Sabtu, 28 Januari 2017

Aia lari terburu-buru menuju aula sekolah. Saking banyaknya petuah dari Adam yang harus ia dengarkan mengenai kamera, Aia harus terlambat 30 menit. Langkahnya sempat terhenti saat melihat lapangan, tempat acara anak-anak pecinta alam, nampak ramai. Acara rohis juga pasti seramai itu, pikir Aia optimis. Ia segera berlari menaiki tangga menuju aula di lantai dua. Tidak sabar ingin segera melihat suasana acara.

“Tadaa!” Aia yang akhirnya tiba di depan aula mengejutkan anak-anak GARIS dengan kamera di genggamannya.

“Alhamdulillah ...!” yang lain menyambut gembira.

“Berhasil, Kak Aia?!” Fiya dan Ayu langsung mendekat. Takjub. Takjub dengan kameranya. Tapi lebih besar lagi rasa takjub mereka akan janji Allah. Selalu ada kemudahan setelah kesulitan.

“Alhamdulillah Abangku lagi baik hari ini. He ...,” Aia nyengir lalu iseng menjepret sembarangan.

“Kameranya keren banget, Ai!” seru Iqbal yang muncul dari dalam aula, tempat acara dilaksanakan. Kebetulan Iqbal memang tahu banyak soal kamera. Termasuk tahu kalau kamera yang Aia pegang, walaupun bukan keluaran terbaru, tapi berspesifikasi tinggi.

“Ini,” Aia menyerahkan kamera pada Iqbal dengan hati-hati, “bisa kan, pakai kamera ini?” tanya Aia memastikan.

Iqbal mengangguk, “Insya Allah bisa.”

“O ya, Abangku pesan, hati-hati sama kameranya. Jangan sampai kenapa-kenapa. Kalau sampai kenapa-kenapa, habis aku dimarahi Abang,” Aia mempersingkat petuah Adam.

“Dengerin tuh, Kak Iqbal!” celetuk Ayu.

Iqbal mengangguk pasti sambil mengacungkan jempol lalu melangkah ke meja registrasi ikhwan. Matanya tetap terfokus pada kamera. Kagum.

“Eh, Raras sama Azki mana?” Aia celingukan. Baru sadar kalau dua temannya tidak bersama mereka.
“Tadi sih di dalam. Eh, tuh di meja registrasi,” jawab Fiya. Melempar pandangan ke arah meja registrasi yang ada di pojok sebelah kanan.

“Oh, ada Kak Zia sama Kak Nisa juga,” celetuk Ayu.

Aia mengerutkan dahi, “Kak Nisa? Siapa?”

***

“Kak Nisa ini mentor rohis kita juga, Ai. Sayangnya, pas kamu masuk, Kak Nisa mau pindah ke luar kota,” jelas Zia.

“Oh, gitu. Kenapa pindah, Kak?” tanya Aia.

“Iya. Ikut keluarga, Ai,” sahut Nisa.

Aia mengangguk tersenyum. Melihat Ayu dan Fiya sedang mengecek form registrasi, Aia jadi ingin melihat ke ruang acara. Apakah Feby, Rindy dan Lita sudah datang. Aia maju beberapa langkah, melongok ke ruang acara. Lalu cepat-cepat memeriksa form registrasi. Kembali melongok ke ruang acara.

“Kenapa, Ai?” tanya Zia.

“Ini sudah setengah sembilan lho, Kak! Masa baru sembilan belas orang yang datang? Padahal kemarin banyak kan yang bilang Insya Allah mau datang?” Aia setengah tidak percaya melihat daftar hadir peserta akhwat yang baru sembilan belas orang. Sementara peserta ikhwannya lebih parah lagi, hanya ada sekitar sepuluh orang.

Aia menatap Raras dan Azki, “Feby, Lita, Rindy, mereka belum datang?”

Raras dan Azki hanya saling pandang lalu menggeleng bersamaan.

Aia menghembuskan napas kecewa. Ini di luar ekspektasinya. Bahkan Feby, Lita dan Rindy yang juga sudah bilang Insya Allah akan datang pun tak kelihatan batang hidungnya. Sementara yang lain hanya tersenyum.

“Ya ... memang begitu, Ai,” ujar Azki. Ini bukan hal baru di agenda GARIS. Banyak yang bilang Insya Allah mau datang. Tapi, di hari H cuma sekian orang yang datang.”

“Ya. Tapi. Masa dari ribuan siswa di sekolah ini cuma 29 orang?!” protesnya lagi sambil tetap melongok ke ruang acara. “Acaranya anak-anak pecinta alam aja lebih rame dari acara kita?!”

Zia merangkul Aia, “Sabar, Ai. Ngajak orang ngaji itu memang nggak segampang ngajakin mereka jalan-jalan.”

“Padahal, banyak yang bilang Insya Allah mau datang lho, Kak,” terang Aia.

“Ya. Sadar atau nggak, di masyarakat kita sekarang memang sudah banyak yang menyalahartikan kata Insya Allah,” Nisa menambahkan. “Orang banyak pakai kata Insya Allah justru ketika mereka merasa, ‘hm, kayaknya nggak bisa datang deh’. Padahal, Insya Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya ketika mengucapkan Insya Allah, kita tetap berusaha datang. Kita mengucapkan Insya Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan Allah yang menentukan bukan karena sudah berencana nggak bisa datang.”

Dahi Aia berkerut sejenak, kemudian mengangguk. Berpikir lalu membenarkan. Jadi ingat, waktu kelas satu dulu, Aia juga pernah menerima selebaran agenda seperti ini dari Raras dan Azki. Dan pernah juga bilang Insya Allah. Tapi, sekali pun belum pernah ia menghadirinya. Jadi ... seperti ini rasanya?

Udah. Jangan patah semangat gitu, dong.” Azki merangkul Aia, “yang penting kan kita sudah berusaha maksimal untuk agenda ini. Yang Allah lihat usaha kita, bukan hasilnya. Dan sebenarnya 29 orang itu sudah termasuk banyak untuk agenda kita, Ai. Kecuali acara PHBI. Karena sekolah mewajibkan seluruh siswa muslim untuk hadir.”

Aia menghembuskan napas sekaligus menghembuskan rasa kecewanya, “Iya, iya.”

“Ke dalam yuk, acaranya sebentar lagi mulai,” Raras menutup map registrasi bermotif batik dan meletakkan pulpen di atasnya.

Meski di luar ekspektasi, Aia tetap bersyukur. Setidaknya, acara rohis tetap berjalan lancar. Satu yang masih mengganjal dihati. Ingin sekali ia segera bertemu Feby, Lita dan Rindy. Bertanya kenapa mereka tidak datang hari ini?

***

Dan waktu berputar cepat. Matahari kembali menyapa dari ufuk timur. Cahaya pagi yang sebenarnya hangat berubah panas bagi Aia yang baru saja turun dari bus umum. Bersama serombongan siswa yang lain, Aia menyeberangi jalan. Berjalan lagi beberapa langkah, tibalah di sekolah.

Aia Mengembungkan pipi seraya menarik napas panjang saat melihat Feby, Rindy dan Lita yang sedang berjalan beberapa langkah di depannya. Mengingat mereka tidak datang kemarin, Aia jadi kesal. Lihatlah, tingkah mereka selalu begitu. Tiap  pagi berjalan sambil cekikikan lalu menuju kantin sekolah. Aia mempercepat langkahnya, berusaha menyamai langkah mereka.

“Ehm,” Aia berdehem.

Feby, Rindy dan Lita menoleh. “Oh, Aia.”

Aia menoleh seraya (terpaksa) menyunggingkan senyum, “Kalian kemana kemarin? Katanya mau datang?”

“Oh, iya. Sorry, Ai!” sahut Feby dengan nada seolah-olah menyesal. “Kemarin ada film baru di bioskop soalnya. Jadi, kita pergi nonton, deh!” lanjutnya. Rindy dan Lita ikut mengiyakan.

Aia melebarkan senyumnya, “Oh, ngak apa-apa. Tapi, sayang banget ya, kalian nggak datang. Padahal acaranya seru dan bermanfaat banget, lho.”

“Lain kali Insya Allah kita datang deh, Ai,” sahut Rindy.

Aia mengangguk lalu sedetik kemudian tiba-tiba menghentikan langkahnya. Membuat ketiga temannya refleks ikut berhenti. “Mudah-mudahan sebenarnya kalian udah tahu, ya. Insya Allah itu artinya jika Allah mengizinkan. Jadi, harusnya kita tetap berusaha datang. Kita mengucapkan Insya Allah karena sadar kita cuma bisa berencana dan Allah yang menentukan bukan karena nggak bisa datang terus bilang Insya Allah!”

Feby, Rindy dan Lita melongo sejenak mendengar kalimat Aia. Selang beberapa detik kemudian tertawa. You know we so well lah, Ai …,” Feby mengibaskan tangan.

Sebenarnya Aia super gondok dengan tawa tiga temannya itu. Tapi, sudahlah. Ia kan sedang belajar sabar. Ditariknya napas dalam-dalam dan memaksa wajahnya memasang senyum. “Terserah kalian, deh! Yang penting gue udah nyampein! Duluan, ya. Assalamu’alaikum!” ucapnya kemudian berlalu meningalkan Feby, Rindy dan Lita yang bersungut kesal lantaran pagi-pagi merasa diceramahi Aia.
***

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.
Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 15.50 WIB
Aia belum juga bergeser dari duduknya usai sholat Asar. Ia baru saja selesai membaca beberapa ayat Al-Qur’an. Tiba-tiba teringat masa-masa sibuk bersama rohis di sekolah sejak akhir tahun lalu. Masa di mana semangatnya begitu tinggi. Mengkaji Islam, mengorganisir agenda dakwah di sekolah dan lainnya. Masa di mana akhirnya cahaya menemukan lagi cahayanya.

Februari 2012

Makin hari Aia memang semakin tenggelam dengan dunia rohis. Kajian rohis di setiap Sabtu sudah menjadi rutinitas. Tidak hanya kajian, Aia juga ikut bergabung dengan Raras dan Azki sebagai pengurus GARIS. Tambah sibuklah Aia dengan agenda rapat setiap awal bulan. Seperti hari ini. Memanfaatkan waktu istirahat, anak-anak GARIS mengadakan rapat di awal Februari 2012.

“Jadi teman-teman, sesuai rencana kita bulan lalu. Insya Allah tanggal 11 Februari ini kita akan mengadakan acara yang berkaitan dengan valentine. Dan kemarin kita semua sudah sepakat ya, tema acaranya ‘Let’s Find The True Love’. Lewat acara ini kita ingin menyampaikan ke teman-teman yang lain, gimana pandangan Islam terkait hari kasih sayang itu,” itu suara Panji, sang ketua rohis memimpin rapat. Tangannya membentuk tanda petik di akhir kalimat. “Dan mengarahkan mereka pada cinta hakiki, yaitu cinta kepada Allah dan Rasul-Nya,” lanjutnya.

Di sebelah kanan ada Ari, Rizky, Kamal dan Iqbal. Di sebelah kiri, Aia, Raras, Azki, Ayu dan Fiya. Semua mendengarkan dengan saksama. “Alhamdulillah Azki sudah buat publikasi. Tinggal dipasang di mading. Hari ini bisa kan, Ki?” Panji melempar pandangan ke arah Azki yang segera mengangguk siap. “Yang lain gimana, persiapan untuk acara kita? Sepuluh hari lagi lho ...,” lanjutnya.

“Dekorasi Alhamdulillah udah dapet konsepnya, Nji,” Rizky menanggapi. “Kemungkinan kita bakal banyak pakai media styrofoam ...,” jelasnya.

“Untuk video dan keperluan visualisasi di screen gimana, Ai?” Panji melemparkan pertanyaan pada Aia.

“Oh, iya. Maaf ya, baru lima puluh per-seen,” sahut Aia meringis.

“Yee ... gimana sih Ai, masa dari kemaren lima puluh persen terus? Nggak dikerjain, ya?” celetuk Ari yang duduk paling ujung disambut tawa kecil teman-teman yang lain.

“Eh, enak aja! Bukan gitu! Pembicaranya kan juga belum kasih slide ke aku!” bantah Aia dengan nada tinggi dan mata melotot.

Azki yang duduk di samping kanan Aia menyenggol pelan bahunya. Raras juga melambaikan tangannya. “Sabar ...,” bisiknya.

“Tau nih Aia, bercanda juga!” timpal Ari lalu tertawa kecil.

Aia menarik napas dalam-dalam. Meredam emosi. “Iya. Maaf,” gumamnya lalu Mengembungkan pipi.

“Oke. Jadi kapan kira-kira bisa selesai, Ai?” Panji bersuara. Memaksa teman-temannya untuk kembali fokus pada rapat.

***

Memanfaatkan sisa waktu istirahat yang tinggal beberapa menit lagi, usai rapat, Aia, Raras dan Azki menempel publikasi acara rohis di mading sekolah. Karena Azki salah satu pengurus mading, jadi tidak perlu lagi mengurus perizinan. Beberapa orang segera mendekat dan membaca publikasi yang baru saja ditempel tersebut.

Tidak hanya memasang publikasi di mading, mereka bertiga juga membagikan selebaran agenda tersebut pada tiap siswi yang mereka temui. Kebetulan sudah ada Ari dan Rizky yang ditugaskan menyebar publikasi ke siswa laki-laki.

“Makanya, nanti datang ya,” ujar Raras yang dengan semangat mempromosikan acara itu pada lima adik kelas yang mengelilinginya.

“Iya. Insya Allah, Kak,” sahut salah satu adik kelas disambut anggukan yang lain.

Oke, cukup. Saatnya mencari target yang lain.

Bagi Raras dan Azki, ini sudah kesekian kalinya mereka lakukan. Tapi, bagi Aia ini pengalaman pertama. Ternyata amat menyenangkan melakukannya. Semangatnya kian  bertambah tiap kali mendengar ucapan “Iya, Insya Allah,” dari teman-teman yang ia bagikan selebaran. Aia optimis agenda kali ini akan banyak yang menghadiri.

Hei, tiba-tiba Aia teringat sesuatu. Tanpa banyak bicara, ia ambil 3 lembar publikasi dari tangan Azki. “Bentar, ya,” ucap Aia yang langsung pergi tanpa memberi Raras dan Azki kesempatan untuk sekedar bertanya, mau kemana? Akhirnya mereka berdua hanya bisa melongo seraya memandang penuh tanya satu sama lain.

***

Sementara itu, Aia setengah berlari menuju satu tempat yang dulu hampir tak pernah absen ia datangi saat istirahat, kantin. Setibanya di kantin Aia tidak perlu mencari. Cukup mengarahkan pandangan ke meja ketiga di sebelah kanan. Ah, itu dia mereka!

“Assalamu’alaikum,” sapa Aia dengan salam dan senyum seramah mungkin. Aia tahu sejak tadi mereka sudah saling sikut begitu tahu Aia berjalan ke arah mereka.

“Kumsalam!” Feby menyahut ketus.

“Eh, ada Ustadzah! Tumben banget ke kantin, biasanya tempat nongkrongnya di musholla!” timpal Lita tak kalah ketus.

Aia menarik napas dalam-dalam seraya meremas ujung kemeja putihnya, mengalihkan emosi. Aku kan menyapa baik-baik, kenapa jawaban mereka ketus?!

“Jangan gitu dong .... Kalian masih marah ya sama gue? Maaf deh ...,” ucap Aia setelah berhasil meredam emosi. Kalau saja tidak ingat tujuan awal menemui mereka, sudah sejak tadi ia ledakkan emosinya. Tapi, Aia harus melatih kesabarannya. Demi mengundang mereka ke agenda rohis pekan depan. Aia ingin sekali melihat ketiganya berubah lebih baik. Mengajak ketiganya sama-sama mengenal agama yang selama ini hanya jadi identitas belaka.

Aia menarik kursi dan memilih duduk di sebelah Rindy.

“Ada apa, Ai?” tanya Rindy yang memang lebih kalem dari Feby dan Lita.

Sebagai bentuk jawaban, Aia segera membagikan publikasi yang sejak tadi digenggamnya.

Let’s - find - the true love. Wiih, acara apaan nih?!” tanya Rindy, “tumben rohis ngomongin love,” gumamnya.

“Yaelah! Palingan juga ngaji! Apa lagi sih acara rohis kalo bukan ngaji!” celetuk Lita seraya melirik sinis pada Aia.

Feby mengiyakan.

Aia kembali menarik napas dalam-dalam sambil garuk-garuk kepala. “Iya, tapi ini acaranya beda, kok. Jadi nanti acaranya ....”

Nee ... et. Bel masuk memotong kalimat Aia yang kembali menarik napas dalam-dalam. “Jadi ... nanti kalian datang, ya,” ucap Aia singkat.

“Hm ... karena lo yang undang, Insya Allah deh ya, Ai!” sahut Feby seraya menggeser kursi. Beranjak dari duduk diikuti Lita dan Rindy.

Rindy menepuk bahu Aia sebagai ganti kalimat kita duluan, ya.

Sementara Aia hanya memandangi tiga temannya hingga menghilang dari pandangan. Tersenyum lebar tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. Telinganya tidak rusak, kan? Mereka bilang Insya Allah?! Padahal, selama Aia berteman dengan mereka, mana pernah mereka peduli apalagi hadir di acara-acara rohis. Ah, sungguh segala puji hanya bagi-Mu, Rabb!

***

Aia bergegas menyelesaikan sarapan seorang diri. Meski begitu, tetap saja jarum jam berputar lebih cepat darinya. Sama cepat dengan berlalunya hari. Tak terasa sudah H-1. Dan subuh tadi ia menerima pesan dari Panji untuk rapat pagi ini sebelum masuk kelas. Entah apa yang membuat ketua GARIS menggelar rapat dadakan.

“Pelan-pelan makannya, Ai,” tegur Bunda yang baru datang ke meja makan. Menggeser kursi lalu duduk di seberang Aia.

Bukannya mengindahkan teguran Bunda, Aia malah bertanya, “Bunda mau berangkat kapan?”

“Selesai sarapan. Kenapa? Mau berangkat bareng?”

Aia manyun. Padahal, ia berharap Bunda akan bilang  berangkat sekarang. Aia harus secepat mungkin tiba di sekolah. Tapi, Aia langsung tersenyum lebar ketika Adam muncul, sudah terlihat rapi dengan gaya kasualnya lengkap dengan tas kamera menggelayut di bahu. Sempat jail menggoda Bi Tiah yang tengah asyik mencuci piring sebelum akhirnya duduk di sebelah Aia lalu meneguk segelas air putih.

“Abang mau berangkat sekarang, ya?!” tanya Aia penuh harap.

“Nggak sarapan dulu, Bang?” Bunda ikut bertanya.

“Nggak. Mau berangkat sekarang. Ada pemotretan,” Adam menjawab dua pertanyaan sekaligus.
“Aia ikut bareng ya, Bang?!Aia berseru girang.

“Nggak ada kuliah hari ini, Bang?” Bunda bertanya lagi.

“Udah nitip absen sama temen tadi,” sahut Adam cuek tanpa menoleh ke arah Bunda. Malah sok sibuk dengan kameranya. Malas sekali kalau harus membahas ini lebih jauh. Masalahnya, Adam sudah bosan duduk berjam-jam mendengar ceramah di kelas.

“Titip absen itu bukan kuliah, Bang,” ujar Bunda menatap anak laki-lakinya yang tetap saja tidak menoleh ke arahnya.

“Iya, tahu!” sahut Adam ketus. Mendadak moodnya rusak mendengar kalimat Bunda. Tangan Adam terampil memasukkan kamera ke tas lalu bangkit dari duduk.

“Ayo De, buruan kalau mau bareng!” buru Adam, “berangkat ya, Bun.” Adam berlalu.

Aia yang sedikit bengong pun akhirnya ikut bergegas. “Berangkat ya, Bun. Assalamu’alaikum,” Aia beranjak mencium tangan Bunda.

“Wa’alaikumussalam. Bilang sama Abang, hati-hati di jalan, ya,” pesan Bunda.

“Oke, Bun,” sahut Aia seraya membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuknya. Sedetik kemudian terdengar suara motor Adam. “Abang, tunggu!” teriak Aia panik lalu setengah berlari meninggalkan Bunda yang hanya bisa terdiam. Merasakan perasaan bersalah yang selalu mengusik tiap kali Adam bersikap dingin padanya.

***

“Ada apa sih? Kok rapat dadakan pagi-pagi?” enam orang yang sudah hadir di ruang GARIS bertanya satu sama lain.

Tidak lama kemudian Panji akhirnya datang menjawab semua pertanyaan. “Maaf ya, udah nyuruh kalian ngumpul pagi-pagi. Tadinya mau habis Jum’at-an. Tapi, kita yang ikhwan kan mau dekor ruang acara buat besok. Cuma mau memastikan lagi jumlah peserta yang konfirmasi hadir berapa? Persiapan slide, video?”

“Cuma itu, Nji?” tanya Ari kecewa, “ana kira mau rapat penting apa!”

“Ya, memang cuma itu. Tapi, tetap lebih enak kalau kita ketemu langsung,” tegas Panji, “oh ya, satu lagi kabar baru. Ternyata kita nggak dapet izin pakai kamera sekolah. Mau dipakai buat acara apa gitu. Nggak tau, deh,” tambahnya lalu mengangkat bahu.

“Lho, bukannya kemarin kita udah dapet izin?!” tanya Azki.

“Iya, awalnya begitu. Tapi, tiba-tiba nggak dapet izin!” sahut Iqbal yang bertugas mendokumentasikan acara. Tangannya menggebrak meja, kesal.

Keep calm, bro! Inna ma’al usri yusroo. Makanya ana ajak rapat pagi ini, supaya kita bisa cari jalan keluarnya sama-sama,” Panji menenangkan.

Hening. Semua diam. Mendadak raut muka sumringah itu berubah kecewa. Namun tetap berpikir. Mencari jalan keluar.

“Eh, bukannya Abangmu fotografer, Ai?!” seru Raras tiba-tiba.

Kontan tujuh pasang mata tertuju pada Aia yang nampak terkejut. “I, iya, sih ....”

“Kebetulan banget! Bisa dong Ai, pinjem buat besok,” celetuk Rizky seraya mengangkat alis.

“Hah? Bissa ... nggak, ya?” Aia meringis. Berpikir apakah Adam mau meminjamkan kameranya. Selama ini ia saja cuma sesekali bisa menyentuh kamera itu. Abangnya paling strict kalau soal kamera. Tapi, tentu saja Aia juga merasa tidak enak hati pada teman-teman yang seolah tengah menggantung harapan padanya.

“Jadi, bisa atau nggak?” tegas Ari.

Aia belum juga menjawab. Hanya bola matanya yang bergerak. Menandakan kalau ia sedang berpikir.

“Atau begini saja, Aia tetap coba usahakan pinjam ke Abangnya. Kalau nggak bisa juga, ya sudah, kita pakai kamera HP aja. Yang penting kan acara kita terdokumentasikan. Gimana?” Usul Azki seraya menatap teman-temannya bergantian. Meminta pendapat.

“Setuju! Nanti aku usahakan ya,” sahut Aia. Yang lain mengangguk setuju.

“Oke. Kamera kita anggap selesai,ucap Panji. “Lanjut. Berapa peserta yang konfirmasi mau hadir besok?”
***

“Abang ... ayo dong, Bang. Boleh ya, Aia pinjem kameranya buat acara rohis besok? Plis, plis, plis ...,” Aia terus merengek pada Adam yang sebenarnya sudah bosan mendengar rengekkannya sejak tadi. Padahal ia masih amat lelah selesai pemotretan seharian.

Tapi, mau bagaimana lagi? Adam sudah berusaha menghindar. Masalahnya Aia terus membuntuti. Adam ke ruang tengah lalu menyalakan TV, Aia ikut. Adam ke teras depan menikmati suasana sepi malam ini, Aia juga ikut. Adam lari ke dapur bahkan hampir menabrak Bi Tiah yang hendak ke kamar, Aia masih setia membuntuti. Malahan Aia juga ikut-ikutan hampir menabrak Bi Tiah.

“Bang ...,” Aia kembali membujuk dengan wajah memelas manja ala anak bungsu.

Adam yang sedang minum hampir tersedak dibuatnya. “Aduh .... Jangan deh, De. Bukan apa-apa, nanti kalau rusak siapa yang mau tanggung jawab?” sahutnya lalu kembali meneguk air putihnya.

“Insya Allah nggak akan rusak kok, Bang. Aia bakal suppeer hati-hati pakainya,” sahut Aia tak menyerah. “Ini buat dakwah lho, Bang! Ada pahalanya ....”

“Beuh, ustadzah bau kencur! Pahala dibawa-bawa!” Adam menoyor kepala Aia. Beruntung Aia sempat menghindar.

“Emang kenyataannya gitu, kok! Makanya ngaji!” cetus Aia dengan nada tinggi, gemas. Tapi sesaat kemudian Aia tersadar kalau caranya barusan tidak tepat. Akhirnya, ia kembali memelankan suaranya, “makanya ... boleh ya, bang?”

Adam menarik napas panjang. Kalau sudah bicara soal rohis, Adam yakin Aia tidak akan meyerah. Begitulah adiknya sejak menyandang gelar “anak rohis”, seolah rohis segalanya buat Aia. “Ya udah, boleh,” ucap Adam akhirnya.

Aia melonjak kegirangan. Tapi Adam buru-buru mengangkat jarinya, “TA-PI ... JA-NGAN SAM-PE RU-SAK!”

“Oke, oke. Aia bakal jaga baik-baik kameranya Abang,” Aia membentuk lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Sekalian lensa wide-nya ya, Bang?”

“Nggak! Acara begituan aja pake lensa wide! Kayak bisa aja pake-nya!” teriak Adam yang langsung pergi.

“Abang mau kemana?”

“Keluar!” sahut Adam yang sudah menghilang dari pandangan Aia.

“Bentar lagi Bunda pulang lho, Bang!” seru Aia setengah berlari mengejar Adam.

“Terus kenapa?” lagi-lagi Adam bernada cuek seraya meraih gagang pintu. Dan terpaku sesaat setelah membuka pintu.

“Eh, Bunda,” gumam Aia pelan.

“Mau kemana, Bang?” tanya Bunda lembut.

“Keluar dulu ya, Bun,” sahut Adam pelan dan kaku.

“Hati-hati ya,” pesan Bunda lalu bergeser memberi ruang untuk Adam jalan.

Sementara Adam melangkah tanpa menyahut lagi. Selang beberapa detik kemudian, hanya suara motornya yang terdengar kian menjauh.

Aia menatap Bunda yang masih berdiri di depan pintu. Ia sering melihat ekspresi yang sama tiap kali Bunda selesai bicara dengan Adam. Seperti sendu atau apalah namanya ekspresi itu. Yang jelas, iba rasanya tiap kali Aia melihat ekspresi itu. Entahlah. Aia tidak begitu paham kenapa di usianya yang sekarang, Adam masih saja bersikap dingin pada Bunda?

***

Bagian 3 - Sejarah Kelam Perempuan [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.

Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.