Awalnya
tidak ada masalah. Aia senang-senang saja mendengar cerita Bunda tentang Nur.
Tentang seminar-seminar yang Bunda hadiri. Atau komentar Bunda yang ujungnya
selalu menyuruh perempuan mandiri. Tapi, lama kelamaan Aia mulai merasa ada
yang ganjil.
“Di
seminar kemarin, ada mahasiswi yang menolak pernyataan Tante Nur tentang kesataraan gender. Padahal, kesataraan gender itu untuk
menyamakan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Anehnya, yang menolak itu
perempuan, lho? Bunda nggak
habis pikir, apa sih yang mereka pikirkan?!” cerita Bunda yang kembali emosi
mengingat kejadian tersebut.
“Berangkat,
Bun,” sela Adam seraya berdiri dan menggeser kursi, berpamitan. Sengaja berangkat
duluan, menghindari percakapan yang baginya
membosankan.
“Ya
... semua orang kan punya pendapat masing-masing, Bun,” sahut Aia. “Oh ya,
memang kesetaraan gender itu apa sih Bun? Penting banget?” tanya Aia penasaran.
“Menurut
Aia?” Bunda bertanya balik.
Aia
mengangkat bahu, apa itu kesetaraan gender saja ia tidak tahu. Apalagi ditanya
penting atau tidak.
Bunda
menghela napas. Jadi, selama ini ia cerita panjang lebar, Aia tidak mengerti?
“Maksud kesetaraan gender itu, perempuan dan laki-laki dipandang sama dalam
berbagai hal. Sampai perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan
laki-laki. Kalau laki-laki boleh sekolah tinggi, perempuan juga. Kalau
laki-laki bisa bekerja, perempuan juga harus bisa. Pokoknya, sampai tidak ada
lagi beda perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Jadi perempuan nggak cuma
bisa ngerjain kerjaan rumah sama ngurus anak aja, Ai. Penting, kan?”
“Lho,
tapi bukannya ngerjain kerjaan rumah sama ngurus anak itu memang tugasnya
perempuan, ya, Bun?” Aia mencoba menggali lebih dalam lagi tentang apa yang
dipahami Bunda.
“Kata
siapa?” Bunda mengibaskan tangan kanannya, “itu cuma budaya patriarki.
Laki-laki dan perempuan itu harusnya bisa bersama melakukannya.”
Aia
garuk-garuk kepala, “Patriarki?”. Sepertinya Bunda semakin kaya kosakata
sejak rajin membaca buku dari Tante Nur, pikir Aia.
“Patriarki
itu dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Aia tahu posisi perempuan saat ini?” Bunda
berhenti bicara saat hp-nya berdering. Melirik sebentar, melihat siapa yang
meneleponnya sepagi ini. sejurus kemudian segera mengangkatnya. Telepon penting
dari atasan rupanya.
“Ya,
saya berangkat sekarang, Pak. Begitu sampai, saya akan langsung siapkan
berkas-berkasnya,” ucap Bunda setelah sedari tadi hanya menjawab ya, baik, ya,
baik.
“Bunda
mau berangkat sekarang. Aia gimana? Mau ikut Bunda sekalian?” tanya Bunda sambil
merapikan beberapa lembar kertas yang entah apa isinya ke dalam map hijau.
Yang
ditanya malah bengong, matanya menatap kosong ke piring sarapannya yang juga
sudah kosong.
“Cahaya?!”
tegur Bunda saat tak juga mendapat jawaban dari putrinya.
“Ah?!
Kenapa Bun?” Aia terkesiap. Kaget.
“Mau
ikut Bunda atau berangkat sendiri?” Bunda mengulang pertanyaannya dengan
penekanan.
“Oh,
hm, Aia berangkat sendiri saja, Bun. Hari ini cuma kajian rohis, kok. Siang.
Jadi, bisa santai jalannya,” sahut Aia masih dengan terbata-bata.
Bunda
mengangguk, “Ya sudah, Bunda berangkat, ya.” ucap Bunda.
Aia
mengangguk lantas sigap mencium tangan Bunda. “Hati-hati ya, Bun,” pesannya.
Aia
menatap Bunda yang berjalan keluar.
Sejak tadi memikirkan
kata-kata Bunda. Seperti ada yang
janggal dengan kalimat Bunda barusan? Tentang hak,
kesetaraan dan semua istilah
yang Bunda gunakan.
***
Pukul
12.00 siang.
Kajian rohis sudah
selesai. Usai shalat Dzuhur berjamaah, Aia, Raras dan Azki memilih berbincang dengan Zia. Kali ini
Aia yang membuka obrolan. Ada satu pertanyaan yang sejak tadi ia ingin
tanyakan, tapi sengaja tidak ingin menanyakannya di forum kajian tadi. “Kak Zia. Kakak tahu nggak sih, soal
kesetaraan gender? Tentang perempuan
yang ingin disamakan gitu lah posisinya dengan laki-laki.”
“Iya, tahu. Kenapa?” Zia bertanya balik. Raras
dan Azki menyimak.
Aia
membetulkan posisi duduknya, beringsut dari sandaran di pojok musholla. “Memang
maksud dari kesetaraan gender itu apa sih, Kak? Penting banget buat perempuan?”
“Kesetaraan
gender?” Zia mengangkat alis. Sedikit terkejut dengan pertanyaan Aia. Jarang sekali remaja seusianya menanyakan topic
semacam ini.
“Kesetaraan
gender itu istilah lainnya feminisme,
penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Atau kalau di kita lebih akrab
dibilang emansipasi,” Zia berhenti sejenak. Memikirkan kata yang tepat untuk
menjelaskan hal tersebut pada tiga anak SMA di hadapannya. “Hm, gini. Jadi, ada
orang yang menganggap posisi perempuan itu dinomorduakan. Karena lingkungan
perempuan itu cuma seputar urusan rumah dan mengurus anak. Sementara laki-laki,
mereka bebas beraktivitas di luar rumah. Mereka kerja, bisa berpolitik, pokoknya
dunia luar rumah itu kayaknya cuma punya laki-laki.
Kemudian, seiring berjalannya waktu muncullah
perempuan-perempuan yang nggak terima dengan keadaan itu. Lalu mereka menuntut
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, supaya perempuan juga bisa
berperan di ranah yang selama ini menurut mereka cuma dikuasai laki-laki. Kayak
sekarang bermunculan wanita-wanita karir, perempuan yang juga ingin jadi
pemimpin di sebuah negara, orang yang menyuarakan kalau kursi untuk perempuan
di parlemen harus ditambah, itu juga bagian dari persamaan yang mereka
inginkan.”
“Oh,”
Aia mengangguk. Kurang lebih sama dengan yang Bunda jelaskan tentang sejarah
perempuan waktu itu. “Jadi, kalau menurut Kak Zia sendiri, kesetaraan gender
itu penting, nggak?”
Zia
menggeleng pasti.
“Lho,
kenapa? Bukannya bagus, Kak?
Mereka itu kan, katanya
memperjuangkan hak-hak perempuan?
Berarti memperjuangkan hak-hak kita, kan?” sela Azki.
“Kalau
kita cuma lihat sekilas, ya, memang kedengarannya bagus. Tapi, ini bukan se-simple
yang kita bayangkan. Kesetaraan gender itu punya sejarah sendiri, dan itu sama
sekali bukan berasal dari Islam. Sejarah kesetaraan gender itu muncul dari
sejarah perempuan di Barat. Karena posisi perempuan Barat itu dulu dihinakan.
Beda
dengan Islam. Justru Islam membuat posisi perempuan yang awalnya terhina jadi
mulia. Makanya kita nggak pernah denger kan, kisah shahabiyah protes pada
Rasulullah tentang hak perempuan misalnya?”
“Lho,
bukan dari Islam?” Aia menyela.
Terkejut.
Zia
mengangguk. “Oh ya, kebetulan
minggu lalu Kakak diajak teman hadir ke seminar perempuan. Ternyata
pembicaranya Profesor Nuriyah,” aku Zia.
“Siapa,
Kak?!” Aia mendelik begitu mendengar nama itu. Itu kan
teman Bunda, batinnya.
“Profesor
Nuriyah. Beliau guru besar di kampus Kakak sebenarnya, sekaligus aktivis
gender. Waktu sesi tanya jawab, Kakak bertanya pada beliau, konsep kesetaraan
seperti apa yang dimaksud dalam kesetaraan gender? Karena menurut Kakak, konsep
itu absurd. Contoh kecilnya saja, satu
sisi mereka menyuarakan kesetaraan. Laki-laki dan perempuan nggak boleh
dibeda-bedakan. Di sisi lain nyatanya mereka juga mendukung tuh adanya
fasilitas kereta khusus perempuan, bus khusus perempuan. Padahal, kalau dilihat
dari perspektif kesetaraan, pengkhususan berdasarkan gender itu bentuk diskriminasi.
Jadi, kesetaraan seperti apa yang sebenarnya mau dibangun? Ya nggak ,sih?”
Semua
terperangah mendengar cerita Zia. Terkesima dengan keberanian Zia menyampaikan
kritikan di acara seperti itu.
Aia
mengernyit, teringat cerita Bunda tadi pagi kalau ada mahasiswi yang menolak
pernyataan Nur. Jangan-jangan yang Bunda maksud sebenarnya Kak Zia, duga
Aia.
“Tapi nggak apa-apa kan Kak, kalau ada muslimah
yang sekarang juga ikut memperjuangkan kesetaraan gender?”
Zia
tersenyum. Selalu begitu jika Aia yang bertanya. Pertanyaan pasti akan beranak
pinak. Tidak apa. Zia dengan senang
hati tetap meladeni dengan menjawab sebisa mungkin semua pertanyaannya.
Tidak terasa, hampir dua
jam mereka mengobrol. Mengobrol? Lebih tepatnya wawancara, karena yang terjadi
sedari tadi hanyalah antara Aia yang memberi pertanyaan dan Zia yang menjawab.
Praktis seperti wartawan yang sedang mewawancarai seorang pakar. Bahkan Raras
dan Azki tak ubahnya seperti tengah menonton acara talkshow di televisi.
“Eh,
ngomong-ngomong kenapa
sih, Ai? Kok tiba-tiba mau tahu banget soal kesetaraan gender?” selidik Azki
yang sedikit heran dengan pertanyaan Aia hari ini.
“Oh
iya, benar! Hari ini pertanyaan Aia sangat luar biasa berbobot,” timpal Raras
seraya menggodanya, “ada apa hayo?”
Aia
gelagapan, “O, e, eng, enggak. Cuma pengin tahu aja! Nggak boleh?”
Aia
Mengembungkan pipi seraya menarik napas. Duh, kenapa coba teman-temannya harus
bertanya seperti itu?! Tidak! Ia tidak ingin teman-temannya tahu kalau Bunda
justru bergaul dengan orang yang memperjuangkan kesetaraan gender. Kak Zia juga
tidak boleh tahu!
***
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, Februari 18, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar