ngerti aja! Kalian nggak ada tema lain buat
diobrolin?!”
Kelas yang semula riuh, senyap untuk beberapa detik.
Semua mata mengarah pada Aia. Termasuk Raras dan Azki yang baru saja masuk.
“Kamu kenapa, Ai?” Raras menyentuh bahu Aia.
“Hissh!” Aia mendesis. Bersamaan dengan teman-teman
lain yang kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Dipojok, Febi hanya
mengibaskan tangan kemudian melanjutkan obrolan. Anak itu makin lama emang
makin nyebelin! Febi membatin.
Sementara di baris depan, Raras dan Azki sudah duduk
di kanan-kiri Aia. Menunggu jawaban. Mereka mencium aroma ketidakberesan. Tapi,
yang ditunggu tidak juga menjawab. Hanya beristighfar sambil mengusap-usap
dahi. Azki menyenggol bahu Aia dengan bahunya. “Kenapa?”
“Hh? Nggak. Itu, mereka berisik banget tadi. Pusing
dengarnya. Terus aku kelepasan gebrak meja,” Aia meringis. Setengah karena
lagi-lagi tidak bisa mengendalikan emosi. Setengah lagi karena ia tidak bisa
memberitahu alasan sebenarnya.
Raras dan Azki menghela napas lega. “Aia … ! Kirain
kenapa!!”
“Oh ya, tadi Kak Zia telepon. Hari ini mau ke sekolah,
terus ngajakin kita ketemuan pulang sekolah,” ucap Azki.
“Oh ya? Aku bisa kok, Insya Allah,” sahut Aia.
“Alhamdulillah … !” Raras dan Azki berseru kompak. Lega.
“Kenapa?”
“Soalnya, kita berdua nggak bisa. Aku udah janji mau
temani Mama ke rumah saudara. Raras juga mau bantu Ibunya, mau ada acara
keluarga. Jadi, kamu sendirian nggak apa-apa, ya?” jelas Azki.
“Hmm …,” Aia pura-pura berpikir. Sementara wajah Raras
dan Azki kian memelas. “Iya. Iya. Nggak apa-apa.”
Wajah memelas itu berubah girang. Sama girangnya
dengan wajah Aia. Beberapa detik yang lalu terbersit untuk menanyakan semua
yang ia dengar dari Nur pada Zia. Tanpa Raras dan Azki, Aia akan lebih leluasa
menanyakannya.
***
Sekolah
sudah sepi.
Lima belas menit yang
lalu bel pulang sudah nyaring berbunyi. Bertambah riuh dengan sorak girang
seluruh warga sekolah. Aia duduk bersandar di bangku panjang di tepi lapangan. Di bawah bayang pohon
yang tertimpa teriknya matahari. Menunggu Kak Zia yang saat ini bersama tiga mentor
rohis lainnya sedang menghadap Kepala Sekolah. Katanya ada hal penting yang
hendak dibicarakan. Entah apa,
Aia tidak tahu persis.
Samar-samar
terdengar suara orang yang keluar dari ruangan. Aia menoleh ke asal suara.
Tepat sekali. Zia, Nisa, Raihan dan Muslim baru saja keluar dari ruangan Kepala
Sekolah. Mereka melangkah pelan sambil membicarakan sesuatu dengan wajah
serius.
“Aku punya feeling yang nggak enak sama kepala
sekolah baru ini,” gumam Raihan.
“Sudahlah,
nanti kita pikirkan solusinya. Sekarang, lebih baik kita pulang dulu,” Muslim
menyudahi. Berdiskusi di koridor sekolah seperti ini juga percuma, tidak akan menemukan
solusi.
“Iyalah,
setuju. Lagian aku juga masih harus balik ke kampus,” Nisa menyetujui. Disambut
dengan anggukan Zia dan Raihan.
Muslim
dan Raihan langsung berpamitan.
“Maaf
ya Zia, saat di sini ada masalah, aku malah harus pindah,” gumam Nisa. Berat
sekali rasanya harus meninggalkan rohis. Ia masih ingat bagaimana perjuangannya
dan Zia untuk bisa masuk menjadi mentor rohis di sekolah ini. Suliiit sekali.
Zia
tersenyum. Menatap wajah sahabatnya, “Ya, it’s okay. Insya Allah akan
ada jalan keluarnya. Do’akan ya ....”
Aia
hanya bisa memperhatikan. Terlalu jauh untuk bisa mendengarkan percakapan
keempat mentor itu.
Tidak lama kemudian Zia
sudah duduk di sebelahnya. Ikut bersandar, menatap langit yang sedang cerah
seperti yang Aia lakukan. Kemudian, menghela napas bersamaan.
“Kenapa?”
bertanya pun bersamaan. Membuat keduanya tertawa kecil seraya menggeleng.
“Kenapa,
Ai?” Zia bertanya lagi sebelum Aia juga kembali bertanya.
Aia
mengangkat bahu. Bertanya balik, “Kak Zia sendiri kenapa? Terus ada apa tadi Kakak
dipanggil Kepala Sekolah?” tanya Aia yang memang dari tadi penasaran.
“Nggak
ada apa-apa, cuma mau ketemu aja.” Zia berkata pelan. Sekali lagi menatap
langit lalu tertunduk pelan. Ragu, haruskah ia menceritakan apa yang Kepala
Sekolah katakan tadi? Zia takut ini hanya akan mengganggu pikiran adik-adik
rohisnya saja.
Aia
hanya menatap wajah Zia yang mengundang tanda tanya. Menunggu hingga Zia
melanjutkan kalimatnya, “Tadi ... ada beberapa hal penting yang dibicarakan Pak
Kepala Sekolah.”
Sudahlah.
Biar ia dan tiga temannya berembuk dulu, mencari solusi. Zia rasa itu lebih
baik. Dan semoga segera menemukan solusi terbaik tanpa perlu melibatkan mereka.
Bukankah selalu ada jalan yang baik untuk niat yang baik?
“Rohis?”
Zia
mengangguk, “Apa lagi?”
Aia
garuk-garuk kepala. Kenapa dia harus menanyakan hal yang sebenarnya sudah
pasti? Payah! Memang apalagi yang hendak dibicarakan selain rohis. “Tahu nggak
sih, Kak? Kemarin kita sempat khawatir berita miring tentang rohis di TV itu akan berpengaruh di
rohis sekolah,” cerita Aia. “Tapi, Alhamdulillah sampai hari ini semua
baik-baik saja ternyata.”
Zia
menoleh sejurus kemudian meluruskan pandangan ke depan. Hening sejenak. “Tapi,
kita harus siap, Ai,” gumam Zia.
Aia
menoleh, “Siap? Untuk?”
Zia
masih menatap lurus ke depan, “Siap untuk sesuatu yang nggak pernah kita duga. Kita
nggak pernah tahu kan, apa yang akan terjadi lusa, besok bahkan satu detik dari
sekarang? Setiap detik akan selalu jadi kejutan bagi kita. Jadi, kita harus
siap. Bersiap untuk banyak hal. Juga …,” tiba-tiba
tenggorokannya sedikit tercekat.
Zia
menelan ludah, perlahan menatap Aia, “Juga siap untuk hal-hal yang boleh jadi
tidak kita sukai. Terjadi sesuatu dengan rohis, misal. Karena Allah tidak akan
membiarkan hamba-Nya yang mengaku beriman begitu saja. Allah akan mengujinya.”
Aia
terpaku mendengarnya. Terpaku dengan tatapan Zia yang menyiratkan kesungguhan
saat mengatakannya. Aia bahkan lupa dengan pertanyaan yang hendak ia tanyakan. Kalimat
Zia membiusnya. Kata-katanya menyusup ke dalam rongga dada. Seolah hendak Aia
tanam kalimat itu di sana. Perlahan dahinya mengernyit, heran. Mengapa
tiba-tiba Zia berkata seperti itu?
***
Bagian 7 | Kabar dari Kotak Sihir [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, April 15, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar