Selasa, 09 September 2014

Namanya juga Bogor, kota hujan. Meski prakiraan cuaca di tipi bilang kalo hari ini cerah, nyantanya siang ini air langit tetap tumpah membasahi tanah Bogor.

Brrrr, dingiiin! Imam memarkirkan motornya di samping rumah. Basah kuyup. Ia baru pulang sekolah. Tadinya sih, mau neduh. Tapi kepalang basah, ya, mandi saja sekalian.

“Umiiii, Mamsky hujan-hujanan tuuuuh!” teriak Dian, adik Imam yang berusia tujuh tahun, laporan pada Umi yang lagi sibuk menanggulangi titik-titik kebocoran di rumah. Menadahinya dengan baskom.

“Heh! Mamsky, Mamsky!” Imam melotot sambil mengigil di depan pintu. Sumpah! Imam sebel banget. Gara-gara adik perempuan satu-satunya itu keranjingan nonton GGS, Dian memanggilnya Mamsky. “Ambilin anduk!” perintahnya pada Dian.

“Dian, gera ambilin anduk buat Aa Imam,” ucap umi.

Dian manyun, kok Umi nggak marahin A Imam? Tapi, kalau udah Umi yang ngomong, terpaksa deh, nurut. Umi tersenyum simpul melihat tingkah anaknya.

***

Pukul 13.30 WBR (Waktu Bogor Raya). Langit masih menurunkan berkahnya. Selesai membersihkan diri dan sholat Dzuhur, Imam menginvestigasi dapur. Hmm, dinginnya  hujan di luar, paling pas dikombinasikan dengan mie instant rasa soto pake telor plus cabe. Dilanjutkan dengan sleeping handsome bersama seperangkat alat tidur dibayar tuuunai. Eh ....

***
“Mam! Banguuun!”

“Siaga! Ada penyerangaan! Invasi ruang privaaat!” mendengar teriakan yang lumayan menyakitkan telinganya, Imam refleks berdiri memasang kuda-kuda. Mengira ada penyerangan sungguhan.

Buk! Imam tersuruk. Serangan tak terduga datang dari arah belakang. Hebatnya, ia sama sekali tidak merasakan sakit–soalnya senjata yang digunakan cuma bantal guling kesayangannya-. Sedetik kemudian Imam menoleh untuk mencari tahu siapa pelaku penyerangan yang berani-beraninya mengganggu sleeping handsomenya ....

“Aduuuh Rif! Ngapain sih antum teriak-teriak! Nggak bisa pake cara halus banguninnya?!” Imam bersungut-sungut kesal begitu tahu pelakunya adalah Arif, teman sekelasnya, satu pengajian juga, dan yang Imam syukuri adalah mereka nggak tetanggaan. He ....

“Cara halus?! Asal antum tahu, ana udah dua puluh menit bangunin antum! Dari cara halus sampe yang sedikit nggak halus!” sahut Arif sebal.

Imam menguap, beranjak malas duduk di sebelah Arif. “Terus, antum ngapain ganggu tidur suci ana, heh?”

“Tidur suci? Tidur beruang yang kayak gitu mah!” sembur Arif, “antum lupa ya, sore ini kita kan ada rapat buat dauroh bulan depan. Makanya ana kesini, soalnya ana udah feeling antum bakalan lupa. Beneran kan feeling ana,” Arif menghentikan khotbahnya. Curiga. Ia segera menoleh ke sebelah.

“Yee, sare deui! Banguun!” Arif menyenggol lengan Imam. Membuat Imam akhirnya tersadar.

“Antum  udah melakukan pelanggaran sore ini, menginvasi ruang privat ana tanpa izin,” Imam mengoceh. Antara sadar dan tidak sadar.

“Haha, mana ada invasi minta izin dulu!” Arif tertawa.

“Ya udah, antum aja yang berangkat. Nanti hasilnya kasih tahu ana,” ucapnya lagi.

“Ana juga nggak berangkat kalo antum nggak berangkat,” gumam Arif sejurus kemudian berdehem. 

“Gimana? Nggak enak kan diinvasi? Saudara-saudara kita di Palestina lebih parah. Dari dulu sampe sekarang diinvasi sama Zionis Yahudi, ribuan nyawa syahid, tapi mereka lebih kuat dari kita. Keloyalan mereka pada Islam udah nggak perlu kita raguin lagi. Lha kita? Ngakunya sih pengemban dakwah .....”

“Pengemban dakwah juga manusia, Rif,” Imam buru-buru memotong kalimat Arif. Kalo nggak, satu jam  lagi khotbahnya baru selesai.

Sahabatnya ini, memang paling bisa bikin Imam mati kutu. Imam tahulah maksud Arif. Masa kita yang keadaannya jauh lebih baik, ngaku sebagai pengemban dakwah, malah lalai sama amanah dan dakwah. Tapi, ia setuju dengan Arif. Jadi malu, barusan malas-malasan. Padahal merapatkan agenda dakwah kan juga penting. Ingat kata sahabat, kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir.

Tanpa banyak omong, Imam beranjak mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Mau mandi, siap-siap sebelum Arif khotbah lagi.

***

Motor matic yang ditunggangi Imam dan Arif membelah jalan yang padat merayap serta bonus genangan air. Membuat ujung celana mereka, mau nggak mau, ikutan basah. Lagi asyik-asyiknya melaju, tiba-tiba Imam merasa ada yang nggak beres dengan motornya. Imam menepi.

“Kok berhenti, Mam?” Arif bertanya.

“Liatin ban belakang dong, Rif.”

Arif langsung melaksanakan intruksi Imam, melongok ban belakang. “Waaah, kempes, Mam! Bocor ini sih kayaknya!”

“Ya Allah ...,” desis Imam.

Keduanya langsung celingukan cari-cari tukang tambal ban. Arif tersadar, “Di sini sih nggak ada tambal ban. Kayaknya di depan ada.”

Imam menghela napas, “ya udah, ana ke tambal ban dulu. Antum tunggu di sini, ya? Atau sambil jalan aja pelan-pelan. Sekalian telepon Ustadz, kita telat.”

“Ya udah, ana tunggu di sini,” Arif menyetujui.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali. “Eeh, kenapa lagi nih motor, kok nggak mau nyala?” Imam kebingungan berkali-kali men-starter motornya tapi nggak nyala-nyala.

“Ya Allah ...,” desis Arif. “Bensinnya ada nggak?”

“Hehe, iya Rif, bensinnya udah di garis end,” Imam nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Astaghfirullah! Ini sih udah jatuh tertimpa tangga pula!” Arif menarik napas-sambil nahan emosi juga-, dasar Imam! Adaaa aja yang lupa. “Pom bensin juga masih di depaaan, Imam!”

Sabar. Sabar. Namanya juga manusia, punya kekurangan dan kelebihan. Gitu-gitu, Imam sahabatnya yang paling solid. Dengan motornya, Imam siap nganterin kemana aja. Gak itung-itungan, apalagi buat dakwah.

“Nah, berarti Allah lagi kasih kesempatan buat kita olahraga Masbro!”
“Olahraga, alesan wae!”
“Stay woles, Masbro! Ini tanda kalo Allah mencintai kita,” Imam masih nyengir. Santai menghadapi Arif yang napasnya udah kembang-kempis nahan emosi. “Innallaha ma'ashobirin ...,” tambah Imam. Kalau tadi Arif sudah mengingatkan Imam, sekarang gantian Imam yang mengingatkan Arif.

Arif menghela napas. Ikut nyengir juga. That’s right, saat Allah mencintai hamba-Nya, maka Allah akan mengujinya. Dan Allah selalu bersama hamba-Nya yang bersabar. Hidup ini kan, emang buat diuji. Apa lagi mereka sedang dalam perjalanan untuk dakwah. Harus ekstra sabarnya. Dakwah memang butuh pengorbanan.

“Bismillaah ...,” gumam keduanya.
Imam memimpin di posisi depan. Sementara Arif mendorong dari belakang.
“Semangaat! Allahu akbar!” seru Imam sambil mengangkat tangan kanannya.
“Mam, antum udah minum obat belum sih?”
“Udah, ana kan minum obat antum tadi,” sahut Imam, lagi-lagi dengan gayanya yang santai. “Ayo, Rif, semangaat! Allahu akbar!”

“Harus, ya, nyemangetinnya begitu?” Arif bergidik. Jadi khawatir beneran sama Imam.

***

Alhamdulillaah, dua puluh menit kemudian akhirnya Imam dan Arif menemukan solusi atas dua masalahnya. Allah mempertemukan mereka dengan pom bensin dan tukang tambal ban yang berdampingan. Saking semangatnya, habis ngisi bensin, mereka langsung lari ke tukang tambal ban. Eh, dasar Imam! Kok, yang lari orangnya aja? Motornya ....

“Assalamu’alaikum Ustadz...,” Imam mengucap salam. Sambil menunggu ban ditambal, Imam menelepon Ustadz. Mau ngabarin. “Iya Ustadz, afwan, kita lagi dapet bonus nih. Ban bocor, bensin habis // Oh, kitu? Alhamdulillaah // Ya, syukron, Tadz // Wa’alaikumsalam.”

“Antum kenapa? Jangan bikin ana khawatir dong, dari tadi nyengiir aja,” tanya Arif sambil merapatkan jaketnya. Menghalau dinginnya angin sore kota Bogor.

Imam malah nyengir lebar, “setelah kesulitan ada dua kemudahan. Janji Allah emang nggak pernah salah ya, Rif? Barusan Allah kasih kita pom bensin sama tukang tambal ban deketan. Sekarang, Allah mudahkan kita dengan agenda rapatnya diundur habis Maghrib. Jadi, kita nggak telat. Soalnya, yang lain juga kejebak macet.”

Arif mengerlingkan mata, “itu kata Ustadz?”

“Kata tukang bensin, tadi. Ya, kata Ustadz lah, Rif!”

“Alhamdulillaah ...,” ucap Arif, “bener yang antum bilang. Janji Allah selalu benar. Setelah kesulitan ada dua kemudahan, semua umat Islam percaya sama janji Allah yang ini. Seharusnya, semua umat Islam juga percaya dengan janji kemenangan Islam. Kan, sama-sama janji Allah,” tambahnya.

“Jang, rebes bannya!” seru si Mamang tambal ban separuh baya.
“Alhamdulillah, baraha, Mang?” tanya Imam sambil merogoh sakunya.
“Tilu puluh ribu.”
“Hah?! Tilu puluh?!” Imam dan Arif shock mendengarnya. Nggak salah?!
“Hehehe, heureuy! Delapan rebu.”

Hh, Imam dan Arif menghembuskan napas lega. “Ah, si Mamang, seenaknya wae naikin harga. Untung teu jantungan urang,” ujar Imam sambil menyerahkan empat lembar uang dua ribuan.

“Ah, da’ pemerintah juga seenaknya naikin harga BBM,” sahut si Mamang, “nyesel euy, milih yang polkadot. Sama wae. Nggak mikirin rakyat kecil.”

Arif dan Imam mengerutkan dahi. Polkadot? Ari si Mamang milih naon?

“Emang nggak akan ada bedanya, Mang. Soalnya cuma beda orang aja, peraturan yang diterapin mah sama ...,” Arif mencoba menjelaskan.

“Teuing. Sekarang mah, Mamang nggak mau mikirin pemerintah. Kajen jadi urusan orang-orang atas. Yang penting mah, Mamang masih bisa nyari makan buat anak-istri,” Mamang menyela tidak peduli.
Glek! Ini bukan pertama kalinya Imam dan Arif mendengar orang mengeluhkan pemerintah yang pada faktanya tidak juga pro rakyat. Mereka bosan dengan janji-janji manis sang penguasa yang manisnya kayak gulali. Sekali emut, langsung hilang. Parahnya, bukannya mencari solusi. Mereka malah memilih menjadi apatis. Cuek bebek dengan kondisi yang ada. Dan akhirnya bikin mereka jadi individualis. Cuma mikirin diri sendiri.

Ini dia pe-er besar para pengemban dakwah. Menyadarkan umat Islam tentang kebobrokan sistem yang ada, Kapitalisme beserta anak-cucunya (Demokrasi, Sekulerisme, dll). Dan menyadarkan mereka akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam kaaffah. Menyeluruh. Nggak setengah-setengah. Yang hanya bisa diterapkan dengan Khilafah. Tapi, Karena yang akan kita ubah adalah umat. Jadi, pe-er besar ini nggak bisa kalau hanya dipikul per orang. Supaya bisa mengubahnya, kita harus bergabung bersama jamaah dakwah yang benar-benar memperjuangkan Islam kaaffah.

Imam dan Arif amat bersyukur telah menemukan kelompok tersebut.

“Muhun, Mang, pamit dulu. Besok kita mampir lagi, lanjutin ngobrolnya,” ujar Arif.

Berhubung sudah hampir setengah enam, mereka harus pamit. Agenda dakwah selanjutnya menunggu. Tak lupa mereka menyalami si Mamang. Tanpa banyak bicara, Imam segera memutar kunci. Ditariknya rem. Ditekannya strater. Dan, ngeeeng ... kali ini tanpa hambatan.

***

Alhamdulillah. Dua puluh enam menit, lima belas detik kemudian Imam dan Arif sampai di rumah Ustadz, tempat rapat digelar. Yang lain juga sudah datang.  Lengkap. Hanya satu orang yang tidak datang karena sakit.

Gimana tadi? Katanya kehabisan bensin? Bannya juga bocor? Bukannya telepon saya, biar saya dorongin pake kaki. Jadi, kalian gak usah dorong. Tiba-tiba Imam dan Arif dihujani pertanyaan. Karena perjalanan mereka yang paling dramatis di antara yang lain. Hampir-hampir mereka mau buat konferensi pers untuk mengklarifikasi. Tapi, berhubung adzan Maghrib sudah mengumandang. Mereka urungkan niat itu.

Usai shalat berjamaah, rapat pun dimulai. Adalah sekitar dua jam mereka duduk membuat lingkaran. Bertukar pikiran sambil sesekali diselingin gurauan. Saling memberi masukan. Hingga akhirnya didapati sebuah kesepakatan.

“Alhamdulillah, jadi sepakat ya, ikhwan fillah, dengan susunan acara dan panitia yang kita tentukan hari ini. Semoga Allah memudahkan urusan kita. Dan semoga nashrullah semakin dekat. Jazakumullah Khoiron Katsiran untuk antum semua yang sudah bersedia datang, meski dihadapi dengan berbagai hambatan. Kehadiran satu dari kalian adalah penguat bagi semua. Semoga itu menjadi tiket untuk kita masuk syurga ....”

Seketika suara, “amiiin,” terucap dari semua yang hadir. Imam dan Arif yang paling khusyuk mengucapkannya. Dalam hati terus merapalkan kalimat pujian serta mohon ampunan pada-Nya. Seketika menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka dalam rapat ini. Imam menyesal tadi sempat malas-malasan saat dibangunkan Arif. Begitu pula dengan Arif yang menyesal sempat menggerutu dalam hati saat perjalanannya diuji. Kelak, mereka akan melakukannya lebih baik. Karena dakwah memang butuh pengorbanan, kesabaran dan kebersamaan.

***
Bogor, 9 September 2014
Mashwa Faizah

Minggu, 10 Agustus 2014

Kamus Besar Bahasa Indonesia. Salah satu kamus yang tidak jarang (sering) kita butuhkan. Jujur saja, meski aseli orang Indonesia, tapi, kadang kita (atau mungkin saya) sulit mengerti beberapa kosakata. Di saat seperti itu kamus ini sangat membantu.

Alhamdulillahnya, tekhnologi membuat hidup kita lebih mudah. Salah satunya kenikmatan yang bisa kita nikmati adalah hadirnya, software Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline versi 1.3.

Software dengan bentuk portable ini memudahkan kita dalam mencari kosakata. Kita tidak perlu lagi membuka berlembar-lembar lalu memperhatikan perkata setiap lembarnya untuk menemukan kata yang kita cari. Melainkan cukup dengan mengetik kata yang hendak kita cari. Dan, taraa... seketika software ini akan menampilkan kata yang kita telah ketik. Simple, kan?



Untuk saya pribadi, kamus ini sangat membantu saat saya sedang menulis. :)

Ok, buat kalian yang merasa butuh bin perlu, silakan klik link di bawah ini..

Free Download KBBI Offline 1.3

Oh ya, link ini saya dapatkan dari
http://salafiyunpad.wordpress.com

Semoga bermanfaat.. :)

Maswha Faizah 

Kamis, 31 Juli 2014

Oleh : Maswha Faizah

Bismillahiromaanirrohiim



Sedikit ragu menulisnya. Karena temanya -sebenarnya- bisa dibilang kurang sesuai dengan saya sendiri. Saya mengambil tema parenting sementara saya juga belum jadi parent. Tapi, keinginan berbagi tentang ini mengalahkan ragu itu. Tiga tahun menjadi tutor PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), sedikit banyak saya jadi memperhatikan anak-anak, termasuk tentang pelukan. Kadang, ada anak yang bila menangis ia langsung memeluk saya. Dan semoga tulisan ini bermanfaat...

Sebagai manusia yang diberi fitrah rasa kasih sayang oleh Allah maka kedekatan hubungan antara orang tua dan anak yang harmonis-penuh kasih sayang adalah satu hal yang amat penting dalam sebuah keluarga. Tidak adanya keharmonisan dalam keluarga akan berdampak buruk bagi perkembangan anak. Bukankah saat ini kita sering melihat bagaimana perkembangan sebagian dari anak  broken home? Sering kali mereka menjadi kekurangan perhatian hingga mencari perhatian di luar rumah.

Atau fenomena yang sekarang terjadi adalah ketika banyak orang tua (Ayah dan Ibu) yang bekerja. Pergi saat anak-anak mereka belum bangun dan pulang saat mereka sudah terlelap. Atau mungkin juga seperti yang berkembang di lingkungan saya tinggal banyak berkembang hubungan yang kaku antara orang tua dan anak. Bahkan terkesan seakan orang tua merasa cukup membuktikan kasih sayangnya dengan menyekolahkan anak-anaknya, membelikan barang yang mereka inginkan. Hanya itu. Mereka malah terlihat gengsi jika harus mengungkapkan rasa sayang mereka dengan memeluk atau mencium anak mereka misalnya -apalagi jika mereka sudah duduk dibangku SMP-. Padahal yang saya tahu, saat sudah besarpun, seorang anak tetap butuh pelukan orang tuanya.

Pelukan orang tua untuk anak ternyata adalah hal kecil yang mampu membawa pengaruh besar bagi perkembangan psikologis anak. Mengapa? Karena pelukan orang tua pada anak akan menguatkan ikatan batin dan kasih sayang antara orang tua dan anak. Seperti yang saya dapat dari http://bidanku.com bahwa saat berpelukan akan hadir hormon endomorfin yang mampu mengurangi ketegangan saraf dan tekanan darah. Ini menjadikan anak tidak mudah stress. Sebuah penelitian dari University of Itali mengatakan bahwa anak yang sering mendapat pelukan akan lebih mudah sembuh dari depresi yang dialaminya, juga lebih percaya diri dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Sebuah penelitian yang juga dilakukan oleh para dokter dari Univertisas North California menyebutkan bahwa berpelukan akan menyehatkan jantung. Karena saat berpelukan kadar oksitosin hormon yang menyehatkan jantung mengalami peningkatan. Selain baik untuk kesehatan. Secara psikologis anak-anak yang mendapat pelukan, sentuhan dan belaian kasih sayang dari orang tuanya akan tumbuh menjadi anak yang lembut dan penyayang, karena begitulah ia dididik oleh orang tuanya.

Pelukan untuk Anak dalam Pandangan Islam

Sebagai agama rahmatan lil 'alamin, Islam juga punya pandangan tersendiri tentang bagaimana mendidik anak. Bahkan suri tauladan kita, Rasulullah Saw telah mencontohkan kepada kita bagaimana mencintai anak-anak. Rasul mengajarkan kita tentang bagaimana mengungkapkan kasih sayang orang tua terhadap anak.

Seorang pemuka kabilah, Al-Aqra' bin Habis, melihat Nabi mencium anaknya. Dia keheranan dan bertanya, "Engkau mencium anakmu? Padahal aku mempunyai sepuluh orang anak. Tak seorang pun kucium.", "Aku tidaklah sepertimu," jawab Nabi, "karena Allah telah mencabut cinta dari jantungmu."

Dalam kisah lain menyebutkan bahwa bila Rasul tengah berada dalam majelis dan melihat Fathimah datang, Rasul segera bangkit. Tidak jarang Rasul mencium tangan -penghormatan dan kasih sayang- Fathimah dihadapan sahabat-sahabatnya, atau kadang Rasul mencium kening Fathimah seraya berkata, "bila aku merindukan bau surga, aku mencium Fathimah."

Subhanallah, begitu lembutnya sikap Rasul terhadap anaknya. Jauh sebelum penelitian-penelitian yang dilakukan para ahli dari universitas Itali maupun California, ternyata kita umat Islam sudah lebih dulu diajarkan melakukan hal tersebut oleh Rasulullah Saw. Tidak hanya mengenai pentingnya kasih sayang, Islam juga menjaga hak-hak anak -Insya Allah akan kita bahas di lain waktu-.

Penutup

Di era Kapitalis ini, ketika semua diukur dengan materi, tidak sedikit orang tua yang juga akhirnya menganggap cukup ketika mereka sudah memenuhi semua kebutuhan materi, memberi fasilitas dan berbagai kemewahan pada sang anak. Sadar atau tidak kita sudah terjebak dengan pemikiran itu. Hingga kadang kita punya banyak waktu untuk mencari uang. Namun tidak punya cukup waktu untuk anak-anak walau hanya untuk memeluknya.

Terkadang mungkin kita meremehkannya. Merasa tidak perlu melakukannya. Tidak punya cukup waktu melakukannya. Atau sekedar gengsi melakukannya. Tapi ternyata justru ini yang dibutuhkannya. Ayah, Ibu, anak-anakmu butuh pelukanmu. Pelukan kalianlah yang akan menguatkan mereka. Pelukan kalianlah yang akan menenangkan mereka. Pelukan kalianlah yang akan menjadikan mereka percaya diri. Pelukan tulus penuh kasih sayanglah yang akan menjadikan mereka tumbuh menjadi orang yang juga penuh kasih sayang.

Izinkan saya bicara sebagai seorang anak -karena saya juga anak :)-.Ayah, Ibu, kami tak hanya butuh materi atau fasilitas mewah yang mungkin mampu kalian berikan. Bukan kami tak mensyukuri, tapi ada satu hal yang juga kami butuhkan. Sesuatu yang murah tapi banyak orang merasa sulit melakukan. Kami butuh kasih sayang kalian dalam bentuk perhatian, kasih sayang, sentuhan lembut juga pelukan.

Semoga sedikit catatan ini dapat memberi manfaat.
Well, mungkin setelah ini kita bisa meluangkan waktu beberapa detik untuk memberi pelukan kasih sayang pada keluarga kita. Orang tua terhadap anak, anak pada orang tua, atau mungkin antara kakak-adik.
:-D

Alhamdulillahirobbil'alamiin







Sabtu, 22 Februari 2014

Beberapa waktu yang lalu kita digegerkan dengan berita seorang Ustadz yang menginjak kepala operator sound di sebuah acara saat beliau ceramah. Kalo menurut Ustadznya sih, katanya itu bukan menginjak, cuma menekan pundak operator dengan lututnya sambil menasehati sang operator, gara-gara sang operator berbicara dengan nada marah-marah pada saat Ustadz minta ditambah volume mikrofonnya. Hm, saling menasihati itu emang kewajiban sesama muslim. Tapi, kita sepakat lha ya, hal semacam itu gak seharusnya dilakukan oleh seorang Ustadz, seseorang yang jadi teladan buat umat. Ya, gak? Allah kan, sudah menyuruh kita untuk saling mengingatkan dengan cara yang baik dalam firman-Nya. 

“Berkatalah kamu berdua kepadanya dengan lemah lembut agar ia mengikuti jalan yang benar atau agar ia takut kepada-Ku (Q.S. Al Hujarat : 13).

Yang juga masih anget diingetan kita adalah kasus tawuran di pintu masuk perumahan Tirta Kahuripan pada hari Rabu (12/2) lalu. Tawuran antara siswa SMK Wiyata Karisma dengan SMK Menara Siswa itu, menewaskan Ade Sudrajat, seorang siswa SMK Wiyata Karisma. Semua orang juga tahu, kalo mereka yang tawuran itu adalah remaja-remaja muslim. #tepokjidatbareng-bareng
Islam jelas gak pernah mengajarkan umatnya tentang kekerasan apalagi membunuh sesama muslim. Dosa besar tuh! Seperti yang digambarkan dalam sebuah hadits dari Abu Bakrah (Nufa'i) bin al Harits ats Tsaqafy berkata: Rasulullah saw bersabda, "Apabila dua orang Muslim berhadapan dengan pedang masing-masing maka pembunuh dan terbunuh keduanya sama-sama masuk neraka. Abu Bakrah bertanya, "Ya Rasulullah, yang membunuh jelas masuk neraka tetapi mengapa yang terbunuh juga demikian? Rasulullah saw menjawab, "Karena ia juga memiliki niat sungguh-sungguh akan membunuh lawannya." (HR Bukhari - Muslim). Na’udzubillahi Min Dzalik!

Yang gak kalah rame, datang dari cerita Ibu Tri Rismaharini, walikota Surabaya, yang mengaku bertemu dengan seorang PSK berusia 62 tahun. What? 62 tahun? Itu sih nenek-nenek namanya! Siapa juga yang bilang dia remaja. (he...). Kacaunya, si nenek ini melayani anak-anak SD/SMP/SMA yang cuma punya duit seribu-dua ribu gitu. Aduh! Nih nenek bukannya tobat malah jerumusin cucu-cucunya buat maksiat! Astagfirullah....
What’s Wrong?
Hm, rasanya tiga kasus dari tiga generasi barusan udah cukup buat ngegambarin kondisi umat saat ini. Cukup buat kita bertanya-tanya, he to the lo, hello, ada apa sih sebenernya? Mereka muslim tapi kelakuannya jauh dari Islam. what’s wrong my bro n my sis? Hm, mari kita selidiki! Capcus!

Banyak orang bilang saat ini Indonesia sedang mengalami degradasi moral. Apaan tuh? 
Maksudnya penurunan moral alias penduduk negeri mayoritas muslim ini merosot akhlaknya. Ngomongin soal akhlak berarti ngomongin soal kepribadian. Sebelum ngomongin soal keperibadian, kita harus nyamain dulu nih, persepsi kita tentang kepribadian. Maklumlah, di zaman sekarang pengertian kepribadian udah rada geser dari arti sebenarnya.

Dalam Islam, kepribadian adalah kemampuan seseorang dalam mengaitkan pola pikir (bahasa kerennya : Aqliyah) dan pola sikap (bahasa kerennya : Nafsiyah). Pola pikir maksudnya cara kita memikirkan/menilai sesuatu. Kalo kita menggunakan aqidah Islam dalam menilai sesuatu, berarti pola pikir kita pola pikir Islami (bahasa kerennya : Aqliyah Islamiyah). Pola sikap maksudnya sikap kita dalam memenuhi tuntutan naluri dan kebutuhan fisik. Kalo kita menggunakan aqidah Islam dalam memenuhinya, berarti pola sikap kita pola sikap Islami (bahasa kerennya : Nafsiyah Islamiyah). Kalo pola pikir n pola sikap kita udah Islami, artinya kepribadian yang kita punya kepribadian Islam (bahasa kerennya : syakhshiyah Islamiyah). Sebagai remaja muslim kita kudu bin wajib punya kepribadian Islam. Karena ini udah jadi konsekuensi dari keimanan kita pada Allah.

Nenek yang menjadi PSK atau pelajar yang tawuran tadi jelas gak punya kepribadian Islam. Pertanyaannya, kenapa mereka sampe gak punya kepribadian Islam? Jawabnya, karena mereka gak menjadikan Islam sebagai pola pikir n pola sikap. Makin jadi, dengan kondisi masyarakat kita yang makin individualis –hidupnya nafsi-nafsi-, liberalis, hedonis, dan is is yang lain.  Ok, ok, itu mereka. Tapi, gimana dengan kasus Ustadz? Apa itu berarti Ustadz tadi gak punya kepribadian Islam?

Yah, namanya juga manusia. Gak ada yang sempurna alias ada aja cacatnya, istilahnya cacat syakhshiyah. Cacat syakhshiyah ini biasanya disebabkan karena tiga hal. Pertama, karena tidak tahu. Kedua, karena khilaf (kelalaian). Atau ketiga, karena godaan setan.

Conclusion

Siapa sih yang mau dibilang akhlaknya merosot. Terus, gimana caranya supaya kita punya kepribadian Islam? Sekarang dan nanti. Let’s cekidot!

Pertama, jadikan aqidah Islam sebagai pola pikir n pola sikap kita. Supaya kita jadi pribadi yang Islami. Kedua, tambah tsaqofah Islamiyah lewat ngaji or baca buku. Supaya kita banyak tahu, tahu mana yang Allah ridho mana yang enggak. Supaya kita bisa semakin mengendalikan diri dan tingkah laku. Ketiga, terus dekatkan diri pada Allah. Shalat lima waktu gak boleh lewat. Shalat sunnah n ibadah nafilah lainnya juga jangan ketinggalan. Keempat, saling mengingatkan dan menasihati dengan cara yang ma’ruf. Setuju?

Nah, yuk benahi diri. Jadikan Aqidah Islam sebagai landasan kepribadian. Halal-haram, itu tolak ukur perbuatan. Rasulullah yang jadi tauladan. Cukuplah ridho Allah menjadi kebahagiaan. Dengan begitu, semoga kita tidak tergoda dengan godaan setan. Kalo masih tergoda, kebangetan. Ups! Mohon maaf kalo ada kesalahan. Keep Istiqomah, keep spirit Islam, keep smile....

Wallahu’alam bi showab
Bogor, 22 Pebruari 2014