Jumat, 30 Desember 2016

Kuikat tali sepatuku dengan terburu-buru. Begitu selesai, tanganku refleks menyambar helm dan kunci motor. Dengan hanya setengah berteriak aku pamit pada orang rumah. Dalam hitungan detik aku sudah tancap gas secepat kubisa. Hari sudah semakin siang, aku harus segera bergegas.

Stasiun Bogor, inilah tempat perhentianku. Setelah memarkirkan motor, aku bergegas masuk stasiun tanpa hambatan. Sejak tadi sudah terdengar dengung kereta yang datang dan pergi. Aku mempercepat langkah setengah panik. Karena harusnya aku sudah datang sejak lima belas menit yang lalu.
“Jalur 3 tujuan Jakarta Kota siap berangkat ....”

Pengumuman singkat ini selalu mampu membuat orang berlari panik. Saling berdulu-dulu untuk bisa memasuki gerbong. Bahkan di detik terakhir pun, masih ada orang yang berusaha menerobos celah antara pintu yang hampir menutup. Menarik napas lalu tersenyum lega, selalu itu ekspresi mereka yang berhasil masuk gerbong di detik terakhir. Kali ini, aku, yang baru saja berganti pakaian, juga jadi salah satu dari mereka.

“Yan, yan ... kebiasaan ...,” tegur Pak Gus, rekan yang selalu ada di kereta lebih dulu dariku, geleng-geleng kepala.

Yah, mau apalagi? Aku hanya membalas dengan cengiran khasku. Tidak perlu menanggapi beliau. Daripada menanggapi hal tidak penting itu, aku lebih senang menyambar tas hitam yang tersandar dipojok gerbong terakhir, gerbong khusus wanita. Lalu mengambil isinya. Kutiup ujung kerudung putihku yang luruh hampir menyentuh dahi agar tegak kembali. Sekaligus mengumpulkan mentalku yang selalu hampir luruh tiap kali memulai melakukan ini. Ya ... walaupun sedetik kemudian ujung kerudungku kembali luruh bahkan sempurna menyentuh dahiku. Setidaknya, tidak begitu dengan mentalku. Aku tetap maju dan mulai melakukannya.

Crot. Kutuangkan cairan pembersih lantai ke lantai gerbong kereta sambil mundur beberapa langkah sampai kurasa cukup. Lalu kembali maju, menyapu cairan pembersih lantai itu dengan lap pel. Apa? Kalian terkejut? Kalian pikir aku adalah bagian dari ROKER, rombongan kereta, yang hendak berangkat kerja? Tidak begitu  kawan. Ah, baik! Biar kujelaskan. Inilah aku, Apriyani, gadis lulusan SMA yang baru saja diterima jadi tukang bersih-bersih di kereta. Pekerjaan yang kudapat melalui sederetan tes. Dan Pak Gus, yang tadi menegurku adalah seorang security yang kerjaannya mondar-mandir dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Jangan kira itu pekerjaan ringan. Beliau harus selalu waspada, memastikan semua aman terkendali.

Omong-omong, sebenarnya sedikitpun tidak pernah terbersit di benak bahwa aku akan ada di sini dan melakukan ini. Mimpiku adalah setelah lulus SMA, aku bisa melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi. Tapi, beginilah nasib orang yang hidup pas-pasan. Orang tuaku masih harus menyekolahkan dua adikku yang tahun ini akan lulus dari SD & SMP. Alih-alih kuliah, orang tuaku justru berharap aku bisa bekerja dan meringakan beban mereka. Untuk itulah aku di sini sekarang, mencoba menjadi apa yang Ibu dan Bapak harapkan. Meski itu artinya aku harus mengubur impianku.

Apa? Oh, iya. Tentu aku bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Seandainya aku tidak menyanggupi untuk membantu biaya sekolah adikku yang tahun ini akan melanjutkan pendidikannya ke SMP.
Hm, omong-omong soal pendidikan, entah dari mana asalnya, kadang muncul pertanyaan dibenakku. Bukankah para petinggi di negeri ini selalu bilang kalau mereka butuh generasi emas untuk masa depan? Tapi kenapa pendidikan di negeri ini kian hari, kian mahal?! Membuat kami yang hidup pas-pasan sering kali tidak bisa menikmati? Belum lagi kalau ingin pendidikan berkualitas, itu jauh lebih mahal lagi! Kenapa pula negeri ini, sampai pendidikan pun harus diukur dengan materi? Bukankah sudah tugas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya? Tidak peduli kaya-miskin, hitam-putih, semua harus dilayani juga didengarkan, kan? Ah, ya, aku lupa! Dulu, guru di SMA-ku pernah bilang kalau sekarang ini adalah era kapitalis, era di mana segalanya diukur dengan materi.

Crot. Aku kembali menuangkan cairan pembersih lantai di bagian selanjutnya. Lalu kembali menyapunya dengan lap pel. Bekerja di sip siang, saat kereta baru berangkat dari Bogor adalah saat yang tepat untukku melakukan tugas ini. Karena jumlah penumpang belum terlalu banyak. Tidak perlu aku jelaskan bagaimana kondisi saat kereta semakin dekat dengan Kota, kan? Juga bagaimana kondisi kereta saat jam berangkat atau pulang kerja? Kalian semua tentu tahu, di jam-jam tersebut kereta penuh sesak. Masih bisa berdiri tegak saja sudah syukur. Yang sering kali terjadi adalah kita terbawa arus desakan sesama penumpang. Ketika ada penumpang yang hendak keluar, seakan kita ikut terbawa keluar. Ketika ada penumpang yang masuk, kita juga ikut terdorong masuk.

Aku geleng kepala melihat ini semua. Bagaimana jalan ibu kota tidak penuh dengan kendaraan pribadi, kalau transportasi masalnya terus seperti ini? Kalau aku jadi penguasa negeri ini, akan kuambil alih pengelolaan transportasi masal dari swasta. Akan kupastikan armada transportasi masal itu cukup, hingga tidak ada lagi pemandangan berjubel di transportasi masal. Akan kupastikan tarifnya murah, hingga rakyatku tidak lagi memilih kendaraan pribadi dengan alasan lebih hemat. Akan kupastikan transportasi masal itu aman dan nyaman, hingga tidak ada alasan untuk tidak memilih transportasi masal. Hal yang menyangkut kebutuhan hidup masyarakat seperti ini memang seharusnya diurus langsung oleh pemerintah. Bukankah pemerintah itu pelayan rakyat?

Ting tong. Stasiun Bojonggede.

Kereta tiba di stasiun Bojong Gede. Aku masih mengepel meski aku tahu dalam hitungan menit akan kembali terinjak-injak. Tak apa. Kalau tidak diinjak-injak lagi, itu artinya tidak akan ada pekerjaan untukku. Aku tertunduk sejak pertama kali melakukannya hingga hari ini. Jujur, aku malu. Khawatir ada teman atau seseorang yang tiba-tiba mengenaliku saat aku melakukannya. Dalam tunduk, sesekali aku mendelik sebal. Aku sebal dengan puluhan pasang mata yang menatap setiap gerakku. Puluhan mata yang membuatku merasa aku tampak begitu rendah, menyedihkan dan entah apalagi!
Sebal? Tunggu, tunggu. Mungkin bukan sebal, tapi iri. Ya, aku iri dengan mereka yang duduk atau berdiri lalu membaca buku hingga stasiun tujuan. Menerima telepon penting dari rekan kerja atau apa itu? Klien? Ya, klien. Menandakan bahwa mereka adalah orang penting. Sibuk membicarakan tugas kuliah atau pekerjaan di kantor yang menumpuk dengan teman-teman. Atau mereka yang sibuk dengan gadget masing-masing. Terlihat keren buatku. Ya ... walaupun aku sering melihat kebanyakan dari mereka hanya sibuk dengan social media atau bahkan hanya sekedar bermain game. Argh! Itu tetap membuatku iri. Aku juga ingin menjadi salah satu dari mereka. Bukan hanya menjadi tontonan mereka bersama lap pel ini!

“Jalur satu aman, silakan berangkat,” terdengar pengumuman dari pengeras suara.

Kereta meninggalkan stasiun Bojong Gede dan menuju stasiun Citayam. Kereta mulai terlihat padat. Kulepaskan lap pel dari gagang, lalu kumasukkan kembali ia ke dalam tas hitam bersama cairan pembersih lantai. Aku menyudahi tugasku sementara. Kutarik napas dalam-dalam seraya menatap iri seorang mahasiswi beralmamater kuning yang sedang berdiri sambil membaca buku.

“Ini!” Pak Gus yang tahu-tahu sudah ada di sampingku menyodorkan sebuah buku tepat di depan wajahku. Kalau tidak cepat mundur, sudah pasti wajahku yang kena.

“Pak Gus! Bikin kaget saja!” ucapku seraya meraih buku yang disodorkan Pak Gus. “Senandung cinta-Nya,” gumamku membaca judul buku berwarna pink itu. Tatapanku beralih pada Pak Gus, apa maksudnya? Tidak biasanya Pak Gus memberi buku.

“Itu saya nemu tadi dipojokkan,” ucap Pak Gus, seolah mendengar pertanyaan dalam hatiku. “Kalau cuma baca buku, selesai ngepel, kamu juga bisa,” ucap Pak Gus.

Haha, benar. Ternyata Pak Gus tahu apa yang baru saja kupikirkan. Dan memang beliau tahu semua. Pak Gus, rekan kerja sekaligus tempat curhat. Dia sudah seperti Ayah bagiku.

“Yang penting ...,” Pak Gus melanjutkan, “jangan terlalu berharap bisa kuliah!”
“Memang kenapa?” dahiku berkerut, “siapa tahu besok pemerintah bikin kebijakan baru, kuliah gratis!” selorohku.
“Anak kecil, kamu harus tahu pelajaran hidup yang satu ini. Orang kecil seperti kita ini, sebaiknya jangan terlalu berharap. Apalagi harapannya tinggi-tinggi. Jangan ...!”
“Kenapa?” tanyaku setengah protes.
“Yan, hidup kita ini sudah sakit. Semua serba susah. Kalau masih harus berharap tapi ujungnya tidak jadi kenyataan, terus kecewa, makin sakit kita!” sahut Pak Gus, mimik mukanya terlihat serius.
“Masalahnya,sakitnya tuh bukan cuma disini!” Pak Gus menunjuk dadanya, “tapi juga di sini!” katanya lagi, seraya menunjuk dahinya, “bisa STRES!” tambahnya dengan nada emosi.

Pak Gus menarik napas panjang. Menenangkan diri. “Ingat, itu,” ucapnya lagi sebelum membalikkan badan kemudian pergi meninggalkanku.


Aku yang sejak tadi hanya bengong, mengangguk ragu. Menatap Pak Gus yang semakin tenggelam dari pandanganku. Orang kecil seperti kita tidak punya harapan? Entahlah. Tapi, melihat Pak Gus penuh emosi, timbul satu pertanyaan di benakku. Seberapa sering orang itu berharap lalu dikecewakan?

Senin, 26 Desember 2016

Kalian harus tahu bahwa hidup ini adalah rangkaian dari semua ketidakmengertian manusia.
Ketidakmengertian yang kemudian mencari jawaban tentunya.
-Maswha Faizah | Ahad, 18 Oktober 2015-

Ada saatnya kita harus menghadapi hal yang tidak enak, pahit atau semacamnya. Hadapi saja.
-Maswha Faizah | Jum'at, 6 Nopember 2015-

Mengapa harus berhenti jika sudah di tengah jalan?
Jika sudah mulai maka selesaikan. Lakukan hingga akhir. Lakukan yang terbaik.
Bukankah kewajiban kita hanya berusaha? Sisanya, serahkan saja pada-Nya.
-Maswha Faizah | Senin, 7 Desember 2015-

Biasa saja. Kalau lagi-lagi karya ditolak, ya, biasa saja. Katanya percata proses??
Gitu aja baper ....
-Maswha Faizah | Selasa, 2 Pebruari 2016-

Kau tahu apa itu proses?
Proses adalah seseuatu yang mengantarkanmu pada target.
Tawakkal, komitmen, sabar, konsisten adalah kawan yang harus menyertainya.
Bismillah, dan teruslah berproses.
-Maswha Faizah | Senin, 8 Pebruari 2016-
Anakmu Mau Curhat, Mak

Mak, kemaren Bapak "S" (bukan spiderman atau superman,yak) bilang emak itu tulang punggung perekonomian (detik.com). Oktober lalu juga ada yang mengatakan hal senada, 'pelaku usaha perempuan memiliki potensi menggerakan ekonomi kerakyatan dalam kancah MEA' (beritasatu.com).
Berbagai program dibuat, katanya untuk pemberdayaanmu, Mak.

Anakmu Mau Curhat, Mak

Mak, anakmu ini jadi bertanya-tanya. Bukannya perempuan itu tulang rusuk? Kenapa tiba-tiba jadi tulang punggung? Bukannya tulang punggung itu Bapak? Apa sekarang Bapak yang jadi tulang rusuk? Atau Emak dan Bapak jadi tulang punggung berdua?
Kalau begitu siapa yang menemani, mengajari, mendengarkan juga "men-cereweti" kami di rumah, Mak? Emak juga kah?
Kalau begitu berat sekali bebanmu, Mak. Dituntut mendidik kami jadi generasi berkualitas sambil menopang perekonomian.
Pertanyaanku selanjutnya, Mak, Bisa kah keduanya berjalan selaras? Tidakkah lelah fisik dan pikiran karena seharian bekerja membuatmu tidak lagi bergairah meladeni kami, anakmu?

Anakmu Mau Curhat, Mak

Ah, Mak, tapi kudengar Emak terpaksa ikut jadi tulang punggung karena biaya hidup kian tinggi sementara gaji Bapak tak mencukupi.
Ya ... begini lah Mak, hidup di tengah-tengah sistem Kapitalisme dengan standar materinya. Jika ada celah untuk mengambil koin gope-an (Rp. 500,-), meski harus menginjak, menjatuhkan siapa pun itu, mereka akan tetap melakukan.

Anakmu Mau Curhat, Mak

Tidak, Mak. Tidak seharusnya posisimu menjadi tulang punggung. Sungguh Mak, Islam telah memberimu posisi yang amat mulia, Ummu wa robbatul bayt (Ibu dan pengurus rumah tangga). Pendidik generasi. Bahkan Allah menambah kemuliaan atasmu dengan posisimu tiga tingkat di atas Bapak. Sebagai Ibu, Mak. Bukan tulang punggung.
Maka seharusnya urusan ekonomi keluarga, negara harus menjamin bahwa setiap kepala keluarga mampu menafkahi keluarganya dengan baik.

Anakmu Mau Curhat, Mak

Mak, maukah kembali ke rumah?
Kami rindu ditemani, diajari, bahkan dicereweti Emak. Kami rindu. Mana lah bisa kami jadi generasi berkualitas tanpa Emak.
Maukah kembali pada posisi mulia yang Allah berikan padamu?
Tapi maaf Mak, posisi muliamu tidak ada dalam Kapitalis. Posisi mulia itu hanya ada di dalam kehidupan Islam. Maka, untuk kembali pada posisi muliamu, kita harus mengembalikan kehidupan Islam itu lebih dulu.
Ayo Mak, temani kami berjuang mengembalikan posisi muliamu, ummu wa robbatul bayt .....

#NegaraSokoGuruKetahananKeluarga #KongresIbuNusantara4

Musim kemarau nampaknya hendak berpamitan. Bersamaan dengan mulai turunnya hujan beberapa hari ini. Seperti langit mendung pagi ini. Namun itu tidak menahan langkahku melakukan rutinitas di Selasa pagi. Bahkan pagi ini aku sengaja berangkat lebih awal. Sekitar jam 07.15 WIB, bersama Vega-R merah, aku melaju menuju stasiun Citayam.
Tidak butuh lama untuk tiba di Stasiun Besar Citayam. Tidak sampai 30  menit. Ku-tap kartu multitrip setelah sebelumnya menitipkan motor di belakang Stasiun. Beruntung, tak sampai lima menit berdiri di peron dua, kereta menuju stasiun Kota tiba. Tentu dengan sigap aku masuk ke gerbong khusus perempuan yang hampir sesak. Ah, tapi ini masih lebih baik. Aku masih bisa menjejak lantai gerbong dengan sangat baik. Meski bahu kanan-kiriku sudah menempel dengan bahu penumpang lain.
Setelah meletakkan tas yang cukup berat di atas. Kuperbaiki posisi berdiriku sambil jemari kanan menggenggam pegangan yang menggantung di sepanjang tempat penyimpanan barang. Sedang jemari kiri menggenggam buku. Ini sudah biasa kulakukan. Memanfaatkan perjalanan empat puluh lima menit di kereta untuk membaca (dan kemudian tertidur, he...).
Aku berdiri tepat di depan seorang ibu bertubuh gemuk mengenakan baju hitam berlengan panjang. Sebut saja .... Ya, benar! Kita sebut saja beliau Mawar. Ibu Mawar duduk dengan sangat nyaman. Dengan wajah tertunduk dan mata terpejam. Membuat sebagian penumpang yang berdiri merasa iri. Hingga tiba di stasiun  Lenteng Agung barulah beliau membuka mata. Mata jeli  itu rupanya langsung menangkap sosok sang teman yang beridiri di sebelahku. Ya, boleh lah. Kita sebut saja teman Bu Mawar dengan sebutan Bu Melati.
"Hei, Melati! Satu kereta ternyata kita?!" sapa Bu Mawar.
"Iya, baru naik tadi gue," sahut Bu Melati seraya tersenyum.
"Eh, sini, sini. Gantian duduknya. Gue udah lama, kok. Bentar lagi turun," kata Bu Mawar seraya siap berdiri.
"Nggak. Nggak usah," Bu Melati menolak.
"Eh ... nggak apa-apa," Bu Mawar memaksa.
Sementara aku yang menyaksikan hanya bisa bergumam sendiri dalam hati, gimana kalo saya aja yang duduk, bu? hoho....
Singkat cerita, Bu Mawar berhasil memaksa Bu Melati untuk duduk di kursinya. Tubuh Bu Mawar yang gemuk membuatku terpaksa sedikit bergeser ke belakang dengan tetap berusaha mempertahankan pegangan tangan.
Percakapanpun dimulai. Basa-basi sebentar, percakapan ngalor-ngidul ala ibu-ibu. Hingga sampailah pembicaraan mereka tentang pekerjaan. Tentang gaji (suami mereka). Aku tak begitu ingat bagaimana dialog mereka. Tapi, singkatnya seperti ini kalimat Bu Melati pada Bu Mawar , "Gue juga kalau nggak terpaksa mah, nggak mau kerja. Kasian anak gue. Ya, habis mau gimana lagi, dong. Kalau cuma ngandelin gaji laki gue mah paling cukup buat makan sama susu anak gue aja. Belum listrik. Belum air. Belum keperluan yang lain-lain. Namanya juga hidup, kan nggak cukup makan aja."
Kalimat Bu Mawar mengingatkanku pada ibu yang lain. Yang saat itu juga kulihat di kereta. Di jam pulang kerja. Alhamdulillahnya, itu belum jam sesaknya kereta.
"Iya, saya juga sebenernya ditawarin mutasi di luar kota. Udah sempet mau saya terima, tapi, nggak jadi," aku si Ibu pada teman-temannya.
Kalian tahu apa yang membuat Ibu tersebut menolak tawaran yang katanya gajinya lebih besar dari gajinya yang sekarang? Tidak. Aku tidak sedang menguping pembicaraan mereka. Tapi, sungguh, obrolan mereka tetap terdengar meski aku berusaha mengalihkan perhatian pada hal lain.

