1
Oktober 2012
Tidak perlu waktu lama. Dua
minggu kemudian Aia mengerti apa yang dikatakan Zia. Bersiap. Kita tidak akan
pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan satu detik dari sekarang. Mungkinkah
ini maksudnya?
Saat
Aia, Raras dan Azki tiba-tiba dipanggil oleh Kepala Sekolah di tengah-tengah
pelajaran olahraga. Sebelumnya, suasana sekolah memang terasa ganjil. Tiba-tiba
mereka harus berkelit dengan Pak Haris, guru olahraga, yang mendadak tidak
mengizinkan mereka ikut pengambilan nilai kecuali mereka mau memakai seragam
olahraga. Hidup itu kejutan. Benar sekali. Sekarang mereka benar-benar terkejut
dengan peraturan baru sekolah.
“Tapi
kenapa, Pak?” Aia protes.
“Kebijakan
sekolah yang baru,” Pak Haris menjawab singkat.
“Tapi
Pak, kita kan bisa ...,” ucap Azki namun terhenti karena Pak Haris memotong
kalimatnya.
“Tidak
bisa, Azki. Kecuali kalian mau memakai seragam olahraga seperti yang lain.”
“Tapi
Pak, Bapak tahu kan alasan kita nggak mau ....”
“Tetap
tidak bisa, Ras. Ini kebijakan sekolah yang baru.” Pak Haris memotong kalimat
Raras.
Raras
memang pernah menjelaskan padanya tentang jilbab. Pak Haris sama sekali tidak
keberatan sebenarnya. Tapi, tentu ia juga tidak ingin berkelit dengan pihak
sekolah terkait kebijakan baru ini. Kebijakan yang membuat Pak Haris tak bisa
banyak membantu. Bagaimana lagi? Ia bukan orang yang berwenang membuat
kebijakan di sekolah. Hanya guru honorer, yang justru diwajibkan menjalankan
betul-betul semua kebijakan sekolah. Pak Haris menutup buku absen, meletakannya
di atas kursi yang tadi diduduki. Kemudian meninggalkan ketiga muridnya yang bersitatap
cemas satu sama lain.
***
Kalau
saja hanya Pak Haris, kecemasan Aia, Raras dan Azki, tidak akan bertambah.
Tapi, tiba-tiba Feby cs yang entah dari mana datangnya menghampiri meja mereka
di kantin. Berkata sinis memberitahu bahwa Kepala Sekolah memanggil mereka.
“Beneran,
Feb?!” tanya Aia. Melihat gelagatnya Aia curiga –berharap lebih tepatnya- Feby hanya mengada-ada.
Tapi, tidak. Feby tidak
mengada-ada soal Kepala Sekolah. Sekarang mereka bertiga tengah duduk menghadap
pria berkacamata, bertubuh tinggi dengan perut yang agak maju itu. Mereka tertunduk.
Mana berani menantang
tatapan tajam Pak Kepala Sekolah.
“Bapak
tidak mau ada pandangan negatif terhadap sekolah kita karena pemberitaan yang
menyebutkan rohis dijadikan tempat rekrutmen teroris,” ujar Pak Kepala Sekolah.
“Jadi, pihak sekolah memutuskan untuk menutup ekstrakurikuler rohis. GARIS
ditutup!”
Kalimat
Kepala Sekolah kontan membuat ketiga siswi di hadapnya terbelalak. GARIS ditutup?!
Aia mengerling. Jangan-jangan
ini yang Kak Zia katakan hal penting usai menemui Kepala Sekolah dua minggu
yang lalu?!
“Maaf,
Pak. Tapi, kenapa harus ditutup? Selama ini kegiatan GARIS nggak pernah bermasalah, kan?”
Aia memberanikan diri berbicara. Hanya karena satu pemberitaan yang bahkan
mendapat banyak kecaman dari banyak pihak, GARIS ditutup? Ini sungguh
berlebihan. Lagi pula, Aia
tidak pernah mendengar pandangan negatif apa pun dari luar terhadap sekolah.
Apa lagi gara-gara GARIS, sama sekali tidak pernah!
“Ini
sudah keputusan final dan terbaik untuk sekolah, kalian mengerti?!”
“Tapi
yang dikatakan Aia benar, Pak,” sela Raras. Ia sungguh tidak terima dengan
keputusan sekolah, keputusan terbaik? Omong kosong!
“Waktu
pertama kali Bapak diangkat jadi Kepala Sekolah, Bapak sendiri yang bilang
bahwa semua kegiatan kami itu positif. Bapak bilang akan selalu mendukung
kegiatan kami. Waktu itu, Bapak juga sudah cek materi apa saja yang kami kaji
selama ini. Nggak
ada yang bermasalah kan, Pak?”
“Memang.
Tapi, pihak sekolah juga tidak bisa mengabaikan adanya peristiwa perekrutan
teroris lewat rohis! Bapak tidak mau ada mi-li-tan-si di sekolah ini!” bentak
Pak Kepala Sekolah. Membuat kaget tiga siswi di hadapannya. “Ini bentuk
pencegahan namanya. Antisipasi!”
Pak
Kepala Sekolah diam sejenak, berusaha mengatur napas. Menatap bergantian Aia,
Raras dan Azki, “Sudahlah! Bapak panggil kalian ke sini bukan untuk memprotes
kebijakan sekolah! Bapak memanggil kalian ke sini, karena kalian sudah terkenal
sebagai pentolan rohis di sekolah! Bapak hanya ingin mengingatkan kalian,
jangan mem-pro-vo-ka-si teman-teman kalian untuk memprotes kebijakan sekolah
ini!” tegas Pak Kepala Sekolah seraya menunjuk-nunjuk meja kerjanya.
Aia,
Raras dan Azki tertunduk diam seribu bahasa. Marah. Kesal. Ingin menolak semua
keputusan sekolah. Tapi, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa?!
“Tidak usah lah banyak protes! Lagi pula kalian kan
sudah kelas dua belas. Jadi, ditutup atau tidak kalian tetap tidak akan bisa
aktif lagi di semua ekstrakurikuler,” pesan Pak Kepala Sekolah. “Oh ya, Satu
lagi. Kalian harus melaksanakan semua peraturan sekolah! Termasuk, mengenakan
seragam saat pelajaran o-lah-ra-ga! Bapak dengar kalian tidak pernah mengenakan
seragam saat pelajaran olah raga.”
Kontan
Aia, Raras dan Azki mengangkat kepala.
Terkejut. Khawatir.
Saling
pandang sejenak. Mana mungkin mereka mengenakan seragam olah raga?! Mana
mungkin mereka melepas jilbab di tempat umum?! Ya Allah ....
Azki
membuka mulut,
hendak protes. Tapi kalah cepat dengan acungan telunjuk Kepala Sekolah, “Tidak
ada protes. Tidak ada tawar menawar! Ingat, kalian ini sudah kelas dua belas.
Kalian mau tidak lulus hanya
karena kalian tidak mengikuti peraturan sekolah?!”
Pertanyaan
Kepala Sekolah membungkam ketiganya.
***
“Rohis
ditutup? Kok bisa?!” Zia tidak percaya dengan kabar yang baru saja ia dengar
dari tiga adik rohisnya.
Tadi,
usai sekolah bubar. Aia, Raras dan Azki langsung menelepon Zia. Mendengar suara
panik dari sambungan telepon, Zia yang baru keluar dari kelas meminta mereka
segera datang saja ke kampus. Karena Zia masih ada kelas sore ini. Mereka
bertemu di masjid Al-Kalam. Masjid kampus yang letaknya tepat di seberang gedung perkuliahan.
“Lho,
jadi Kak Zia belum tahu?!” Aia balik bertanya. Yang lain memasang ekspresi
keheranan. Aneh sekali. Mentor rohis sendiri belum tahu kalau rohis ditutup?
Zia
menggeleng, “Dua minggu yang lalu, Pak Kepala Sekolah memang bilang ada wacana itu. Tapi,
baru wacana! Kemarin Muslim dan Raihan juga baru menemui Kepala Sekolah, melobi
supaya beliau tidak merealisir wacana itu! Dan mereka bilang Pak Kepala Sekolah
akan memikirkan usulan mereka, kok.”
Suasana
hening.
Aia
menyandarkan bahunya. Ya Allah, rohis adalah cahaya yang baru saja
kutemukan. Apakah cahayaku akan
kembali redup?
Zia
masih syok dengan kabar itu. Ia rogoh
saku. Mengambil handphone
lalu menelepon Muslim. Ingin
mengonfirmasi kabar yang baru saja ia dengar. Bukan karena tidak percaya dengan
adik-adik rohisnya,
hanya ingin memastikan.
***
Kebijakan
itu nyatanya tetap terealisasi. Sejak
hari itu tidak ada lagi kegiatan rohis. Ya, bubar begitu saja. Sekolah tidak
mengizinkan ada kegiatan apa pun lagi meski sekedar perpisahan-pembubaran resmi
sebelum benar-benar ditutup.
