Jumat, 16 Juni 2017

Angin lembut berembus di sekitar masjid At-Taqwa membawa sedikit kesejukkan setelah terik menemani seharian. Sayang, kesejukkan itu tidak menyentuh empat gadis berjilbab yang tengah duduk melingkar di teras. Sore itu, Zia memenuhi permintaan Aia untuk bertemu. Juga sengaja mengajak Raras dan Azki bertemu sekalian. Ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja setelah surat panggilan kedua dari sekolah.

Kabar buruknya, mereka tidak baik-baik saja. Mereka bilang, Kepala Sekolah baru saja menetapkan hukuman baru. Lari tiga kali keliling lapangan tiap pagi jika bersikeras mengenakan jilbab. Zia memejamkan mata sejenak. Kenapa sekolah tiba-tiba bertindak sejauh itu?


Sementara Raras menceritakan kronologi hukuman tadi pagi, Aia tercenung sendirian. Menimbang. Ceritakan? Tidak? Ceritakan? Tidak?

“Eh, eh … coba lihat! Lihat!” tiba-tiba Azki berseru-seru dengan mata terpaku pada smartphone. Tentu saja yang lain menoleh penasaran. “Kamu tertarik banget sama keseteraan gender kan, Ai? Ini lihat nih, ada aktivis kesetaraan gender yang bikin pernyataan ngaco bin aneh!” Azki menjawab penasaran mereka dengan menunjukkan sebuah artikel di smartphonenya.

Zia dan Raras memelototi smartphone di tangan Azki. Prof. Dr. Nuriyah, MA : Hapus Pelajaran Agama Seperti Australia. Begitu judul besar artikel tersebut. Di bawah judul terdapat foto perempuan setengah badan dengan penampilan khasnya, kerudung yang dimasukkan ke kerah baju.

Sementara Aia hanya melirik sebal begitu melihat foto yang terpampang di sana. Saking sebalnya ia malah menyingkirkan smartphone dari pandangannya. “Ah, udah deh! Nggak usah ngomongin Tante Nur!”

Suasana hening seketika. Zia, Raras dan Azki kompak mengerutkan dahi. Ada yang terdengar janggal di telinga. Ketiganya menatap Aia penuh tanda tanya. Satu detik, dua, tiga, “Tante?!”

“Iya, Tan …,” Aia tersadar. Astaghfirullah! Kenapa memanggilnya Tante di depan mereka?!

“Orang ini, tantemu, Ai?” Azki bertanya dengan nada setengah tidak percaya.

Aia hanya menggaruk hidung dengan telunjuk ketika tiga pasang mata penuh keingintahuan menatapnya.

“Ai?” desak Zia.

Baiklah. Bukankah ini tujuan ia meminta bertemu dengan Kak Zia? Mengungkapkan  masalah yang selama ini ia sembunyikan sendiri. Tentang hubungan Bunda dengan Nur.

***

Aia masih tercenung setelah menceritakan semua tentang Bunda dan Nur. Sesekali menghapus air mata yang tiba-tiba menetes. Meski sudah berusaha keras, bulir-bulir itu masih saja jatuh. Hatinya tergores perih ketika mengingat bahwa Bunda memercayai Nur dan pemikirannya itu adalah benar. Sedih sekaligus khawatir. Ya Allah, apa hujjahku di hadapan-Mu kelak jika hingga saatnya nanti Bunda tetap bertahan dengan pemahamannya yang sekarang? Padahal, Engkau sudah mengingatkan hamba-Mu untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka.

Sementara Raras dan Azki masih terdiam. Antara berempati dengan yang Aia alami dan bersyukur bahwa setidaknya posisi mereka lebih baik. Mereka masih mendapat support salah satu dari kedua orang tua.

Dan Zia masih menghela napas tidak percaya. Ia pikir Bunda melarang Aia kajian dan berjilbab hanya karena surat panggilan dari sekolah. Ternyata masalahnya jauh lebih rumit. Bunda memahami hal yang berbeda. Masalah besarnya adalah meski itu sebuah kekeliruan, namun Bunda sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah kebenaran. Pantas saja Aia selalu bertanya tentang kesetaraan gender. Ya Allah ... apa yang bisa ia lakukan?! Zia gemas dengan diri sendiri. Ah! Tiba-tiba teringat permintaan Adam waktu itu. Zia paham sekarang, kenapa Adam memintanya menguatkan Aia.

“Setelah ini, tolong jangan berpikir negatif tentang Bunda, ya? Insya Allah Bunda tidak seburuk yang kalian pikir. Bunda cuma belum bisa melihat kekeliruan Tante Nur, karena Bunda temannya. Aku janji akan berusaha membuat Bunda melihatnya,” pinta Aia terus terang. Nggak boleh ada yang berpikiran negatif tentang Bunda. Nggak boleh!

Raras dan Azki mengulas senyum. Menyanggupi permintaan Aia.

“Jangan khawatir, Insya Allah kami nggak punya pikiran negatif tentang Bunda,” ujar Zia. “Dan yang harus kamu ingat, kamu tidak sendiri, Ai. Apa pun yang sedang kamu hadapi, Kakak, Raras dan Azki akan selalu ada dan Insya Allah akan siap membantu semampu yang bisa kami lakukan. Jadi, jangan lagi menyimpan masalah sendiri, ya?” tambah Zia.

“Iya, Ai. Insya Allah masalah akan ada jalan keluarnya kalau dipikirkan sama-sama,” Raras ikut menambahkan.

Lega sekali mendengarnya. Aia refleks meluruhkan kepala di bahu Zia. “Masalahnya, kemarin Aia baru saja buat masalah baru, Kak ...,” akunya lagi.

***

Aia kembali menangis. Tidak peduli kalau Zia, Raras dan Azki berusaha keras menenangkannya. Tidak peduli kalau sekarang orang yang lalu lalang di masjid untuk sholat Asar melirik penuh tanda tanya. Juga tidak peduli kalau satu bungkus tissu Azki nyaris habis karenanya. Sejak tadi hatinya memaki, bodoh! Harusnya jangan gegabah! Beraninya selancang itu pada Bunda!

Aia benar-benar menyesali kata-katanya kemarin malam. Kata-kata yang membuat Bunda sangat marah. Sangat boleh jadi Bunda terluka karena itu. Ya Allah, kenapa ia belum juga pandai mengendalikan emosi?! Kalau begini caranya bagaimana bisa membuat Bunda melihat kekeliruan guru besar itu?!

“Aku tahu, Aku salah!” akunya lirih sambil menelungkupkan kedua tangan di wajah. Malu sekali rasanya. Malu pada Raras dan Azki. Malu pada Kak Zia. Terlebih lagi pada Allah. Malu karena telah melakukan hal sebodoh itu.

Melihat Aia kian sedih, Zia memeluknya. Menepuk-nepuk punggung perlahan. Menenangkan tanpa mengucap satu kata pun. Ya, Aia pasti sangat menyesali apa yang telah dilakukan.

“Nanti, kalau Aia nggak bisa kajian lagi … Aia, minta maaf, ya,” ucapnya terbata-bata lalu menenggelamkan wajah di bahu Zia. Menangis sejadinya.

“Ai?!” Raras dan Azki terbelalak seketika mendengarnya. Tidak percaya Aia akan goyah. Bukankah mereka sudah menghadapi banyak sebelumnya? Mereka menghadapi semua tanpa gentar sedikit pun! Kenapa sekarang menyerah?!

Zia menahan Raras dan Azki untuk tidak berkomentar dulu lewat tatapan. Maka tak ada suara setelah itu. Hanya membiarkan Aia meluapkan semua perasaan lewat tangis. Hanya tetap memeluk Aia hingga tiga puluh menit kemudian tangisnya mereda.

Azki sigap memberi tisu baru. Raras mengelus-elus punggung Aia, menenangkannya. Dan Aia, berkali-kali menarik napas panjang ditengah sedu-sedan untuk menenangkan diri. Sampai akhirnya mampu tersenyum, “Ya Allah … maaf ya,. Aia jadi cengeng gini,” gumamnya seraya menyusut air mata di pipi.

Zia tersenyum. Menepuk lalu menggenggam tangan Aia, “Gimana, sudah baikan sekarang?”

Aia melirik genggaman tangan Zia penuh makna, lalu perlahan menoleh Zia seraya mengangguk tersenyum. Ya, ia jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Aia kembali beralih pada genggaman tangan Zia dan terpaku untuk beberapa saat di sana. Ada rasa tenang serta energi yang seolah Zia transfer lewat sentuhan yang terlihat sederhana. Hati Aia bisa merasakannya.

“Kesalahan itu bukan hanya untuk disesali tapi juga diperbaiki,” ujar Zia. “Kalau memang Aia merasa bersalah, perbaiki. Minta maaf. Jaga emosi dan pilih bahasa yang baik supaya Bunda tidak merasa digurui oleh Aia,” tambahnya mengingatkan.

Kesejukan yang dibawa angin sore mulai terasa sekarang. Begini indahnya dikelilingi orang baik. Membawa kita ke arah yang baik.

***

Setelah menghabiskan sore dengan menenangkan diri. Usai sholat Isya’ dan berdo’a agar Allah memudahkan, Aia memutuskan untuk menemui Bunda.

Satu. Tiga. Lima. Arrgh. Ya Allah, bagaimana ini?! Aia panik sendiri lantaran hanya bisa mematung di depan pintu kamar Bunda sejak lima menit yang lalu. Bahkan teh di tangan mulai kehilangan hangatnya. Sama dengannya yang juga hampir kehilangan keyakinan bahwa ia mampu melakukan ini. Sesekali menghela napas. Memutar otak. Berusaha menyetel diri untuk dapat mengendalikan emosi. Menarik napas panjang. Mengumpulkan lagi seluruh keyakinan. Mentransfernya ke kepalan tangan hingga terasa ringan untuk mengetuk pintu. “Bun ....”

Aia harap-harap cemas menunggu jawaban dari dalam.

“Ada apa, Ai?” sebuah suara menegur justru datang dari belakang.

Aia tersentak kaget saat berbalik. Tehnya bahkan nyaris tumpah. “Bunda?” gumamnya. Kalau tahu Bunda tidak ada di kamar, ia tidak akan mematung di depan pintu sejak tadi. Membuatnya terlihat bodoh. Sesaat kemudian tersadar tujuannya berdiri sejak tadi, “Aia buatkan teh untuk Bunda,” Aia segera menyodorkan secangkir teh ke hadapan Bunda. Aia mengulas senyum setengah meringis. Berharap Bunda mau menerimanya.

Selang beberapa menit kemudian, teh yang belum disentuh oleh penerimanya sudah ada di atas meja. Aia duduk termenung di sisi ranjang. Melirik Bunda dan teh bergantian lalu sesekali melirik ke atas. Berpikir. Melihat bagaimana Bunda mendiamkan tehnya, Aia jadi takut. Bunda pasti juga akan mendiamkannya? Hei, bahkan Bunda yang sedang duduk menghadap meja memang sudah mendiamkannya sejak tadi!

Ah, bukan begitu sebenarnya! Bunda tidak sedang mendiamkan Aia. Justru sedang menunggu. Memberi kesempatan untuk Aia bicara lebih dulu. Kali ini ia akan mendengarkan. Bunda lelah terus berselisih paham. Tapi, yang diberi kesempatan tidak menyadarinya. Malah ikut terdiam. Bunda meraih cangkir teh yang sejak tadi menanti disentuh, kemudian menyeruputnya. Seolah memberi sinyal pada putrinya, bicaralah, Bunda akan mendengarkan.

Aia menangkap sinyal itu dengan baik rupanya. “Aia minta maaf soal yang kemarin, Bunda,” ucapnya memulai pengakuan kedua.

Bunda menoleh. Menatap penuh Aia yang malah menunduk. Tidak sanggup menatap mata Bunda lebih lama lagi.

“Kemarin ... Aia sudah keterlaluan, ya? Nggak bisa jaga emosi. Bunda benar, ternyata Aia belum bisa jadi anak yang baik,” imbuhnya. Melirik Bunda sejenak lalu kembali tertunduk. Aia terhenyak oleh kata-katanya sendiri. Ia pikir ia sudah baik. Setidaknya lebih baik dari Adam. Nyatanya tidak.
Kamar lengang beberapa saat.

Aia menguatkan diri. Menoleh Bunda perlahan. “Sebenarnya Aia nggak maksud begitu, Bun. Kemarin, itu karena Aia takut Bunda …,” Aia tiba-tiba terhenti. Ragu untuk membahas Nur. Khawatir malam ini akan kembali berakhir dengan perselisihan. “Maafkan Aia ya, Bun? Kali ini, Aia akan berusaha jadi anak yang baik buat Bunda,” lanjutnya sambil di dalam hati terus menguatkan diri kalau-kalau Bunda malah memarahinya lagi.

Bunda masih mendengarkan dan menatap Aia. Membiarkan putrinya menerka jawaban yang akan diberi. Jujur, ia selalu senang mendengar permintaan maaf Aia. Karena selalu ada ketulusan di setiap permintaan maafnya. Membuat Bunda tidak bisa untuk tidak memberi maaf. Lagi pula, Aia menyadari kesalahannya, itu sudah cukup. Maka untuk kali ini pun ia tidak bisa menolak permintaan itu. Bunda mengangguk perlahan.

Aia mengerjap. Apa maksudnya Bunda mengangguk? Apa Bunda tidak mau memarahinya kali ini?! “Bunda nggak marah lagi sama Aia?!” selidiknya. Memastikan kalau ia tidak salah mengartikan anggukan Bunda.

Bunda tersenyum, menjawab pertanyaan Aia dengan gelengan.

Aia tersenyum girang, “Berarti Aia boleh tetap kajian sama Kak Zia?!”

“Bunda tidak bilang begitu,” sahut Bunda singkat. Air mukanya seketika berubah begitu Aia menyinggung soal kajian dan Zia. Menegaskan kalau Bunda tetap tidak setuju soal kajian itu.

“Oh, iya sih,” Aia meringis. Senyumnya menghilang. Ia pikir anggukan Bunda tadi juga sekaligus jadi lampu hijau untuk bisa tetap kajian.

“Bunda bisa pegang janji Aia untuk jadi anak yang baik sekarang, kan?” tanya Bunda. Tatapannya berubah tajam. Menuntut Aia untuk mengerti kalimatnya. Bunda tidak ingin membahasnya lagi lebih jauh.

“Hm? I, iya, Bunda,” sahut Aia penuh keraguan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Aia melangkah keluar. Aia paham benar maksud Bunda. Anak baik. Tidak ada kajian. Tidak ada jilbab. Bagaimana bisa? Tapi, ia juga tidak ingin bersitegang lagi dengan Bunda. Tidak ingin kehilangan cahayanya.

Maka sepanjang sisa malam itu hingga beberapa malam kemudian, Aia habiskan untuk merenung. Termasuk malam pergantian tahun. Saat yang lain tenggelam dalam pesta pora tak jelas. Aia merenung. Berpikir. Mengambil sebuah keputusan.

***

8 Januari 2013

“Ai, yakin mau berhenti kajian?!” tanya Raras panik sambil terus berlari. Pagi ini menjadi hari kedua bagi Aia, Raras dan Azki menjalani hukuman lari keliling lapangan sebelum masuk kelas. Pak Kepala Sekolah langsung yang mengawasi.

Aia terus berlari tanpa memberi jawaban. Bagaimana harus menjawab kalau diri sendiri saja tidak yakin. Tapi, inilah hasil merenungnya semalam suntuk.

“Jangan buru-buru ambil keputusan, Ai. Insya Allah ada cara lain,” dengan napas tersengal, Azki ikut mengingatkan. Tidak rela Aia memutuskan berhenti kajian. Bukankah Aia yang menguatkannya saat ia mulai goyah.

“Iya, Ai. Katanya kamu mau menunjukkan kekeliruan DR Nuriyah ke Bunda. Bagaimana caranya kalau kamu saja berhenti mengkaji Islam?” tambah Raras. “Kita sudah bertahan sejauh ini, lho. Masa sekarang kamu mau berhenti begitu saja? Kamu nggak sendirian, Ai. Aku dan Azki pasti bantu. Kak Zia juga.”

Aia menghentikan larinya. Tubuhnya luruh, berjongkok. Tiba-tiba saja seluruh badan terasa lemas. Penat atas semua tekanan. “Iya, tahu! Aku tahu keputusanku salah! Tapi, Bunda …,” Aia tidak sanggu melanjutkan kalimatnya, tenggorokannya tercekat.

Raras dan Azki perlahan ikut berjongkok. Menatap iba wajah penuh beban Aia.

“Kalian tahu kan, aku cuma punya Bunda di rumah … ?” lirih Aia, “aku cuma nggak mau buat Bunda marah lagi! Lagian. Percuma! Aku juga nggak akan bisa buat Bunda berhenti percaya sama Tante Nur kalau aku nggak melakukan yang Bunda mau ….”

Raras dan Azki refleks merangkul Aia. “Sabar ya, Ai ...,” ujar Azki.

“Kalau kalian nggak suka dengan keputusanku. Kalian boleh jaga jarak denganku!”

“Bukan itu maksudnya, Ai!” Raras merespons cepat. Tidak terima dengan tudingan Aia. Memang, ia dan Azki tidak sependapat soal berhenti kajian. Tapi, bukan berarti hendak  meninggalkannya sendiri.

“Hei, siapa suruh berhenti?!” suara Pak Kepala Sekolah yang baru menyadari ketiga siswinya berhenti, menggelegar dari ujung lapangan. Aia, Raras dan Azki refleks berdiri dan melanjutkan kembali hukumannya yang hampir selesai.


***
Selanjutnya

Sebelumnya

0 komentar:

Posting Komentar