“Dek, kita udah lebih dari setengah jam
nunggu. Kok, Ibu belum datang juga,
ya?”
Pertanyaan Bi Tiah membubarkan lamunan
Aia. Diliriknya jam yang melingkar di tangan kiri. Bi Tiah benar. Mereka sudah cukup lama
menunggu. “Sebentar lagi mungkin, Bi,” sahut Aia.
Aia menggigit bibir. Cemas. Kira-kira … Bunda masih marah
nggak, ya? Ah, ini karena surat panggilan yang datang minggu
lalu. Surat panggilan? Tepatnya
surat petaka -Aia
lebih suka menyebutnya demikian- dari sekolah untuk Bunda.
Minggu lalu, 23 Oktober 2012
“Cahaya!”
Kejutan! Sore itu Bunda pulang bahkan
sebelum jam pulang kerjanya orang normal.
“Cahaya!” teriak Bunda lebih kencang.
“Ya, Bun …,” Aia yang baru selesai sholat Ashar
buru-buru menyahut seraya berjalan keluar ruang sholat. Aia mencium sesuatu
yang tidak beres saat mendengar nama lengkapnya. Namun, ia segera usir perasaan
itu dan berusaha bersikap biasa-biasa saja. “Eh,
kok tumben Bunda pulang
cepat?”
“Kamu buat ulah apa di sekolah?!” tanya Bunda yang berdiri
seraya bersedekap satu meter di hadapan Aia.
Langkah Aia terhenti di bawah bingkai
pintu. Menyandarkan bahunya
di sana seraya mengerutkan dahi. Wajahnya bingung. Tidak mengerti apa yang
Bunda maksud. Yang jelas ini pertanda bahwa
memang ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Aia menggeleng pelan. Ulah
apa? Seingatnya ia tidak melakukan kesalahan apa pun di sekolah.
“Nggak
ada?!” desis Bunda sinis. Menunjukkan sebuah amplop putih dengan kop sekolah
yang sudah pasti isinya sebuah surat.
Surat apa itu? Kenapa Bunda tiba-tiba
marah? Aia bertanya-tanya. Perlahan mendekat.
Mengambil amplop dari tangan Bunda. Lalu
segera membuka dan membacanya dengan cepat dan berulang kali. Surat panggilan.
“Bunda sudah pengalaman dengan surat
seperti itu, Aia!
Nggak mungkin sekolah buat surat panggilan kalau bukan karena kamu buat masalah
di sekolah!”
Tentu saja maksud Bunda pengalaman
menerima surat panggilan dari sekolah Adam dulu. Siang tadi Bi Tiah menelepon Bunda, memberitahu bahwa ada surat dari sekolah.
Kurir yang mengantarkan surat itu bilang
kalau ia harus memastikan surat itu sampai langsung ke tangan orang tua murid.
Tidakkah itu berarti bahwa putrinya membuat masalah besar di sekolah? Mengejutkannya
surat itu datang dari sekolah Aia, putrinya yang selama ini tidak pernah terlihat bermasalah.
Aia tertegun. Mulai menyadari. Ya
Allah! Pantas saja Bunda marah. Kacau! Bunda pasti akan lebih marah kalau tahu alasan
sekolah memanggilnya! Bagaimana ini?!
Aia tahu semua maksudnya. Ia tahu benar
alasan sekolah membuat surat panggilan untuk Bunda. Pasti karena itu! Karena petisi dan pengumpulan tanda
tangan kemarin! Pak Kepala Sekolah
memang marah besar dengan tindakan yang mereka lakukan.
“Apa-apaan kalian?! Bapak kan sudah bilang,
jangan memprovokasi siswa yang lain!” begitu teriak Pak Kepala Sekolah sesaat
setelah menerima petisi dan pengumpulan tanda tangan penolakan penutupan rohis
dari Aia, Raras dan Azki. Panji dan Rizky tidak ikut waktu itu, karena ada tugas
kelompok yang harus segera diselesaikan katanya.
Kepala Sekolah menatap tajam
tiga siswinya. Geram. Bahkan sedetik kemudian melempar
setumpuk kertas pengumpulan tanda tangan yang tersusun rapi itu ke pojok ruangan.
Aia, Raras dan Azki kontan tertunduk. Usaha mereka satu minggu
dilempar begitu saja. Seolah itu hanya tumpukkan kertas tak berarti. Perasaan mereka berantakan. Sama berantakannya dengan
kertas-kertas di pojok ruangan itu. Namun, saat melihat wajah
geram Kepala Sekolah, hati gentar
juga. Terlebih
Azki, wajahnya pucat begitu kertas-kertas itu dilempar.
Aia memejamkan mata beberapa saat,
berusaha menguasai diri. Perlahan mengangkat wajah, “Tapi Pak, kami menolaknya
dengan baik-baik. Kami juga menuliskan alasan kami menolak penutupan rohis. Apa sekolah
tidak bisa mempertimbangkannya?”
“Oh ya?! Baik! Karena kalian tidak mau
mendengarkan Bapak. Biar Bapak panggil orang tua kalian!” begitu kalimat
terakhir Pak Kepala Sekolah.
Artinya, bisa dipastikan tidak hanya
Bunda, orang tua Raras dan Azki pun sudah menerima surat petaka itu. Karena
mereka bertiga lah
yang menyerahkan kumpulan tanda tangan itu ke kepala sekolah.
“Sudah ingat apa kesalahanmu, Ai?!”
Bunda duduk di
sofa ruang tengah seraya menyeka dahi. Pagi ini ia sudah sangat pusing dengan klien yang
tiba-tiba memutuskan sepihak kerjasama dengan perusahaan tempat Bunda bekerja.
Maka surat panggilan itu dengan mudahnya menyulut kemarahan Bunda.
Aia menghela napas berat, takut-takut
menghampiri Bunda. Percuma saja menyembunyikannya. Toh, Bunda tetap akan
tahu semuanya besok dari sekolah. Jadi, lebih baik aku sendiri yang
mengatakannya sekarang, ucapnya dalam hati. Menguatkan diri. Selang
beberapa detik kemudian, setelah dirasanya Bunda mereda. Aia membuka suara.
***
“Baik, Pak. Kami mohon maaf atas
kelancangan anak-anak kami,” ucap Bunda mewakili yang lain. Selain Bunda,
datang juga Bapak Raras dan Mama Azki. Kepala Sekolah baru saja menyampaikan
alasan sekolah memanggil mereka. Juga menyampaikan bahwa ketiga anak mereka
akan diskors satu minggu.
“Tapi, saya pikir mereka menolaknya dengan baik-baik.
Apa sekolah tidak bisa mempertimbangkannya?” Bunda mencoba menawar. Maksudnya,
apa mereka benar-benar harus diskors? Bukankah peringatan saja sudah cukup?
Pak Kepala Sekolah tersenyum kecut, ia
pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.
Sementara Bapak Raras menanggapinya
dengan tersenyum bijak,
“Mohon maaf sebelumnya, Pak.
Sebenarnya, menurut saya itu satu hal yang wajar.
Selama ini kan, mereka aktif di rohis.
Mereka sudah merasa rohis adalah wadah yang tepat
untuk mereka. Karena
secara tiba-tiba pihak sekolah menutupnya
begitu saja. Ya, tentu mereka merasa perlu berbuat sesuatu. Sama seperti
seandainya Bapak tiba-tiba dicopot dari jabatan kepala sekolah. Apa Bapak akan
terima begitu saja?”
“Bapak ini bagaimana, anak-anak
melanggar peraturan sekolah kok dibilang wajar?!” sela Mama Azki.
Sebenarnya Bunda sedang berusaha
menengahi Bapak Raras dan Mama Azki-yang sejak tadi selisih pendapat. Bunda
berusaha mempercepat pertemuan. Hari ini Bunda sangat sibuk. Masih ada meeting.
Masih harus menyelesaikan laporan.
“Kami paham situasinya. Kami mohon
kebijakan Pak Kepala Sekolah. Ke
depan, kami akan lebih mengawasi anak-anak,” ucap Bunda lagi. Yang lain
manggut-manggut setuju.
“Ya, baik. Untuk kali ini saya maklumi.
Tapi, saya sangat berharap Bapak dan Ibu dapat membantu sekolah mengawasi
anak-anak. Terus terang saya khawatir dengan mereka,” sahut Kepala Sekolah,
“apalagi ... mereka bertigalah yang memprovokasi siswa lainnya menolak
kebijakan sekolah. Mungkin kali ini cuma pengumpulan tanda tangan. Tapi, jika
dibiarkan bukan tidak mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang tidak kita
inginkan. Bapak-Ibu harus lebih mengawasi mereka. Saya mendapat laporan mereka
bahkan tidak mau memakai seragam olahraga saat pelajaran olahraga berlangsung.
Kalau mereka masih melanggarnya, mohon maaf, sekolah tidak segan-segan untuk
benar-benar memberi sanksi skors atau bahkan drop out.”
Sementara itu, di luar ruangan, Aia,
Raras, Azki tengah mengendap-endap,
mengintip pertemuan orang tua mereka lewat kaca jendela. Mendengarkan
pembicaraan. Kecemasan tergurat jelas
di wajah ketiganya.
***
Eh, ada apa sih? Kok kita disuruh kumpul
di lapangan?
Sepuluh pengurus GARIS kasak-kusuk ketika mendengar nama mereka disebut
lewat pengeras suara. Mereka
diminta berkumpul di lapangan. Dengan penuh tanda
tanya dan takut mereka berdiri di tengah lapangan yang cukup panas siang itu.
Sementara di depan ruang kelas
masing-masing, semua siswa menonton. Bahkan,
guru sengaja tidak masuk kelas agar semua siswa bisa menyaksikan kejadian ini.
Selang beberapa menit kemudian Pak Kepala Sekolah datang dengan wajah garang.
Pertemuannya dengan orang tua Aia, Raras dan Azki sudah selesai sejak satu jam yang lalu.
“Kalian tahu kenapa Bapak mengumpulkan
kalian di sini?!” tanya Pak Kepala Sekolah galak
setelah tiga menit hanya mondar-mandir sambil menatap galak pada sepuluh siswa
yang menunduk dalam-dalam. Tidak berani menatap Pak Kepala Sekolah. Sementara
Pak Kepala Sekolah terus mengoceh, membeberkan alasan kenapa mereka dikumpulkan
di lapangan.
“Azkiya
Rahma, Cahaya
Ramadhani, Raras Kinasih!” teriak Pak Kepala Sekolah kemudian,
“maju kalian!”
Yang dipanggil gemetar namun berusaha
untuk tetap tegar. “Ayo, supaya semua cepat selesai. Insya Allah semua akan
baik-baik saja. Innallaha Ma’anaa,” Raras berisik meyakinkan Aia dan
Azki untuk tetap maju.
Sementara yang lain sibuk berbisik, wah,
gawat! Skakmat mereka
bertiga!
Pak Kepala Sekolah terus mengoceh.
Menumpahkan seluruh kekesalannya pada tiga siswi yang disebutnya “provokator”.
Sementara Aia, Raras dan Azki makin merapat. Mentransfer pesan lewat genggaman
tangan satu sama lain. Pesannya, bismillah, innallaha ma’ana.
“Kalian tahu, kalau Bapak mau Bapak bisa
saja men-DO kalian sekarang juga!” teriak Pak Kepala Sekolah lagi. Sedetik
kemudian menoleh ke arah tujuh siswa lainnya, “kalian! Sampai ada yang berani
ikut-ikutan lagi dengan tiga provokator ini, Bapak juga tidak segan-segan
men-DO kalian semua! Paham kalian?!”
Semua menunduk, bergumam “Paham, Pak
....”
“Paham?!” teriak Pak Kepala Sekolah
lagi.
“Paham, Pak!” sahut mereka lebih keras.
Setelah itu, semua bubar. Kecuali Aia,
Raras dan Azki. Mereka dihukum berdiri di tengah lapangan sampai bel pulang
berbunyi.
“Benar, kan?! Kepala Sekolah
nggak mungkin tinggal diam!” rutuk Azki. Sejak awal ia sudah cemas luar biasa.
Sekarang, lihat apa yang mereka dapat?
Aia menghentakkan kaki ke tanah,
mengembungkan pipi. “Nggak adil! Siswa yang tawuran aja nggak pernah dihukum
sebegininya! Kita? Menolak baik-baik penutupan
rohis, orang tua dipanggil! Dijemur pula!”
“Sudah … jangan
buang-buang energi! Mungkin Allah ingin menguji kita,” Raras mengingatkan sambil berusaha tenang dan menikmati.
“Ya, benar juga. Kita masih satu jam
lagi berdiri di sini. Jadi harus hemat energi,” Azki menimpali.
Aia beristighfar. Menenangkan hati.
***
Masih terasa pegal-pegal akibat berdiri
di lapangan tadi, Aia dikagetkan dengan suara Bunda yang kembali berseru-seru
memanggilnya dengan nama lengkap. Bunda baru saja pulang malam itu. Aia menarik
napas dalam-dalam. Persiapan mental.
“Bunda sudah ingatkan, bukan?! Jangan buat
macam-macam di sekolah!”
bentak Bunda. Sebentar berdiri-melipat tangan. Sebentar mondar-mandir,
berhenti, mondar-mandir lagi. Entah sudah berapa banyak kalimat yang Bunda lontarkan sejak Aia menghadap Bunda di ruang tengah satu jam
lalu.
Aia menundukkan kepala dalam-dalam. Cuma
bisa bilang, “Maaf, Bun.” Aia benar-benar speechless menghadapi Bunda.
Mungkin ia sering melihat Bunda memarahi Adam. Tapi, ini kali pertama Bunda
semarah ini padanya. Lebih dari saat Bunda menerima surat petaka itu.
“Provokator?! Apa yang ada
dipikiranmu, Ai?!” suara Bunda kian meninggi.
Membuat Bi Tiah yang baru saja masuk kamar
makin penasaran. Akhirnya lari keluar kamar, mengintip dari
ruang makan. “Apa mentormu yang menyuruh kalian melakukan ini?!”
Aia terkesiap, segera menoleh ke arah
Bunda, “Bukan, Bun! Mentor Aia nggak
tahu apa-apa soal ini,” bantah Aia. Zia bahkan tidak tahu mereka melakukan ini.
Tidak ada satupun yang ingat untuk memberi tahu Zia. “Aia
dan teman-teman melakukan ini atas inisiatif, eh ... inisiatif Aia,” Aia
kembali menundukkan kepala.
Bunda terbelalak. Menggeleng tidak
percaya, ya Allah, ini ide Aia?! artinya provokator sebenarnya justru
putrinya sendiri?!
“Aia
dan teman-teman melakukan itu semua, karena menurut
kami kebijakan sekolah itu nggak
tepat, Bun …. Seharusnya sekolah nggak
terpengaruh atas pemberitaan itu! Toh, selama ini rohis kami nggak pernah
bermasalah, Aia juga nggak pernah diajari apa-apa selain Islam,” Aia berusaha
membela diri.
“Nggak! Keputusan sekolah tepat! Sangat
tepat! Kalau kamu bisa mengeluarkan kata-kata barusan, bisa memprovokasi
teman-teman di sekolah, itu artinya memang ada yang salah dengan rohis di
sekolah!” potong Bunda.
“Ta, tapi, tapi Aia dan teman-teman
menolaknya dengan baik-baik kok, Bun,”
Aia berusaha membela diri meski terbata-bata.
Matanya mulai berkaca-kaca sekarang. Ada apa dengan Bunda? Bukankah dulu
Bunda senang bahkan mendukungnya bergabung di rohis? Bukankah seharusnya
sekarang Bunda juga mendukungnya memperjuangkan kembali rohis?
