Sabtu, 18 Februari 2017

Awalnya tidak ada masalah. Aia senang-senang saja mendengar cerita Bunda tentang Nur. Tentang seminar-seminar yang Bunda hadiri. Atau komentar Bunda yang ujungnya selalu menyuruh perempuan mandiri. Tapi, lama kelamaan Aia mulai merasa ada yang ganjil.

“Di seminar kemarin, ada mahasiswi yang menolak pernyataan Tante Nur tentang kesataraan gender. Padahal, kesataraan gender itu untuk menyamakan hak-hak perempuan dengan laki-laki. Anehnya, yang menolak itu perempuan, lho? Bunda nggak habis pikir, apa sih yang mereka pikirkan?!” cerita Bunda yang kembali emosi mengingat kejadian tersebut.

“Berangkat, Bun,” sela Adam seraya berdiri dan menggeser kursi, berpamitan. Sengaja berangkat duluan, menghindari percakapan yang baginya membosankan.

“Ya ... semua orang kan punya pendapat masing-masing, Bun,” sahut Aia. “Oh ya, memang kesetaraan gender itu apa sih Bun? Penting banget?” tanya Aia penasaran.

“Menurut Aia?” Bunda bertanya balik.

Aia mengangkat bahu, apa itu kesetaraan gender saja ia tidak tahu. Apalagi ditanya penting atau tidak.

Bunda menghela napas. Jadi, selama ini ia cerita panjang lebar, Aia tidak mengerti? “Maksud kesetaraan gender itu, perempuan dan laki-laki dipandang sama dalam berbagai hal. Sampai perempuan memiliki kesempatan dan hak yang sama dengan laki-laki. Kalau laki-laki boleh sekolah tinggi, perempuan juga. Kalau laki-laki bisa bekerja, perempuan juga harus bisa. Pokoknya, sampai tidak ada lagi beda perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Jadi perempuan nggak cuma bisa ngerjain kerjaan rumah sama ngurus anak aja, Ai. Penting, kan?”

“Lho, tapi bukannya ngerjain kerjaan rumah sama ngurus anak itu memang tugasnya perempuan, ya, Bun?” Aia mencoba menggali lebih dalam lagi tentang apa yang dipahami Bunda.

“Kata siapa?” Bunda mengibaskan tangan kanannya, “itu cuma budaya patriarki. Laki-laki dan perempuan itu harusnya bisa bersama melakukannya.”

Aia garuk-garuk kepala, “Patriarki?”. Sepertinya Bunda semakin kaya kosakata sejak rajin membaca buku dari Tante Nur, pikir Aia.

“Patriarki itu dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Aia tahu posisi perempuan saat ini?” Bunda berhenti bicara saat hp-nya berdering. Melirik sebentar, melihat siapa yang meneleponnya sepagi ini. sejurus kemudian segera mengangkatnya. Telepon penting dari atasan rupanya.

“Ya, saya berangkat sekarang, Pak. Begitu sampai, saya akan langsung siapkan berkas-berkasnya,” ucap Bunda setelah sedari tadi hanya menjawab ya, baik, ya, baik.

“Bunda mau berangkat sekarang. Aia gimana? Mau ikut Bunda sekalian?” tanya Bunda sambil merapikan beberapa lembar kertas yang entah apa isinya ke dalam map hijau.

Yang ditanya malah bengong, matanya menatap kosong ke piring sarapannya yang juga sudah kosong.

“Cahaya?!” tegur Bunda saat tak juga mendapat jawaban dari putrinya.

“Ah?! Kenapa Bun?” Aia terkesiap. Kaget.

“Mau ikut Bunda atau berangkat sendiri?” Bunda mengulang pertanyaannya dengan penekanan.

“Oh, hm, Aia berangkat sendiri saja, Bun. Hari ini cuma kajian rohis, kok. Siang. Jadi, bisa santai jalannya,” sahut Aia masih dengan terbata-bata.

Bunda mengangguk, “Ya sudah, Bunda berangkat, ya.” ucap Bunda.

Aia mengangguk lantas sigap mencium tangan Bunda. “Hati-hati ya, Bun,” pesannya.

Aia menatap Bunda yang berjalan keluar. Sejak tadi memikirkan kata-kata Bunda. Seperti ada yang janggal dengan kalimat Bunda barusan? Tentang hak, kesetaraan dan semua istilah yang Bunda gunakan.

***

Pukul 12.00 siang. Kajian rohis sudah selesai. Usai shalat Dzuhur berjamaah, Aia, Raras dan Azki memilih berbincang dengan Zia. Kali ini Aia yang membuka obrolan. Ada satu pertanyaan yang sejak tadi ia ingin tanyakan, tapi sengaja tidak ingin menanyakannya di forum kajian tadi. “Kak Zia. Kakak tahu nggak sih, soal kesetaraan gender? Tentang perempuan yang ingin disamakan gitu lah posisinya dengan laki-laki.”

Iya, tahu. Kenapa?” Zia bertanya balik. Raras dan Azki menyimak.

Aia membetulkan posisi duduknya, beringsut dari sandaran di pojok musholla. “Memang maksud dari kesetaraan gender itu apa sih, Kak? Penting banget buat perempuan?”

“Kesetaraan gender?” Zia mengangkat alis. Sedikit terkejut dengan pertanyaan Aia. Jarang sekali remaja seusianya menanyakan topic semacam ini.

“Kesetaraan gender itu istilah lainnya feminisme, penyamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Atau kalau di kita lebih akrab dibilang emansipasi,” Zia berhenti sejenak. Memikirkan kata yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut pada tiga anak SMA di hadapannya. “Hm, gini. Jadi, ada orang yang menganggap posisi perempuan itu dinomorduakan. Karena lingkungan perempuan itu cuma seputar urusan rumah dan mengurus anak. Sementara laki-laki, mereka bebas beraktivitas di luar rumah. Mereka kerja, bisa berpolitik, pokoknya dunia luar rumah itu kayaknya cuma punya laki-laki.
Kemudian, seiring berjalannya waktu muncullah perempuan-perempuan yang nggak terima dengan keadaan itu. Lalu mereka menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, supaya perempuan juga bisa berperan di ranah yang selama ini menurut mereka cuma dikuasai laki-laki. Kayak sekarang bermunculan wanita-wanita karir, perempuan yang juga ingin jadi pemimpin di sebuah negara, orang yang menyuarakan kalau kursi untuk perempuan di parlemen harus ditambah, itu juga bagian dari persamaan yang mereka inginkan.”

“Oh,” Aia mengangguk. Kurang lebih sama dengan yang Bunda jelaskan tentang sejarah perempuan waktu itu. “Jadi, kalau menurut Kak Zia sendiri, kesetaraan gender itu penting, nggak?”

Zia menggeleng pasti.

“Lho, kenapa? Bukannya bagus, Kak? Mereka itu kan, katanya memperjuangkan hak-hak perempuan? Berarti memperjuangkan hak-hak kita, kan?” sela Azki.

“Kalau kita cuma lihat sekilas, ya, memang kedengarannya bagus. Tapi, ini bukan se-simple yang kita bayangkan. Kesetaraan gender itu punya sejarah sendiri, dan itu sama sekali bukan berasal dari Islam. Sejarah kesetaraan gender itu muncul dari sejarah perempuan di Barat. Karena posisi perempuan Barat itu dulu dihinakan.

Beda dengan Islam. Justru Islam membuat posisi perempuan yang awalnya terhina jadi mulia. Makanya kita nggak pernah denger kan, kisah shahabiyah protes pada Rasulullah tentang hak perempuan misalnya?”

“Lho, bukan dari Islam?” Aia menyela. Terkejut.

Zia mengangguk. “Oh ya, kebetulan minggu lalu Kakak diajak teman hadir ke seminar perempuan. Ternyata pembicaranya Profesor Nuriyah,” aku Zia.

“Siapa, Kak?!” Aia mendelik begitu mendengar nama itu. Itu kan teman Bunda, batinnya.

“Profesor Nuriyah. Beliau guru besar di kampus Kakak sebenarnya, sekaligus aktivis gender. Waktu sesi tanya jawab, Kakak bertanya pada beliau, konsep kesetaraan seperti apa yang dimaksud dalam kesetaraan gender? Karena menurut Kakak, konsep itu absurd. Contoh kecilnya saja, satu sisi mereka menyuarakan kesetaraan. Laki-laki dan perempuan nggak boleh dibeda-bedakan. Di sisi lain nyatanya mereka juga mendukung tuh adanya fasilitas kereta khusus perempuan, bus khusus perempuan. Padahal, kalau dilihat dari perspektif kesetaraan, pengkhususan berdasarkan gender itu bentuk diskriminasi. Jadi, kesetaraan seperti apa yang sebenarnya mau dibangun? Ya nggak ,sih?

Semua terperangah mendengar cerita Zia. Terkesima dengan keberanian Zia menyampaikan kritikan di acara seperti itu.

Aia mengernyit, teringat cerita Bunda tadi pagi kalau ada mahasiswi yang menolak pernyataan Nur. Jangan-jangan yang Bunda maksud sebenarnya Kak Zia, duga Aia.

Tapi nggak apa-apa kan Kak, kalau ada muslimah yang sekarang juga ikut memperjuangkan kesetaraan gender?”

Zia tersenyum. Selalu begitu jika Aia yang bertanya. Pertanyaan pasti akan beranak pinak. Tidak apa. Zia dengan senang hati tetap meladeni dengan menjawab sebisa mungkin semua pertanyaannya.

Tidak terasa, hampir dua jam mereka mengobrol. Mengobrol? Lebih tepatnya wawancara, karena yang terjadi sedari tadi hanyalah antara Aia yang memberi pertanyaan dan Zia yang menjawab. Praktis seperti wartawan yang sedang mewawancarai seorang pakar. Bahkan Raras dan Azki tak ubahnya seperti tengah menonton acara talkshow di televisi.

“Eh, ngomong-ngomong kenapa sih, Ai? Kok tiba-tiba mau tahu banget soal kesetaraan gender?” selidik Azki yang sedikit heran dengan pertanyaan Aia hari ini.

“Oh iya, benar! Hari ini pertanyaan Aia sangat luar biasa berbobot,” timpal Raras seraya menggodanya, “ada apa hayo?”

Aia gelagapan, “O, e, eng, enggak. Cuma pengin tahu aja! Nggak boleh?”

Aia Mengembungkan pipi seraya menarik napas. Duh, kenapa coba teman-temannya harus bertanya seperti itu?! Tidak! Ia tidak ingin teman-temannya tahu kalau Bunda justru bergaul dengan orang yang memperjuangkan kesetaraan gender. Kak Zia juga tidak boleh tahu!

***

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar