Angin, jangan kauterbangkan ingatannya.
Ia bukan daun kering yang lepas dari
ranting hingga kau bisa menerbangkannya sesukamu.
Semilir
Angin menggoda ujung kerudung putihku. Kupejamkan mata, mencoba menikmatinya.
Waktu kecil, aku yang tinggal di desa, selalu protes pada ibu. Kenapa kita
tinggal di desa yang tidak ada pemandangan indahnya sama sekali? Kenapa kita
tidak tinggal di tempat yang ada pantainya? Di sana kita bisa berenang,
merasakan ombak, bermain pasir. Atau di daerah pegunungan? Di sana ada barisan
padi hijau seperti karpet, ada air terjun. Tidak seperti di sini yang tidak ada
apa-apa.
Dan saat
aku menghujani ibu dengan protes, ibu akan mengajakku ke lapangan di belakang
rumah. Mengajakku duduk berselonjor di bawah pohon rindang pinggir lapangan.
Menyuruhku memejamkan mata, menghirup udara dan merasakan semilir angin yang membelai
lembut. Kata ibu, cobalah nikmati udara desa kita yang sejuk dan masih bersih.
Maka kita akan tahu bahwa di manapun kita, alam ini tetap indah. Dan kata ibu, syukuri
semua yang ada di hadapmu. Bersama syukur, angin akan menerbangkan rasa marah
dan gelisahmu. Dan akan menenangkan hatimu.
Sejak
saat itu, hingga kini aku duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah, menikmati
angin di lapangan belakang rumah sudah menjadi kebiasaan. Entah benar atau
tidak. Atau karena kata-kata ibu telah terekam di alam bawah sadarku. Saat aku
marah, gelisah atau dirundung masalah, menikmati semilir angin dan mengucap
syukur pada-Nya sudah menerbangkan separuh beban. Menenangkan hatiku. Dan angin
membawa cerita ....
***
“Bu.
Ibu,” panggilku pada ibu seraya terus mencari sosoknya. Di dapur, tidak ada. Di
kamar, tidak ada. Di belakang rumah pun tidak ada. “Ibu kemana?” tanyaku pada
diri sendiri sambil terus melangkah ke depan rumah.
Di rumah
kecil yang hanya ada dua kamar ini, aku tinggal besama Ibu dan Kakek. Siang
hari seperti ini, Kakek sedang ada di ladang, mengurus lahan orang yang dari
situlah kami bertiga dapat bertahan hidup. Tolong jangan bertanya tentang Ayah.
Aku tak ingin membahasnya di sini!
Hhh ... aku menarik napas dalam-dalam
melihat pemandangan di depan pintu. Sandal jepit bertali hijau milikku
bersanding dengan sandal jepit bertali merah milik ibu. Lihatlah, untuk
kesekian kalinya ibuku memakai sandal yang tertukar. Sebenarnya, kejadian
seperti ini memang bukan hal baru bagiku. Pasalnya, sejak aku kelas VII SMP,
entah kenapa ibu tiba-tiba menjadi pelupa. Lupa menaruh kunci. Lupa membawa
uang ketika belanja di warung sembako di tetangga sebelah. Lupa hari, tanggal.
Lupa menyampaikan pesan yang temanku titipkan untukku. Ah, yang ini membuatku
amat kesal. Bagaimana tidak? Temanku menitipkan pesan pada Ibu bahwa tugas
kelompok akan dikerjakan sore itu di rumahnya. Karena Ibu lupa menyampaikannya
padaku, aku tidak datang. Akibatnya, teman-teman satu kelompok tidak mau
menambahkan namaku di tugas kelompok.
Saat aku lulus
SMP, lupa ibu semakin parah. Bukan hanya lupa meletakkan sesuatu.
Kadang,
kulihat Ibu sedang bersusah payah membuka kunci lemari. Saat kutanya, Ibu
bilang, ia tidak tahu bagaimana cara membuka lemari. Astaga, bagaimana bisa Ibu
tidak tahu? Bahkan anak kecil, tanpa diajaripun bisa melakukannya. Dan yang
akhir-akhir ini paling sering Ibu lupa adalah ia memakai sandal yang tertukar.
Hhh ... aku kembali menghela napas saat
berdiri di depan pintu rumah. Lihatlah, dari kejauhan terlihat sosok ibu yang
menenteng sekantung plastik sayuran. Bersama lima orang bocah di kanan-kirinya.
Tak perlu penjelasan panjang-lebar, aku tahu apa yang terjadi. Ini pernah
terjadi beberapa minggu lalu.
“Kak
Ratih, Kak Ratih. Ini, Ibu Kak Ratih tadi bolak-balik terus. Ternyata, Ibu Kak
Ratih lupa jalan pulang,” aku salah satu bocah yang mengantar Ibu.
“Ya,
terima kasih ya, adik-adik sudah mau mengantarkan Ibu Kak Ratih pulang,”
sahutku seraya tersenyum. Kelima bocah itu kompak mengangguk sambil tersenyum
manis.
Tapi Ibu,
ia tetap diam dengan wajah linglung. Membuatku sedih sekaligus amat kesal
melihatnya. Bagaimana bisa Ibu lupa jalan pulang ke rumah sendiri?! Kuraih
tangan Ibu lalu menarik lembut tubuhnya dari tengah anak kecil itu. Aku hendak
mengajak Ibu masuk rumah kalau saja tidak menyadari bahwa bocah-bocah itu tetap
berdiri di tempatnya. Aku menoleh, “Apa lagi?” tanyaku.
Tanpa
rasa malu, mereka kompak menengadahkan tangan ke arahku. Astaga, bocah tengik!
Beginilah anak-anak di desaku, tidak mau mengerjakan sesuatu tanpa imbalan.
Tapi aku malas berdebat dengan mereka. Kuambil dompet dari genggaman Ibu yang
masih tetap saja diam dengan wajah linglungnya. Kuambil selembar uang kertas
lima ribuan lalu memberikannya pada mereka yang lantas bersorak sambil berlari
meninggalkanku dan Ibu.
***
Aku sadar, ada yang tidak beres dengan Ibu. Kebiasaan lupa Ibuku
sudah lewat batas kewajaran. Apalagi di usianya yang baru menginjak 45 tahun.
Ini bukan “pikun” yang biasa dialami oleh orang lanjut usia. Bahkan Kakekku
yang 20 tahun lebih tua dari Ibu, tidak pernah sepelupa itu. Sebenarnya bukan
hanya aku. Kakek bahkan Ibu sendiri menyadari bahwa ada yang tidak beres
dengannya.
Saat penyakit lupa itu tidak bersamanya. Ibu akan berkata, “Ibu
bingung, Ratih. Ibu ini kenapa sebenarnya? Jadi sering lupa seperti ini.”
Pernah satu ketika dengan polosnya aku bertanya balik, “Apa kepala
Ibu pernah terbentur benda keras, Bu? Di sinetron, biasanya orang bisa hilang
ingatan kalau kepalanya terbentur benda keras.”
Ibu terlihat berusaha mengingat-ingat. Tapi kemudian menggeleng,
“Tidak. Kepala Ibu tidak pernah terbentur apa-apa,” ucap Ibu yakin.
Ah, ya! Mana mungkin aku tidak tahu jika terjadi apa-apa dengan
Ibu. Lagi pula untuk apa aku menghubungkan sinetron dengan yang Ibu alami? Kurasa,
ini dua kasus yang berbeda.
“Tidak salah lagi!” seru Kakek yang baru pulang dari ladang. Ia
langsung duduk bersila di sebelahku untuk turut serta dalam obrolan kami.
“Pasti ada orang yang tidak suka atau iri denganmu, Ratna. Kamu pasti
diguna-guna!” lanjut Kakek.
“Bapak ini ngawur. Apa yang membuat orang iri pada Ratna?
Orang kaya, bukan. Orang cantik, bukan. Ditinggal suami selingkuh. Jadi, orang
gila mana yang kurang kerjaan guna-guna Ratna?” bantah Ibu.
“Lho, yang namanya manusia kita tidak pernah tahu! Bisa saja ada
orang yang jail atau sakit hati sama kamu! Besok kita pergi ke rumah Mbah
Kruhun. Kita cari tahu siapa orang yang guna-guna kamu!” Kakek tetap kukuh
dengan pendapatnya bahwa Ibu diguna-guna.
“Tapi, Kek, apa yang Ibu katakan ada benarnya. Menurut Ratih,
sebaiknya Ibu kita bawa ke dokter saja ...,” usulku.
“Dokter? Kamu tahu Ratih, kemarin anaknya Pak Somad yang sakit
malah meninggal setelah dibawa ke dokter!” Kakek memotong kalimatku yang belum
selesai.
“Itu karena anaknya Pak Somad terlambat mendapat penanganan, Kek,”
kucoba memberi pengertian.
Tapi, lagi-lagi Kakek memotong kalimatku, “Sama saja! Lebih baik
kita bertanya pada Mbah Kruhun di desa sebelah. Sudah terbukti banyak orang
yang sembuh setelah berobat di sana! Kamu ingat Ratna, almarhumah Ibumu juga
pernah mengalami yang kamu alami sekarang? Bahkan sampai ia meninggal. Apa kata
orang pintar? Dia diguna-guna, bukan?!”
Aku menoleh pada Ibu. Bertanya lewat sorot mataku, Nenek juga
pernah mengalami ini? Mungkinkah ini penyakit keturunan?
Ibu tertunduk. Sepertinya, Ibu juga baru ingat bahwa Nenek juga
pernah mengalaminya.
***
Dan Kakek
tetap membawa Ibu pada Mbah Kruhun. Ibu, meski tidak ingin, tidak berani
menolak. Tiap kali ke sana, pulangnya, Kakek dan Ibu pasti akan melakukan
sesuatu, “nasihat” dari Mbah Kruhun. Menabur garam di sekeliling rumah. Menebang
pohon jeruk limau yang ada di depan rumah. Namun, nyatanya itu tidak membuat
Ibu bertambah baik. Penyakit lupa Ibu kian hari kian parah. Akhir-akhir ini,
Ibu juga mengaku sering merasakan pusing yang tidak biasa secara tiba-tiba. Dan
kemarin, untuk kali ketiga, Ibu kembali diantar pulang oleh sekawanan bocah.
Yang bertambah
hanyalah omongan tetangga kanan-kiriku. Sejak Kakek membawa Ibu ke Mbah Kruhun,
semakin banyak orang yang tahu tentang penyakit lupa Ibu. Desas-desus itu kini
mulai terdengar menyakitkan. Secara tidak sengaja, sepulang sekolah, aku
mendengar ibu-ibu di warung sembako membicarakan Ibuku. “Sepertinya, Ratna
mulai gila!” celetuk salah satu dari mereka.
Bulir-bulir
air mata tak mampu kebendung setelah mendengarnya. Teganya mereka berkata
seperti itu tentang Ibu?! Kupercepat langkah sambil sesekali menyusut air mata.
Tidak. Ibuku tidak gila. Ia hanya lupa. Tidak. Ibu tidak gila!
***
Baru saja
masuk rumah, aku mendengar suara dari kamar mandi. Sambil menyusut air mata
dengan kerudung putih, kulempar tas ke sembarang tempat. Buru-buru melangkah
menuju kamar mandi. Pasti ada sesuatu yang terjadi di sana, dugaku.
Aku
tertegun melihat apa yang tengah terjadi. Ibu yang hanya berkemban kain sarung
duduk di sebelah bak air berisi bebungaan. Meski wajahnya basah, aku masih bisa
melihat air matanya. Di belakangnya, Kakek tengah mengguyur Ibu dengan air itu.
Mulutnya sibuk melafalkan sesuatu. Entah apa, mungkin mantra. Mereka pasti baru
pulang dari Mbah Kruhun itu lagi.
“Kek
...,” panggilku di tengah isak. Kakek menoleh galak. Ia tahu, sejak awal aku
tidak setuju kalau Ibu dibawa ke Mbah Kruhun. “Apa lagi sekarang?” tanyaku,
“Kakek tahu, gara-gara Kakek membawa Ibu ke sana, tetangga-tetangga kita
sangka, Ibu ...,” ah, aku tak sanggup mengatakannya di depan Ibu. Ya, cukup aku
yang mendengar. Ibu sudah cukup menderita dengan ini semua. “Ibu harus ke
dokter Kek, bunga-bunga itu tidak akan menyembuhkan Ibu ....”
Kakek
berhenti menyirami Ibu lalu membanting gayung. “Tahu apa kamu soal penyakit
Ibumu?!” hardiknya kemudian berlalu pergi. Aku tahu, Kakek pun sudah hampir
putus asa dengan usahanya. Entah sudah berapa uang yang dihabiskannya untuk ke
dukun itu. Aku tahu, Kakek pasti sudah mendengar omongan-omongan tetangga yang
tidak mengenakkan hati itu.
Sekali
lagi, kususut air mataku lalu berjinjit meraih handuk yang tersampir di seutas
tali. Buru-buru kuselimuti Ibu dengan handuk itu. Tangis Ibu akhirnya pecah
juga. Tangannya mendekap mulut, seolah tak ingin suara tangisnya tak terdengar.
Tanpa satu katapun terucap, kupeluk Ibu dari belakang. Air mataku kembali
berurai. Pelukanku semakin erat.
***
Hari-hariku
kini terasa begitu menyesakkan. Omongan tetangga kian nyaring terdengar.
Kondisi Ibu juga kian memprihatinkan. Sekarang, Ibu semakin menarik diri dari
lingkungan. Kadang, seharian penuh Ibu hanya duduk termenung di kamar. Ia marah
pada diri sendiri, karena sering kali tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik
meski berulang kali kuberitahu caranya. Jika sudah begitu, aku hanya bisa
menatap iba tanpa tahu harus melakukan apa.
Kuselonjorkan
kaki di bawah pohon pinggir lapangan. Aku ingin menikmati semilir angin. Semoga
ia berkenan menerbangkan segala sesakku
ini. Aku tahu Ibu tidak gila seperti dugaan tetangga-tetanggaku yang sekarang
bahkan takut untuk bertemu Ibu. Dibantu Pipit, sahabatku, beberapa hari ini aku
mencari informasi tentang “penyakit lupa” Ibu melalui internet. Kebetulan ada
sebuah warung internet di belakang sekolah. Kudapati sejumlah informasi. Salah
satunya, Alzheimer. Nama penyakit yang baru kudengar.
Alzheimer
adalah sejenis sindrom yang menyebabkan penurunan fungsi saraf otak yang
ditandai dengan sejumlah gejala. Dari artikel yang
kubaca, pada tingkat ringan, gejalanya dapat berupa lupa akan hal-hal kecil.
Seperti lupa di mana menyimpan barang, lupa hari, tanggal atau lupa hendak
melakukan apa. Dan pada Alzheimer dengan tingkatan yang parah, penderita akan
kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Seperti makan, mandi, berpakaian atau
hal lainnya. Ia tidak lagi mengenali keadaan sekitar rumahnya. Dan kalian
tahu apa yang membuatku semakin pilu? Penderita Alzheimer bahkan tidak bisa
lagi mengenali rekan-rekan atau anggota keluarga terdekatnya. Aku tertegun
untuk waktu yang lama. Jika benar Ibu mengidap penyakit ini, itu artinya, suatu
saat Ibu bisa saja lupa padaku?
“Hanya
berbekal artikel ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Ibumu mengidap
Alzheimer, Ratih. Bahkan dokter pun harus melakukan serangkaian pemeriksaan
medis sebelum memvonis seseorang mengidap Alzheimer. Lagipula, artikel itu
bilang Alzheimer umumnya menyerang orang berusia 65 tahun ke atas,” ucap Pipit
menenangkanku.
Kuhargai
usaha Pipit menenangkanku. Walaupun kami sama-sama mengakui hampir semua gejala
Alzheimer telah dialami Ibu. Tentang usia, jelas-jelas kami sama-sama membaca penderita
Alzheimer termuda adalah Rebecca Doig, seorang perempuan Australia berusia 31
tahun.
Tapi,
yang dikatakan Pipit juga benar. Tidak semudah itu memvonis seseorang mengidap
Alzheimer. Perlu serangkaian pemeriksaan medis. Pemeriksaan medis? Bagaimana
aku bisa membawa Ibu melakukan pemeriksaan yang membutuhkan uang banyak itu? Di
tambah Kakek yang tidak pernah percaya pada dokter. Ah, bahkan jika Kakek
percaya pun, kami tetap tidak akan punya cukup uang untuk itu. Di salah satu
artikel menyebutkan, biaya pengobatan Alzheimer bahkan lebih mahal dari biaya
pengobatan penyakit jantung.
Kalau
boleh kusimpulkan, Alzheimer ternyata seperti angin. Yang perlahan menerbangkan
ingatan seseorang kemudian membawa lupa. Akankah ia juga menerbangkan ingatan
Ibu? Ah! Menikmati angin tak pernah sesesak ini. Kupejamkan mata, mencoba
menikmati angin yang berhembus lembut sore ini. Namun entah mengapat terasa
amat sulit hati ini bersyukur. Hanya sesakku yang kian bertambah.
Prang! Aku terperanjat dan kontan berlari panik saat
mendengar suara dari dalam rumah.
Dalam hitungan detik, aku sudah sampai di
kamar Ibu. Terlihat pecahan gelas di sebelah meja rias. Dan Ibu ....
“Ibu!” Aku
berseru panik melihat Ibu kejang di lantai. Kusambar tubuh Ibu dan memeluknya
erat, “Ya Allah, Ibu kenapa, Bu?! Ibu!” ucapku sambil terisak.
Aku
semakin panik lantaran kejang Ibu semakin hebat. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Kakek belum pulang. Ingin mencari pertolongan keluar, tapi tak tega
meninggalkan Ibu sendiri. “Ibu, Ratih di sini, Bu. Ibu kenapa?” kupeluk Ibu
lebih erat. Hingga lima menit kemudian kejangnya perlahan berhenti. Ibu
terkulai lemah dipelukku.
Usai
membantu Ibu berbaring. Kubawakan teh hangat lalu membantu Ibu meminumnya.
Meski wajahnya linglung. Setidaknya, Ibu sudah terlihat sedikit lebih tenang.
“Ibu istirahat, ya,” ucapku.
Tapi
anehnya, Ibu malah menatapku lekat-lekat seolah ini adalah pertemuan pertama
kami, “Kamu ... siapa?”
Aku
terkesiap mendengarnya. Refleks mendekap mulut. “Ibu ...,” aku menggeleng tidak
percaya dengan apa yang kudengar barusan.
“Ratih,
Ratna ...,” Kakek yang baru pulang langsung melongok ke kamar. Mungkin lantaran
tidak melihatku dan Ibu di ruang tengah.
Ibu
menoleh ke arah Kakek lalu bergantian menatapku dengan wajah linglungnya.
“Kalian ... siapa?”
“Ya
Allah, Ibu ...,” lirihku seraya mendekati Ibu. Berharap, dengan jarak lebih
dekat, Ibu dapat mengenaliku. Kuraih tangan kanan Ibu dan meletakkannya di
pipiku. “Ini Ratih, Bu. Ratih anak Ibu ...,” lirihku lagi.
Sementara
Kakek hanya terduduk lemah seraya menatap Ibu yang tetap berwajah linglung. Kalian
harus tahu, kejadian sore itu adalah kejadian yang paling menyakitkan dalam
hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang amat kukasihi dan mengasihiku, tiba-tiba
tak dapat mengenaliku.
***
Tapi di keesokan
hari, saat adzan subuh berkumandang aku dikagetkan dengan suara lembut yang
membangunkanku. Seperti mimpi, Ibu membangunkanku! Ingatan Ibu kembali! Sontak kupeluk Ibu. “Ibu, tidak lupa pada
Ratih?” tanyaku untuk meyakinkan.
“Ibu mana
yang lupa pada anaknya, Ratih?!” sahut Ibu seraya memukul lembut lenganku.
Aku
tersenyum girang mendengarnya. Atau, kejadian sore kemarin hanya mimpi? Aku tak
peduli! Kukecup pipi Ibu sebelum akhirnya beranjak untuk wudhu.
Namun, kembalinya
Ibu mengenaliku, bukan berarti penyakit lupa Ibu sembuh. Penyakit lupa itu
tetap menggerogoti memorinya. Aku dan Kakek juga tetap tidak mampu
mengobatinya. Aku pasrah. Meski kian hari, Ibu kian kesulitan melakukan sesuatu
dengan baik. Meski demi menjaga Ibu, aku dan Kakek akhirnya sepakat untuk aku
keluar dari sekolah. Karena selain menjaga Ibu, aku juga harus mengerjakan
pekerjaan yang biasa dilakukan Ibu. Sungguh, itu tidak apa. Asal Ibu tetap
mengingatku dan Kakek, itu cukup sudah.
***
“Bu,”
panggilku yang baru saja kembali dari membeli sayuran pagi itu seraya
mencari-cari sosoknya. Dan akhirnya aku dapat tersenyum lega setelah melihat
Ibu yang ternyata tengah duduk di bawah pohon di pinggir lapangan belakang
rumah. Aku tersenyum kecil. Mungkin, Ibu ingin menikmati angin. Atau mungkin,
Ibu tengah mengingat kejadian saat aku protes, kenapa kita tinggal di desa?
“Ratih
cari kemana-mana. Ternyata Ibu di sini. Ibu lagi apa?” tegurku seraya duduk di
sebelahnya lalu memejamkan mata dan menghirup udara pagi. Ah, sudah lama sekali
tidak duduk bersama Ibu di sini. Ini satu hal yang harus kusyukuri. Dan semoga
penyakit lupa ibu ikut terbang bersama angin pagi ini. Kubuka mata dan menoleh
pada Ibu yang ternyata tengah memperhatikanku.
Aku
tersenyum.
Ibu
semakin menatapku lekat-lekat, “Kamu ... siapa?”
***
Bogor, 25 Pebruari 2015
Maswha Faizah
RSS Feed
Twitter
Rabu, Februari 25, 2015
Unknown
Posted in