Sabtu, 15 April 2017

1 Oktober 2012
Tidak perlu waktu lama. Dua minggu kemudian Aia mengerti apa yang dikatakan Zia. Bersiap. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi bahkan satu detik dari sekarang. Mungkinkah ini maksudnya?

Saat Aia, Raras dan Azki tiba-tiba dipanggil oleh Kepala Sekolah di tengah-tengah pelajaran olahraga. Sebelumnya, suasana sekolah memang terasa ganjil. Tiba-tiba mereka harus berkelit dengan Pak Haris, guru olahraga, yang mendadak tidak mengizinkan mereka ikut pengambilan nilai kecuali mereka mau memakai seragam olahraga. Hidup itu kejutan. Benar sekali. Sekarang mereka benar-benar terkejut dengan peraturan baru sekolah.

“Tapi kenapa, Pak?” Aia protes.

“Kebijakan sekolah yang baru,” Pak Haris menjawab singkat.

“Tapi Pak, kita kan bisa ...,” ucap Azki namun terhenti karena Pak Haris memotong kalimatnya.

“Tidak bisa, Azki. Kecuali kalian mau memakai seragam olahraga seperti yang lain.”

“Tapi Pak, Bapak tahu kan alasan kita nggak mau ....”

“Tetap tidak bisa, Ras. Ini kebijakan sekolah yang baru.” Pak Haris memotong kalimat Raras.

Raras memang pernah menjelaskan padanya tentang jilbab. Pak Haris sama sekali tidak keberatan sebenarnya. Tapi, tentu ia juga tidak ingin berkelit dengan pihak sekolah terkait kebijakan baru ini. Kebijakan yang membuat Pak Haris tak bisa banyak membantu. Bagaimana lagi? Ia bukan orang yang berwenang membuat kebijakan di sekolah. Hanya guru honorer, yang justru diwajibkan menjalankan betul-betul semua kebijakan sekolah. Pak Haris menutup buku absen, meletakannya di atas kursi yang tadi diduduki. Kemudian meninggalkan ketiga muridnya yang bersitatap cemas satu sama lain.

***

Kalau saja hanya Pak Haris, kecemasan Aia, Raras dan Azki, tidak akan bertambah. Tapi, tiba-tiba Feby cs yang entah dari mana datangnya menghampiri meja mereka di kantin. Berkata sinis memberitahu bahwa Kepala Sekolah memanggil mereka.

“Beneran, Feb?!” tanya Aia. Melihat gelagatnya Aia curiga –berharap lebih tepatnya- Feby hanya mengada-ada.

Tapi, tidak. Feby tidak mengada-ada soal Kepala Sekolah. Sekarang mereka bertiga tengah duduk menghadap pria berkacamata, bertubuh tinggi dengan perut yang agak maju itu. Mereka tertunduk. Mana berani menantang tatapan tajam Pak Kepala Sekolah.

“Bapak tidak mau ada pandangan negatif terhadap sekolah kita karena pemberitaan yang menyebutkan rohis dijadikan tempat rekrutmen teroris,” ujar Pak Kepala Sekolah. “Jadi, pihak sekolah memutuskan untuk menutup ekstrakurikuler rohis. GARIS ditutup!

Kalimat Kepala Sekolah kontan membuat ketiga siswi di hadapnya terbelalak. GARIS ditutup?!
Aia mengerling. Jangan-jangan ini yang Kak Zia katakan hal penting usai menemui Kepala Sekolah dua minggu yang lalu?!

“Maaf, Pak. Tapi, kenapa harus ditutup? Selama ini kegiatan GARIS nggak pernah bermasalah, kan?” 
Aia memberanikan diri berbicara. Hanya karena satu pemberitaan yang bahkan mendapat banyak kecaman dari banyak pihak, GARIS ditutup? Ini sungguh berlebihan. Lagi pula, Aia tidak pernah mendengar pandangan negatif apa pun dari luar terhadap sekolah. Apa lagi gara-gara GARIS, sama sekali tidak pernah!

“Ini sudah keputusan final dan terbaik untuk sekolah, kalian mengerti?!”

“Tapi yang dikatakan Aia benar, Pak,” sela Raras. Ia sungguh tidak terima dengan keputusan sekolah, keputusan terbaik? Omong kosong!

“Waktu pertama kali Bapak diangkat jadi Kepala Sekolah, Bapak sendiri yang bilang bahwa semua kegiatan kami itu positif. Bapak bilang akan selalu mendukung kegiatan kami. Waktu itu, Bapak juga sudah cek materi apa saja yang kami kaji selama ini. Nggak ada yang bermasalah kan, Pak?

“Memang. Tapi, pihak sekolah juga tidak bisa mengabaikan adanya peristiwa perekrutan teroris lewat rohis! Bapak tidak mau ada mi-li-tan-si di sekolah ini!” bentak Pak Kepala Sekolah. Membuat kaget tiga siswi di hadapannya. “Ini bentuk pencegahan namanya. Antisipasi!

Pak Kepala Sekolah diam sejenak, berusaha mengatur napas. Menatap bergantian Aia, Raras dan Azki, “Sudahlah! Bapak panggil kalian ke sini bukan untuk memprotes kebijakan sekolah! Bapak memanggil kalian ke sini, karena kalian sudah terkenal sebagai pentolan rohis di sekolah! Bapak hanya ingin mengingatkan kalian, jangan mem-pro-vo-ka-si teman-teman kalian untuk memprotes kebijakan sekolah ini!” tegas Pak Kepala Sekolah seraya menunjuk-nunjuk meja kerjanya.

Aia, Raras dan Azki tertunduk diam seribu bahasa. Marah. Kesal. Ingin menolak semua keputusan sekolah. Tapi, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa?!

Tidak usah lah banyak protes! Lagi pula kalian kan sudah kelas dua belas. Jadi, ditutup atau tidak kalian tetap tidak akan bisa aktif lagi di semua ekstrakurikuler,” pesan Pak Kepala Sekolah. “Oh ya, Satu lagi. Kalian harus melaksanakan semua peraturan sekolah! Termasuk, mengenakan seragam saat pelajaran o-lah-ra-ga! Bapak dengar kalian tidak pernah mengenakan seragam saat pelajaran olah raga.”

Kontan Aia, Raras dan Azki mengangkat kepala. Terkejut. Khawatir. Saling pandang sejenak. Mana mungkin mereka mengenakan seragam olah raga?! Mana mungkin mereka melepas jilbab di tempat umum?! Ya Allah ....

Azki membuka mulut, hendak protes. Tapi kalah cepat dengan acungan telunjuk Kepala Sekolah, “Tidak ada protes. Tidak ada tawar menawar! Ingat, kalian ini sudah kelas dua belas. Kalian mau tidak lulus hanya karena kalian tidak mengikuti peraturan sekolah?!”

Pertanyaan Kepala Sekolah membungkam ketiganya.

***

“Rohis ditutup? Kok bisa?!” Zia tidak percaya dengan kabar yang baru saja ia dengar dari tiga adik rohisnya.

Tadi, usai sekolah bubar. Aia, Raras dan Azki langsung menelepon Zia. Mendengar suara panik dari sambungan telepon, Zia yang baru keluar dari kelas meminta mereka segera datang saja ke kampus. Karena Zia masih ada kelas sore ini. Mereka bertemu di masjid Al-Kalam. Masjid kampus yang letaknya tepat di seberang gedung perkuliahan.

“Lho, jadi Kak Zia belum tahu?!” Aia balik bertanya. Yang lain memasang ekspresi keheranan. Aneh sekali. Mentor rohis sendiri belum tahu kalau rohis ditutup?

Zia menggeleng, “Dua minggu yang lalu, Pak Kepala Sekolah memang bilang ada wacana itu. Tapi, baru wacana! Kemarin Muslim dan Raihan juga baru menemui Kepala Sekolah, melobi supaya beliau tidak merealisir wacana itu! Dan mereka bilang Pak Kepala Sekolah akan memikirkan usulan mereka, kok.”

Suasana hening.

Aia menyandarkan bahunya. Ya Allah, rohis adalah cahaya yang baru saja kutemukan. Apakah cahayaku akan kembali redup?

Zia masih syok dengan kabar itu. Ia rogoh saku. Mengambil handphone lalu menelepon Muslim. Ingin mengonfirmasi kabar yang baru saja ia dengar. Bukan karena tidak percaya dengan adik-adik rohisnya, hanya ingin memastikan.

***

Kebijakan itu nyatanya tetap terealisasi. Sejak hari itu tidak ada lagi kegiatan rohis. Ya, bubar begitu saja. Sekolah tidak mengizinkan ada kegiatan apa pun lagi meski sekedar perpisahan-pembubaran resmi sebelum benar-benar ditutup.

Tentu saja penutupan GARIS menjadi topik pembicaraan hangat di seantero sekolah minggu-minggu itu. Di kelas. Di kantin. Di perpustakaan. Di kamar mandi. Di setiap sudut sekolah ada saja yang membicarakannya. Warga sekolah mendadak jadi wartawan, menanyai semua anak GARIS yang mereka temui. Terutama para pengurusnya.

“Apa kita harus buat press conference kalau GARIS ditutup gara-gara kebijakan baru sekolah?!” gerutu Aia yang bosan mendengar wawancara dadakan itu.

Siswa lain mungkin hanya terkejut dengan penutupan rohis yang terbilang mendadak. Menjadikannya perbincangan heboh satu-dua pekan. Setelah itu selesai. Menganggapnya hanya angin lalu. Tapi, bagi anak-anak GARIS ini seperti shock teraphy. Tidak hanya terkejut, tapi mereka juga kehilangan. Kehilangan suasana ukhuwah islamiyah yang terbangun antar sesama anggota rohis. Dan yang pasti, mereka kehilangan kesempatan memperdalam Islam di sekolah.

Sebagian anggota GARIS yang move-on dengan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler lain juga berpindah kebiasaan. Yang tadinya rajin sholat dhuha, sekarang sibuk dengan kegiatan baru. Hanya ada beberapa yang masih melakukan kebiasaan itu. Setiap Sabtu, yang harusnya musholla ramai dengan kajian rohis. Sekarang hanya menjadi tempat istirahat anak-anak ekskul lain. Menyebalkan sekali melihat anak-anak pecinta alam yang kuyup dengan keringat setelah panjat dinding, tidur-tiduran di musholla.

“Eh, ini tempat ibadah bukan tempat istirahat!” protes Aia satu waktu sambil mengacung-acungkan sapu ijuk ke arah anak-anak pecinta alam. Ia baru saja membersihkan musholla bersama Raras dan Azki.

“Yee, jangan nyolot dong! Rohisnya kan sudah ditutup, apa salahnya kalau kita pakai buat istirahat!” sahut ketua pecinta alam enteng.

“Eh! Rohis boleh bubar! Tapi ibadah tetap jalan tahu!” Aia mencak-mencak. Kesal. Kalau saja tidak ditahan oleh Raras, hampir saja sapu ijuk melayang ke kepala ketua pecinta alam itu.

“Sudahlah, Ai! Jangan diladeni. Istighfar, Rasul nggak pernah berdakwah dengan kekerasan meski hanya dengan sapu ijuk,” Raras mengingatkan sambil mengambil sapu ijuk dari tangan Aia.

Cahaya merasakan cahayanya kembali meredup. Aia menarik napas dan Mengembungkan pipi. Mengatur emosinya. Kesal. Sedih. Tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Sebenarnya Aia terpikirkan untuk melakukan sesuatu. Akan tetapi masih belum yakin, haruskah melakukan itu?

***

“Nggak fair kan, Bun?!” jika di sekolah Aia menghindari mereka yang membicarakan penutupan GARIS, di rumah justru ia sendiri yang mengangkat topik tersebut di meja sarapan. “Masa kepala sekolah menutup GARIS gitu aja!” tambahnya.

“Sebelum mengambil keputusan, sekolah pasti sudah memikirkannya matang-matang, Ai. Ya ... mungkin ini yang terbaik menurut sekolah,” sahut Bunda berusaha mengarahkan Aia untuk positive thinking. Jujur, Bunda justru merasa lega dengan keputusan sekolah.

“Terbaik? Apanya yang terbaik, Bunda?!” tukas Aia, “rohis itu kan satu-satunya wadah untuk memperdalam ilmu keislaman di sekolah! Sekarang malah ditutup!” lanjutnya, membantah pernyataan Bunda. “Pokoknya, Aia dan teman-teman akan berjuang supaya sekolah membatalkan kebijakan baru ini!” ucap Aia lagi. Membulatkan tekad.

“Ini nih, murid ngeyel!” bahkan Adam yang biasanya tidak tertarik mengomentari pembicaraan Aia dan Bunda pun ikut nimbrung, “Abang rasa keputusan sekolah itu sudah tepat, De. Sepertinya memang ada yang salah di rohis sekolah Dede.”

Abang nih sama aja kayak Kepala Sekolah! Nggak tahu apa-apa, tapi udah banyak nge-judge!” Aia menatap galak Adam.

“Abang tahu. Buktinya, sejak Dede masuk rohis. Dede berubah, jadi fanatik sama agama,” ucap Adam yang urung menyuap nasi goreng. Menaruhnya lagi di piring, mengacung-acungkan sendok sambil berkata lagi, “jadi, menurut Abang sih wajar aja kalau sekolah mengambil keputusan itu. Pihak sekolah pasti khawatir anak-anaknya direkrut jadi teroris seperti yang ada di TV.”

Aia mendesis, “Maksud Abang, Aia ini berpotensi jadi teroris?!”

Adam mengangkat bahu, “Ya, kali aja,” sahutnya enteng lalu tersenyum jail.

Aia bersungut kesal. Pipinya mengembung. Sementara Bunda mengernyitkan dahi, seperti menyadari sesuatu dan membenarkan Adam. Aia memang banyak berubah sejak masuk rohis. Jadi fanatik? Sepertinya iya.

“Bagaimanapun kamu harus tetap mematuhi keputusan sekolah, Ai,” Bunda menengahi, “pokoknya, Bunda nggak mau sekolahmu jadi terganggu karena ini! Lagi pula kelas dua belas, sudah nggak boleh ikut kegiatan ekstrakurikuler, kan?”

“Bener tuh, apa yang Bunda bilang,” Adam sepakat, “dengerin, tuh!” Adam kembali mengacungkan sendok ke arah Aia.

Aia melotot sebal. Adam malah tertawa, senang menggoda adiknya. Bunda justru tertegun. Ini peristiwa langka. Tidak biasanya Adam sependapat dengannya.

“Lagi pula, Aia nggak perlu takut nggak bisa mendalami Islam lagi. Bunda bisa minta Tante Nur merekomendasikan mahasiswanya untuk jadi mentor Aia.”

Tante Nur? Ya Allah! Kenapa aku jadi lupa?! Urusan rohis membuat Aia lupa kalau ia mau menanyakan pendapat Nur tentang Rasul sebagai Feminis pertama pada Zia. Untung Bunda menyebutnya. Eh, tunggu dulu! Untung? Di mana untungnya? Yang ada, selama ini ia khawatir dengan kedekatan Bunda dan Nur. Khawatir dengan semua pemikiran Nur yang menurut Aia, nyeleneh.

“Ai ... ?!” Bunda menegur Aia yang malah bengong.

Aia terkesiap, “eh, ya?”

“Aia nggak lagi mikir macam-macam, kan?” tanya Bunda curiga. Mulai khawatir Aia berbuat macam-macam demi rohis.

“Eh?” Aia mengerutkan dahi, membuat alisnya terlihat menyatu. Heran. “Maksud Bunda?”

***

8 Oktober 2012

Akhirnya bel istirahat berbunyi. Bunyian itu sudah sejak tadi ditunggu oleh siswa yang mulai bosan, lapar, mengantuk lalu menopang dagu hingga memejamkan mata di barisan belakang. Setelah Pak Rahmat, guru agama keluar dari kelas, tanpa perlu dikomandoi, semua siswa juga ikut berhamburan keluar kelas. Tahu kan, destinasi mereka? Kantin, lapangan, toilet dan satu lagi, musholla. Yaa, walaupun hari ini Aia nampak kecewa di sana. Lantaran musholla yang memang sebelumnya tidak terlalu ramai semakin sepi hari ini.

“Kok cuma kita ya, yang Dhuha hari ini?” tanyanya usai dhuha.

Raras mengangkat bahu. Sama kecewanya dengan Aia.

“Iya, ya, makin hari makin sepi aja musholla kita,” ucap Azki yang masih sibuk melipat mukena. “Lihat tuh, laki-lakinya juga tinggal Rizky sama Panji,” lanjutnya seraya melirik ke tempat sholat laki-laki, Aia dan Raras ikut melirik sejenak.

“Hm, nggak bisa! Kepala Sekolah udah keterlaluan!” seru Aia. Tangannya mengepal meninju pelan lututnya sendiri. Mimik mukanya serius. “Kita nggak bisa terus diam kayak gini!”

“Ya, memang nggak bisa! Mau jadi penunggu musholla terus diam di sini?” Raras jail menimpali.
“Ah, Raraaas! Serius tahu!” sungut Aia seraya berkacak pinggang.

Raras nyengir. Azki ikut tertawa mendengarnya. Semua orang juga tahu, kalau Aia sedang serius. Raras dan Azki pun tahu persis apa yang dimaksud Aia dengan “terus diam”.

“Coba bayangin, kalau rohis benar-benar nggak ada lagi di sekolah ini?! Kasihan kan adik-adik kelas kita, mereka nggak punya kesempatan mengkaji Islam di sekolah!” ucap Aia berapi-api.

Raras dan Azki mengangguk.

“Pokoknya, pe-er kita sebelum lulus dari sini adalah memastikan rohis tetap ada! GARIS harus tetap eksis!” lanjut Aia sungguh-sungguh.

“Oke, aku setuju,” ucap Raras. “Terus ... harus gimana? Kamu tahu caranya?”

Aia menarik napas, meyakinkan diri bahwa ini saat yang tepat melakukan rencananya. “Gimana kalau kita buat semacam petisi penolakan penutupan GARIS dengan mengumpulkan tanda tangan. Kita bisa kumpulkan lagi anak-anak GARIS. Juga minta dukungan dari teman-teman ekskul lainnya. Dua hari lagi ada pertemuan seluruh ekskul, kan? Kita minta dukungan juga di rapat osis minggu depan? Kita bisa minta waktu ke ketua osis untuk bicara sebentar. Kita kumpulkan tanda tangan setidaknya setengah dari jumlah seluruh siswa? Bahkan kalau bisa kita minta juga dukungan dari guru-guru? Gimana?”

Raras menyimak antusias. Merasa kalau ide Aia, meski terdengar nekat, terdengar cukup bagus untuk dicoba. Berbeda dengan Azki yang rautnya berubah cemas seketika mendengar ide Aia.

Tapi ingat lho teman-teman, Kepala Sekolah udah ngingetin kita untuk nggak memprovokasi teman-teman menolak kebijakan sekolah,” Azki mengingatkan. Dengan menyetujui ide Aia, kalian tahu apa artinya, kan?

Azki takut yang dikatakan Kepala Sekolah jadi kenyataan. Seandainya benar terjadi, bagaimana ia mempertanggungjawabkannya di hadapan orang tua? “Mungkin sebaiknya kita patuhi saja peraturan sekolah. Kita sudah kelas dua belas. Nggak lucu kan, kalau kita nggak lulus karena menolak kebijakan sekolah?” tambah Azki.

Aia menghela napas. Menatap lembut Azki. “Azki ... kemarin itu cuma gertakan Kepala Sekolah aja! Kelulusan sekolah itu bukan Kepala Sekolah yang menentukan, tapi dari nilai ujian nasional nanti. Jadi, yang menentukan kita lulus atau tidak. Ya, kita sendiri,” Aia berusaha menghalau kecemasan Azki. Ia genggam tangan kiri sahabatnya itu. Mentransfer keyakinan yang dimilikinya.

Azki tidak menjawab. Hanya menundukkan kepala. Sepertinya transfer keyakinan yang berusaha Aia lakukan tidak berhasil. “Lagian, mana ada Kepala Sekolah yang mau mempermalukan sekolah dengan sengaja tidak meluluskan siswanya? Nggak akan ada, Ki … ?” Aia menambahkan.

Iya. Apalagi, yang kita lakukan ini kan untuk mempertahankan wadah kita mengkaji Islam. Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agama-Nya,” Raras ikut menguatkan.

Lengang beberapa detik. Sebelum akhirnya Azki mengangkat kepala. “Iya, sih …” gumamnya pelan. Menarik napas dalam-dalam, Ya udah, deh. Bismillah. Aku setuju!” Azki tersenyum, berusaha untuk yakin dengan keputusannya.

Aia dan Raras menyambut hangat senyuman itu.

Siapa peduli dengan ancaman Kepala Sekolah. Tidak. Mereka tidak takut.Kenapa harus takut? Mereka sedang memperjuangkan kembali rohis. Memperjuangkan hak untuk mendalami agama mereka, Islam, yang tidak pernah mereka peroleh dari mata pelajaran di kelas kecuali seminggu sekali. Raras benar. Tidak peduli apa yang terjadi di depan nanti. Bukankah Allah selalu menolong mereka yang menolong agama-Nya?

Aia membulatkan tekad. Ia sudah kehilangan banyak cahaya hidupnya. Kali ini ia tidak akan membiarkan cahaya hidupnya meredup lagi. Aia akan berusaha mempertahankannya. Toh, ia tidak sendiri. Rohis bukan hanya cahayanya. Tapi juga cahaya bagi Raras, Azki dan anak-anak GARIS yang lain.

“Eh, ada apa sih?” tegur Panji melihat gelagat tidak biasa teman-temannya.

“Kalian mau ikut bantu nggak?!” seru Aia.

Aia segera menjelaskan detail rencana yang baru saja mereka buat. Panji dan Rizky yang juga kecewa dengan keputusan sekolah langsung menyetujuinya.

***

Sebenarnya mereka juga mengajak anak-anak GARIS yang lain untuk misi mengembalikan GARIS. Tapi, mereka hanya bersedia memberi tanda tangan. Tidak bersedia ikut mengumpulkan tanda tangan. Tidak ingin mencari masalah katanya.

Bahkan Ayu dan Fiya meminta mereka memikirkan lagi apa yang mereka lakukan. “Maaf ya, Kak. Tapi, apa nggak sebaiknya kalian pikirin lagi. Kalian udah kelas dua belas, lho,” ucap Fiya khawatir.
“Iya, Kak. Kita cuma takut sekolah bakal kasih sangsi atau malah … nge-DO kalian gara-gara ini,” tambah Ayu. Cemas. Mereka juga ingin GARIS kembali di sekolah. Tapi, mereka tidak punya keberanian. Takut dengan ancaman Kepala Sekolah.

Namun, rupanya itu tidak menyurutkan langkah lima pengurus GARIS untuk tetap menjalankan misi. Mereka mengerti kekhawatiran Ayu dan Fiya. Mereka juga mengkhawatirkan hal itu. Tapi, semangat mereka untuk mengembalikan lagi GARIS, menghidupkan lagi cahaya dakwah di sekolah ini telah membakar habis kekhawatiran itu.

Satu minggu mereka habiskan untuk meminta dukungan. Di pertemuan seluruh ekskul. Rapat osis. Hingga mendatangi satu kelas ke kelas lainnya pun mereka lakukan. Meski tidak berjalan sesuai harapan-karena banyak siswa yang tidak bersedia mendukung-, tapi mereka berhasil mengumpulkan cukup banyak tanda tangan. Ya … walaupun tidak mencapai separuh dari seluruh jumlah siswa.

“Kenapa nggak sekalian unjuk rasa di depan kantor kepala sekolah aja? kayak yang di TV-TV,” siswa laki-laki tinggi-botak yang ikut menyumbangkan tanda tangan memberi usulan. Empat siswa di sekelilingnya mengangguk sambil tersenyum tengil, menyetujui usulannya.

“Nggak bisa lah. Sekolah menutup rohis karena berita yang bilang kalau rohis jadi tempat rekrutmen teroris. Jadi, tugas kita adalah membuktikan itu semua salah,” Aia menanggapi dengan cepat, “nah, kalau kita menolak dengan unjuk rasa sama saja bunuh diri. Bisa-bisa sekolah makin yakin untuk tetap menutupnya,” lanjutnya.

Selain itu mereka juga sudah mendatangi beberapa guru. Tapi, hanya Pak Haris dan Pak Rahmat yang menandatangani. “Ya, Bapak juga setuju. Seharusnya sekolah tidak gegabah membuat keputusan. Yang Bapak tahu, selama ini justru anak-anak rohis yang mengharumkan nama sekolah. Berprestasi dan tidak ikut pergaulan yang nggak jelas,” begitu ujar Pak Haris. Sementara guru-guru yang lain bilang, ini sudah kebijakan sekolah, sebaiknya kalian ikuti saja. Tidak ada yang bisa mengubah keputusan Pak Kepala Sekolah. Kalau beliau bilang A, ya, A.

Dan lagi-lagi, itu sama sekali tidak menyurutkan langkah Aia, Raras, Azki, Panji dan Rizky. Tidak masalah jika guru-guru tidak mendukungnya. Tanda tangan sejumlah nyaris separuh siswa sekolah sudah lebih dari cukup untuk tetap memperjuangkan kembali GARIS.
***
Bagian 9 | Surat Petaka [Part I]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.


Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar