Musim kemarau nampaknya hendak berpamitan. Bersamaan dengan mulai turunnya hujan beberapa hari ini. Seperti langit mendung pagi ini. Namun itu tidak menahan langkahku melakukan rutinitas di Selasa pagi. Bahkan pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Sekitar jam 07.15 WIB, bersama Vega-R merah, aku melaju menuju stasiun Citayam.
Tidak butuh lama untuk tiba di Stasiun Besar Citayam. Tidak sampai 30 menit. Ku-tap kartu multitrip setelah sebelumnya menitipkan motor di belakang Stasiun. Beruntung, tak sampai lima menit berdiri di peron dua, kereta menuju stasiun Kota tiba. Tentu dengan sigap aku masuk ke gerbong khusus perempuan yang hampir sesak. Ah, tapi ini masih lebih baik. Aku masih bisa menjejak lantai gerbong dengan sangat baik. Meski bahu kanan-kiriku sudah menempel dengan bahu penumpang lain.
Setelah meletakkan tas yang cukup berat di atas. Kuperbaiki posisi berdiriku sambil jemari kanan menggenggam pegangan yang menggantung di sepanjang tempat penyimpanan barang. Sedang jemari kiri menggenggam buku. Ini sudah biasa kulakukan. Memanfaatkan perjalanan empat puluh lima menit di kereta untuk membaca (dan kemudian tertidur, he...).
Aku berdiri tepat di depan seorang ibu bertubuh gemuk mengenakan baju hitam berlengan panjang. Sebut saja .... Ya, benar! Kita sebut saja beliau Mawar. Ibu Mawar duduk dengan sangat nyaman. Dengan wajah tertunduk dan mata terpejam. Membuat sebagian penumpang yang berdiri merasa iri. Hingga tiba di stasiun Lenteng Agung barulah beliau membuka mata. Mata jeli itu rupanya langsung menangkap sosok sang teman yang beridiri di sebelahku. Ya, boleh lah. Kita sebut saja teman Bu Mawar dengan sebutan Bu Melati.
"Hei, Melati! Satu kereta ternyata kita?!" sapa Bu Mawar.
"Iya, baru naik tadi gue," sahut Bu Melati seraya tersenyum.
"Eh, sini, sini. Gantian duduknya. Gue udah lama, kok. Bentar lagi turun," kata Bu Mawar seraya siap berdiri.
"Nggak. Nggak usah," Bu Melati menolak.
"Eh ... nggak apa-apa," Bu Mawar memaksa.
Sementara aku yang menyaksikan hanya bisa bergumam sendiri dalam hati, gimana kalo saya aja yang duduk, bu? hoho....
Singkat cerita, Bu Mawar berhasil memaksa Bu Melati untuk duduk di kursinya. Tubuh Bu Mawar yang gemuk membuatku terpaksa sedikit bergeser ke belakang dengan tetap berusaha mempertahankan pegangan tangan.
Percakapanpun dimulai. Basa-basi sebentar, percakapan ngalor-ngidul ala ibu-ibu. Hingga sampailah pembicaraan mereka tentang pekerjaan. Tentang gaji (suami mereka). Aku tak begitu ingat bagaimana dialog mereka. Tapi, singkatnya seperti ini kalimat Bu Melati pada Bu Mawar , "Gue juga kalau nggak terpaksa mah, nggak mau kerja. Kasian anak gue. Ya, habis mau gimana lagi, dong. Kalau cuma ngandelin gaji laki gue mah paling cukup buat makan sama susu anak gue aja. Belum listrik. Belum air. Belum keperluan yang lain-lain. Namanya juga hidup, kan nggak cukup makan aja."
Kalimat Bu Mawar mengingatkanku pada ibu yang lain. Yang saat itu juga kulihat di kereta. Di jam pulang kerja. Alhamdulillahnya, itu belum jam sesaknya kereta.
"Iya, saya juga sebenernya ditawarin mutasi di luar kota. Udah sempet mau saya terima, tapi, nggak jadi," aku si Ibu pada teman-temannya.
Kalian tahu apa yang membuat Ibu tersebut menolak tawaran yang katanya gajinya lebih besar dari gajinya yang sekarang? Tidak. Aku tidak sedang menguping pembicaraan mereka. Tapi, sungguh, obrolan mereka tetap terdengar meski aku berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain.
