Minggu, 28 Mei 2017

Sebenernya ini bener-bener edisi "nampung". Nampung kenangan-kenangan semasa sekolah (mayoritas masa MA -Madrasah Aliyah-). Karena jujur aja saya tipe orang yang seneng ngoleksi barang-barang yang menurut saya penuh kenangan (yang menurut orang lain sebenernya lebih kayak ngumpulin sampah, he ...).

Tapi, ada masa di mana barang-barang itu menumpuk terlalu banyak. Sehingga saya harus memilih beberapa diantara mereka untuk dibuang. Biasanya ini terjadi saat saya beberes kamar (nggak usah bayangin seberantakan apa kamar saya nyimpen itu semua yak 😁😁😁). Kebetulan kemarin saya harus melakukan itu lagi. Ternyata terlalu banyak yang menurut saya sudah harus dibuang. Masalahnya terlalu banyak juga rasa sayang saya pada benda-benda itu. Rasanya gak tega buang mereka 😂😂😂. Eh ... tetiba inget satu episode Spongebob Squarepants (aduh maaf ya, bukan inget kisah Rasul atau sahabat gitu). Di episode itu si Spongebob yang nggak bisa buang benda-benda -yang sebenernya sampah- penuh kenangan. Akhirnya Squidward menyarankan Spongebob untuk memotret semua benda-benda itu sebelum dibuang (yang sering nonton Spongebob pasti tau lah itu edisi yang mana 😆😆😆).

Yups. I do that!! Akhirnya ada beberapa yang benar-benar harus saya buang. Dan saya memotretnya sebelum membuang itu semua (mohon maaf yang merasa terganggu dengan cerita ini 😌😌😌). And here there are ....

Ini gambar yang saya buat untuk tugas Bahasa Indonesia waktu MTs. (lupa materinya apa, kalau nggak salah sih tentang iklan-iklan gitu). Kalau kata temen-temen sih 11-12 alias mirip sama aslinya ....

Dan pas saya liat gambar ini saya jadi mikir, kenapa waktu kuliah saya gak jadi ambil desain grafis karena merasa gak bisa gambar ya? Padahal, kalau liat gambar ini sebenernya lumayan lah. Tinggal diasah lagi. Tapi, ya ... sudahlah. Masa itu sudah lewat. Dan saya juga nggak pernah menyesali jurusan yang saya ambil waktu itu 😉)

Gambar sistem pencernaan manusia ini saya buat waktu kelas 1 MA (Madrasah Aliyah). Tugas IPA. Nggak tega buangnya karena waktu itu ngegambarnya sepenuh hati banget 😰😰. Sampe diulang beberapa kali bikinnya. Dan ini yang paling fix. Ya ... walaupun nilainya standar aja sih ....


Ini salah satu pelajaran yang saya suka. Yups, kaligrafi, seni Islam yang kece. Mungkin karena ini pelajarannya corat-coret, mainin warna (simple-nya ini gak seribet matematika, eh ...).

Kaligrafi coretan saya ini gak bagus-bagus amat sih sebenernya. Tapi, saya tetep suka tetep nyimpen ini ... hoho. Sementara saya harus tetap membuang buku sketsa ini karena sebagian sudah dimakan rayap 😂😂😂.




Salah satu jenis kaligrafi yang paling saya suka tuh yang ini. Kaligrafi kufi. Kalau dulu sih karena ngerasa buatnya gampang. Cukup pake pensil biasa dan penggaris. Yang penting ukuran tiap kotaknya sama. Nggak perlu pake pensil kaligrafi gepeng, ngukirnya susssah dan hasilnya gak sesuai ekspektasi 😌😌😌.

Sekarang tetep suka kufi. Tapi bukan karena gampang buatnya. Karena setelah mempelajari teori kufi, buatnya nggak sembarangan lho. Jenis hurufnya. Cara nyusunnya. Semua penuh perhitungan.

 Hihi ... kalau yang ini surat-surat dari anak MI Nurul Qolbi tahun 2009. Jadi, ceritanya waktu itu kan lagi rame-ramenya iklan SMK yang output siswanya siap kerja. Nah, sekolah saya gak mau kalah. Madrasah Aliyah juga punya output yang gak kalah kok dari SMK. Jadilah, tahun itu, dimulai dari angakatan saya, sekolah buat program yang mewajibkan PPL (lupa ya, apa kepanjangannya). Yang pasti kami-kami harus praktik ngajar di sekolah dasar selama 2 minggu.

2 minggu yang cukup melelahkan. Karena dari pagi sampai dzuhur kami harus mengajar. Setelah itu sampai jam lima sore kami harus ke sekolah, pelajaran tambahan untuk persiapan UN.

Tapi, siapa sangka 2 minggu itu ternyata punya banyak kesan. Baik untuk kami, siswa-siswa SD yang kami ajar juga guru-guru di SD tersebut. Jadilah ada drama nangis-nangisan di hari terakhir ngajar. Hampir semua murid yang kami ajar membuat surat untuk kami. Dan ini beberapa dari puluhan surat yang akhirnya saya harus buang 😭😭😭😭. Anak-anak yang dulu kami ajar, sekarang sebagian sudah ada yang lulus SMA tahun ini sepertinya. Hihi, jadi berasa tua yak ....



 Oke, next. Ini adalah UTS waktu kelas XII. Bukan mau pamer nilainya, ya. Tapi apa yang saya pelajari waktu itu. Ini adalah pelajaran Fiqih bab KHILAFAH. Ough, tiba-tiba saya kaget sendiri baru inget lagi kalau dulu saya pernah belajar tentang Khilafah se-detail ini. Rasanya saya akan buat tulisan khusus aja buat bahas ini. Hihi .. tunggu, ya ....

Yang jelas, ini menunjukkan bahwa Khilafah adalah ajaran Islam serta kewajiban bagi kita umat Islam. Penjelasan lebih lanjut di next tulisan ya ....


Nah, kalau yang ini bukan tugas atau apa pun. Ini saya buat karena iseng aja. Waktu itu lagi seneng-senengnya belajar lukis. Kebetulan waktu itu saya abis belajar eksklusif gitu sama pelukis POT (painting on t-shirt) di Cibinong.

Dari dulu tuh seneng banget sebenernya ngewarnain. Sempet juga pengen jadi pelukis 😂😂😂


Lukisan yang sebelah kanan ini, nggak tau kenapa tiap liat ini seperti ada feel tentang pikiran, penat yang buncah. Lepas.
Haha, maaf yak, bahkan sampe kwitansi bayaran aja saya masih simpen. Karena saya tahu dalam lembaran-lembaran kwitansi itu ada pengorbanan besar orang tua yang nggak akan pernah bisa saya balas. 😭😭😭😭😭
Ya ... dari sekian banyak prasasti yang harus saya buang. Kira-kira benda di atas lah yang -sebenernya- nggak bisa saya buang. Hihi, lebay, ya .... Udah ah.




Sabtu, 27 Mei 2017

Matahari mengucap salam lewat senja sebelum benar-benar meninggalkan bumi di ufuk barat. Mengingatkan penduduknya bahwa satu hari mereka hampir terlewat. Semburat jingganya berpesan, jangan jadikan hari ini kian berselirat. Karena hanya menambah beban untuk hidup yang sudah berat.

Aia sangat menyadari tentang harinya yang terlewat begitu saja. Terkurung. Tidak bisa keluar lantaran semua jilbabnya masih menggantung di jemuran belakang. Termasuk seragam sekolah. Ia hanya berkirim kabar lewat pesan singkat dengan Raras dan Azky. Mereka juga tidak sekolah hari ini karena tidak ada seragam yang bisa mereka pakai. Hanya bisa berharap semoga besok bisa menyusul ketertinggalan UAS hari ini.

Tidak banyak yang bisa dilakukan di rumah. Hanya sedikit melakukan wawancara eksklusif antara dirinya dan jurnalis kawakan yang hampir mati karena rasa ingin tahu tentang peristiwa kemarin sore, Bi Tiah. Wawancara yang sangat berguna. Setidaknya ia bisa mencurahkan semua isi hati.

Dan malam ini Aia ingin melakukan sesuatu. Sesuatu yang ia harap dapat meringankan hidup yang kian terasa berat. Bukan malah kian berselirat. Aia keluar kamar. Melangkah lurus ke depan, menuju kamar Bunda. Mengetuk pintu yang sebenarnya terbuka. “Aia masuk ya, Bun?”

“Hm,” Bunda membolehkan tanpa menoleh. Tangan dan matanya sibuk pada kertas-kertas penting yang sedikit berserakan di tempat tidur. Menyusun lalu memasukkannya ke dalam map merah.

Aia melangkah masuk. Duduk di sisi tempat tidur. Membiarkan Bunda menyelesaikan pekerjaan dan tetap diam dalam beberapa menit. Lengang. Hanya matanya yang terus mengikuti gerak Bunda. Berharap Bunda lebih dahulu mengawali pembicaraan malam ini. Karena jujur, Aia bingung untuk bagaimana mengawalinya?

Sayang, Bunda juga tidak memulai. Malah membiarkan putrinya tenggelam dalam diam. Ingin tahu apa yang akan dikatakannya setelah kejadian kemarin. Bunda beranjak membawa map merah itu dan meletakkannya di atas meja bersama dua map yang lainnya. Mata Aia masih setia mengikuti geraknya. Namun, Bunda sama sekali tidak menghiraukannya.

“Aia minta maaf, Bun,” suara Aia memecah sunyi.

Bunda sudah menduga hanya itu yang bisa Aia katakan. “Bunda sudah bilang kemarin. Percuma minta maaf kalau Aia nggak berubah,” sahut Bunda yang lagi-lagi tanpa menoleh. Menyibukkan tangan dengan merapikan kembali tumpukan map yang sebenarnya sudah rapi.

Aia menggembungkan pipi. Menunduk dan menatap lantai. Berubah? Kalau yang Bunda maksud dengan berubah adalah melepas jilbab, itu tidak mungkin. Tidak akan.

“Sebaiknya Aia jangan bergaul dengan teman-teman rohis lagi. Ikuti saja aturan sekolah termasuk seragam,” ujar Bunda setelah membalikkan badan dan bersandar di meja. Menatap penuh Aia yang akhirnya juga menatap Bunda.

Di telinga Aia, ini seperti terdengar, lepas jilbabmu!

“Dan … berhenti kajian dengan mentor itu. Dengan begitu Bunda bisa berhenti mengkhawatirkan Aia,” sambung Bunda. Wajah Zia terbersit di benaknya. Gadis itu yang dengan doktrinnya menjadikan Aia seperti sekarang.

Aia menatap panik. Ayolah Bunda! Apapun, selain itu!

“Lihat. Sudah seperti ini pun Aia tetap nggak mau mendengarkan Bunda, kan?” Bunda sudah menduga. Doktrin gadis itu benar-benar sudah memperdaya putrinya. Membuatnya amat khawatir. Jauh lebih khawatir ketimbang saat ia menjemput Adam di kantor polisi dulu. Itulah kenapa Bunda merasa perlu untuk marah dan mendiamkannya. Memaksa Aia untuk mengerti dan menurut.

Aia ingin menjawab. Tapi ragu. Hingga wajah menyesalnya hanya bisa menggembungkan pipi dan kembali menunduk. Tapi, bagi Bunda itu tetap jawaban. Ekspresi itu bahkan jauh lebih jelas ketimbang sebuah kalimat.

“Ya Allah,” desis Bunda, “Aia tahu apa yang sedang Aia lakukan sekarang?! Hm?”

Aia sudah tidak tahan lagi. Ragunya lenyap. “Bunda bilang Aia nggak boleh menjalani hidup sesuai keinginan Aia saja, kan? Harus memikirkan orang di sekitar Aia?” Aia memberanikan diri, “Aia sedang berusaha melakukan itu, Bun.”

Bunda membuang muka dan mengempaskan napas berat. Kenapa putrinya tidak juga mengerti? Bahkan untuk sekedar membedakan antara memikirkan orang di sekitar dengan egois?!

“Aia memutuskan berjilbab justru karena Aia juga memikirkan orang-orang di sekitar. Aia memikirkan Bunda, Abang, Ayah. Karena kata Rasul, kalau anak perempuan keluar rumah tanpa menutup aurat, dia sama saja sedang mendorong Ayahnya ke neraka. Aia cuma ingin jadi anak sholihah buat Bunda. Buat Ayah juga,” ungkapnya dengan hati penuh harap bahwa Bunda akan melunak setelah mendengar kalimatnya barusan.

Bunda tertegun untuk beberapa saat. Tidakkah niat putrinya itu sangat baik? Sayangnya sedetik kemudian menyadari sesuatu, “Sholihah? Apa anak yang tidak mendengarkan orang tuanya masih bisa dibilang sholihah?” tanya Bunda. “Ridho Allah itu, ridhonya orang tua, Ai.”

“Tapi Bunda yang bilang, selama Aia ada dalam kebenaran, jangan pedulikan kata orang tentang Aia. Aia cuma sedang berusaha melakukan semua nasihat Bunda! Apa Aia salah?!suara Aia mulai dikuasai emosi sekarang. Namun sesaat kemudian tersadar lalu menggigit bibir. Cemas. Ya Allah, apakah ia anak durhaka sekarang, karena masih saja menjawab?

“Oh. Jadi, sekarang Aia merasa benar dan Bunda yang salah?” tuding Bunda. Tidak percaya nasihatnya digunakan untuk membantah dirinya sendiri?

Aia buru-buru menggeleng. Kenapa Bunda malah berpikiran seperti itu?! “Bukan itu maksud Aia, Bunda ….”

Bunda berbalik kembali ke meja, “Aia boleh keluar sekarang,” singkatnya seraya meraih smartphone tanpa tujuan.

“Tapi Aia belum selesai …,” sergah Aia yang berdiri panik. Menyesal. Ia datang ke sini untuk meminta maaf pada Bunda. Kenapa ia malah mengatakan hal yang memperkeruh susasana?!

“Selesai. Aia boleh keluar,” pungkas Bunda yang masih membelakangi Aia.

Aia mematung. Selesai? Apanya yang selesai?

Bunda melirik Aia, “Kamu boleh keluar sekarang, Cahaya!”

Biasanya Aia akan ciut tiap kali Bunda menyebut nama lengkapnya. Kali ini berbeda. Ia tetap mematung. Napasnya naik turun. Dalam hati marah karena Bunda menyudahi begitu saja pembicaraan malam ini. Padahal, masih banyak yang ingin ia katakan. “Kenapa sih, Bun?”

Bunda berbalik. Kembali menghadap Aia dengan melipat tangan. Aia bahkan sempat dibuat kikuk dengan tatapan sinis Bunda sebelum akhirnya berusaha menguasai diri.

“Kenapa sekarang Bunda berubah?! Awalnya Bunda setuju Aia di rohis. Tapi, sekarang Bunda malah larang Aia kajian. Bunda yang bilang Aia bukan cuma pantas tapi memang harus menutup aurat. Tapi, kenapa sekarang Bunda malah larang Aia berjilbab?! Kenapa harus begitu, Bun?!” protes Aia. Suaranya gentar namun kata-katanya tetap terdengar berani.

Kalimat barusan mungkin saja akan mengundang masalah baru. Tapi, Aia tidak peduli lagi. Tangannya meremas sekuat tenaga ujung kerudung. Geram. Geram dengan semua sikap Bunda padanya. Aia menarik napas panjang. Menahan emosi. “Apa, apa ini karena Tante Nur?” tanyanya.

Bunda masih berdiri dengan tatapan sinisnya ke Aia. Berani sekali Aia memberondongnya dengan pertanyaan seperti itu?! Beruntung Bunda masih bisa menahan emosi. Maka Bunda hanya mengingatkan, “Kamu nggak perlu melibatkan orang lain dalam masalah ini, Ai!”

“Tapi kenyataannya memang begitu kan, Bun? Bunda selalu percaya apa yang Tante Nur katakan itu benar! Aia selalu salah di mata Bunda!” teriak Aia. Nasi sudah menjadi bubur. Ia tahu ini salah. Tapi, ia juga tidak bisa berhenti. Aia siap dengan segala konsekuensi dari ucapannya.

“Ya, benar! Tentu saja Bunda percaya Tante Nur! Untuk apa percaya pada Aia?!” kata-kata Aia yang kian terdengar berani menantang akhirnya menyulut emosi Bunda. Kata-kata yang sebelumnya tidak terpikir untuk diucap, kini keluar begitu saja dari lisannya. Giginya menggeretak. Seolah Bunda tengah menahan semua emosi di sana.

Hening. Aia terkejut, marah sekaligus takut. Ia terkejut dengan nada Bunda yang lebih tinggi darinya. Marah karena Bunda memercayai Nur. Sekaligus takut bahwa setelah ini Bunda akan jauh lebih marah padanya. Parahnya, ia sendiri lah yang membuat kekacauan ini terjadi.

Bunda menelan ludah. “Lihat. Semua yang Tante Nur katakan sekarang jadi kenyataan! Sejak kapan Aia berani selancang ini pada Bunda? Hm?!” suara Bunda mulai terdengar pelan namun tetap penuh penekanan. Menandakan bahwa Bunda benar-benar marah.

“Memang apa yang Tante Nur katakan tentang Aia? Aia fanatik? Radikal? Berpotensi jadi teroris?” Aia berusaha menyamai nada bicara serta ekspresi Bunda. Alisnya terangkat, seolah ingin menantang Bunda. “Tante Nur malah lebih mengerikan dari itu semua!” desis Aia. Ya, jauh lebih mengerikan. Karena Tante Nur membuatnya kehilangan Bunda yang dulu pernah mensupportnya untuk masuk rohis juga berjilbab. Kini menjadi orang yang paling depan melarangnya.

Aia sadar bahwa dirinya tengah melakukan sebuah kesalahan. Tidak seharusnya Aia selancang ini, berkata kasar dengan nada meninggi pada Bunda. Harusnya ia tidak boleh begini! Bukankah Islam hanya mengajarkan kita untuk berbuat baik pada kedua orang tua? Bahkan menyuruh untuk tetap lembut meski mereka dalam kesalahan?

Tapi, entahlah! Ya Allah … bagaimana ini?! Ia tidak bisa menghentikan diri sendiri. Tidak bisa mengendalikan diri. Kalah oleh emosi.

Hingga beberapa saat kemudian wajah Aia mulai menunjukkan kalau ia berusaha menahan emosi. Ia harus bisa menguasai diri. “Kenapa harus Tante Nur, Bunda …?” tanyanya lemah. Energinya habis untuk mengalahkan emosi.

“Memang siapa lagi yang harus Bunda percaya? Mentor kamu?!” Bunda membuang muka, percaya? Membayangkannya saja Bunda tidak ingin. “Semua orang tentu lebih memilih percaya pada guru besar ketimbang mahasiswa kacangan!”

Dengan mudahnya emosi itu kembali menguasai. “Kak Zia bukan mahasiswa yang seperti Bunda pikirkan! Harusnya Bunda malah hutang terimakasih pada Kak Zia!” Aia tidak terima Bunda mengatakan hal buruk tentang Zia.

Bunda mengerutkan dahi, berterimakasih? Untuk apa?

“Karena Kak Zia sudah memahamkan pada Aia apa itu Islam, agama yang selama ini hanya Aia gunakan sebagai identitas,” Aia menjawab kerutan dahi Bunda. “Setidaknya itu mengurangi tugas Bunda sebagai Ibu, kan?! Jadi Bunda bisa lebih fokus dengan semua pekerjaan Bunda!” lanjutnya.

Harusnya Bunda yang mengajarkan Islam padanya. Seperti dulu, saat keluarganya utuh.

Bunda terbungkam dengan wajah yang kian mengguratkan kemarahan. Kalimat Aia terdengar seperti tudingan bahwa Bunda tidak menjadi Ibu yang baik.

“Bunda percaya Tante Nur cuma karena Tante Nur teman lama Bunda, kan? Padahal, sebenarnya Bunda juga merasa, kan, kalau Tante Nur yang sekarang bukan Tante Nur yang dulu Bunda kenal?!” Aia masih melanjutkan. Belum puas rupanya.

“Siapa bilang?! Bunda percaya Tante Nur bukan karena Tante Nur teman lama Bunda! Tapi karena Bunda yakin Tante Nur benar!” tandas Bunda mematahkan pernyataan Aia. Sama seperti Aia, ia pun tidak terima Aia men-cap buruk temannya. Ego dalam diri terus memaksa Bunda untuk selalu berada di atas Aia.

Sekarang bukan hanya hati Aia yang panas. Matanya juga terasa panas. Bulir bening menyembul dari ujung mata dan jatuh tanpa berusaha ditahannya. Kalimat Bunda barusan, bukankah berarti Bunda mengakui bahwa Nur dan semua pemikirannya itu benar? Tapi, Nur? Orang itu …. Ya Allah, tolong jadikan ini hanya mimpi belaka? Dan ketika terbangun nanti, hapus saja orang bernama Nur dalam hidupnya dan Bunda. Aia yakin, tanpa nama itu, hidupnya dan Bunda akan sedikit lebih baik.

Aia terus menatap Bunda. Meski air mata tetap mengalir, namun marahnya tidak bisa disembunyikan dari wajah. Tia-tiba ada rasa yang perlahan ikut mengalir bersama darah. Rasa itu ikut melewati ventrikel kiri jantungnya kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Dan saat kembali ke jantung, rasa itu meledak. Saat jantung tidak sanggup menahannya sendirian, hati lah yang ikut menanggung ledakan rasa itu. Rasa yang sangat menyesakkan.

“Aia,” tidak! Ia tidak boleh mengatakannya! Kali ini ia harus menahannya. Harus! Maka satu helaan napas berikutnya Aia sudah meninggalkan Bunda.

Brak! Itu pasti Aia yang membanting pintu kamarnya.

Ya, itu Aia yang sekarang menelungkupkan wajah di meja dengan tangan terlipat. Menangisi serta menyesali malam ini. Hampir saja ia mengatakan sesuatu yang fatal. Beruntung Aia masih bisa menahannya meski ingin sekali melanjutkan, Aia benci Bunda!

Ia bahkan tidak akan memaafkan diri sendiri jika berani mengatakan itu. Lagi pula, bukan Bunda. Tapi sikap Bunda yang memercayai Nur, orang yang telah berani memainkan ayat-ayat Allah. Benci sikap Bunda yang malah membenci Zia yang sudah mengenalkan Aia pada Islam yang sesungguhnya.

Aia tidak sanggup lagi menyimpan masalah ini sendirian. Diraihnya handphone yang tergeletak di atas tumpukkan buku. Mengetik sebuah pesan. Aslkmwrwb. Kak Zia, kita bisa ketemu besok?

Sementara di kamar, Bunda masih diam di tempat lalu perlahan mundur beberapa langkah hingga tubuhnya bersandar di meja. Kakinya sudah tidak sanggup lagi menahan beban tubuh. Apa yang sebenarnya baru saja terjadi? Bunda menyeka dahi. Ia? putrinya? Lelucon apa ini?! Hatinya berkecamuk. Bunda tidak percaya Aia berani selancang itu padanya. Pintar sekali membolak-balikkan kata. Bunda benar-benar menyesal mengizinkan Aia menjadi anak rohis. Andai ia bertemu dengan Nur lebih awal. Mungkin ia bisa mencegah ini semua terjadi.

Dan … apa yang ia lakukan tadi? Ini yang membuat Bunda benar-benar merasa buruk. Apa seperti ini cara seorang ibu menasihati anaknya?!

Ah, kenapa manusia sering kali begitu? Tetap melakukan sesuatu meski tahu sesuatu itu adalah sebuah kesalahan. Meski tahu sesuatu itu tidak diridhoi-Nya. Meski tahu sesuatu itu melanggar syariat-Nya. Bahkan saat kita tahu sesuatu itu hanya mendatangkan mudarat, sering kali kita memilih untuk tetap melakukannya, kan? Lihat. Hidup dengan cara manusia sendiri, mengikuti hawa nafsu belaka, sungguh menyesatkan bukan? Hingga kelak di kemudian hari kita hanya bisa menyesalinya. Na’udzubillah ….


***
Sebelumnya :
Aia mengayunkan kaki pelan menuju rumah. Wajahnya lesu. Ia bahkan sengaja memperlambat langkah. Supaya bisa menyiapkan mental sebelum tiba di rumah. Aia harus siap dengan Bunda yang akan marah atau bahkan langsung mendiamkannya usai bertemu Kepala Sekolah tadi. Meski sebenarnya tetap berharap Bunda tidak akan melakukan itu.

Tin, tin. Dari belakang terdengar suara klakson motor. Aia berhenti. Ia hafal betul suara motor siapa itu.

Ciee, yang habis dapat SP 2, loyo amat!” siapa lagi yang bisa mengolok Aia seperti itu kalau bukan Adam.

Sedikitpun Aia tidak berminat membalas olokkan Adam. Hanya memukul pelan bahu Adam kemudian langsung duduk membonceng di belakangnya. Kebetulan ia tidak punya banyak energi lagi untuk sampai di rumah. Bahkan tidak ada energi untuk sekadar mengekspresikan ketidaksukaannya pada olokan Adam.

Adam tidak berkomentar lagi. Iba melihat wajah lesu adiknya. Sekarang ia benar-benar percaya kalau perempuan memang mudah terbawa perasaan. Lihat, baru dapat surat panggilan kedua saja, adiknya sudah kehilangan semangat. Ia tidak pernah sebegitu stresnya karena surat panggilan dari sekolah. Kecuali setelah tertangkap polisi saat tawuran dan melihat wajah sendu Bunda waktu itu, barulah Adam sadar kalau kenakalannya selama ini sudah melukai Bunda. Terlalu banyak malah.

***.

Hanya butuh waktu lima menit untuk Aia dan Adam tiba di rumah. Seperti biasa, di depan, Mang Jo tengah bertugas bersama gerobak oranye-nya. Ups, ternyata hari ini tidak seperti biasa. Sebab Mang Jo bertingkah aneh dengan mengamati sampah-sampah di bak sampah depan rumah. Diambilnya salah satu sampah itu. Dari kejauhan nampak seperti sehelai kain hitam dengan motif polkadot. Diamatinya lagi kain itu. Layaknya peneliti yang tengah melakukan penelitian terhadap spesies baru. Jenis sampah baru mungkin.

Aia penasaran dan ikut mengamati dari jauh. Lalu berkali-kali mengerjapkan mata. Hampir tidak percaya dengan yang baru saja dilihatnya. Segera dihampirinya Mang Jo. Adam mengikuti dari belakang.

“Neng, ini teh benar mau dibuang?”Mang Jo memastikan begitu melihat Aia.

Adam terbelalak melihat sampah di tangan Mang Jo. Pantas saja Mang Jo begitu keheranan dengan sampahnya.

Sementara Aia masih terperangah. Napasnya naik turun. Dengan tangan gemetar ia ambil sampah yang ada di tangan Mang Jo. Bukan! Ini bukan sampah! Ini jilbabnya! “Mang Jo dapat ini dari mana?” tanya Aia gemetar.

“Itu masih banyak,” Mang Jo menunjuk bak sampah.

Sontak Aia dan Adam langsung melongok ke bak sampah. Jilbab yang lainnya menumpuk di sana. Satu di antaranya seragam sekolah. Dan itu semua milik Aia!

“Kok bisa ada di sini, De?” tanya Adam penuh keheranan.

“Ya Allah,” Aia menoleh ke rumah, camry hitam itu terparkir. Bunda kah yang membuang semua jilbabnya? Seketika bulir-bulir bening dari sudut matanya meluncur membasahi pipi begitu saja. Seperti ada sesuatu yang menggores hati. Aia bahkan tak punya kekuatan untuk berdiri lagi. Ya Allah, bolehkah ia tidak memercayai ini? Siapa saja, tolong katakan bahwa bukan Bunda yang melakukannya?!

“Eh … kunaon Neng?” Mang Jo kaget sekaligus bingung.

Adam ikut menoleh tidak percaya ke camry hitam. Benarkah Bunda? Ada apa sebenarnya dengan Bunda? Perlahan menoleh Aia yang masih menangisi jilbabnya.

“Anu, Neng, punten, jadi … ini mau buang dibuang atau tidak?” Mang Jo bertanya dengan sangat hati-hati. Kalau tidak, ia akan melanjutkan pekerjaannya.

Aia menghapus air matanya, “Nggak, Mang! Ini punya Aia,” sahutnya dalam isak.

Dibantu Adam, Aia ambil kembali jilbab yang lainnya. Sementara Mang Jo hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak mengerti situasinya. Saat masih membersihkan bak sampah rumah sebelah, Mang Jo lihat sendiri kalau tadi Bunda sengaja membuangnya. Sekarang sambil menangis, anaknya malah mengambil semua kembali. Tentu saja mengundang tanya, ada apa?

***

Langkah Aia terhenti di depan pintu. Isaknya masih terdengar. Matanya sembab. Tangannya penuh membawa kembali tujuh jilbab dari bak sampah depan. Ia mendadak ragu untuk masuk. Sejak kapan memasuki rumah jadi semenakutkan ini?

Adam merangkul bahu adiknya, meyakinkan Aia untuk tetap masuk. Tidak perlu takut. Kalau pun terjadi sesuatu, Adam ada di sebelahnya. Beberapa detik menunggu, Aia tetap mematung. Adam mulai tidak sabar lalu menyeret Aia, memaksanya untuk tetap masuk.

“Siapa yang suruh bawa masuk sampah itu lagi?” tegur Bunda yang muncul dari kamar.

Kali ini bukan hanya Aia, langkah Adam pun terhenti di ambang pintu ruang tengah. Adam menoleh. Menatap tajam Bunda. “Kenapa Bun? Memang ada yang salah dengan baju-baju Dede?”

“Kalau nggak ada yang salah, nggak mungkin Bunda dipanggil ke sekolah,” Bunda menatap Aia.

Aia menunduk. Sorot mata Bunda terlalu tajam untuk ia tatap. Aia mengeratkan kepalan tangan. Membuat jilbab-jilbab yang dibawanya kian mengerut. Sudut matanya kembali basah. Ia ingin sekali tidak memercayainya. Tidak percaya kalau Bunda tengah menatapnya penuh kesinisan. Karena goresan di hatinya kian bertambah jika harus memercayai itu. Pedih sekali.

“Sekolahnya saja berlebihan!” desis Adam kemudian kembali merangkul Aia. Mengantarkannya  masuk ke kamar.

“Sekolah nggak berlebihan, Bang,” sanggah Bunda. Dulu, Adam juga menuduh pihak sekolah yang terlalu rajin membuat surat panggilan tiap bulan untuk Bunda. Padahal, itu karena ulahnya. “Wajar kalau sekolah ambil tindakan ketika ada siswanya yang salah,” sambungnya.

Adam berlagak tidak peduli dengan apa yang Bunda katakan. Malah mengajak Aia melanjutkan langkah yang tadi tertahan.

“Kalian tidak hidup sendiri,” Bunda kembali bersuara. Dan lagi. Langkah keduanya tertahan. “Jangan menjalani hidup hanya sesuai keinginan kalian saja. Pikirkan juga orang-orang di sekitar kalian,” Bunda menasihati. Kalimat lainnya adalah, pikirkan Bunda yang juga lelah dengan permainan kalian yang sama? Surat panggilan. Tidak bisakah kalian sedikit saja menuruti kata-kata Bunda?

Adam mengerti maksud Bunda. Hanya saja merasa ada yang perlu ia luruskan, “Harusnya Bunda berikan nasihat ini lebih awal. Beri Abang dan Dede pemahaman hidup seperti yang Bunda pahami. Supaya Abang dan Dede, bisa menjalani hidup seperti yang Bunda mau,” singgung Adam.

Aia menyikut Adam, “Abang!” Sejujurnya Aia terkejut. Tidak mengira Adam bisa mengatakan hal semacam itu. Meski ada benarnya, tapi Aia tetap tidak suka. Kata-kata Adam sangat tidak sopan! Apa Abang tidak berpikir kalau kata-katanya itu mungkin saja menyinggung Bunda? Harusnya Abang tahu kalau ini bukan saatnya untuk memperkeruh suasana! Aia melirik Bunda yang menarik napas panjang. Terlihat sekali Bunda berusaha menahan emosi.

Adam malah memelototi Aia. Kenapa?! Menurut Adam itu semua benar. Kalau Bunda ingin anak-anaknya menjalani hidup seperti yang Bunda inginkan. Maka harusnya sejak awal Bunda beri ia dan Aia pemahaman itu. Tapi, bukankah selama ini Bunda lebih sibuk dengan pekerjaannya ketimbang mendidiknya dan Aia? Bagaimana bisa sekarang Bunda menuntut anak-anaknya untuk hidup seperti yang Bunda inginkan? Lucu!

Jadi, jangan salahkan kalau kemudian anak-anaknya mencari pemahaman hidup sendiri untuk kemudian menjalani hidup sesuai pemahamannya masing-masing. Entah benar atau salah. Kalian tahu pelajaran apa yang bisa kita petik? Tolong jangan menuntut hak kalau tidak pernah menjalankan kewajiban.

Adam menyeret langkah Aia yang masih sibuk melirik Bunda untuk masuk kamar. Ia tahu adiknya khawatir dan merasa bersalah pada Bunda. Ia pun sama. Penyesalan atas kata-katanya barusan, baru saja menembus hatinya dan menjelma rasa bersalah. Bisa-bisanya ia mengatakan itu pada Bunda?!

Bunda tidak berkomentar lagi. Membiarkan Adam membawa masuk Aia beserta jilbab yang sudah ia buang tadi. Aia benar. Bunda sedang berusaha menahan emosi. Ia marah atas kata-kata Adam. Marah karena tidak bisa mengelak kalau yang dikatakan putranya adalah benar. Situasi ini, jika memang harus mencari siapa yang patut dipersalahkan, tentulah dirinya. Bukankah begitu? Dirinya? Bunda mendesis. Bahkan setelah melakukan semua yang ia bisa untuk menghidupi keduanya, ia tetap jadi yang bersalah?!

Yang paling dibuat bingung dengan situasi ini adalah Bi Tiah yang sejak tadi hanya bisa menonton dari dapur tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Seperti ketinggalan satu episode sinetron favoritnya. Sejak tadi bertanya-tanya, kenapa tadi Bunda membuang jilbab Aia yang masih bagus-bagus itu dan tampak marah saat Aia mengambilnya lagi? Kenapa majikan dan dua anaknya bersitegang sekarang? Ada apa sebenarnya?

***

Bukan hanya Aia. Saat ini Raras juga tengah menangisi seragam sekolahnya yang digunting jadi dua oleh Bapak. Ibu juga tidak melakukan apa-apa selain membiarkan Bapak melakukannya. Tidak ada yang ingin sekolah melayangkan surat panggilan ketiga, bukan?

Tidak jauh berbeda dengan Aia dan Raras. Azky juga tengah menangis setelah berusaha mencegah Mama menyita seluruh jilbab yang sebenarnya hanya ada sepuluh potong. Menurut Mama ia lakukan ini untuk kebaikan Azky.

Ya. Sore itu menjadi naas bagi ketiganya. Semua orang menyuruh mereka untuk melepas jilbab. Kepala sekolah. Guru. Teman-teman, termasuk Ayu, Fiya, Panji, Rizky. Orang tua. Dengan mudahnya mereka mengatakan, apa susahnya mengikuti aturan sekolah? Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, menutup aurat!

Esensi? Kalau begitu, kenapa tidak dibalik saja? Apa susahnya mereka membiarkan Aia, Raras dan Azky tetap berjilbab di sekolah? Bukankah sama saja? Yang penting esensinya, berseragam! Nyatanya mereka juga tidak bisa terima, bukan?

Jika makhluk yang lemah saja tidak terima diperlakukan seperti itu. Bagaimana bisa dengan mudahnya mereka hanya mengambil esensi dalam urusan melaksanakan perintah-Nya? Apakah besok mereka juga akan mengatakan telah sholat hanya dengan mengingat Allah tanpa benar-benar melaksanakannya dengan dalih esensi sholat adalah mengingat Allah? Ayolah, tidak ada yang membuat perintah hanya untuk diambil esensinya. Melainkan agar perintah itu benar-benar dilaksanakan.

***

Siang hari di universitas Al-Kalam.

Adam terlihat lebih rapi kali ini. Jika biasanya kaos adalah komitmen stylenya. Kali ini Adam justru mengenakan kemeja berwarna hitam-strip putih di dada. naik ke lantai 3. Ke Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) jurusan Ilmu Komunikasi.

Sementara di salah satu ruangan FISIP, Zia baru saja selesai dengan bimbingan skripsi terakhirnya. Walaupun bukan akhir dari segalanya, tapi melegakan sekali bisa merampungkan pekerjaan berbulan-bulan ini. Semoga dalam waktu dekat ia bisa segera melakukan sidang. Zia pamit pada dosen pembimbing sebelum akhirnya keluar.

Sejak lima belas menit yang lalu Adam menyusuri koridor sambil celingukan. Melongok ke dalam kelas. Tidak ada. Ke kelas berikutnya, juga tidak ada. Adam tidak ingat betul wajahnya. Tapi, ia yakin masih bisa mengenali kalau melihatnya. Maka ia terus menyusuri koridor hingga tiba di satu ruangan, ekspresinya tiba-tiba berubah girang sambil menunjuk-tunjuk ke seseorang yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

Ketika Adam mendadak girang. Seseorang yang baru keluar ruangan justru mendadak terperanjat. Meski tidak begitu yakin bahwa Adam sedang menunjuknya, Zia memilih pura-pura tidak melihat Adam dan melewatinya begitu saja.

“Eh?” Adam kebingungan. Apa ia salah orang? Tidak. Adam yakin yang baru saja melewatinya adalah Zia, mentor Aia. Kenapa lagi-lagi ekspresinya seperti orang melihat hantu? Atau mungkin Zia tidak mengenalinya? Adam membuntuti Zia.

“Cepat juga jalannya,” gumam Adam yang kemudian berusaha menyamai langkah Zia. Dan mencegatnya begitu ada kesempatan.

Zia buru-buru mengerem langkahnya. Menghela napas, mau apa sebenarnya orang ini?

Adam cengengesan, “Zia, kan? Mentornya Aia?”

Zia mengangguk sekedarnya kemudian memaku pandangannya ke sepanjang koridor di belakang Adam. Semoga cuma itu yang ia ingat, harapnya dalam hati.

Adam menggaruk kepala. Rasanya ia pernah bertemu dengan Zia sebelumnya, tapi di mana?

Zia berdehem. Kalau ada yang mau dikatakan sebaiknya cepat!

Adam tersentak. Ah, peduli amat di mana! Bukan itu tujuannya menemui Zia. “Tolong kuatkan Aia, ya,” pinta Adam.

Zia mengerutkan dahi, kenapa tiba-tiba minta ia menguatkan Aia? “Maksudnya?”

“Soal surat panggilan dari sekolah gara-gara jilbab,” Adam buru-buru menjelaskan.

“Surat panggilan? Lagi?!” tanya Zia, apa ia melewatkan sesuatu?

“Iya. Memang nggak tahu?” Adam memastikan.

Zia terkejut mendengarnya. Ia tidak tahu soal itu. Dan memang belum bertemu mereka satu minggu ini. Ah, kenapa mereka tidak mengabarinya? Apakah mereka baik-baik saja sekarang?

“Kalau cuma sekolah yang larang mungkin dia masih bisa hadapi. Masalahnya Bunda juga larang dia pakai jilbab. Hari ini dia juga nggak sekolah karena semua jilbabnya, termasuk seragam sempat dibuang Bunda kemarin,” terang Adam. Itulah yang membuatnya khawatir sampai merasa perlu menemui Zia sekarang. Adam menghela napas, “Belakangan Bunda memang agak aneh. Omongannya suka ngaco. Apalagi setelah dapat surat panggilan dari sekolah Aia gara-gara rohis ….”
Kenapa dia malah curhat sekarang? Zia membatin.

“Terima kasih infonya!” potong  Zia. “Nanti saya hubungi Aia. Assalamu’alaikum,” pungkasnya kemudian buru-buru meninggalkan Adam.

“Wa, wa’alaikumsalam,” jawab Adam pelan seraya menggaruk kepalan. Sementara Zia sudah menghilang dari pandangan. Dasar perempuan itu! Padahal, ia belum selesai bicara tapi dia malah sudah pergi begitu saja.


***
Berikutnya :
Sebelumnya :