Tentu
saja penutupan GARIS menjadi topik pembicaraan hangat di seantero sekolah
minggu-minggu itu. Di kelas. Di
kantin. Di perpustakaan. Di kamar mandi. Di setiap sudut sekolah
ada saja yang membicarakannya. Warga sekolah mendadak jadi wartawan, menanyai
semua anak GARIS yang mereka temui. Terutama para pengurusnya.
“Apa
kita harus buat press
conference kalau GARIS ditutup gara-gara kebijakan
baru sekolah?!” gerutu Aia yang bosan mendengar wawancara dadakan itu.
Siswa
lain mungkin hanya terkejut dengan penutupan rohis yang terbilang mendadak.
Menjadikannya perbincangan heboh satu-dua pekan. Setelah itu selesai.
Menganggapnya hanya angin lalu. Tapi,
bagi anak-anak GARIS ini seperti shock teraphy. Tidak hanya terkejut,
tapi mereka juga kehilangan. Kehilangan suasana ukhuwah islamiyah yang
terbangun antar sesama anggota rohis. Dan yang pasti, mereka kehilangan
kesempatan memperdalam Islam di sekolah.
Sebagian
anggota GARIS yang move-on dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler
lain juga berpindah kebiasaan. Yang tadinya rajin sholat dhuha, sekarang sibuk
dengan kegiatan baru. Hanya ada beberapa yang masih melakukan kebiasaan itu.
Setiap Sabtu, yang harusnya musholla ramai dengan kajian rohis. Sekarang hanya
menjadi tempat istirahat anak-anak ekskul lain. Menyebalkan sekali melihat
anak-anak pecinta alam yang kuyup dengan keringat setelah panjat dinding,
tidur-tiduran di musholla.
“Eh,
ini tempat ibadah bukan tempat istirahat!” protes Aia satu waktu sambil
mengacung-acungkan sapu ijuk ke arah anak-anak pecinta alam. Ia baru saja
membersihkan musholla bersama Raras dan Azki.
“Yee,
jangan nyolot dong! Rohisnya kan sudah ditutup, apa salahnya kalau kita pakai
buat istirahat!” sahut ketua pecinta alam enteng.
“Eh!
Rohis boleh bubar! Tapi ibadah tetap jalan
tahu!” Aia mencak-mencak. Kesal. Kalau saja tidak
ditahan oleh Raras, hampir saja sapu ijuk melayang ke kepala ketua pecinta alam
itu.
“Sudahlah,
Ai! Jangan diladeni. Istighfar, Rasul nggak pernah berdakwah dengan kekerasan
meski hanya dengan sapu ijuk,” Raras mengingatkan sambil mengambil sapu ijuk
dari tangan Aia.
Cahaya
merasakan cahayanya kembali meredup. Aia menarik napas dan Mengembungkan pipi. Mengatur
emosinya. Kesal. Sedih. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebenarnya
Aia terpikirkan untuk melakukan sesuatu. Akan tetapi masih belum yakin,
haruskah melakukan itu?
***
“Nggak
fair kan, Bun?!” jika di sekolah Aia menghindari mereka yang membicarakan
penutupan GARIS, di rumah justru ia sendiri yang mengangkat topik tersebut di
meja sarapan. “Masa kepala sekolah menutup
GARIS gitu aja!” tambahnya.
“Sebelum
mengambil keputusan, sekolah pasti sudah memikirkannya matang-matang, Ai. Ya
... mungkin ini yang terbaik menurut sekolah,” sahut Bunda berusaha mengarahkan
Aia untuk positive thinking. Jujur, Bunda justru merasa lega dengan
keputusan sekolah.
“Terbaik?
Apanya yang terbaik, Bunda?!” tukas Aia, “rohis itu kan satu-satunya wadah
untuk memperdalam ilmu keislaman di sekolah! Sekarang malah ditutup!”
lanjutnya, membantah pernyataan Bunda. “Pokoknya, Aia dan teman-teman akan
berjuang supaya sekolah membatalkan kebijakan baru ini!” ucap Aia lagi.
Membulatkan tekad.
“Ini
nih, murid ngeyel!” bahkan Adam yang biasanya tidak tertarik mengomentari
pembicaraan Aia dan Bunda pun ikut nimbrung, “Abang rasa keputusan sekolah itu
sudah tepat, De. Sepertinya memang ada yang salah di rohis sekolah Dede.”
“Abang nih sama aja kayak Kepala Sekolah!
Nggak tahu apa-apa, tapi udah banyak nge-judge!”
Aia menatap galak Adam.
“Abang
tahu. Buktinya, sejak Dede masuk rohis. Dede berubah, jadi fanatik sama agama,”
ucap Adam yang urung menyuap nasi goreng. Menaruhnya lagi di piring,
mengacung-acungkan sendok sambil berkata lagi, “jadi, menurut Abang sih wajar
aja kalau sekolah mengambil keputusan itu. Pihak sekolah pasti khawatir
anak-anaknya direkrut jadi teroris seperti yang ada di TV.”
Aia
mendesis, “Maksud Abang, Aia ini berpotensi jadi teroris?!”
Adam
mengangkat bahu, “Ya, kali aja,”
sahutnya enteng lalu tersenyum jail.
Aia
bersungut kesal. Pipinya mengembung. Sementara Bunda mengernyitkan dahi,
seperti menyadari sesuatu dan membenarkan Adam. Aia memang banyak berubah
sejak masuk rohis. Jadi fanatik? Sepertinya iya.
“Bagaimanapun
kamu harus tetap mematuhi keputusan sekolah, Ai,” Bunda menengahi, “pokoknya,
Bunda nggak mau sekolahmu jadi terganggu karena ini! Lagi pula kelas dua belas,
sudah nggak boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler, kan?”
“Bener
tuh, apa yang Bunda bilang,” Adam sepakat, “dengerin, tuh!” Adam kembali
mengacungkan sendok ke arah Aia.
Aia
melotot sebal. Adam malah tertawa, senang menggoda adiknya. Bunda justru
tertegun. Ini peristiwa langka. Tidak biasanya Adam sependapat dengannya.
“Lagi
pula, Aia nggak perlu takut nggak bisa mendalami Islam lagi. Bunda bisa minta
Tante Nur merekomendasikan mahasiswanya untuk jadi mentor Aia.”
Tante
Nur? Ya Allah! Kenapa aku jadi lupa?! Urusan rohis
membuat Aia lupa kalau ia mau menanyakan pendapat Nur tentang Rasul sebagai
Feminis pertama pada Zia. Untung Bunda menyebutnya. Eh, tunggu dulu! Untung? Di
mana untungnya? Yang ada, selama ini ia khawatir dengan kedekatan Bunda dan
Nur. Khawatir dengan semua pemikiran Nur yang menurut Aia, nyeleneh.
“Ai
... ?!” Bunda menegur Aia yang malah bengong.
Aia
terkesiap, “eh, ya?”
“Aia
nggak lagi mikir macam-macam,
kan?” tanya Bunda curiga. Mulai khawatir Aia berbuat macam-macam demi rohis.
“Eh?”
Aia mengerutkan dahi, membuat alisnya terlihat menyatu. Heran. “Maksud Bunda?”
***
8
Oktober 2012
Akhirnya
bel istirahat berbunyi. Bunyian itu sudah sejak tadi ditunggu oleh siswa yang mulai
bosan, lapar, mengantuk lalu menopang dagu hingga memejamkan mata di barisan
belakang. Setelah Pak Rahmat, guru agama
keluar dari kelas, tanpa perlu dikomandoi, semua siswa juga ikut
berhamburan keluar kelas. Tahu kan, destinasi mereka? Kantin, lapangan, toilet
dan satu lagi, musholla. Yaa, walaupun hari ini Aia nampak kecewa di sana.
Lantaran musholla yang memang sebelumnya tidak terlalu ramai semakin sepi hari
ini.
“Kok
cuma kita ya, yang Dhuha hari ini?” tanyanya usai dhuha.
Raras
mengangkat bahu. Sama kecewanya dengan Aia.
“Iya,
ya, makin hari makin sepi aja musholla kita,” ucap Azki yang masih sibuk
melipat mukena. “Lihat tuh, laki-lakinya juga tinggal Rizky sama Panji,” lanjutnya
seraya melirik ke tempat sholat laki-laki, Aia dan Raras ikut melirik sejenak.
“Hm,
nggak bisa! Kepala Sekolah udah keterlaluan!” seru Aia. Tangannya mengepal
meninju pelan lututnya sendiri. Mimik mukanya serius. “Kita nggak bisa terus
diam kayak gini!”
“Ya,
memang nggak bisa! Mau jadi penunggu musholla terus diam di sini?” Raras jail
menimpali.
“Ah,
Raraaas! Serius tahu!” sungut Aia seraya berkacak pinggang.
Raras
nyengir. Azki ikut tertawa mendengarnya. Semua orang juga tahu, kalau Aia sedang serius. Raras dan Azki pun
tahu persis apa yang dimaksud Aia dengan “terus diam”.
“Coba
bayangin, kalau rohis benar-benar nggak ada lagi di sekolah ini?! Kasihan kan
adik-adik kelas kita, mereka nggak punya kesempatan mengkaji Islam di sekolah!” ucap Aia berapi-api.
Raras dan Azki mengangguk.
“Pokoknya, pe-er kita
sebelum lulus dari sini adalah memastikan rohis tetap ada! GARIS harus tetap eksis!” lanjut Aia sungguh-sungguh.
“Oke, aku setuju,” ucap Raras.
“Terus ... harus gimana?
Kamu tahu caranya?”
Aia
menarik napas, meyakinkan diri bahwa ini saat yang tepat melakukan rencananya. “Gimana
kalau kita buat semacam petisi
penolakan penutupan GARIS dengan mengumpulkan tanda tangan. Kita bisa kumpulkan
lagi anak-anak GARIS. Juga minta dukungan dari teman-teman ekskul lainnya. Dua
hari lagi ada pertemuan seluruh ekskul, kan? Kita minta dukungan juga di rapat
osis minggu depan? Kita bisa minta waktu ke ketua osis untuk bicara sebentar.
Kita kumpulkan tanda tangan setidaknya setengah dari jumlah seluruh siswa?
Bahkan kalau bisa kita minta juga dukungan dari guru-guru? Gimana?”
Raras menyimak antusias. Merasa kalau ide Aia, meski
terdengar nekat, terdengar cukup bagus untuk dicoba. Berbeda dengan Azki yang
rautnya berubah cemas seketika mendengar ide Aia.
“Tapi … ingat lho teman-teman,
Kepala Sekolah udah ngingetin
kita untuk nggak memprovokasi teman-teman menolak
kebijakan sekolah,” Azki mengingatkan. Dengan menyetujui ide Aia, kalian tahu
apa artinya, kan?
Azki
takut yang dikatakan Kepala Sekolah
jadi kenyataan. Seandainya benar terjadi, bagaimana ia
mempertanggungjawabkannya di hadapan orang tua? “Mungkin sebaiknya kita
patuhi saja peraturan sekolah. Kita sudah kelas dua belas. Nggak lucu kan,
kalau kita nggak lulus karena menolak kebijakan sekolah?” tambah Azki.
Aia
menghela napas. Menatap lembut Azki. “Azki
... kemarin itu cuma gertakan Kepala Sekolah aja! Kelulusan sekolah itu bukan Kepala
Sekolah yang menentukan, tapi dari nilai ujian nasional nanti. Jadi, yang
menentukan kita lulus atau tidak. Ya, kita sendiri,” Aia
berusaha menghalau kecemasan
Azki. Ia genggam tangan kiri sahabatnya itu. Mentransfer
keyakinan yang dimilikinya.
Azki
tidak menjawab. Hanya menundukkan
kepala. Sepertinya transfer keyakinan yang berusaha Aia lakukan tidak berhasil.
“Lagian, mana ada Kepala Sekolah yang mau mempermalukan sekolah dengan sengaja
tidak meluluskan siswanya? Nggak akan ada, Ki … ?” Aia menambahkan.
“Iya. Apalagi, yang kita
lakukan ini kan untuk mempertahankan
wadah kita mengkaji Islam. Allah pasti akan
menolong orang-orang yang menolong agama-Nya,” Raras ikut menguatkan.
Lengang beberapa detik. Sebelum akhirnya Azki
mengangkat kepala. “Iya, sih …” gumamnya pelan. Menarik napas dalam-dalam, “Ya udah, deh. Bismillah. Aku
setuju!” Azki
tersenyum, berusaha untuk yakin
dengan keputusannya.
Aia
dan Raras menyambut hangat senyuman itu.
Siapa
peduli dengan ancaman Kepala Sekolah. Tidak. Mereka tidak takut.Kenapa harus takut? Mereka
sedang memperjuangkan kembali rohis. Memperjuangkan hak untuk mendalami agama
mereka, Islam, yang tidak pernah mereka peroleh dari mata pelajaran di kelas kecuali seminggu sekali. Raras
benar. Tidak peduli apa yang terjadi di depan
nanti. Bukankah Allah selalu menolong mereka yang menolong agama-Nya?
Aia
membulatkan tekad. Ia sudah
kehilangan banyak cahaya hidupnya. Kali ini ia tidak akan membiarkan cahaya
hidupnya meredup lagi.
Aia akan berusaha mempertahankannya. Toh, ia tidak sendiri. Rohis bukan hanya cahayanya.
Tapi juga cahaya bagi Raras, Azki dan anak-anak GARIS yang lain.
“Eh,
ada apa sih?” tegur Panji melihat gelagat
tidak biasa teman-temannya.
“Kalian
mau ikut bantu nggak?!” seru Aia.
Aia
segera menjelaskan detail rencana yang baru saja mereka buat. Panji dan Rizky
yang juga kecewa dengan keputusan sekolah langsung menyetujuinya.
***
Sebenarnya
mereka juga mengajak anak-anak GARIS yang lain untuk misi mengembalikan GARIS. Tapi, mereka
hanya bersedia memberi tanda tangan. Tidak bersedia ikut mengumpulkan tanda
tangan. Tidak ingin mencari masalah katanya.
Bahkan
Ayu dan Fiya meminta mereka memikirkan lagi apa yang mereka lakukan. “Maaf ya,
Kak. Tapi, apa nggak sebaiknya kalian pikirin lagi. Kalian udah kelas
dua belas, lho,” ucap Fiya khawatir.
“Iya,
Kak. Kita cuma takut sekolah bakal kasih sangsi atau malah … nge-DO kalian gara-gara
ini,” tambah Ayu. Cemas.
Mereka juga ingin GARIS kembali di sekolah. Tapi, mereka tidak punya
keberanian. Takut dengan ancaman Kepala Sekolah.
Namun,
rupanya itu tidak menyurutkan langkah lima
pengurus GARIS untuk tetap menjalankan misi. Mereka
mengerti kekhawatiran Ayu dan Fiya. Mereka juga mengkhawatirkan hal itu. Tapi,
semangat mereka untuk mengembalikan lagi GARIS, menghidupkan lagi cahaya dakwah
di sekolah ini telah membakar habis kekhawatiran itu.
Satu
minggu mereka habiskan untuk meminta dukungan. Di pertemuan seluruh ekskul. Rapat
osis. Hingga mendatangi satu kelas ke kelas lainnya pun mereka lakukan. Meski
tidak berjalan sesuai harapan-karena banyak
siswa
yang tidak bersedia mendukung-, tapi mereka berhasil mengumpulkan cukup banyak tanda tangan. Ya … walaupun tidak mencapai separuh
dari seluruh jumlah siswa.
“Kenapa
nggak sekalian unjuk rasa di depan kantor kepala sekolah aja? kayak yang di
TV-TV,” siswa laki-laki tinggi-botak yang ikut menyumbangkan tanda tangan memberi
usulan. Empat siswa di sekelilingnya mengangguk sambil tersenyum tengil,
menyetujui usulannya.
“Nggak
bisa lah. Sekolah menutup
rohis karena berita yang bilang kalau rohis jadi tempat rekrutmen teroris. Jadi,
tugas kita adalah membuktikan itu semua salah,” Aia menanggapi dengan cepat, “nah, kalau kita menolak
dengan unjuk rasa sama saja bunuh diri. Bisa-bisa sekolah makin yakin untuk
tetap menutupnya,” lanjutnya.
Selain itu mereka juga sudah
mendatangi beberapa guru. Tapi, hanya Pak Haris dan Pak Rahmat yang menandatangani. “Ya, Bapak
juga setuju. Seharusnya sekolah tidak gegabah membuat keputusan. Yang Bapak
tahu, selama ini justru anak-anak rohis yang mengharumkan nama sekolah. Berprestasi
dan tidak ikut pergaulan yang nggak jelas,” begitu ujar Pak Haris. Sementara
guru-guru yang lain bilang, ini sudah kebijakan sekolah, sebaiknya kalian
ikuti saja. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan Pak Kepala Sekolah. Kalau
beliau bilang A, ya, A.
Dan
lagi-lagi, itu sama sekali tidak menyurutkan langkah Aia, Raras, Azki, Panji
dan Rizky. Tidak masalah jika guru-guru tidak mendukungnya. Tanda tangan
sejumlah nyaris separuh siswa sekolah sudah lebih dari cukup untuk tetap
memperjuangkan kembali GARIS.
***
Bagian 9 | Surat Petaka [Part I]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, April 15, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar