Kuikat tali
sepatuku dengan terburu-buru. Begitu selesai, tanganku refleks menyambar helm
dan kunci motor. Dengan hanya setengah berteriak aku pamit pada orang rumah.
Dalam hitungan detik aku sudah tancap gas secepat kubisa. Hari sudah semakin
siang, aku harus segera bergegas.
Stasiun Bogor,
inilah tempat perhentianku. Setelah memarkirkan motor, aku bergegas masuk
stasiun tanpa hambatan. Sejak tadi sudah terdengar dengung kereta yang datang
dan pergi. Aku mempercepat langkah setengah panik. Karena harusnya aku sudah
datang sejak lima belas menit yang lalu.
“Jalur 3 tujuan
Jakarta Kota siap berangkat ....”
Pengumuman
singkat ini selalu mampu membuat orang berlari panik. Saling berdulu-dulu untuk
bisa memasuki gerbong. Bahkan di detik terakhir pun, masih ada orang yang
berusaha menerobos celah antara pintu yang hampir menutup. Menarik napas lalu
tersenyum lega, selalu itu ekspresi mereka yang berhasil masuk gerbong di detik
terakhir. Kali ini, aku, yang baru saja berganti pakaian, juga jadi salah satu
dari mereka.
“Yan, yan ...
kebiasaan ...,” tegur Pak Gus, rekan yang selalu ada di kereta lebih dulu
dariku, geleng-geleng kepala.
Yah, mau
apalagi? Aku hanya membalas dengan cengiran khasku. Tidak perlu menanggapi
beliau. Daripada menanggapi hal tidak penting itu, aku lebih senang menyambar
tas hitam yang tersandar dipojok gerbong terakhir, gerbong khusus wanita. Lalu
mengambil isinya. Kutiup ujung kerudung putihku yang luruh hampir menyentuh
dahi agar tegak kembali. Sekaligus mengumpulkan mentalku yang selalu hampir
luruh tiap kali memulai melakukan ini. Ya ... walaupun sedetik kemudian ujung
kerudungku kembali luruh bahkan sempurna menyentuh dahiku. Setidaknya, tidak
begitu dengan mentalku. Aku tetap maju dan mulai melakukannya.
Crot. Kutuangkan cairan pembersih lantai ke lantai gerbong kereta
sambil mundur beberapa langkah sampai kurasa cukup. Lalu kembali maju, menyapu
cairan pembersih lantai itu dengan lap pel. Apa? Kalian terkejut? Kalian pikir
aku adalah bagian dari ROKER, rombongan kereta, yang hendak berangkat kerja? Tidak
begitu kawan. Ah, baik! Biar kujelaskan.
Inilah aku, Apriyani, gadis lulusan SMA yang baru saja diterima jadi tukang
bersih-bersih di kereta. Pekerjaan yang kudapat melalui sederetan tes. Dan Pak
Gus, yang tadi menegurku adalah seorang security yang kerjaannya
mondar-mandir dari satu gerbong ke gerbong lainnya. Jangan kira itu pekerjaan
ringan. Beliau harus selalu waspada, memastikan semua aman terkendali.
Omong-omong, sebenarnya
sedikitpun tidak pernah terbersit di benak bahwa aku akan ada di sini dan
melakukan ini. Mimpiku adalah setelah lulus SMA, aku bisa melanjutkan
pendidikanku ke perguruan tinggi. Tapi, beginilah nasib orang yang hidup
pas-pasan. Orang tuaku masih harus menyekolahkan dua adikku yang tahun ini akan
lulus dari SD & SMP. Alih-alih kuliah, orang tuaku justru berharap aku bisa
bekerja dan meringakan beban mereka. Untuk itulah aku di sini sekarang, mencoba
menjadi apa yang Ibu dan Bapak harapkan. Meski itu artinya aku harus mengubur
impianku.
Apa? Oh, iya. Tentu
aku bisa mengumpulkan uang untuk kuliah. Seandainya aku tidak menyanggupi untuk
membantu biaya sekolah adikku yang tahun ini akan melanjutkan pendidikannya ke
SMP.
Hm, omong-omong
soal pendidikan, entah dari mana asalnya, kadang muncul pertanyaan dibenakku. Bukankah
para petinggi di negeri ini selalu bilang kalau mereka butuh generasi emas
untuk masa depan? Tapi kenapa pendidikan di negeri ini kian hari, kian mahal?!
Membuat kami yang hidup pas-pasan sering kali tidak bisa menikmati? Belum lagi
kalau ingin pendidikan berkualitas, itu jauh lebih mahal lagi! Kenapa pula
negeri ini, sampai pendidikan pun harus diukur dengan materi? Bukankah sudah
tugas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan seluruh rakyatnya? Tidak peduli
kaya-miskin, hitam-putih, semua harus dilayani juga didengarkan, kan? Ah, ya,
aku lupa! Dulu, guru di SMA-ku pernah bilang kalau sekarang ini adalah era
kapitalis, era di mana segalanya diukur dengan materi.
Crot. Aku kembali menuangkan cairan pembersih lantai di bagian selanjutnya.
Lalu kembali menyapunya dengan lap pel. Bekerja di sip siang, saat kereta baru
berangkat dari Bogor adalah saat yang tepat untukku melakukan tugas ini. Karena
jumlah penumpang belum terlalu banyak. Tidak perlu aku jelaskan bagaimana
kondisi saat kereta semakin dekat dengan Kota, kan? Juga bagaimana kondisi
kereta saat jam berangkat atau pulang kerja? Kalian semua tentu tahu, di
jam-jam tersebut kereta penuh sesak. Masih bisa berdiri tegak saja sudah
syukur. Yang sering kali terjadi adalah kita terbawa arus desakan sesama
penumpang. Ketika ada penumpang yang hendak keluar, seakan kita ikut terbawa
keluar. Ketika ada penumpang yang masuk, kita juga ikut terdorong masuk.
Aku geleng
kepala melihat ini semua. Bagaimana jalan ibu kota tidak penuh dengan kendaraan
pribadi, kalau transportasi masalnya terus seperti ini? Kalau aku jadi penguasa
negeri ini, akan kuambil alih pengelolaan transportasi masal dari swasta. Akan
kupastikan armada transportasi masal itu cukup, hingga tidak ada lagi
pemandangan berjubel di transportasi masal. Akan kupastikan tarifnya murah,
hingga rakyatku tidak lagi memilih kendaraan pribadi dengan alasan lebih hemat.
Akan kupastikan transportasi masal itu aman dan nyaman, hingga tidak ada alasan
untuk tidak memilih transportasi masal. Hal yang menyangkut kebutuhan hidup
masyarakat seperti ini memang seharusnya diurus langsung oleh pemerintah. Bukankah
pemerintah itu pelayan rakyat?
Ting tong.
Stasiun Bojonggede.
Kereta tiba di
stasiun Bojong Gede. Aku masih mengepel meski aku tahu dalam hitungan menit
akan kembali terinjak-injak. Tak apa. Kalau tidak diinjak-injak lagi, itu
artinya tidak akan ada pekerjaan untukku. Aku tertunduk sejak pertama kali
melakukannya hingga hari ini. Jujur, aku malu. Khawatir ada teman atau
seseorang yang tiba-tiba mengenaliku saat aku melakukannya. Dalam tunduk,
sesekali aku mendelik sebal. Aku sebal dengan puluhan pasang mata yang menatap
setiap gerakku. Puluhan mata yang membuatku merasa aku tampak begitu rendah,
menyedihkan dan entah apalagi!
Sebal? Tunggu,
tunggu. Mungkin bukan sebal, tapi iri. Ya, aku iri dengan mereka yang duduk
atau berdiri lalu membaca buku hingga stasiun tujuan. Menerima telepon penting
dari rekan kerja atau apa itu? Klien? Ya, klien. Menandakan bahwa mereka adalah
orang penting. Sibuk membicarakan tugas kuliah atau pekerjaan di kantor yang
menumpuk dengan teman-teman. Atau mereka yang sibuk dengan gadget
masing-masing. Terlihat keren buatku. Ya ... walaupun aku sering melihat
kebanyakan dari mereka hanya sibuk dengan social media atau bahkan hanya
sekedar bermain game. Argh! Itu tetap membuatku iri. Aku juga
ingin menjadi salah satu dari mereka. Bukan hanya menjadi tontonan mereka
bersama lap pel ini!
“Jalur satu
aman, silakan berangkat,” terdengar pengumuman dari pengeras suara.
Kereta
meninggalkan stasiun Bojong Gede dan menuju stasiun Citayam. Kereta mulai
terlihat padat. Kulepaskan lap pel dari gagang, lalu kumasukkan kembali ia ke
dalam tas hitam bersama cairan pembersih lantai. Aku menyudahi tugasku
sementara. Kutarik napas dalam-dalam seraya menatap iri seorang mahasiswi
beralmamater kuning yang sedang berdiri sambil membaca buku.
“Ini!” Pak Gus
yang tahu-tahu sudah ada di sampingku menyodorkan sebuah buku tepat di depan
wajahku. Kalau tidak cepat mundur, sudah pasti wajahku yang kena.
“Pak Gus! Bikin
kaget saja!” ucapku seraya meraih buku yang disodorkan Pak Gus. “Senandung cinta-Nya,”
gumamku membaca judul buku berwarna pink itu. Tatapanku beralih pada Pak Gus, apa
maksudnya? Tidak biasanya Pak Gus memberi buku.
“Itu saya nemu
tadi dipojokkan,” ucap Pak Gus, seolah mendengar pertanyaan dalam hatiku. “Kalau
cuma baca buku, selesai ngepel, kamu juga bisa,” ucap Pak Gus.
Haha, benar. Ternyata
Pak Gus tahu apa yang baru saja kupikirkan. Dan memang beliau tahu semua. Pak
Gus, rekan kerja sekaligus tempat curhat. Dia sudah seperti Ayah bagiku.
“Yang penting
...,” Pak Gus melanjutkan, “jangan terlalu berharap bisa kuliah!”
“Memang kenapa?”
dahiku berkerut, “siapa tahu besok pemerintah bikin kebijakan baru, kuliah
gratis!” selorohku.
“Anak kecil, kamu
harus tahu pelajaran hidup yang satu ini. Orang kecil seperti kita ini, sebaiknya
jangan terlalu berharap. Apalagi harapannya tinggi-tinggi. Jangan ...!”
“Kenapa?” tanyaku
setengah protes.
“Yan, hidup
kita ini sudah sakit. Semua serba susah. Kalau masih harus berharap tapi
ujungnya tidak jadi kenyataan, terus kecewa, makin sakit kita!” sahut Pak Gus,
mimik mukanya terlihat serius.
“Masalahnya,sakitnya
tuh bukan cuma disini!” Pak Gus menunjuk dadanya, “tapi juga di sini!” katanya
lagi, seraya menunjuk dahinya, “bisa STRES!” tambahnya dengan nada emosi.
Pak Gus menarik
napas panjang. Menenangkan diri. “Ingat, itu,” ucapnya lagi sebelum membalikkan
badan kemudian pergi meninggalkanku.
Aku yang sejak
tadi hanya bengong, mengangguk ragu. Menatap Pak Gus yang semakin tenggelam
dari pandanganku. Orang kecil seperti kita tidak punya harapan? Entahlah. Tapi,
melihat Pak Gus penuh emosi, timbul satu pertanyaan di benakku. Seberapa sering
orang itu berharap lalu dikecewakan?
RSS Feed
Twitter
Jumat, Desember 30, 2016
Unknown