Jumat, 08 Februari 2013


Oleh : Maswha Faizah

Batinku bergejolak. Seperti ada perang dalam hati. Atau seperti setan dan malaikat yang berdebat atas diri seseorang. Ataukah ini perdebatan antara hati dan ego?
“Untuk apa pake jilbab? Kayak kelakuan udah bener aja!”            
Sesaat kemudian sisi hati ku yang lain menjawab, “Tidak! Bagaimanapun keadaanku, aku tetap seorang muslimah, wajib menutup aurat!”
"Ah, pikir lagi! Nanti nyesel!”
Ah, pusing! Harus bagaimana? Satu sisi aku sudah mengerti akan kewajiban menutup aurat. Tapi banyak hal yang memberatkan hati ini untuk melakukannya. Yang paling utama adalah sikapku. Aku merasa sikapku belumlah pantas untuk menggunakan kerudung apalagi jilbab.
Semenjak intensif mengikuti kajian islam, aku mulai mengerti apa tujuan hidup ini. Aku mulai “melek” bahwa hidup ini adalah amanah. Amanah yang suatu saat akan dimintai pertanggung jawaban oleh pemberinya, seperti dalam firman Allah SWT.  :
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya
(TQS Al-Mudatsir : 38)
Sebagai orang yang diberi amanah tentu kita harus menjaga amanah tersebut. Menjaganya sesuai instruksi pemberi amanah. Artinya jika hidup adalah amanah, maka kita harus menjalaninya sesuai aturan main yang telah dibuat Allah. Termasuk menutup aurat, ya aku tahu itu. Lho, udah tahu kok masih ragu melakukannya?
Itu karena aku merasa belum siap. Belum siap dengan kelakukanku yang menurutku masih amburadul. Belum siap dengan ejekan orang lain. Belum siap, pokoknya belum siap!
Sekali lagi, aku membaca terjemah surat An-Nur ayat 31, ayat yang memerintahkan seorang muslimah untuk memakai kerudung.
“....dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya....”
Setelah membacanya, kubuka surat Al-Ahzab ayat 59, ayat yang memerintahkan muslimah untuk mengenakan jilbab.
“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Awalnya sungguh aneh mendengar jilbab bukanlah kerudung. Tapi kini dengan kedua dalil di atas terjawab sudah. Kacaunya, jawaban itu belum juga menggerakkanku untuk berubah. Ya Allah, what’s wrong with me??
Mau bagaimana lagi? Aku sudah tidak tahu harus apa? Akhirnya kegalauanku berlabuh pada Nidya, sahabatku. Kebetulan dia sudah mengenakan jilbab dan kerudung.
“Belum siap kenapa? Bukannya kamu udah ngerti hukum menutup aurat?” tanya Nidya padaku.
Aku menghela nafas. Menimbang jawaban mana yang akan kukatakan pada Nidya. Nidya memandangku, mendesak untuk segera mendapat jawaban.
“Mm, ya belum siap. Aku ngerasa kelakuanku ini belum pantas berjilbab Nid.” Jawabku pelan, “apa gak lebih baik aku memantaskan diri dulu, baru kemudian menutup aurat.” Tambahku.
Nidya tersenyum, lalu berkata “Faiha, ketika ayat tentang jilbab turun, semua shahabiyah langsung menaati. Tidak ada dari mereka yang mengatakan belum siap, padahal waktu itu mereka pun baru mengenal Islam.”
Aku tertunduk, apa yang salah pada diriku sebenarnya? Kenapa sulit sekali meyakinkan diri untuk menutup aurat.
“Apa bedanya dengan kita. Meski sudah Islam sejak lahir, tapi kita baru benar-benar mengkaji Islam sekarang kan? Bukan memantaskan diri untuk berjilbab, tapi jilbablah yang akan memantaskan diri kita.” Tambahnya lagi, “maksudnya, jilbablah yang akan menjaga prilaku kita. Karena dengan berjilbab ketika akan melakukan sesuatu kita akan mengukur terlebih dahulu, pantaskah perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang berjilbab. Jadi, justru dengan berjilbab kita akan lebih mudah memperbaiki diri.” Nidya terus berusaha meyakinkanku.
“Selain itu Nid, aku juga belum siap dengan komentar-komentar orang sekitarku. Ketika aku berjilbab pasti mereka....” aku tidak meneruskan kalimatku, kupikir Nidya mengerti apa maksudku.
“Ejekan atau komentar apapun, sebenarnya bukan apa-apa Fai. Kamu tahu, sekarang di Prancis, muslimah dilarang memakai burqo. Saudara kita di negara minoritas muslim juga mengalami tindak kekerasan hanya karena mereka adalah muslim.”
“Ya, aku tahu tentang mereka.” Jawabku
“Ternyata cobaan kita tidak seberat mereka Fai. Dulu aku sempet ragu untuk menutup aurat, tapi melihat mereka aku jadi malu. Mereka saja yang dipersulit, masih mempertahankan jilbabnya. Kenapa kita tidak bisa, padahal kondisi kita jauh lebih baik.”
Kata-kata Nidya benar. Kalau harus menunggu baik dulu, kapan aku akan menutup aurat. Mau sampai kapan aku menabung dosa lantaran tidak bersegera melaksanakan perintah-Nya. Ah, Nidya. Sahabatku itu memang pandai meyakinkanku. Akhirnya, kuhapus ragu dalam hati. Kuyakinkan diri untuk menutup aurat.
Aku semakin giat mengkaji Islam, membaca buku-buku agama, agar bertambah pengetahuanku. Membaca Al-Qur’an dan terjemahnya, agar aku bisa memahaminya. Mendekatkan diri pada Allah, agar Dia mengistiqomahkanku di jalan ini.
Ya, kata-kata Nidya terbukti. Setelah berjilbab justru aku mampu memperbaiki diri. Andai aku harus menunggu menjadi baik, mungkin hari ini aku belum berjilbab. Ejekan, siapa yang peduli dengan itu. Aku tidak menganggap itu ejekan sebenarnya. Menurutku justru itu adalah do’a. Karena biasanya ketika aku lewat di hadapan mereka, mereka hanya berkata, “Assalamu’aikum...”, atau “Mau kemana ustadzah?”. Bukankah itu do’a?
Ya Allah, terima kasih atas segalanya. Atas hidup yang Kau amanahkan. Atas jalan yang Kau pilihkan untukku. Atas kesempatan mengenal islam lebih dalam. Atas sahabat yang telah Kau kirimkan untukku. Atas setiap nikmat yang telah Kau berikan. Atas rahmat-Mu, yang hingga kini membuatku tetap istiqomah berada di jalanMu.

Maswha Faizah
2012