Selasa, 09 September 2014

Namanya juga Bogor, kota hujan. Meski prakiraan cuaca di tipi bilang kalo hari ini cerah, nyantanya siang ini air langit tetap tumpah membasahi tanah Bogor.

Brrrr, dingiiin! Imam memarkirkan motornya di samping rumah. Basah kuyup. Ia baru pulang sekolah. Tadinya sih, mau neduh. Tapi kepalang basah, ya, mandi saja sekalian.

“Umiiii, Mamsky hujan-hujanan tuuuuh!” teriak Dian, adik Imam yang berusia tujuh tahun, laporan pada Umi yang lagi sibuk menanggulangi titik-titik kebocoran di rumah. Menadahinya dengan baskom.

“Heh! Mamsky, Mamsky!” Imam melotot sambil mengigil di depan pintu. Sumpah! Imam sebel banget. Gara-gara adik perempuan satu-satunya itu keranjingan nonton GGS, Dian memanggilnya Mamsky. “Ambilin anduk!” perintahnya pada Dian.

“Dian, gera ambilin anduk buat Aa Imam,” ucap umi.

Dian manyun, kok Umi nggak marahin A Imam? Tapi, kalau udah Umi yang ngomong, terpaksa deh, nurut. Umi tersenyum simpul melihat tingkah anaknya.

***

Pukul 13.30 WBR (Waktu Bogor Raya). Langit masih menurunkan berkahnya. Selesai membersihkan diri dan sholat Dzuhur, Imam menginvestigasi dapur. Hmm, dinginnya  hujan di luar, paling pas dikombinasikan dengan mie instant rasa soto pake telor plus cabe. Dilanjutkan dengan sleeping handsome bersama seperangkat alat tidur dibayar tuuunai. Eh ....

***
“Mam! Banguuun!”

“Siaga! Ada penyerangaan! Invasi ruang privaaat!” mendengar teriakan yang lumayan menyakitkan telinganya, Imam refleks berdiri memasang kuda-kuda. Mengira ada penyerangan sungguhan.

Buk! Imam tersuruk. Serangan tak terduga datang dari arah belakang. Hebatnya, ia sama sekali tidak merasakan sakit–soalnya senjata yang digunakan cuma bantal guling kesayangannya-. Sedetik kemudian Imam menoleh untuk mencari tahu siapa pelaku penyerangan yang berani-beraninya mengganggu sleeping handsomenya ....

“Aduuuh Rif! Ngapain sih antum teriak-teriak! Nggak bisa pake cara halus banguninnya?!” Imam bersungut-sungut kesal begitu tahu pelakunya adalah Arif, teman sekelasnya, satu pengajian juga, dan yang Imam syukuri adalah mereka nggak tetanggaan. He ....

“Cara halus?! Asal antum tahu, ana udah dua puluh menit bangunin antum! Dari cara halus sampe yang sedikit nggak halus!” sahut Arif sebal.

Imam menguap, beranjak malas duduk di sebelah Arif. “Terus, antum ngapain ganggu tidur suci ana, heh?”

“Tidur suci? Tidur beruang yang kayak gitu mah!” sembur Arif, “antum lupa ya, sore ini kita kan ada rapat buat dauroh bulan depan. Makanya ana kesini, soalnya ana udah feeling antum bakalan lupa. Beneran kan feeling ana,” Arif menghentikan khotbahnya. Curiga. Ia segera menoleh ke sebelah.

“Yee, sare deui! Banguun!” Arif menyenggol lengan Imam. Membuat Imam akhirnya tersadar.

“Antum  udah melakukan pelanggaran sore ini, menginvasi ruang privat ana tanpa izin,” Imam mengoceh. Antara sadar dan tidak sadar.

“Haha, mana ada invasi minta izin dulu!” Arif tertawa.

“Ya udah, antum aja yang berangkat. Nanti hasilnya kasih tahu ana,” ucapnya lagi.

“Ana juga nggak berangkat kalo antum nggak berangkat,” gumam Arif sejurus kemudian berdehem. 

“Gimana? Nggak enak kan diinvasi? Saudara-saudara kita di Palestina lebih parah. Dari dulu sampe sekarang diinvasi sama Zionis Yahudi, ribuan nyawa syahid, tapi mereka lebih kuat dari kita. Keloyalan mereka pada Islam udah nggak perlu kita raguin lagi. Lha kita? Ngakunya sih pengemban dakwah .....”

“Pengemban dakwah juga manusia, Rif,” Imam buru-buru memotong kalimat Arif. Kalo nggak, satu jam  lagi khotbahnya baru selesai.

Sahabatnya ini, memang paling bisa bikin Imam mati kutu. Imam tahulah maksud Arif. Masa kita yang keadaannya jauh lebih baik, ngaku sebagai pengemban dakwah, malah lalai sama amanah dan dakwah. Tapi, ia setuju dengan Arif. Jadi malu, barusan malas-malasan. Padahal merapatkan agenda dakwah kan juga penting. Ingat kata sahabat, kebaikan yang tidak terorganisir akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir.

Tanpa banyak omong, Imam beranjak mengambil handuk yang tergantung di belakang pintu kamar. Mau mandi, siap-siap sebelum Arif khotbah lagi.

***

Motor matic yang ditunggangi Imam dan Arif membelah jalan yang padat merayap serta bonus genangan air. Membuat ujung celana mereka, mau nggak mau, ikutan basah. Lagi asyik-asyiknya melaju, tiba-tiba Imam merasa ada yang nggak beres dengan motornya. Imam menepi.

“Kok berhenti, Mam?” Arif bertanya.

“Liatin ban belakang dong, Rif.”

Arif langsung melaksanakan intruksi Imam, melongok ban belakang. “Waaah, kempes, Mam! Bocor ini sih kayaknya!”

“Ya Allah ...,” desis Imam.

Keduanya langsung celingukan cari-cari tukang tambal ban. Arif tersadar, “Di sini sih nggak ada tambal ban. Kayaknya di depan ada.”

Imam menghela napas, “ya udah, ana ke tambal ban dulu. Antum tunggu di sini, ya? Atau sambil jalan aja pelan-pelan. Sekalian telepon Ustadz, kita telat.”

“Ya udah, ana tunggu di sini,” Arif menyetujui.

Satu kali. Dua kali. Tiga kali. “Eeh, kenapa lagi nih motor, kok nggak mau nyala?” Imam kebingungan berkali-kali men-starter motornya tapi nggak nyala-nyala.

“Ya Allah ...,” desis Arif. “Bensinnya ada nggak?”

“Hehe, iya Rif, bensinnya udah di garis end,” Imam nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Astaghfirullah! Ini sih udah jatuh tertimpa tangga pula!” Arif menarik napas-sambil nahan emosi juga-, dasar Imam! Adaaa aja yang lupa. “Pom bensin juga masih di depaaan, Imam!”

Sabar. Sabar. Namanya juga manusia, punya kekurangan dan kelebihan. Gitu-gitu, Imam sahabatnya yang paling solid. Dengan motornya, Imam siap nganterin kemana aja. Gak itung-itungan, apalagi buat dakwah.

“Nah, berarti Allah lagi kasih kesempatan buat kita olahraga Masbro!”
“Olahraga, alesan wae!”
“Stay woles, Masbro! Ini tanda kalo Allah mencintai kita,” Imam masih nyengir. Santai menghadapi Arif yang napasnya udah kembang-kempis nahan emosi. “Innallaha ma'ashobirin ...,” tambah Imam. Kalau tadi Arif sudah mengingatkan Imam, sekarang gantian Imam yang mengingatkan Arif.

Arif menghela napas. Ikut nyengir juga. That’s right, saat Allah mencintai hamba-Nya, maka Allah akan mengujinya. Dan Allah selalu bersama hamba-Nya yang bersabar. Hidup ini kan, emang buat diuji. Apa lagi mereka sedang dalam perjalanan untuk dakwah. Harus ekstra sabarnya. Dakwah memang butuh pengorbanan.

“Bismillaah ...,” gumam keduanya.
Imam memimpin di posisi depan. Sementara Arif mendorong dari belakang.
“Semangaat! Allahu akbar!” seru Imam sambil mengangkat tangan kanannya.
“Mam, antum udah minum obat belum sih?”
“Udah, ana kan minum obat antum tadi,” sahut Imam, lagi-lagi dengan gayanya yang santai. “Ayo, Rif, semangaat! Allahu akbar!”

“Harus, ya, nyemangetinnya begitu?” Arif bergidik. Jadi khawatir beneran sama Imam.

***

Alhamdulillaah, dua puluh menit kemudian akhirnya Imam dan Arif menemukan solusi atas dua masalahnya. Allah mempertemukan mereka dengan pom bensin dan tukang tambal ban yang berdampingan. Saking semangatnya, habis ngisi bensin, mereka langsung lari ke tukang tambal ban. Eh, dasar Imam! Kok, yang lari orangnya aja? Motornya ....

“Assalamu’alaikum Ustadz...,” Imam mengucap salam. Sambil menunggu ban ditambal, Imam menelepon Ustadz. Mau ngabarin. “Iya Ustadz, afwan, kita lagi dapet bonus nih. Ban bocor, bensin habis // Oh, kitu? Alhamdulillaah // Ya, syukron, Tadz // Wa’alaikumsalam.”

“Antum kenapa? Jangan bikin ana khawatir dong, dari tadi nyengiir aja,” tanya Arif sambil merapatkan jaketnya. Menghalau dinginnya angin sore kota Bogor.

Imam malah nyengir lebar, “setelah kesulitan ada dua kemudahan. Janji Allah emang nggak pernah salah ya, Rif? Barusan Allah kasih kita pom bensin sama tukang tambal ban deketan. Sekarang, Allah mudahkan kita dengan agenda rapatnya diundur habis Maghrib. Jadi, kita nggak telat. Soalnya, yang lain juga kejebak macet.”

Arif mengerlingkan mata, “itu kata Ustadz?”

“Kata tukang bensin, tadi. Ya, kata Ustadz lah, Rif!”

“Alhamdulillaah ...,” ucap Arif, “bener yang antum bilang. Janji Allah selalu benar. Setelah kesulitan ada dua kemudahan, semua umat Islam percaya sama janji Allah yang ini. Seharusnya, semua umat Islam juga percaya dengan janji kemenangan Islam. Kan, sama-sama janji Allah,” tambahnya.

“Jang, rebes bannya!” seru si Mamang tambal ban separuh baya.
“Alhamdulillah, baraha, Mang?” tanya Imam sambil merogoh sakunya.
“Tilu puluh ribu.”
“Hah?! Tilu puluh?!” Imam dan Arif shock mendengarnya. Nggak salah?!
“Hehehe, heureuy! Delapan rebu.”

Hh, Imam dan Arif menghembuskan napas lega. “Ah, si Mamang, seenaknya wae naikin harga. Untung teu jantungan urang,” ujar Imam sambil menyerahkan empat lembar uang dua ribuan.

“Ah, da’ pemerintah juga seenaknya naikin harga BBM,” sahut si Mamang, “nyesel euy, milih yang polkadot. Sama wae. Nggak mikirin rakyat kecil.”

Arif dan Imam mengerutkan dahi. Polkadot? Ari si Mamang milih naon?

“Emang nggak akan ada bedanya, Mang. Soalnya cuma beda orang aja, peraturan yang diterapin mah sama ...,” Arif mencoba menjelaskan.

“Teuing. Sekarang mah, Mamang nggak mau mikirin pemerintah. Kajen jadi urusan orang-orang atas. Yang penting mah, Mamang masih bisa nyari makan buat anak-istri,” Mamang menyela tidak peduli.
Glek! Ini bukan pertama kalinya Imam dan Arif mendengar orang mengeluhkan pemerintah yang pada faktanya tidak juga pro rakyat. Mereka bosan dengan janji-janji manis sang penguasa yang manisnya kayak gulali. Sekali emut, langsung hilang. Parahnya, bukannya mencari solusi. Mereka malah memilih menjadi apatis. Cuek bebek dengan kondisi yang ada. Dan akhirnya bikin mereka jadi individualis. Cuma mikirin diri sendiri.

Ini dia pe-er besar para pengemban dakwah. Menyadarkan umat Islam tentang kebobrokan sistem yang ada, Kapitalisme beserta anak-cucunya (Demokrasi, Sekulerisme, dll). Dan menyadarkan mereka akan kewajiban untuk terikat pada ajaran Islam kaaffah. Menyeluruh. Nggak setengah-setengah. Yang hanya bisa diterapkan dengan Khilafah. Tapi, Karena yang akan kita ubah adalah umat. Jadi, pe-er besar ini nggak bisa kalau hanya dipikul per orang. Supaya bisa mengubahnya, kita harus bergabung bersama jamaah dakwah yang benar-benar memperjuangkan Islam kaaffah.

Imam dan Arif amat bersyukur telah menemukan kelompok tersebut.

“Muhun, Mang, pamit dulu. Besok kita mampir lagi, lanjutin ngobrolnya,” ujar Arif.

Berhubung sudah hampir setengah enam, mereka harus pamit. Agenda dakwah selanjutnya menunggu. Tak lupa mereka menyalami si Mamang. Tanpa banyak bicara, Imam segera memutar kunci. Ditariknya rem. Ditekannya strater. Dan, ngeeeng ... kali ini tanpa hambatan.

***

Alhamdulillah. Dua puluh enam menit, lima belas detik kemudian Imam dan Arif sampai di rumah Ustadz, tempat rapat digelar. Yang lain juga sudah datang.  Lengkap. Hanya satu orang yang tidak datang karena sakit.

Gimana tadi? Katanya kehabisan bensin? Bannya juga bocor? Bukannya telepon saya, biar saya dorongin pake kaki. Jadi, kalian gak usah dorong. Tiba-tiba Imam dan Arif dihujani pertanyaan. Karena perjalanan mereka yang paling dramatis di antara yang lain. Hampir-hampir mereka mau buat konferensi pers untuk mengklarifikasi. Tapi, berhubung adzan Maghrib sudah mengumandang. Mereka urungkan niat itu.

Usai shalat berjamaah, rapat pun dimulai. Adalah sekitar dua jam mereka duduk membuat lingkaran. Bertukar pikiran sambil sesekali diselingin gurauan. Saling memberi masukan. Hingga akhirnya didapati sebuah kesepakatan.

“Alhamdulillah, jadi sepakat ya, ikhwan fillah, dengan susunan acara dan panitia yang kita tentukan hari ini. Semoga Allah memudahkan urusan kita. Dan semoga nashrullah semakin dekat. Jazakumullah Khoiron Katsiran untuk antum semua yang sudah bersedia datang, meski dihadapi dengan berbagai hambatan. Kehadiran satu dari kalian adalah penguat bagi semua. Semoga itu menjadi tiket untuk kita masuk syurga ....”

Seketika suara, “amiiin,” terucap dari semua yang hadir. Imam dan Arif yang paling khusyuk mengucapkannya. Dalam hati terus merapalkan kalimat pujian serta mohon ampunan pada-Nya. Seketika menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka dalam rapat ini. Imam menyesal tadi sempat malas-malasan saat dibangunkan Arif. Begitu pula dengan Arif yang menyesal sempat menggerutu dalam hati saat perjalanannya diuji. Kelak, mereka akan melakukannya lebih baik. Karena dakwah memang butuh pengorbanan, kesabaran dan kebersamaan.

***
Bogor, 9 September 2014
Mashwa Faizah