"Waktu itu, malam-malam, tiba-tiba anak saya peluk saya sambil bilang, 'Bunda jangan kerja terus dong. Kan aku jadi kangen,'. Ya Allah, saya bilang, mungkin ini petunjuk dari Allah, ya. Supaya saya nggak pindah kerja, nggak jauh dari anak saya."
Mendengar kalimat itu, spontan membuatku menoleh pada Ibu sesaat kemudian kembali melihat keluar jendela. Sempat kulihat air mukanya berubah, seperti ada rasa bersalah pada sang anak di sana.
Kereta terus melaju dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Semakin dekat dengan stasiun tujuanku. Sesekali kami berpegang lebih erat lantaran kereta seperti me-rem mendadak (entahlah, aku tidak tahu persis, kadang kami hampir terjatuh karena efek itu).
Pikiranku mulai tidak tempat. Aku mulai merenung. Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku mendengar seorang ibu bekerja mengeluhkan hal yang sama. Ibu terpaksa bekerja karena gaji suami tidak mencukupi. Ibu terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu terpaksa meninggalkan sang anak. Terpaksa. Mau bagaimana lagi? Tuntutan hidup.
Ya, bagaimana para Ibu hari ini tidak keluar rumah, bekerja? Biaya hidup kian tinggi. Gaji para Ayah seringkali tak mencukupi. Bahkan tidak sedikit para Ayah yang tidak memiliki pekerjaan lantaran perusahaan lebih senang memperkerjakan perempuan. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang selalu saja memihak mereka yang beruang dan berposisi tinggi. Maka dengan terpaksa mereka keluar rumah, meninggalkan anak-anak. Meninggalkan kewajiban utama mereka sebagai Ibu.
Ya, bagaimana para Ibu hari ini tidak keluar rumah, bekerja? Sistem Kapitalisme yang mengungkung kita saat ini lah yang mendorong mereka. Dengan dalih 'Perempuan sebagai tulang punggung perekonomian', 'Pemberdayaan ekonomi perempuan', 'Kesetaraan gender' dan apalah lagi slogan-sloga yang mereka buat! Slogan yang membuat para perempuan berpikir bahwa karir adalah sebuah prestise yang harus mereka kejar.
Padahal dalam Islam, tugas utama seorang perempuan yang telah memiliki keluarga adalah sebagai ummun wa robbatul bait, ibu, pendidik generasi dan pengatur rumah tangga. Itulah mengapa Islam menjadikan nafkah ada di bahu sang Ayah. Itulah mengapa bekerja, bagi perempuan adalah mubah. Dalam sistem Islam, negara akan menjamin ketersediaan lapangan kerja dan berbagai mekanisme yang mampu membuat sang Ayah mencukupi kebutuhan keluarga. Hingga para Ibu bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa harus terbebani masalah ekonomi.
Ummun wa robbatul bait. Ah, Ibu ... tidakkah batinmu menjerit menginginkan posisi itu kembali? Ibu ... jangan terjebak dengan slogan-slogan manis yang disodorkan para Kapitalis! Mereka hanya bergerak untuk kepentingan pribadi dan tuan-tuan mereka.
Ibu ... sungguh tidak ada yang memberimu posisi mulia itu selain Islam. Ya, Islam yang diterapkan dalam tatanan kehidupan kita. Dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
---------------
"Sesaat lagi kereta anda akan memasuki stasiun Tebet. Stasiun Tebet."
Suara itu mengawali langkahku keluar gerbong kereta. Tidak sendiri. Langkahku satu dari ratusan langkah para Ibu yang terpaksa keluar rumah, bekerja, ikut menjadi tulang punggung keluarga.
Ah, Ibu ... Khilafah lah jawaban atas keterpaksaan itu.
Mashwa Faizah, 26 Desember 2016
Ah, Ibu ... Khilafah lah jawaban atas keterpaksaan itu.
Mashwa Faizah, 26 Desember 2016
*Kisah ini sudah sangat lama, hanya saja baru hari ini bisa menyelesaikan
RSS Feed
Twitter
Senin, Desember 26, 2016
Unknown
Posted in