Dugaan Aia benar. Di teras depan rumah
Raras ....
Bapak mengajak Raras bicara di teras
rumah. Bapak memang tidak seperti Ibu yang kalau marah maka suaranya akan
meninggi. Bicara Bapak lebih tenang, tapi kata-katanya tegas. Tidak ada yang
berani membantah Bapak, apalagi
Raras. Dan kalau sudah menyangkut soal sekolah. Bapak selalu
langsung turun tangan. Apapun itu. Rapat orang tua. Pengambilan raport. Apalagi
tiba-tiba menerima surat panggilan. Kecuali pekerjaannya benar-benar tidak bisa
ditinggalkan, barulah Ibu yang datang.
Sejak satu jam lalu Bapak sudah panjang
lebar bicara tanpa memberi kesempatan Raras bicara apa lagi untuk membela diri. “Bapak nggak mau lagi
dengar kamu buat masalah di sekolah! Biarkan saja kalau sekolah mau membubarkan
rohis atau semua ekskul sekalian, kamu nggak
perlu ikut campur. Tugasmu sekarang cukup belajar!”
“Tapi, Pak, kalau kebijakan itu salah,
masa kita biarkan saja?” sela Raras sejurus kemudian menunduk karena melihat
Bapak melotot ke arahnya.
“Kamu boleh pilih, ikuti semua peraturan
sekolah. Sekolah bilang harus begini-begitu, pakai seragam ini-itu, seragam
olahraga juga pakai, ikuti semuanya! Atau kalau nggak mau, lebih baik keluar
sekalian dari sekolah?!” kata Bapak tegas. “Kamu juga harus jadi contoh yang
baik buat dua adikmu, Ras,” tambah Bapak.
“Makan dulu, Pak. Pasti lapar
kan habis ceramah,” Ibu yang tiba-tiba muncul dari dalam menegur. “Ceramah”
adalah sindiran Ibu tiap kali Bapak selesai menasihati anak-anaknya.
Raras menghela napas lega
saat Ibu datang. Ia sudah tidak kuat berhadapan dengan ketegasan Bapak. Walaupun
emosi Ibu mudah meninggi. Tapi, Ibu selalu tahu kapan Raras membutuhkannya.
***
Sekali lagi dugaan Aia benar. Di kamar
Azki ....
“Astaghfirullah, Ki! Memang, dari empat
anak Mama, kamu yang paling pintar.
Yang paling rajin shalat, ngaji. Tapi, seumur-umur Mama menyekolahkan anak,
baru kali ini Mama dipanggil kepala sekolah gara-gara bermasalah! Kamu pikir gampang
Papamu cari uang?! Kamu dimasukkan sekolah bukan buat jadi penentang di
sekolah! Sudah! Belajar saja yang benar! Nggak usah sok-sok-an menolak kebijakan
sekolah segala!” teriak Mama.
Mama memang paling tua
diantara orang tua Aia dan Raras. Mungkin itu sebabnya ia juga jadi yang paling
cerewet. Sejak Azki pulang, Mama tidak berhenti
memarahi anak bungsunya itu. Bahkan memarahi apa saja yang bisa dimarahi. Gelas
di atas kulkas,
dimarahi. Piring berantakan, dimarahi. Cucian yang lupa
dijemur karena Mama harus ke sekolah tadi pagi pun dimarahi. Padahal, apa coba
salah mereka? Berhenti sebentar,
lima belas menit kemudian kembali memaki.
Bahkan kakak laki-lakinya
yang baru pulang kuliah sore tadi juga kena marah. “Gara-gara lu, nih!!”
gerutunya. Ia dan Azki memang sering berselisih. Tidak seperti hubungan Azki
dengan dua kakak perempuannya. Sayangnya, mereka sudah berkeluarga dan tinggal
di rumah masing-masing. Azki benar-benar sendiri tanpa ada yang membela.
Bahkan malam
hari pun Mama masih merasa perlu mendatanginya
yang baru selesai shalat Isya’ di kamar.
“Siapa yang mau jadi penentang, Ma?”
Azki memberanikan diri menyahuti Mama pelan. Membalikkan posisi duduknya
menghadap Mama yang baru saja duduk di sisi tempat tidur.
“Ya terus buat apa kamu bikin pernyataan penolakan?! Mengumpulkan
tanda tangan siswa-siswa lain?! Mulai sekarang, kamu jangan lagi bergaul dengan
anak-anak yang nggak bener!”
“Azki nggak pernah bergaul dengan
anak-anak nggak benar,
Ma,” bantah Azki masih dengan suara pelan mengimbangi suara Mama yang kian
meninggi.
“Itu!
Teman-teman kamu yang
buat pernyataan penolakan itu?!”
“Itu kan Aia dan Raras. Mama kan, sudah
kenal dengan mereka.”
“Ya itu artinya mereka nggak benar!” sergah Mama, “sudah, jangan
jawab-jawab lagi! Mulai sekarang, jangan berteman dengan mereka lagi! Jangan
berteman dengan anak-anak yang hobinya buat masalah di sekolah! Terus apa tadi
kata kepala sekolah? Kalian nggak mau pakai seragam olahraga katanya?! Mulai
sekarang pakai itu seragam! Mengerti?!”
Azki terperanjat. Pakai seragam
olahraga?! Azki segera menggeleng, “Tapi, itu ....”
“Sudah!” Mama mengacungkan jari
telunjuknya, menahan Azki yang sebenarnya masih mau bicara. “Mama nggak mau
lagi dengar alasan apa pun! Patuhi semua peraturan sekolah! Apa pun! Jangan
buat susah orang tua lagi!”
“Sudahlah, Ma! Nggak capek
marah-marah terus? Memangnya Azki senang orang tuanya dipanggil sekolah?”
sebuah suara berat dari luar kamar menengahi.
Alhamdulilllah, Papa pulang! Azki tersenyum lebar. Dimarahi seharian membuat Azki
hampir lupa kalau masih punya Papa yang masih mendukungnya kalau urusan rohis.
***
“Jadi anak-anak, tugas negara adalah
menjaga hak asasi manusia. Nah, apa saja hak asasi manusia itu? Ternyata luas
sekali, seluas kehidupan manusia,” Pak Hamdan sedang menjelaskan tentang hak
asasi manusia atau biasa juga disingkat dengan HAM, di hadapan dua puluh lima
siswanya yang-sebagian- menyimak serius.
“The International Covenant on
Economics, Social, and Cultural Rights menyebutkan ada dua macam HAM.
Pertama, hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak pertama ini juga meliputi hak kita
untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, hak untuk hidup yang layak. Kedua, hak
sipil dan politik. Contohnya, kita berhak berpendapat. Berhak untuk hidup
bebas, bebas berpikir, bebas beragama,” lanjut Pak Hamdan.
Aia mengangkat tangan. Pak Hamdan
melambaikan tangan kanannya, mempersilakan Aia bicara. “Apa itu artinya kita
juga bebas mengeluarkan pendapat saat kita tidak setuju terhadap sesuatu, Pak?”
Pak Hamdan tersenyum. Tentu saja ia
paham apa yang Aia maksud. “Ya, termasuk itu. Kebebasan berpendapat. Semua
orang boleh mengeluarkan pendapatnya masing-masing.”
“Juga kasus pembuatan film yang menghina
Nabi Muhammad beberapa waktu lalu, itu juga kebebasan berpendapat, Pak?” Azki
juga ikut bertanya. Kontan siswa yang lain menoleh padanya. Azki menatap
bingung teman-temannya.
“Oh, kasus yang itu,” seru Pak Hamdan,
ia ingat kasus itu. “Eee, kalau kita melihat dari perspektif HAM, maka itu juga
termasuk kebebasan berpendapat,” jawab Pak Hamdan hati-hati.
“Kalau menghina Nabi bisa disebut
kebebasan, kenapa saat kita menolak penutupan
rohis, kita justru dianggap melakukan pelanggaran, Pak?” tanya Aia lagi, to
the point. Toh, semua orang di sekolah sudah tahu kasusnya.
“Karena kalian melanggar peraturan yang
sudah dibuat sekolah. Bagaimanapun, sekolah tetap punya peraturan yang wajib
kalian ikuti,” sahut Pak Hamdan seraya maju beberapa langkah. Berdiri lebih
tegak, berusaha nampak lebih berwibawa. “Begini anak-anak, kita memang punya
hak asasi. Tapi di sisi lain, kita juga harus menghormati hak asasi orang lain.
Apa lagi terkait sebuah lembaga yang di dalamnya punya aturan tersendiri ....”
“Berarti, sekolah juga sudah melakukan
pelanggaran hak asasi dong, Pak,” Raras memotong.
Pak Hamdan mengerutkan dahi, “Kenapa
begitu?”
“Karena sekolah mencabut hak kami untuk
mempelajari agama lebih dalam lewat rohis. Betul, kan, Pak?” sahutnya.
Tiba-tiba satu kelas riuh. Ada yang
teriak, huu. Ada yang mencibir. Ada juga yang tersenyum tengil lalu mengibaskan
tangan, halah! Dasar anak-anak GARIS itu!
Pak Hamdan tertawa kecil sambil
garuk-garuk kepala menghadapi siswanya yang hari ini sangat kritis. Setelah
kelas kembali tenang, Pak Hamdan kembali berkata, “Begini, Ras, anak-anak,
seperti yang tadi Bapak sudah jelaskan bahwa hak asasi pada akhirnya
menimbulkan kewajiban asasi. Yakni, kita harus menghormati hak asasi orang
lain, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Karena pada praktiknya, penerapan HAM, akan mengalami benturan kepentingan
antara seorang dengan yang lain
yang
bisa mengakibatkan pelanggaran HAM itu sendiri.”
“Kalau begitu, artinya kita nggak bisa
menerapkan HAM seutuhnya, Pak?” kali ini Azki ikut bersuara.
Pak Hamdan diam sejenak, berpikir. Lalu
akhirnya mengangguk, “Ya, Bapak pikir kita tidak bisa pungkiri itu.”
“Terus buat apa ada HAM kalau ternyata
kita juga nggak bisa mendapat kebebasan secara mutlak?” Aia kembali bertanya. “Atau,
hak asasi manusia itu cuma
omong kosong?” gumamnya pelan namun tetap terdengar oleh Pak Hamdan.
Pak Hamdan terdiam hingga
lengang mengisi kekosongan beberapa detik. Kemudian berusaha membantah, “Oh,
tidak seperti itu, Aia. Meski pada praktiknya HAM sering kali berbenturan ....”
Neeet. Yeeee.
Bel istirahat disambut gembira oleh seluruh siswa.
“Ok, diskusi yang menarik. Tapi, kita
harus mencukupkannya sampai di sini. Kita lanjutkan minggu depan anak-anak.”
Pak Hamdan segera mengambil beberapa bukunya lalu
keluar kelas diikuti siswa yang sudah tidak sabar ingin keluar.
Aia, Raras dan Azki saling menatap lalu
mengangkat bahu. Hak asasi manusia? Bullshit! Mereka tidak mendapatkan
itu, apa namanya? Kebebasan. Bohong! Mana bisa manusia hidup bebas semaunya. Bahkan
negara bebas sekalipun tetap punya aturan. Manusia itu memang makhluk yang
paling aneh, mereka membuat aturan yang bahkan mereka tahu, jika dijalankan
bisa melanggar aturan itu sendiri.
***
“Ini semua salah Aia, Kak,” aku Aia. Ia
benar-benar merasa bersalah pada Raras dan Azki. Kalau bukan karena idenya,
mereka tidak akan mengalami ini.
“Udah
dong, Ai. Ini kan
kesepakatan kita bertiga,” ucap Azki. Sudah berapa kali Aia minta maaf padanya
dan Raras. Dan entah sudah berapa kali juga mereka berdua mengatakan ini bukan
karenanya. Melainkan
bagian dari konsekuensi yang harus mereka terima atas kesepakatan itu.
Sepulang sekolah mereka bertiga bertemu
dengan Zia di masjid At-Taqwa yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Mereka
sudah menceritakan semua yang terjadi setelah rohis ditutup. Zia cukup terkejut
mendengarnya. Tidak menyangka mereka akan bertindak sejauh ini. Seandainya tahu
sejak awal, ia tidak akan membiarkan mereka melakukan ini. Bukan tidak ingin
rohis kembali. Melainkan karena
akibatnya bukan hanya melibatkan mereka, tapi juga orang tua.
“Islam
datang dalam keadaan asing
dan akan kembali menjadi asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing,”
Zia teringat sebuah hadits riwayat Muslim.
Dua tahun lalu Zia dan tiga
teman lainnya akhirnya bisa bekerja sama dengan SMA Lentera 3 untuk membina
anak-anak ekstrakurikuler rohis. Ia ingat betul masa-masa awal, asing. Hanya
segelintir siswa yang memilih ekskul ini. Terlebih yang bertahan, hanya belasan
orang. Tahun berikutnya mulai terasa membaik dengan bertambah banyaknya siswa
yang memilih ekskul rohis. Sebelum akhirnya sekolah menjegal itu semua.
Mengasingkan lagi rohis.
“Sekarang kita harus gimana, Kak?” tanya
Raras.
“Untuk sementara, kita kajian di masjid
ini dulu saja.
Mengenai rohis di sekolah, sebaiknya kalian jangan lakukan apa-apa dulu. Kita
akan cari jalan lain dan tunggu sampai waktunya benar-benar tepat, ya?”
Aia, Raras dan Azki mengangguk pelan.
Zia tersenyum memberi semangat pada ketiganya. Kagum dengan semangat tiga
adiknya. Padahal, ini pasti berat buat mereka.
Ya Allah, apakah ini semua selesai
sekarang? Selesai begitu saja? Aia tercenung. Lagi.
Ia rasakan cahayanya meredup. Kenapa semua cahayaku meredup?! Keluarga.
Sahabat. Rohis. Semua sirna.
Gelap!
***
Jakarta, 28 Oktober
2012 | Pkl 19.20 WIB
Sepuluh menit menunggu lagi, akhirnya
pesawat Bunda mendarat. Terminal kedatangan domestik mulai ramai dengan
penumpang pesawat yang baru turun. Bertambah ramai dengan beberapa orang yang
sejak tadi menunggu, menyambut kedatangan orang yang ditunggu. Aia dan Bi Tiah
celingukan mencari Bunda.
“Ibu!” Bi Tiah rupanya lebih cepat
menemukan Bunda.
Aia segera menoleh lantas ikut berseru,
“Bunda!”
Merasa dipanggil, Bunda juga celingukan.
Ya, walaupun sedikit ragu
kalau dirinya yang dipanggil. Selama ini mana pernah ada yang menungguinya di
terminal kedatangan. Tapi, akhirnya Bunda melambaikan tangan sesaat setelah
melihat Bi Tiah dan Aia di antara kerumunan orang-orang.
Dalam hitungan menit, Aia, Bunda dan Bi
Tiah sudah berada di dalam taksi. Sejak bertemu, tidak banyak suara antara
Bunda dan Aia. Melihat majikan dan anaknya lebih banyak diam, Bi Tiah juga
tidak berani banyak bicara. Padahal, biasanya Bi Tiah selalu banyak tanya tiap
kali Bunda pulang dari luar kota. Menanyakan kegiatan Bunda di sana, bagaimana
suasana kotanya, bagaimana orang-orangnya.
11-12 dengan Aia.
Taksi terus melaju menuju selatan ibu
kota. Meski tetap ramai, tapi perjalanan pulang relatif lebih lancar dibanding saat berangkat tadi.
“Aia tahu jadwal pesawat
Bunda dari Tante Yasti,” aku Aia meski Bunda tidak bertanya.
“Ya, Bunda tahu,” sahut
Bunda datar. Yasti sudah memberitahu kemarin sore.
Suasana kembali hening untuk
waktu yang cukup lama.
“Bun,” Aia mulai tidak betah sejak tadi
hanya diam. Sejak kapan coba hubungannya dengan Bunda kayak kanebo kering? Kaku!
Bunda hanya ber-hm ria. Melirik
Aia, sejurus kemudian kembali menatap jalan lewat jendela mobil. Sejak tadi
Bunda juga tidak suka terus diam. Tapi, Bunda ingin Aia mengerti kalau ia tidak
suka atas kelakuan Aia di sekolah. Dan Bunda ingin Aia tidak mengulanginya
lagi.
“Bunda ... masih marah ya?” tanya Aia
takut-takut. Bi Tiah mulai tertarik, sesekali menengok ke kursi belakang.
Sekali lagi Bunda melirik Aia, sejurus kemudian
kembali menatap jalan, “Bunda nggak marah, Cahaya,” sahut Bunda pelan.
Hh, nggak marah tapi
menyebut nama lengkap? Itu artinya Bunda marah!
Aia membatin.
Suasana hening lagi hingga beberapa
detik kemudian Aia merapat ke Bunda. Memeluk lengan Bunda dan menyandarkan kepalanya
di sana. Bunda sedikit terkejut saat Aia tiba-tiba memeluk lengannya namun
tetap diam.
“Aia minta maaf, Bun,” lirih Aia penuh
penyesalan, “Aia tahu Bunda marah soal surat panggilan kemarin.”
Bunda mendengarkan tapi tak ingin
menyahut.
“Aia juga menyesal udah bikin Bunda
marah,” ucapnya lagi. Ia menyesal karena sudah membuat Bunda marah. Tapi jujur,
ia sama sekali tidak menyesal telah mengumpulkan tanda tangan itu. “Dulu, waktu
Aia lihat Bunda bolak-balik dipanggil ke sekolah karena Abang. Aia sudah janji pada
diri sendiri kalau Aia nggak
akan seperti Abang.
Aia nggak mau menyusahkan Bunda. Aia mau jadi anak yang baik buat Bunda.”
Aia menatap Bunda yang tetap bergeming.
Menarik napas dan Mengembungkan pipi. “Sepertinya, Aia gagal ...,” akunya seraya kembali menyandarkan kepala di bahu Bunda. Harus
bagaimana supaya Bunda berhenti mendiamkanku? Aia benar-benar benci diabaikan seperti ini. Dianggap tidak ada.
Tiba-tiba Bunda teringat saat Aia kecil
mengetuk pintu kamarnya lalu meminta maaf karena Aia sempat marah padanya.
Padahal, itu kan salahnya yang tidak bisa menemani Aia belajar. Sungguh, hari
itu Bunda melihat kesungguhan dan ketulusan Aia meminta maaf padanya.
Sekarang, kejadian itu terulang lagi.
Bunda bisa merasakan kesungguhan dan ketulusan
itu lagi. Matanya sudah berkaca-kaca sejak tadi. Rasa bersalah kembali
menghantuinya. Mungkin aku terlalu berlebihan, tidak seharusnya aku semarah
ini pada Aia. Bukankah selama ini ia sudah menjadi anak yang baik?
“Maafkan Aia ya, Bun?” pinta Aia lagi.
Bunda melepas pelukan tangan Aia di lengannya. Ganti Bunda yang merangkul Aia sepenuhnya.
Mencium lembut putrinya.
Bunda selalu begini, saat haru mulai menghampiri, tenggorokannya tiba-tiba
tercekat, lidahnya pun kelu. Tidak ada satu patah kata pun yang bisa ia ucap.
Aia juga memeluk Bunda, lebih erat
malah. Tidak apa jika Bunda tidak bicara satu patah kata pun. Pelukan Bunda sudah menjawab segalanya.
Dalam hati Aia terus mengucap kalimat pujian untuk-Nya. Siapa coba yang
menggerakkan dan meluluhkan hati Bunda untuknya malam ini? Tentu saja Dzat yang
Maha membolak-balikkan hati. Tidak tahu diri sekali rasanya kalau malam ini Aia
lupa bersyukur pada-Nya.
Bi Tiah yang duduk di depan, mulanya
hanya melirik sesekali. Sekarang, ia benar-benar menonton dari balik kursi. Menyeka sudut mata. Ikut
terharu, eh, yang ini malah lebih mengharukan dari sinetron favoritnya di
televisi.
Yang penuh tanda tanya
sebenarnya Pak Sopir. Tapi, apalah daya dia tidak punya peran dalam cerita ini
selain mengantarkan penumpangnya ke tempat tujuan. Maka dihiraukannya semua
adegan di kursi belakang. Memilih fokus pada aspal jalan.
***
Bunda pikir semalam adalah simbol
perdamaiannya dengan Aia setelah satu minggu melancarkan perang dingin. Bunda
pikir pagi ini ia akan melihat Aia yang menuruti semua perkataannya. Jadi, pagi
ini bisa menikmati hangatnya sarapan bersama dua anaknya. Sama seperti
hangatnya sinar matahari yang menembus jendela ruang tamu.
“Sudah sampai mana skripsinya, Bang?”
Bunda yang sibuk membantu Bi Tiah menyiapkan sarapan bertanya. Hari ini Bunda
libur, jadi bisa sedikit lebih santai di rumah.
“Belum setengahnya Bun,” jawab Adam
secukupnya.
“Lama, ya?” tanya Bunda lagi. Sekarang
sudah ikut duduk bersama Adam dan Aia.
“Banyak revisi sama dosennya,” jawab
Adam lagi, juga secukupnya.
Bunda berhenti bertanya. Obrolan dengan
Adam memang selalu sebentar. Kalau ditanya ia menjawab secukupnya. Jika tidak,
ia juga tidak akan bertanya. Bahkan saat Bunda baru pulang dari luar kota pun,
Adam tidak pernah iseng menanyakan bagaimana perjalanannya. Berbeda dengan Aia
yang selalu menanyakan hal itu. Tapi untuk perjalanannya kali ini Aia sudah
menanyakannya usai adegan berpelukan semalam.
“Mungkin harusnya Bang Adam cuti dulu
pegang kamera. Berhenti dulu tuh terima job-job pemotretan. Jadi bisa
fokus dengan skripsinya,” usul Aia.
“Eits, nggak bisa! Motret itu sudah
panggilan jiwa, De!” sanggah Adam cepat.
“Panggilan jiwa,” cibir Aia seraya
menirukan gaya bicara Adam. Lalu berlagak mau muntah.
Bunda tersenyum, “Ya, nggak apa-apa.
Tapi, Bunda harap ini tahun terakhir Abang di kampus, ya ....”
“Ya, Bunda tenang aja!” sahut Adam
ketus, “yang harus Bunda pastikan itu, Dede!
Supaya berhenti berbuat macam-macam di
sekolah,” lanjutnya menggoda Aia.
Aia melotot. Ia tahu maksud
Adam. “Macam-macam
apa? Rohis itu panggilan jiwa, Bang!”
“Panggilan jiwa,” Ganti Adam yang
mencibir lalu berlagak mau muntah.
“Memang benar! Aia dan teman-teman ingin
mempertahankan rohis di sekolah karena cuma lewat rohis kami bisa mendalami
Islam,” Aia mulai melakukan pembelaan atas dakwaan Adam terhadapnya. “Bunda
tahu kan, gimana
kualitas pelajar yang nggak
paham agama?” Aia melirik Adam yang langsung melotot padanya.
Bunda tersenyum, mengerti maksud lirikan Aia.
Oke, Aia benar. Pemahaman agama yang kurang juga jadi faktor semakin brutalnya
pelajar-pelajar sekarang. Jika mereka punya pemahaman agama yang baik, mereka
tentu tidak akan tawuran, terlibat narkoba atau bahkan menyontek yang sekarang
sudah dianggap budaya. Karena Islam jelas melarang itu semua. Jika mereka punya
pemahaman agama yang baik, mereka akan men-standarkan
perbuatan mereka dengan hukum syara’ yang telah Allah tetapkan.
“Jadi, Dede merasa sudah memahami agama
dengan baik?” tanya Adam.
“Ya, belum. Makanya Aia dan teman-teman
meminta sekolah untuk membatalkan penutupan
rohis, Bang!”
“Sudah, sudah. Bunda nggak mau lagi ada
perdebatan rohis di sini. Peringatan dari sekolah kemarin sudah cukup, Ai.
Biarkan sekolah menjalankan keputusannya. Bunda sudah bilang, Bunda bisa minta
Tante Nur merekomendasikan mahasiswanya untuk ....”
“Eeeh, nggak usah Bun,” Aia langsung
menyela begitu mendengar Bunda menyebut nama itu. Kenapa sih, Bunda selalu
menyebutnya?!
Bunda mengerlingkan mata ke arah Aia,
“Kenapa?”
“Aia masih bisa menghubungi mentor Aia
untuk tetap kajian di luar sekolah, kok.”
“Kamu yakin? Terus terang Bunda khawatir
ada apa-apanya dengan kajian rohis di sekolahmu. Kalau memang nggak ada
masalah, sekolah juga nggak akan menutupnya,
Ai,” Bunda menatap Aia tajam.
“Bunda tahu kan, sekolah begitu karena berita gak jelas itu. Bukan karena ada
apa-apa di rohis. Buktinya, satu tahun Aia di rohis, Bunda nggak pernah lihat
Aia melakukan hal aneh-aneh, kan?”
“Bunda tetap nggak setuju, Ai!” tandas
Bunda, “Bunda akan lebih tenang kalau Aia nggak berhubungan lagi dengan
mereka.”
Adam menahan tawa. Kemudian kembali
fokus menikmati sarapannya. Seperti biasa, tidak berminat dengan obrolan Bunda
dan Aia.
“Ta,” Aia hendak protes.
Tapi kalah cepat dengan Bunda yang
mengatakan, “Nggak ada tapi-tapi lagi! Apa pun alasan Aia, Bunda tetap nggak
setuju!”
Bunda meraih segelas air putih di
hadapannya. Meneguknya sambil sesekali melirik Aia. Bunda khawatir. Zaman sekarang
banyak sekali aliran sesat, radikal, entah apa lagi yang berkembang. Bagaimana
kalau ternyata Aia terjerumus pada salah satu dari itu? Nur benar, aku harus lebih mengawasinya.
Adam masih asyik mengunyah sarapan
paginya. Tak peduli dengan sekitarnya. Ia selalu begitu, berlagak cuek tapi
hatinya terus bergumam, kenapa Bunda sengotot itu melarang Aia kajian lagi? Padahal,
sebenarnya Adam tidak melihat sesuatu yang perlu dikhawatirkan dari Aia. Tadi
ia hanya iseng menggoda adiknya.
Bi Tiah yang sedang sibuk membersihkan
dapur tidak ketinggalan. Sesekali melirik meja makan. Ibu kenapa sih? Kok belakangan
sering marah ke Dek
Aia.
Aia terdiam. Menghela napas berat dan
Mengembungkan pipi. Dalam hati bertanya, Apa lagi sih?! Kenapa Bunda
melarangku kajian dengan Kak Zia? Bukannya dulu Bunda yang bilang tidak akan
khawatir jika aku ikut mengkaji Islam di rohis? Apa coba yang sebenarnya
Bunda khawatirkan?
***
Next :
Prev :
Terimakasih sudah membaca cerita ini.
Oya, kamu juga bisa menikmati kisah "Cahaya" di akun Wattpad Maswha Faizah.
RSS Feed
Twitter
Sabtu, April 29, 2017
Unknown

