Sabtu, 29 April 2017

Jakarta, 28 Oktober 2012 | Pkl 19.10 WIB
“Dek, kita udah lebih dari setengah jam nunggu. Kok, Ibu belum datang juga, ya?”

Pertanyaan Bi Tiah membubarkan lamunan Aia. Diliriknya jam yang melingkar di tangan kiri. Bi Tiah benar. Mereka sudah cukup lama menunggu. “Sebentar lagi mungkin, Bi,” sahut Aia.

Aia menggigit bibir. Cemas. Kira-kira Bunda masih marah nggak, ya? Ah, ini karena surat panggilan yang datang minggu lalu. Surat panggilan? Tepatnya surat petaka -Aia lebih suka menyebutnya demikian- dari sekolah untuk Bunda.

Minggu lalu, 23 Oktober 2012

“Cahaya!”

Kejutan! Sore itu Bunda pulang bahkan sebelum jam pulang kerjanya orang normal.

“Cahaya!” teriak Bunda lebih kencang.

“Ya, Bun …,” Aia yang baru selesai sholat Ashar buru-buru menyahut seraya berjalan keluar ruang sholat. Aia mencium sesuatu yang tidak beres saat mendengar nama lengkapnya. Namun, ia segera usir perasaan itu dan berusaha bersikap biasa-biasa saja. Eh, kok tumben Bunda pulang cepat?”

“Kamu buat ulah apa di sekolah?!” tanya Bunda yang berdiri seraya bersedekap satu meter di hadapan Aia.

Langkah Aia terhenti di bawah bingkai pintu. Menyandarkan bahunya di sana seraya mengerutkan dahi. Wajahnya bingung. Tidak mengerti apa yang Bunda maksud. Yang jelas ini pertanda bahwa memang ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Aia menggeleng pelan. Ulah apa? Seingatnya ia tidak melakukan kesalahan apa pun di sekolah.

Nggak ada?!” desis Bunda sinis. Menunjukkan sebuah amplop putih dengan kop sekolah yang sudah pasti isinya sebuah surat.

Surat apa itu? Kenapa Bunda tiba-tiba marah? Aia bertanya-tanya. Perlahan mendekat. Mengambil amplop dari tangan Bunda. Lalu segera membuka dan membacanya dengan cepat dan berulang kali. Surat panggilan.

“Bunda sudah pengalaman dengan surat seperti itu, Aia! Nggak mungkin sekolah buat surat panggilan kalau bukan karena kamu buat masalah di sekolah!”

Tentu saja maksud Bunda pengalaman menerima surat panggilan dari sekolah Adam dulu. Siang tadi Bi Tiah menelepon Bunda, memberitahu bahwa ada surat dari sekolah. Kurir yang mengantarkan surat itu bilang kalau ia harus memastikan surat itu sampai langsung ke tangan orang tua murid. Tidakkah itu berarti bahwa putrinya membuat masalah besar di sekolah? Mengejutkannya surat itu datang dari sekolah Aia, putrinya yang selama ini tidak pernah terlihat bermasalah.

Aia tertegun. Mulai menyadari. Ya Allah! Pantas saja Bunda marah. Kacau! Bunda pasti akan lebih marah kalau tahu alasan sekolah memanggilnya! Bagaimana ini?!

Aia tahu semua maksudnya. Ia tahu benar alasan sekolah membuat surat panggilan untuk Bunda. Pasti karena itu! Karena petisi dan pengumpulan tanda tangan kemarin! Pak Kepala Sekolah memang marah besar dengan tindakan yang mereka lakukan.

“Apa-apaan kalian?! Bapak kan sudah bilang, jangan memprovokasi siswa yang lain!” begitu teriak Pak Kepala Sekolah sesaat setelah menerima petisi dan pengumpulan tanda tangan penolakan penutupan rohis dari Aia, Raras dan Azki. Panji dan Rizky tidak ikut waktu itu, karena ada tugas kelompok yang harus segera diselesaikan katanya.

Kepala Sekolah menatap tajam tiga siswinya. Geram. Bahkan sedetik kemudian melempar setumpuk kertas pengumpulan tanda tangan yang tersusun rapi itu ke pojok ruangan.

Aia, Raras dan Azki kontan tertunduk. Usaha mereka satu minggu dilempar begitu saja. Seolah itu hanya tumpukkan kertas tak berarti. Perasaan mereka berantakan. Sama berantakannya dengan kertas-kertas di pojok ruangan itu. Namun, saat melihat wajah geram Kepala Sekolah, hati gentar juga. Terlebih Azki, wajahnya pucat begitu kertas-kertas itu dilempar.

Aia memejamkan mata beberapa saat, berusaha menguasai diri. Perlahan mengangkat wajah, “Tapi Pak, kami menolaknya dengan baik-baik. Kami juga menuliskan alasan kami menolak penutupan rohis. Apa sekolah tidak bisa mempertimbangkannya?”

“Oh ya?! Baik! Karena kalian tidak mau mendengarkan Bapak. Biar Bapak panggil orang tua kalian!” begitu kalimat terakhir Pak Kepala Sekolah.

Artinya, bisa dipastikan tidak hanya Bunda, orang tua Raras dan Azki pun sudah menerima surat petaka itu. Karena mereka bertiga lah yang menyerahkan kumpulan tanda tangan itu ke kepala sekolah.

“Sudah ingat apa kesalahanmu, Ai?!”

Bunda duduk di sofa ruang tengah seraya menyeka dahi. Pagi ini ia sudah sangat pusing dengan klien yang tiba-tiba memutuskan sepihak kerjasama dengan perusahaan tempat Bunda bekerja. Maka surat panggilan itu dengan mudahnya menyulut kemarahan Bunda.

Aia menghela napas berat, takut-takut menghampiri Bunda. Percuma saja menyembunyikannya. Toh, Bunda tetap akan tahu semuanya besok dari sekolah. Jadi, lebih baik aku sendiri yang mengatakannya sekarang, ucapnya dalam hati. Menguatkan diri. Selang beberapa detik kemudian, setelah dirasanya Bunda mereda. Aia membuka suara.

***

“Baik, Pak. Kami mohon maaf atas kelancangan anak-anak kami,” ucap Bunda mewakili yang lain. Selain Bunda, datang juga Bapak Raras dan Mama Azki. Kepala Sekolah baru saja menyampaikan alasan sekolah memanggil mereka. Juga menyampaikan bahwa ketiga anak mereka akan diskors satu minggu.

“Tapi, saya pikir mereka menolaknya dengan baik-baik. Apa sekolah tidak bisa mempertimbangkannya?” Bunda mencoba menawar. Maksudnya, apa mereka benar-benar harus diskors? Bukankah peringatan saja sudah cukup?

Pak Kepala Sekolah tersenyum kecut, ia pernah mendengar kalimat itu sebelumnya.

Sementara Bapak Raras menanggapinya dengan tersenyum bijak, “Mohon maaf sebelumnya, Pak. Sebenarnya, menurut saya itu satu hal yang wajar. Selama ini kan, mereka aktif di rohis. Mereka sudah merasa rohis adalah wadah yang tepat untuk mereka. Karena secara tiba-tiba pihak sekolah menutupnya begitu saja. Ya, tentu mereka merasa perlu berbuat sesuatu. Sama seperti seandainya Bapak tiba-tiba dicopot dari jabatan kepala sekolah. Apa Bapak akan terima begitu saja?”

“Bapak ini bagaimana, anak-anak melanggar peraturan sekolah kok dibilang wajar?!” sela Mama Azki.

Sebenarnya Bunda sedang berusaha menengahi Bapak Raras dan Mama Azki-yang sejak tadi selisih pendapat. Bunda berusaha mempercepat pertemuan. Hari ini Bunda sangat sibuk. Masih ada meeting. Masih harus menyelesaikan laporan.

“Kami paham situasinya. Kami mohon kebijakan Pak Kepala Sekolah. Ke depan, kami akan lebih mengawasi anak-anak,” ucap Bunda lagi. Yang lain manggut-manggut setuju.

“Ya, baik. Untuk kali ini saya maklumi. Tapi, saya sangat berharap Bapak dan Ibu dapat membantu sekolah mengawasi anak-anak. Terus terang saya khawatir dengan mereka,” sahut Kepala Sekolah, “apalagi ... mereka bertigalah yang memprovokasi siswa lainnya menolak kebijakan sekolah. Mungkin kali ini cuma pengumpulan tanda tangan. Tapi, jika dibiarkan bukan tidak mungkin mereka akan melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan. Bapak-Ibu harus lebih mengawasi mereka. Saya mendapat laporan mereka bahkan tidak mau memakai seragam olahraga saat pelajaran olahraga berlangsung. Kalau mereka masih melanggarnya, mohon maaf, sekolah tidak segan-segan untuk benar-benar memberi sanksi skors atau bahkan drop out.”

Sementara itu, di luar ruangan, Aia, Raras, Azki tengah mengendap-endap, mengintip pertemuan orang tua mereka lewat kaca jendela. Mendengarkan pembicaraan. Kecemasan tergurat jelas di wajah ketiganya.

***

Eh, ada apa sih? Kok kita disuruh kumpul di lapangan?

Sepuluh pengurus GARIS kasak-kusuk ketika mendengar nama mereka disebut lewat pengeras suara. Mereka diminta berkumpul di lapangan. Dengan penuh tanda tanya dan takut mereka berdiri di tengah lapangan yang cukup panas siang itu.

Sementara di depan ruang kelas masing-masing, semua siswa menonton. Bahkan, guru sengaja tidak masuk kelas agar semua siswa bisa menyaksikan kejadian ini. Selang beberapa menit kemudian Pak Kepala Sekolah datang dengan wajah garang. Pertemuannya dengan orang tua Aia, Raras dan Azki sudah selesai sejak satu jam yang lalu.

“Kalian tahu kenapa Bapak mengumpulkan kalian di sini?!” tanya Pak Kepala Sekolah galak setelah tiga menit hanya mondar-mandir sambil menatap galak pada sepuluh siswa yang menunduk dalam-dalam. Tidak berani menatap Pak Kepala Sekolah. Sementara Pak Kepala Sekolah terus mengoceh, membeberkan alasan kenapa mereka dikumpulkan di lapangan.

“Azkiya Rahma, Cahaya Ramadhani, Raras Kinasih!” teriak Pak Kepala Sekolah kemudian, “maju kalian!”

Yang dipanggil gemetar namun berusaha untuk tetap tegar. “Ayo, supaya semua cepat selesai. Insya Allah semua akan baik-baik saja. Innallaha Ma’anaa,” Raras berisik meyakinkan Aia dan Azki untuk tetap maju.

Sementara yang lain sibuk berbisik, wah, gawat! Skakmat mereka bertiga!

Pak Kepala Sekolah terus mengoceh. Menumpahkan seluruh kekesalannya pada tiga siswi yang disebutnya “provokator”. Sementara Aia, Raras dan Azki makin merapat. Mentransfer pesan lewat genggaman tangan satu sama lain. Pesannya, bismillah, innallaha ma’ana.

“Kalian tahu, kalau Bapak mau Bapak bisa saja men-DO kalian sekarang juga!” teriak Pak Kepala Sekolah lagi. Sedetik kemudian menoleh ke arah tujuh siswa lainnya, “kalian! Sampai ada yang berani ikut-ikutan lagi dengan tiga provokator ini, Bapak juga tidak segan-segan men-DO kalian semua! Paham kalian?!”

Semua menunduk, bergumam “Paham, Pak ....”

“Paham?!” teriak Pak Kepala Sekolah lagi.

“Paham, Pak!” sahut mereka lebih keras.

Setelah itu, semua bubar. Kecuali Aia, Raras dan Azki. Mereka dihukum berdiri di tengah lapangan sampai bel pulang berbunyi.

“Benar, kan?! Kepala Sekolah nggak mungkin tinggal diam!” rutuk Azki. Sejak awal ia sudah cemas luar biasa. Sekarang, lihat apa yang mereka dapat?

Aia menghentakkan kaki ke tanah, mengembungkan pipi. “Nggak adil! Siswa yang tawuran aja nggak pernah dihukum sebegininya! Kita? Menolak baik-baik penutupan rohis, orang tua dipanggil! Dijemur pula!”

“Sudah jangan buang-buang energi! Mungkin Allah ingin menguji kita,” Raras mengingatkan sambil berusaha tenang dan menikmati.

“Ya, benar juga. Kita masih satu jam lagi berdiri di sini. Jadi harus hemat energi,” Azki menimpali.
Aia beristighfar. Menenangkan hati.

***

Masih terasa pegal-pegal akibat berdiri di lapangan tadi, Aia dikagetkan dengan suara Bunda yang kembali berseru-seru memanggilnya dengan nama lengkap. Bunda baru saja pulang malam itu. Aia menarik napas dalam-dalam. Persiapan mental.

“Bunda sudah ingatkan, bukan?! Jangan buat macam-macam di sekolah!” bentak Bunda. Sebentar berdiri-melipat tangan. Sebentar mondar-mandir, berhenti, mondar-mandir lagi. Entah sudah berapa banyak kalimat yang Bunda lontarkan sejak Aia menghadap Bunda di ruang tengah satu jam lalu.

Aia menundukkan kepala dalam-dalam. Cuma bisa bilang, “Maaf, Bun.” Aia benar-benar speechless menghadapi Bunda. Mungkin ia sering melihat Bunda memarahi Adam. Tapi, ini kali pertama Bunda semarah ini padanya. Lebih dari saat Bunda menerima surat petaka itu.

“Provokator?! Apa yang ada dipikiranmu, Ai?!” suara Bunda kian meninggi. Membuat Bi Tiah yang baru saja masuk kamar makin penasaran. Akhirnya lari keluar kamar, mengintip dari ruang makan. “Apa mentormu yang menyuruh kalian melakukan ini?!”

Aia terkesiap, segera menoleh ke arah Bunda, “Bukan, Bun! Mentor Aia nggak tahu apa-apa soal ini,” bantah Aia. Zia bahkan tidak tahu mereka melakukan ini. Tidak ada satupun yang ingat untuk memberi tahu Zia. “Aia dan teman-teman melakukan ini atas inisiatif, eh ... inisiatif Aia,” Aia kembali menundukkan kepala.

Bunda terbelalak. Menggeleng tidak percaya, ya Allah, ini ide Aia?! artinya provokator sebenarnya justru putrinya sendiri?!

Aia dan teman-teman melakukan itu semua, karena menurut kami kebijakan sekolah itu nggak tepat, Bun …. Seharusnya sekolah nggak terpengaruh atas pemberitaan itu! Toh, selama ini rohis kami nggak pernah bermasalah, Aia juga nggak pernah diajari apa-apa selain Islam,” Aia berusaha membela diri.

“Nggak! Keputusan sekolah tepat! Sangat tepat! Kalau kamu bisa mengeluarkan kata-kata barusan, bisa memprovokasi teman-teman di sekolah, itu artinya memang ada yang salah dengan rohis di sekolah!” potong Bunda.

“Ta, tapi, tapi Aia dan teman-teman menolaknya dengan baik-baik kok, Bun,” Aia berusaha membela diri meski terbata-bata. Matanya mulai berkaca-kaca sekarang. Ada apa dengan Bunda? Bukankah dulu Bunda senang bahkan mendukungnya bergabung di rohis? Bukankah seharusnya sekarang Bunda juga mendukungnya memperjuangkan kembali rohis?

