Angin
lembut berembus di sekitar masjid At-Taqwa membawa sedikit kesejukkan setelah
terik menemani seharian. Sayang, kesejukkan itu tidak menyentuh empat gadis
berjilbab yang tengah duduk melingkar di teras. Sore itu, Zia memenuhi permintaan
Aia untuk bertemu. Juga sengaja mengajak Raras dan Azki bertemu sekalian. Ingin
memastikan bahwa mereka baik-baik saja setelah surat panggilan kedua dari
sekolah.
Kabar
buruknya, mereka tidak baik-baik saja. Mereka bilang, Kepala Sekolah baru saja
menetapkan hukuman baru. Lari tiga kali keliling lapangan tiap pagi jika
bersikeras mengenakan jilbab. Zia memejamkan mata sejenak. Kenapa sekolah
tiba-tiba bertindak sejauh itu?
Sementara
Raras menceritakan kronologi hukuman tadi pagi,
Aia tercenung sendirian. Menimbang. Ceritakan? Tidak? Ceritakan? Tidak?
“Eh,
eh … coba lihat! Lihat!” tiba-tiba Azki berseru-seru dengan mata terpaku pada smartphone.
Tentu saja yang lain menoleh penasaran. “Kamu tertarik banget sama keseteraan
gender kan, Ai? Ini lihat nih, ada aktivis kesetaraan gender yang bikin
pernyataan ngaco bin aneh!” Azki menjawab penasaran mereka dengan
menunjukkan sebuah artikel di smartphonenya.
Zia
dan Raras memelototi smartphone di tangan Azki. Prof. Dr. Nuriyah, MA
: Hapus Pelajaran Agama
Seperti Australia.
Begitu judul besar artikel tersebut. Di bawah judul terdapat foto perempuan
setengah badan dengan penampilan khasnya, kerudung yang dimasukkan ke kerah
baju.
Sementara
Aia hanya melirik sebal begitu melihat foto yang terpampang di sana. Saking
sebalnya ia malah menyingkirkan smartphone dari pandangannya. “Ah, udah
deh! Nggak usah ngomongin Tante Nur!”
Suasana hening seketika. Zia,
Raras dan Azki kompak
mengerutkan dahi. Ada yang terdengar janggal di telinga.
Ketiganya menatap Aia penuh tanda tanya. Satu detik, dua, tiga, “Tante?!”
“Iya,
Tan …,” Aia tersadar.
Astaghfirullah! Kenapa memanggilnya Tante di depan mereka?!
“Orang
ini, tantemu, Ai?” Azki bertanya dengan nada setengah tidak percaya.
Aia
hanya menggaruk hidung dengan telunjuk ketika tiga pasang mata penuh keingintahuan
menatapnya.
“Ai?”
desak Zia.
Baiklah.
Bukankah ini tujuan ia meminta bertemu dengan Kak Zia? Mengungkapkan masalah yang selama ini ia sembunyikan sendiri. Tentang hubungan
Bunda dengan Nur.
***
Aia
masih tercenung setelah menceritakan semua tentang Bunda dan Nur. Sesekali
menghapus air mata yang tiba-tiba menetes. Meski sudah berusaha keras, bulir-bulir itu masih saja
jatuh. Hatinya tergores perih ketika mengingat bahwa Bunda memercayai Nur dan
pemikirannya itu adalah benar. Sedih sekaligus khawatir. Ya Allah, apa
hujjahku di hadapan-Mu kelak jika hingga saatnya nanti Bunda tetap bertahan
dengan pemahamannya yang sekarang? Padahal, Engkau sudah mengingatkan hamba-Mu
untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka.
Sementara
Raras dan Azki masih terdiam. Antara berempati dengan yang Aia alami dan
bersyukur bahwa setidaknya posisi mereka lebih baik. Mereka masih mendapat support
salah satu dari kedua orang tua.
Dan
Zia masih menghela napas tidak percaya. Ia pikir Bunda melarang Aia kajian dan
berjilbab hanya karena surat panggilan dari sekolah. Ternyata masalahnya jauh
lebih rumit. Bunda memahami hal yang berbeda. Masalah besarnya adalah meski itu
sebuah kekeliruan, namun Bunda sudah terlanjur menganggapnya sebagai sebuah
kebenaran. Pantas saja Aia selalu bertanya tentang kesetaraan gender. Ya Allah
... apa yang bisa ia lakukan?! Zia gemas dengan diri sendiri. Ah! Tiba-tiba
teringat permintaan Adam waktu itu. Zia paham sekarang, kenapa Adam memintanya
menguatkan Aia.
“Setelah
ini, tolong jangan berpikir negatif tentang Bunda, ya? Insya Allah Bunda tidak
seburuk yang kalian pikir. Bunda cuma belum bisa melihat kekeliruan Tante Nur, karena
Bunda temannya. Aku
janji akan berusaha membuat Bunda melihatnya,” pinta Aia terus terang. Nggak boleh ada yang
berpikiran negatif tentang Bunda. Nggak
boleh!
Raras
dan Azki mengulas senyum. Menyanggupi permintaan Aia.
“Jangan
khawatir, Insya Allah kami nggak
punya pikiran negatif tentang Bunda,” ujar Zia. “Dan yang harus kamu ingat,
kamu tidak sendiri, Ai. Apa pun yang sedang kamu hadapi, Kakak, Raras dan Azki
akan selalu ada dan Insya Allah akan siap membantu semampu yang bisa kami
lakukan. Jadi, jangan lagi menyimpan masalah sendiri, ya?” tambah Zia.
“Iya,
Ai. Insya Allah masalah akan ada jalan keluarnya kalau dipikirkan sama-sama,”
Raras ikut menambahkan.
Lega
sekali mendengarnya. Aia refleks meluruhkan
kepala di bahu Zia. “Masalahnya, kemarin Aia baru saja buat masalah baru, Kak
...,” akunya lagi.
***
Aia
kembali menangis. Tidak peduli kalau Zia, Raras dan Azki berusaha keras
menenangkannya. Tidak peduli kalau sekarang orang yang lalu lalang di masjid
untuk sholat Asar melirik penuh tanda tanya. Juga tidak peduli kalau satu
bungkus tissu Azki nyaris habis karenanya. Sejak tadi hatinya memaki, bodoh!
Harusnya jangan gegabah! Beraninya selancang itu pada Bunda!
Aia benar-benar menyesali
kata-katanya kemarin malam. Kata-kata yang membuat Bunda sangat marah. Sangat
boleh jadi Bunda terluka karena itu. Ya Allah, kenapa ia belum juga pandai
mengendalikan emosi?! Kalau begini
caranya bagaimana bisa membuat Bunda melihat kekeliruan guru besar itu?!
“Aku tahu, Aku salah!” akunya lirih
sambil menelungkupkan kedua tangan di wajah. Malu sekali rasanya. Malu pada
Raras dan Azki. Malu pada Kak Zia. Terlebih lagi pada Allah. Malu karena telah
melakukan hal sebodoh itu.
Melihat
Aia kian sedih, Zia memeluknya. Menepuk-nepuk punggung perlahan. Menenangkan
tanpa mengucap satu kata pun. Ya, Aia pasti sangat menyesali apa yang telah
dilakukan.
“Nanti,
kalau Aia nggak bisa kajian lagi … Aia, minta maaf, ya,” ucapnya terbata-bata
lalu menenggelamkan wajah di bahu Zia. Menangis sejadinya.
“Ai?!”
Raras dan Azki terbelalak seketika mendengarnya. Tidak percaya Aia akan goyah.
Bukankah mereka sudah menghadapi
banyak sebelumnya? Mereka menghadapi semua
tanpa gentar sedikit pun! Kenapa
sekarang menyerah?!
Zia
menahan Raras dan Azki untuk tidak berkomentar dulu lewat tatapan. Maka tak ada suara setelah itu. Hanya
membiarkan Aia meluapkan semua perasaan lewat tangis. Hanya tetap memeluk Aia
hingga tiga puluh menit kemudian tangisnya mereda.
Azki
sigap memberi tisu baru. Raras mengelus-elus punggung Aia, menenangkannya. Dan
Aia, berkali-kali menarik napas panjang ditengah sedu-sedan untuk menenangkan
diri. Sampai akhirnya mampu tersenyum, “Ya Allah … maaf ya,. Aia jadi cengeng
gini,” gumamnya seraya menyusut air mata di pipi.
Zia
tersenyum. Menepuk lalu menggenggam tangan Aia, “Gimana, sudah baikan
sekarang?”
Aia
melirik genggaman tangan Zia penuh
makna, lalu perlahan menoleh Zia seraya mengangguk
tersenyum. Ya, ia jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Aia kembali beralih
pada genggaman tangan Zia dan terpaku untuk beberapa saat di sana. Ada rasa
tenang serta energi yang seolah Zia transfer lewat sentuhan yang terlihat sederhana.
Hati Aia bisa merasakannya.
“Kesalahan
itu bukan hanya untuk disesali tapi juga diperbaiki,” ujar Zia. “Kalau memang
Aia merasa bersalah, perbaiki. Minta maaf. Jaga emosi dan pilih bahasa yang
baik supaya Bunda tidak merasa digurui oleh Aia,” tambahnya mengingatkan.
Kesejukan yang dibawa angin sore mulai terasa
sekarang. Begini indahnya dikelilingi orang baik.
Membawa kita ke arah yang baik.
***
Setelah
menghabiskan sore dengan menenangkan diri. Usai sholat Isya’ dan berdo’a agar
Allah memudahkan, Aia memutuskan untuk menemui Bunda.
Satu.
Tiga. Lima. Arrgh. Ya Allah, bagaimana ini?! Aia panik sendiri lantaran hanya
bisa mematung di depan pintu kamar Bunda sejak lima menit yang lalu. Bahkan teh
di tangan mulai kehilangan
hangatnya. Sama dengannya yang juga hampir kehilangan
keyakinan bahwa ia mampu melakukan
ini. Sesekali menghela napas. Memutar otak. Berusaha
menyetel diri untuk dapat mengendalikan emosi. Menarik napas panjang.
Mengumpulkan lagi seluruh keyakinan. Mentransfernya ke kepalan tangan hingga
terasa ringan untuk mengetuk pintu. “Bun ....”
Aia
harap-harap cemas menunggu jawaban dari dalam.
“Ada
apa, Ai?” sebuah suara menegur justru
datang dari belakang.
Aia
tersentak kaget saat berbalik. Tehnya bahkan nyaris tumpah. “Bunda?” gumamnya. Kalau tahu Bunda tidak ada di
kamar, ia tidak akan mematung di depan pintu sejak tadi. Membuatnya terlihat
bodoh. Sesaat kemudian tersadar tujuannya berdiri sejak tadi, “Aia buatkan teh
untuk Bunda,” Aia segera menyodorkan secangkir teh ke hadapan Bunda. Aia
mengulas senyum setengah meringis. Berharap Bunda mau menerimanya.
Selang
beberapa menit kemudian, teh yang belum disentuh oleh penerimanya sudah ada di
atas meja. Aia duduk termenung
di sisi ranjang. Melirik
Bunda dan teh bergantian lalu sesekali melirik ke atas. Berpikir. Melihat
bagaimana Bunda mendiamkan tehnya,
Aia jadi takut.
Bunda pasti juga akan mendiamkannya? Hei, bahkan Bunda yang sedang duduk menghadap meja memang sudah
mendiamkannya sejak tadi!
Ah,
bukan begitu sebenarnya! Bunda tidak sedang
mendiamkan Aia. Justru sedang
menunggu. Memberi kesempatan untuk Aia bicara lebih dulu. Kali ini ia akan
mendengarkan. Bunda lelah terus berselisih paham. Tapi, yang diberi
kesempatan tidak menyadarinya. Malah ikut terdiam. Bunda meraih cangkir teh
yang sejak tadi menanti disentuh,
kemudian menyeruputnya.
Seolah memberi sinyal pada putrinya, bicaralah, Bunda akan mendengarkan.
Aia
menangkap sinyal itu dengan baik rupanya. “Aia minta maaf soal yang kemarin,
Bunda,” ucapnya memulai pengakuan kedua.
Bunda
menoleh. Menatap penuh Aia yang malah
menunduk.
Tidak sanggup menatap mata Bunda lebih lama lagi.
“Kemarin
... Aia sudah keterlaluan, ya? Nggak bisa jaga emosi. Bunda benar, ternyata Aia
belum bisa jadi anak yang baik,” imbuhnya. Melirik Bunda sejenak lalu kembali
tertunduk. Aia terhenyak oleh kata-katanya sendiri. Ia pikir ia sudah baik.
Setidaknya lebih baik dari Adam. Nyatanya tidak.
Kamar
lengang beberapa saat.
Aia
menguatkan diri. Menoleh Bunda perlahan. “Sebenarnya
Aia nggak maksud begitu, Bun. Kemarin,
itu karena Aia takut Bunda …,” Aia tiba-tiba terhenti. Ragu untuk membahas Nur.
Khawatir malam ini akan kembali berakhir dengan perselisihan. “Maafkan
Aia ya, Bun? Kali ini, Aia akan
berusaha jadi anak yang baik buat Bunda,” lanjutnya
sambil di dalam hati terus menguatkan diri kalau-kalau Bunda malah
memarahinya lagi.
Bunda
masih mendengarkan dan menatap Aia.
Membiarkan putrinya menerka jawaban yang akan diberi. Jujur,
ia selalu senang mendengar permintaan maaf Aia. Karena
selalu ada ketulusan di setiap permintaan maafnya. Membuat Bunda tidak bisa untuk tidak
memberi maaf. Lagi pula, Aia menyadari kesalahannya, itu sudah cukup. Maka untuk kali ini pun ia tidak bisa menolak
permintaan itu. Bunda mengangguk perlahan.
Aia mengerjap. Apa maksudnya
Bunda mengangguk? Apa Bunda tidak
mau memarahinya kali ini?! “Bunda nggak marah
lagi sama Aia?!”
selidiknya. Memastikan kalau ia tidak salah mengartikan anggukan Bunda.
Bunda
tersenyum, menjawab pertanyaan Aia dengan gelengan.
Aia
tersenyum girang, “Berarti Aia boleh tetap kajian sama Kak Zia?!”
“Bunda
tidak bilang begitu,” sahut Bunda singkat. Air mukanya seketika berubah begitu
Aia menyinggung soal kajian dan Zia. Menegaskan kalau Bunda tetap tidak setuju
soal kajian itu.
“Oh,
iya sih,” Aia meringis. Senyumnya menghilang. Ia pikir anggukan Bunda tadi juga
sekaligus jadi lampu hijau untuk bisa tetap kajian.
“Bunda
bisa pegang janji Aia untuk jadi anak yang baik sekarang, kan?” tanya Bunda.
Tatapannya berubah tajam. Menuntut Aia untuk mengerti kalimatnya. Bunda tidak
ingin membahasnya lagi lebih jauh.
“Hm?
I, iya, Bunda,” sahut Aia penuh keraguan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Aia melangkah keluar. Aia
paham benar maksud Bunda. Anak baik. Tidak ada kajian.
Tidak ada jilbab. Bagaimana bisa? Tapi, ia juga tidak ingin
bersitegang lagi dengan Bunda. Tidak ingin kehilangan cahayanya.
Maka sepanjang sisa malam itu
hingga beberapa malam kemudian, Aia habiskan
untuk merenung. Termasuk malam pergantian tahun. Saat
yang lain tenggelam dalam pesta pora tak jelas. Aia merenung. Berpikir. Mengambil sebuah keputusan.
***
8
Januari 2013
“Ai,
yakin mau berhenti kajian?!”
tanya Raras panik sambil
terus berlari. Pagi ini menjadi hari kedua bagi Aia, Raras dan Azki menjalani
hukuman lari keliling lapangan sebelum masuk kelas. Pak Kepala Sekolah langsung
yang mengawasi.
Aia
terus berlari tanpa memberi jawaban. Bagaimana harus menjawab kalau diri sendiri saja tidak yakin. Tapi, inilah hasil merenungnya semalam suntuk.
“Jangan
buru-buru ambil keputusan, Ai. Insya Allah ada cara lain,” dengan napas
tersengal, Azki ikut mengingatkan. Tidak rela Aia memutuskan berhenti kajian.
Bukankah Aia yang menguatkannya saat ia mulai goyah.
“Iya,
Ai. Katanya kamu mau menunjukkan kekeliruan DR Nuriyah ke Bunda. Bagaimana
caranya kalau kamu saja berhenti mengkaji Islam?” tambah Raras. “Kita sudah
bertahan sejauh ini, lho. Masa sekarang kamu mau berhenti begitu saja? Kamu
nggak sendirian, Ai. Aku dan Azki pasti bantu. Kak Zia juga.”
Aia
menghentikan larinya. Tubuhnya luruh, berjongkok. Tiba-tiba saja seluruh badan terasa lemas. Penat atas semua tekanan.
“Iya, tahu! Aku tahu keputusanku
salah! Tapi, Bunda …,” Aia tidak sanggu melanjutkan
kalimatnya, tenggorokannya tercekat.
Raras
dan Azki perlahan ikut berjongkok. Menatap iba wajah penuh beban Aia.
“Kalian
tahu kan, aku cuma punya Bunda di rumah … ?” lirih Aia, “aku cuma nggak mau
buat Bunda marah lagi! Lagian. Percuma!
Aku juga nggak akan bisa buat Bunda berhenti percaya sama Tante Nur kalau aku
nggak melakukan yang Bunda mau ….”
Raras
dan Azki refleks merangkul Aia. “Sabar ya, Ai ...,” ujar Azki.
“Kalau kalian nggak suka dengan keputusanku. Kalian
boleh jaga jarak denganku!”
“Bukan itu maksudnya, Ai!” Raras merespons cepat.
Tidak terima dengan tudingan Aia. Memang, ia dan Azki tidak sependapat soal
berhenti kajian. Tapi, bukan berarti hendak
meninggalkannya sendiri.
“Hei,
siapa suruh berhenti?!” suara Pak Kepala Sekolah yang baru menyadari ketiga
siswinya berhenti, menggelegar dari ujung lapangan. Aia, Raras dan Azki refleks
berdiri dan melanjutkan kembali hukumannya yang hampir selesai.
***
Selanjutnya
Sebelumnya
RSS Feed
Twitter
Jumat, Juni 16, 2017
Unknown

Posted in
0 komentar:
Posting Komentar