"Waktu itu, malam-malam, tiba-tiba anak saya peluk saya sambil bilang, 'Bunda jangan kerja terus dong. Kan aku jadi kangen,'. Ya Allah, saya bilang, mungkin ini petunjuk dari Allah, ya. Supaya saya nggak pindah kerja, nggak jauh dari anak saya."

Mendengar kalimat itu, spontan membuatku menoleh pada Ibu sesaat kemudian kembali melihat keluar jendela. Sempat kulihat air mukanya berubah, seperti ada rasa bersalah pada sang anak di sana.
Kereta terus melaju dari satu stasiun ke stasiun yang lain. Semakin dekat dengan stasiun tujuanku. Sesekali kami berpegang lebih erat lantaran kereta seperti me-rem mendadak (entahlah, aku tidak tahu persis, kadang kami hampir terjatuh karena efek itu).

Pikiranku mulai tidak tempat. Aku mulai merenung. Sebenarnya, ini bukan kali pertama aku mendengar seorang ibu bekerja mengeluhkan hal yang sama. Ibu terpaksa bekerja karena gaji suami tidak mencukupi. Ibu terpaksa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga. Ibu terpaksa meninggalkan sang anak. Terpaksa. Mau bagaimana lagi? Tuntutan hidup.

Ya, bagaimana para Ibu hari ini tidak keluar rumah, bekerja? Biaya hidup kian tinggi. Gaji para Ayah seringkali tak mencukupi. Bahkan tidak sedikit para Ayah yang tidak memiliki pekerjaan lantaran perusahaan lebih senang memperkerjakan perempuan. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang selalu saja memihak mereka yang beruang dan berposisi tinggi. Maka dengan terpaksa mereka keluar rumah, meninggalkan anak-anak. Meninggalkan kewajiban utama mereka sebagai Ibu.

Ya, bagaimana para Ibu hari ini tidak keluar rumah, bekerja? Sistem Kapitalisme yang mengungkung kita saat ini lah yang mendorong mereka. Dengan dalih 'Perempuan sebagai tulang punggung perekonomian', 'Pemberdayaan ekonomi perempuan', 'Kesetaraan gender' dan apalah lagi slogan-sloga yang mereka buat! Slogan yang membuat para perempuan berpikir bahwa karir adalah sebuah prestise yang harus mereka kejar.

Padahal dalam Islam, tugas utama seorang perempuan yang telah memiliki keluarga adalah sebagai ummun wa robbatul bait, ibu, pendidik generasi dan pengatur rumah tangga. Itulah mengapa Islam menjadikan nafkah ada di bahu sang Ayah. Itulah mengapa bekerja, bagi perempuan adalah mubah. Dalam sistem Islam, negara akan menjamin ketersediaan lapangan kerja dan berbagai mekanisme yang mampu membuat sang Ayah mencukupi kebutuhan keluarga. Hingga para Ibu bisa menjalankan tugasnya dengan baik tanpa harus terbebani masalah ekonomi.

Ummun wa robbatul bait. Ah, Ibu ... tidakkah batinmu menjerit menginginkan posisi itu kembali? Ibu ... jangan terjebak dengan slogan-slogan manis yang disodorkan para Kapitalis! Mereka hanya bergerak untuk kepentingan pribadi dan tuan-tuan mereka.

Ibu ... sungguh tidak ada yang memberimu posisi mulia itu selain Islam. Ya, Islam yang diterapkan dalam tatanan kehidupan kita. Dalam bingkai Khilafah Islamiyah.
---------------

"Sesaat lagi kereta anda akan memasuki stasiun Tebet. Stasiun Tebet."
Suara itu mengawali langkahku keluar gerbong kereta. Tidak sendiri. Langkahku satu dari ratusan langkah para Ibu yang terpaksa keluar rumah, bekerja, ikut menjadi tulang punggung keluarga.
Ah, Ibu ... Khilafah lah jawaban atas keterpaksaan itu.

Mashwa Faizah, 26 Desember 2016
*Kisah ini sudah sangat lama, hanya saja baru hari ini bisa menyelesaikan