“Astaghfirullah, Cahaya! Memprovokasi siswa lain menolak kebijakan sekolah adalah kesalahan besar, kamu tahu itu?! Bahkan Abang nggak pernah melakukannya!” hardik Bunda.

Aia terperanjat-memejamkan mata sesaat, hardikkan Bunda mengagetkannya. Jangankan Aia, Bi Tiah yang masih sibuk mengintip sejak tadi sibuk mengurut dada sambil istighfar. Baru kali ini ia melihat Bunda begitu marah pada Aia.

“Tante Nur benar, harusnya Bunda mengawasimu. Tidak lantas merasa aman hanya karena kamu aktif di rohis!” ucapnya lagi. “Bahkan harusnya Bunda tidak mengizinkanmu sejak awal!”

Aia menitikkan air mata. Tidak menduga kalau ini akan membuat Bunda sangat marah. Ya Allah, apakah yang ia lakukan benar-benar salah bahkan lebih salah dari apa yang pernah Adam lakukan?! Bulir-bulir itu juga jatuh karena di saat seperti ini yang Bunda sebut justru Nur. Kenapa Bunda selalu setuju dengan semua yang orang itu katakan?!

Bunda tertegun melihat Aia menangis. Sesaat terhenyak, tidakkah marahnya berlebihan? Mendadak perasaan mengganggu itu muncul lagi, perasaan bersalah. Bagaimanapun ini juga kelalaiannya sebagai seorang Ibu. Seharusnya ia mengambil pelajaran dari pengalaman sebelumnya dengan Adam. Seharusnya ia lebih memperhatikan anak-anaknya.

“Aia minta maaf, Bunda,” ucap Aia sambil menghapus air mata. Berusaha mengendalikan emosi. “A, Aia, Aia cuma ....”

Cuma ingin membuat Bunda malu! Begitu?!” potong Bunda. Perasaan bersalah itu tiba-tiba pergi entah kemana.

Aia menggeleng. Ingin menjawab, tapi tenggorokannya tercekat. Tidak sanggup mengatakan apa pun.
“Ada apa sih, ribut-ribut?” itu suara Adam yang baru pulang. Bertanya dengan santainya. Seolah tidak melihat ketegangan yang terjadi antara Bunda dan Aia.

Bunda menghela napas, ini lagi, apa Adam tidak bisa peka sedikit? Suasana sedang tegang, ia bertanya sesantai itu?!

“Sudahlah! Bunda capek! Sudah harus kerja seharian di kantor! Masih juga harus mengurus anak-anak yang nggak berhenti buat masalah di sekolah!” keluh Bunda. Ini sungguh-sungguh. Bunda sungguh merasa lelah dengan semua.

Adam menatap Aia dan Bunda bergantian. Mengangkat bahu lalu ngeloyor ke kamar, berlagak tidak peduli meski hati kecilnya bertanya-tanya. Sangat ingin tahu ada apa sebenarnya sampai-sampai Bunda berkata seperti itu? Sengaja atau tidak, Adam tetap merasa tersinggung dengan kalimat Bunda barusan.

“Bunda harap ini yang terakhir. Bunda nggak mau kejadian ini terulang lagi!” itu kalimat terakhir Bunda sebelum akhirnya melangkah menuju kamar, meninggalkan Aia begitu saja. Bunda sudah amat lelah. Lelah fisik juga pikiran.

Aia hanya menatap nanar Bunda tanpa tahu harus berbuat apa. Astaghfirullah, ya Allah, kenapa masalahnya jadi begini? Sekarang bagaimana dengan Raras, Azki? Jangan-jangan mereka juga mengalami hal yang sama? Aia membatin.

Bi Tiah yang sejak tadi mengintip, segera menghampiri Aia. Membawakannya beberapa lembar tissue untuk selanjutnya melakukan wawancara eksklusif ala Bi Tiah. Mencari tahu masalah sebenarnya.

***

Bagian 8 | Garis Kritis [Part II]

Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad  Maswha Faizah.

0 komentar:

Posting Komentar