Namanya juga Bogor,
kota hujan. Meski prakiraan cuaca di tipi bilang kalo hari ini cerah, nyantanya
siang ini air langit tetap tumpah membasahi tanah Bogor.
Brrrr,
dingiiin! Imam memarkirkan motornya di samping rumah. Basah kuyup. Ia baru
pulang sekolah. Tadinya sih, mau neduh. Tapi kepalang basah, ya, mandi saja
sekalian.
“Umiiii, Mamsky
hujan-hujanan tuuuuh!” teriak Dian, adik Imam yang berusia tujuh tahun, laporan
pada Umi yang lagi sibuk menanggulangi titik-titik kebocoran di rumah.
Menadahinya dengan baskom.
“Heh! Mamsky,
Mamsky!” Imam melotot sambil mengigil di depan pintu. Sumpah! Imam sebel
banget. Gara-gara adik perempuan satu-satunya itu keranjingan nonton GGS, Dian
memanggilnya Mamsky. “Ambilin anduk!” perintahnya pada Dian.
“Dian, gera
ambilin anduk buat Aa Imam,” ucap umi.
Dian manyun, kok
Umi nggak marahin A Imam? Tapi, kalau udah Umi yang ngomong, terpaksa deh,
nurut. Umi tersenyum simpul melihat tingkah anaknya.
***
Pukul 13.30 WBR
(Waktu Bogor Raya). Langit masih menurunkan berkahnya. Selesai membersihkan
diri dan sholat Dzuhur, Imam menginvestigasi dapur. Hmm, dinginnya hujan di luar, paling pas dikombinasikan
dengan mie instant rasa soto pake telor plus cabe. Dilanjutkan dengan sleeping
handsome bersama seperangkat alat tidur dibayar tuuunai. Eh ....
***
“Mam!
Banguuun!”
“Siaga! Ada
penyerangaan! Invasi ruang privaaat!” mendengar teriakan yang lumayan
menyakitkan telinganya, Imam refleks berdiri memasang kuda-kuda. Mengira ada
penyerangan sungguhan.
Buk! Imam tersuruk. Serangan tak terduga datang dari arah belakang.
Hebatnya, ia sama sekali tidak merasakan sakit–soalnya senjata yang digunakan cuma
bantal guling kesayangannya-. Sedetik kemudian Imam menoleh untuk mencari tahu siapa
pelaku penyerangan yang berani-beraninya mengganggu sleeping handsomenya
....
“Aduuuh Rif!
Ngapain sih antum teriak-teriak! Nggak bisa pake cara halus banguninnya?!” Imam
bersungut-sungut kesal begitu tahu pelakunya adalah Arif, teman sekelasnya,
satu pengajian juga, dan yang Imam syukuri adalah mereka nggak tetanggaan. He
....
“Cara halus?!
Asal antum tahu, ana udah dua puluh menit bangunin antum! Dari cara halus sampe
yang sedikit nggak halus!” sahut Arif sebal.
Imam menguap,
beranjak malas duduk di sebelah Arif. “Terus, antum ngapain ganggu tidur suci
ana, heh?”
“Tidur suci?
Tidur beruang yang kayak gitu mah!” sembur Arif, “antum lupa ya, sore ini kita
kan ada rapat buat dauroh bulan depan. Makanya ana kesini, soalnya ana udah feeling
antum bakalan lupa. Beneran kan feeling ana,” Arif menghentikan
khotbahnya. Curiga. Ia segera menoleh ke sebelah.
“Yee, sare
deui! Banguun!” Arif menyenggol lengan Imam. Membuat Imam akhirnya tersadar.
“Antum udah melakukan pelanggaran sore ini,
menginvasi ruang privat ana tanpa izin,” Imam mengoceh. Antara sadar dan tidak
sadar.
“Haha, mana ada
invasi minta izin dulu!” Arif tertawa.
“Ya udah, antum
aja yang berangkat. Nanti hasilnya kasih tahu ana,” ucapnya lagi.
“Ana juga nggak
berangkat kalo antum nggak berangkat,” gumam Arif sejurus kemudian berdehem.
“Gimana?
Nggak enak kan diinvasi? Saudara-saudara kita di Palestina lebih parah. Dari
dulu sampe sekarang diinvasi sama Zionis Yahudi, ribuan nyawa syahid, tapi
mereka lebih kuat dari kita. Keloyalan mereka pada Islam udah nggak perlu kita
raguin lagi. Lha kita? Ngakunya sih pengemban dakwah .....”
“Pengemban
dakwah juga manusia, Rif,” Imam buru-buru memotong kalimat Arif. Kalo nggak,
satu jam lagi khotbahnya baru selesai.
Sahabatnya ini,
memang paling bisa bikin Imam mati kutu. Imam tahulah maksud Arif. Masa kita
yang keadaannya jauh lebih baik, ngaku sebagai pengemban dakwah, malah lalai
sama amanah dan dakwah. Tapi, ia setuju dengan Arif. Jadi malu, barusan
malas-malasan. Padahal merapatkan agenda dakwah kan juga penting. Ingat kata
sahabat, kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang
terorganisir.
Tanpa banyak
omong, Imam beranjak mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamar.
Mau mandi, siap-siap sebelum Arif khotbah lagi.
***
Motor matic
yang ditunggangi Imam dan Arif membelah jalan yang padat merayap serta bonus genangan
air. Membuat ujung celana mereka, mau nggak mau, ikutan basah. Lagi
asyik-asyiknya melaju, tiba-tiba Imam merasa ada yang nggak beres dengan
motornya. Imam menepi.
“Kok berhenti,
Mam?” Arif bertanya.
“Liatin ban
belakang dong, Rif.”
Arif langsung
melaksanakan intruksi Imam, melongok ban belakang. “Waaah, kempes, Mam! Bocor
ini sih kayaknya!”
“Ya Allah ...,”
desis Imam.
Keduanya
langsung celingukan cari-cari tukang tambal ban. Arif tersadar, “Di sini sih
nggak ada tambal ban. Kayaknya di depan ada.”
Imam menghela
napas, “ya udah, ana ke tambal ban dulu. Antum tunggu di sini, ya? Atau sambil
jalan aja pelan-pelan. Sekalian telepon Ustadz, kita telat.”
“Ya udah, ana
tunggu di sini,” Arif menyetujui.
Satu kali. Dua
kali. Tiga kali. “Eeh, kenapa lagi nih motor, kok nggak mau nyala?” Imam
kebingungan berkali-kali men-starter motornya tapi nggak nyala-nyala.
“Ya Allah ...,”
desis Arif. “Bensinnya ada nggak?”
“Hehe, iya Rif,
bensinnya udah di garis end,” Imam nyengir sambil garuk-garuk kepala.
“Astaghfirullah!
Ini sih udah jatuh tertimpa tangga pula!” Arif menarik napas-sambil nahan emosi
juga-, dasar Imam! Adaaa aja yang lupa. “Pom bensin juga masih di depaaan,
Imam!”
Sabar. Sabar.
Namanya juga manusia, punya kekurangan dan kelebihan. Gitu-gitu, Imam
sahabatnya yang paling solid. Dengan motornya, Imam siap nganterin kemana aja.
Gak itung-itungan, apalagi buat dakwah.
“Nah, berarti Allah
lagi kasih kesempatan buat kita olahraga Masbro!”
“Olahraga,
alesan wae!”
“Stay woles,
Masbro! Ini tanda kalo Allah mencintai kita,” Imam masih nyengir. Santai
menghadapi Arif yang napasnya udah kembang-kempis nahan emosi. “Innallaha
ma'ashobirin ...,” tambah Imam. Kalau tadi Arif sudah mengingatkan Imam,
sekarang gantian Imam yang mengingatkan Arif.
Arif menghela
napas. Ikut nyengir juga. That’s right, saat Allah mencintai hamba-Nya,
maka Allah akan mengujinya. Dan Allah selalu bersama hamba-Nya yang bersabar.
Hidup ini kan, emang buat diuji. Apa lagi mereka sedang dalam perjalanan untuk
dakwah. Harus ekstra sabarnya. Dakwah memang butuh pengorbanan.
“Bismillaah
...,” gumam keduanya.
Imam memimpin
di posisi depan. Sementara Arif mendorong dari belakang.
“Semangaat!
Allahu akbar!” seru Imam sambil mengangkat tangan kanannya.
“Mam, antum
udah minum obat belum sih?”
“Udah, ana kan
minum obat antum tadi,” sahut Imam, lagi-lagi dengan gayanya yang santai. “Ayo,
Rif, semangaat! Allahu akbar!”
“Harus, ya,
nyemangetinnya begitu?” Arif bergidik. Jadi khawatir beneran sama Imam.
***
Alhamdulillaah,
dua puluh menit kemudian akhirnya Imam dan Arif menemukan solusi atas dua
masalahnya. Allah mempertemukan mereka dengan pom bensin dan tukang tambal ban
yang berdampingan. Saking semangatnya, habis ngisi bensin, mereka langsung lari
ke tukang tambal ban. Eh, dasar Imam! Kok, yang lari orangnya aja? Motornya
....
“Assalamu’alaikum
Ustadz...,” Imam mengucap salam. Sambil menunggu ban ditambal, Imam menelepon
Ustadz. Mau ngabarin. “Iya Ustadz, afwan, kita lagi dapet bonus nih. Ban bocor,
bensin habis // Oh, kitu? Alhamdulillaah // Ya, syukron, Tadz //
Wa’alaikumsalam.”
“Antum kenapa?
Jangan bikin ana khawatir dong, dari tadi nyengiir aja,” tanya Arif sambil
merapatkan jaketnya. Menghalau dinginnya angin sore kota Bogor.
Imam malah
nyengir lebar, “setelah kesulitan ada dua kemudahan. Janji Allah emang nggak
pernah salah ya, Rif? Barusan Allah kasih kita pom bensin sama tukang tambal
ban deketan. Sekarang, Allah mudahkan kita dengan agenda rapatnya diundur habis
Maghrib. Jadi, kita nggak telat. Soalnya, yang lain juga kejebak macet.”
Arif
mengerlingkan mata, “itu kata Ustadz?”
“Kata tukang
bensin, tadi. Ya, kata Ustadz lah, Rif!”
“Alhamdulillaah
...,” ucap Arif, “bener yang antum bilang. Janji Allah selalu benar. Setelah
kesulitan ada dua kemudahan, semua umat Islam percaya sama janji Allah yang
ini. Seharusnya, semua umat Islam juga percaya dengan janji kemenangan Islam.
Kan, sama-sama janji Allah,” tambahnya.
“Jang, rebes
bannya!” seru si Mamang tambal ban separuh baya.
“Alhamdulillah,
baraha, Mang?” tanya Imam sambil merogoh sakunya.
“Tilu puluh
ribu.”
“Hah?! Tilu
puluh?!” Imam dan Arif shock mendengarnya. Nggak salah?!
“Hehehe,
heureuy! Delapan rebu.”
Hh, Imam dan
Arif menghembuskan napas lega. “Ah, si Mamang, seenaknya wae naikin harga.
Untung teu jantungan urang,” ujar Imam sambil menyerahkan empat lembar uang dua
ribuan.
“Ah, da’
pemerintah juga seenaknya naikin harga BBM,” sahut si Mamang, “nyesel euy,
milih yang polkadot. Sama wae. Nggak mikirin rakyat kecil.”
Arif dan Imam
mengerutkan dahi. Polkadot? Ari si Mamang milih naon?
“Emang nggak
akan ada bedanya, Mang. Soalnya cuma beda orang aja, peraturan yang diterapin
mah sama ...,” Arif mencoba menjelaskan.
“Teuing.
Sekarang mah, Mamang nggak mau mikirin pemerintah. Kajen jadi urusan
orang-orang atas. Yang penting mah, Mamang masih bisa nyari makan buat
anak-istri,” Mamang menyela tidak peduli.
Glek! Ini bukan
pertama kalinya Imam dan Arif mendengar orang mengeluhkan pemerintah yang pada
faktanya tidak juga pro rakyat. Mereka bosan dengan janji-janji manis sang
penguasa yang manisnya kayak gulali. Sekali emut, langsung hilang. Parahnya, bukannya
mencari solusi. Mereka malah memilih menjadi apatis. Cuek bebek dengan kondisi
yang ada. Dan akhirnya bikin mereka jadi individualis. Cuma mikirin diri
sendiri.
Ini dia pe-er
besar para pengemban dakwah. Menyadarkan umat Islam tentang kebobrokan sistem
yang ada, Kapitalisme beserta anak-cucunya (Demokrasi, Sekulerisme, dll). Dan
menyadarkan mereka akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam kaaffah.
Menyeluruh. Nggak setengah-setengah. Yang hanya bisa diterapkan dengan
Khilafah. Tapi, Karena yang akan kita ubah adalah umat. Jadi, pe-er besar ini
nggak bisa kalau hanya dipikul per orang. Supaya bisa mengubahnya, kita harus
bergabung bersama jamaah dakwah yang benar-benar memperjuangkan Islam kaaffah.
Imam dan Arif
amat bersyukur telah menemukan kelompok tersebut.
“Muhun, Mang,
pamit dulu. Besok kita mampir lagi, lanjutin ngobrolnya,” ujar Arif.
Berhubung sudah
hampir setengah enam, mereka harus pamit. Agenda dakwah selanjutnya menunggu.
Tak lupa mereka menyalami si Mamang. Tanpa banyak bicara, Imam segera memutar
kunci. Ditariknya rem. Ditekannya strater. Dan, ngeeeng ... kali ini tanpa
hambatan.
***
Alhamdulillah.
Dua puluh enam menit, lima belas detik kemudian Imam dan Arif sampai di rumah
Ustadz, tempat rapat digelar. Yang lain juga sudah datang. Lengkap. Hanya satu orang yang tidak datang
karena sakit.
Gimana tadi?
Katanya kehabisan bensin? Bannya juga bocor? Bukannya telepon saya, biar saya
dorongin pake kaki. Jadi, kalian gak usah dorong. Tiba-tiba Imam dan Arif dihujani pertanyaan. Karena perjalanan
mereka yang paling dramatis di antara yang lain. Hampir-hampir mereka mau buat
konferensi pers untuk mengklarifikasi. Tapi, berhubung adzan Maghrib sudah
mengumandang. Mereka urungkan niat itu.
Usai shalat
berjamaah, rapat pun dimulai. Adalah sekitar dua jam mereka duduk membuat
lingkaran. Bertukar pikiran sambil sesekali diselingin gurauan. Saling memberi
masukan. Hingga akhirnya didapati sebuah kesepakatan.
“Alhamdulillah,
jadi sepakat ya, ikhwan fillah, dengan susunan acara dan panitia yang kita
tentukan hari ini. Semoga Allah memudahkan urusan kita. Dan semoga nashrullah
semakin dekat. Jazakumullah Khoiron Katsiran untuk antum semua yang
sudah bersedia datang, meski dihadapi dengan berbagai hambatan. Kehadiran satu
dari kalian adalah penguat bagi semua. Semoga itu menjadi tiket untuk kita
masuk syurga ....”
Seketika suara,
“amiiin,” terucap dari semua yang hadir. Imam dan Arif yang paling khusyuk
mengucapkannya. Dalam hati terus merapalkan kalimat pujian serta mohon ampunan
pada-Nya. Seketika menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka dalam rapat
ini. Imam menyesal tadi sempat malas-malasan saat dibangunkan Arif. Begitu pula
dengan Arif yang menyesal sempat menggerutu dalam hati saat perjalanannya
diuji. Kelak, mereka akan melakukannya lebih baik. Karena dakwah memang butuh
pengorbanan, kesabaran dan kebersamaan.
***
Bogor, 9 September 2014
Mashwa Faizah
RSS Feed
Twitter
Selasa, September 09, 2014
Unknown