“Astaghfirullah, Cahaya! Memprovokasi
siswa lain menolak kebijakan sekolah adalah kesalahan besar, kamu tahu itu?!
Bahkan Abang nggak pernah
melakukannya!” hardik Bunda.
Aia terperanjat-memejamkan mata sesaat,
hardikkan Bunda mengagetkannya. Jangankan Aia, Bi Tiah yang masih sibuk
mengintip sejak tadi sibuk mengurut dada sambil istighfar. Baru kali ini ia
melihat Bunda begitu marah pada Aia.
“Tante Nur benar, harusnya Bunda
mengawasimu. Tidak lantas merasa aman hanya karena kamu aktif di rohis!”
ucapnya lagi. “Bahkan harusnya Bunda
tidak mengizinkanmu sejak awal!”
Aia
menitikkan air mata. Tidak menduga kalau ini akan
membuat Bunda sangat marah. Ya Allah, apakah yang ia lakukan benar-benar salah
bahkan lebih salah dari apa yang pernah Adam lakukan?! Bulir-bulir itu juga jatuh
karena di saat seperti ini yang Bunda sebut justru Nur. Kenapa Bunda selalu setuju dengan semua yang orang itu
katakan?!
Bunda tertegun melihat Aia menangis. Sesaat terhenyak, tidakkah marahnya berlebihan? Mendadak
perasaan mengganggu itu muncul lagi, perasaan bersalah. Bagaimanapun ini
juga kelalaiannya sebagai seorang Ibu. Seharusnya ia mengambil pelajaran dari
pengalaman sebelumnya dengan Adam. Seharusnya ia lebih memperhatikan
anak-anaknya.
“Aia minta maaf, Bunda,” ucap Aia sambil
menghapus air mata. Berusaha
mengendalikan emosi. “A, Aia, Aia cuma
....”
“Cuma
ingin membuat Bunda malu! Begitu?!” potong Bunda. Perasaan bersalah itu
tiba-tiba pergi entah kemana.
Aia menggeleng. Ingin menjawab, tapi
tenggorokannya tercekat. Tidak sanggup mengatakan apa pun.
“Ada apa sih, ribut-ribut?” itu suara
Adam yang baru pulang.
Bertanya dengan
santainya.
Seolah tidak melihat
ketegangan yang terjadi antara Bunda dan Aia.
Bunda menghela napas, ini lagi, apa
Adam tidak bisa peka sedikit? Suasana sedang tegang, ia bertanya sesantai itu?!
“Sudahlah! Bunda capek! Sudah harus
kerja seharian di kantor! Masih juga harus mengurus anak-anak yang nggak berhenti buat masalah
di sekolah!” keluh Bunda. Ini sungguh-sungguh. Bunda sungguh merasa lelah
dengan semua.
Adam menatap Aia dan Bunda bergantian.
Mengangkat bahu lalu ngeloyor ke kamar, berlagak tidak peduli meski hati kecilnya
bertanya-tanya. Sangat ingin tahu ada apa sebenarnya sampai-sampai Bunda
berkata seperti itu? Sengaja atau tidak, Adam tetap merasa tersinggung dengan
kalimat Bunda barusan.
“Bunda harap ini yang terakhir. Bunda nggak
mau kejadian ini terulang lagi!” itu kalimat terakhir Bunda sebelum akhirnya
melangkah menuju kamar, meninggalkan Aia begitu saja. Bunda sudah amat lelah.
Lelah fisik juga pikiran.
Aia hanya menatap nanar Bunda tanpa tahu
harus berbuat apa. Astaghfirullah, ya Allah, kenapa masalahnya jadi begini?
Sekarang bagaimana dengan Raras, Azki? Jangan-jangan mereka juga mengalami hal
yang sama? Aia membatin.
Bi Tiah yang sejak tadi mengintip, segera menghampiri Aia.
Membawakannya beberapa lembar tissue untuk selanjutnya melakukan wawancara
eksklusif ala Bi Tiah. Mencari tahu masalah sebenarnya.
***
Bagian 8 | Garis Kritis [Part II]
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, April 29, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar