Rabu, 25 Februari 2015

Angin, jangan kauterbangkan ingatannya.
Ia bukan daun kering yang lepas dari ranting hingga kau bisa menerbangkannya sesukamu.

Semilir Angin menggoda ujung kerudung putihku. Kupejamkan mata, mencoba menikmatinya. Waktu kecil, aku yang tinggal di desa, selalu protes pada ibu. Kenapa kita tinggal di desa yang tidak ada pemandangan indahnya sama sekali? Kenapa kita tidak tinggal di tempat yang ada pantainya? Di sana kita bisa berenang, merasakan ombak, bermain pasir. Atau di daerah pegunungan? Di sana ada barisan padi hijau seperti karpet, ada air terjun. Tidak seperti di sini yang tidak ada apa-apa.

Dan saat aku menghujani ibu dengan protes, ibu akan mengajakku ke lapangan di belakang rumah. Mengajakku duduk berselonjor di bawah pohon rindang pinggir lapangan. Menyuruhku memejamkan mata, menghirup udara dan merasakan semilir angin yang membelai lembut. Kata ibu, cobalah nikmati udara desa kita yang sejuk dan masih bersih. 

Maka kita akan tahu bahwa di manapun kita, alam ini tetap indah. Dan kata ibu, syukuri semua yang ada di hadapmu. Bersama syukur, angin akan menerbangkan rasa marah dan gelisahmu. Dan akan menenangkan hatimu.

Sejak saat itu, hingga kini aku duduk di bangku kelas 2 Madrasah Aliyah, menikmati angin di lapangan belakang rumah sudah menjadi kebiasaan. Entah benar atau tidak. Atau karena kata-kata ibu telah terekam di alam bawah sadarku. Saat aku marah, gelisah atau dirundung masalah, menikmati semilir angin dan mengucap syukur pada-Nya sudah menerbangkan separuh beban. Menenangkan hatiku. Dan angin membawa cerita ....

***

“Bu. Ibu,” panggilku pada ibu seraya terus mencari sosoknya. Di dapur, tidak ada. Di kamar, tidak ada. Di belakang rumah pun tidak ada. “Ibu kemana?” tanyaku pada diri sendiri sambil terus melangkah ke depan rumah.

Di rumah kecil yang hanya ada dua kamar ini, aku tinggal besama Ibu dan Kakek. Siang hari seperti ini, Kakek sedang ada di ladang, mengurus lahan orang yang dari situlah kami bertiga dapat bertahan hidup. Tolong jangan bertanya tentang Ayah. Aku tak ingin membahasnya di sini!

Hhh ... aku menarik napas dalam-dalam melihat pemandangan di depan pintu. Sandal jepit bertali hijau milikku bersanding dengan sandal jepit bertali merah milik ibu. Lihatlah, untuk kesekian kalinya ibuku memakai sandal yang tertukar. Sebenarnya, kejadian seperti ini memang bukan hal baru bagiku. Pasalnya, sejak aku kelas VII SMP, entah kenapa ibu tiba-tiba menjadi pelupa. Lupa menaruh kunci. Lupa membawa uang ketika belanja di warung sembako di tetangga sebelah. Lupa hari, tanggal. Lupa menyampaikan pesan yang temanku titipkan untukku. Ah, yang ini membuatku amat kesal. Bagaimana tidak? Temanku menitipkan pesan pada Ibu bahwa tugas kelompok akan dikerjakan sore itu di rumahnya. Karena Ibu lupa menyampaikannya padaku, aku tidak datang. Akibatnya, teman-teman satu kelompok tidak mau menambahkan namaku di tugas kelompok.

Saat aku lulus SMP, lupa ibu semakin parah. Bukan hanya lupa meletakkan sesuatu. 

Kadang, kulihat Ibu sedang bersusah payah membuka kunci lemari. Saat kutanya, Ibu bilang, ia tidak tahu bagaimana cara membuka lemari. Astaga, bagaimana bisa Ibu tidak tahu? Bahkan anak kecil, tanpa diajaripun bisa melakukannya. Dan yang akhir-akhir ini paling sering Ibu lupa adalah ia memakai sandal yang tertukar.

Hhh ... aku kembali menghela napas saat berdiri di depan pintu rumah. Lihatlah, dari kejauhan terlihat sosok ibu yang menenteng sekantung plastik sayuran. Bersama lima orang bocah di kanan-kirinya. Tak perlu penjelasan panjang-lebar, aku tahu apa yang terjadi. Ini pernah terjadi beberapa minggu lalu.

“Kak Ratih, Kak Ratih. Ini, Ibu Kak Ratih tadi bolak-balik terus. Ternyata, Ibu Kak Ratih lupa jalan pulang,” aku salah satu bocah yang mengantar Ibu.

“Ya, terima kasih ya, adik-adik sudah mau mengantarkan Ibu Kak Ratih pulang,” sahutku seraya tersenyum. Kelima bocah itu kompak mengangguk sambil tersenyum manis.

Tapi Ibu, ia tetap diam dengan wajah linglung. Membuatku sedih sekaligus amat kesal melihatnya. Bagaimana bisa Ibu lupa jalan pulang ke rumah sendiri?! Kuraih tangan Ibu lalu menarik lembut tubuhnya dari tengah anak kecil itu. Aku hendak mengajak Ibu masuk rumah kalau saja tidak menyadari bahwa bocah-bocah itu tetap berdiri di tempatnya. Aku menoleh, “Apa lagi?” tanyaku.

Tanpa rasa malu, mereka kompak menengadahkan tangan ke arahku. Astaga, bocah tengik! Beginilah anak-anak di desaku, tidak mau mengerjakan sesuatu tanpa imbalan. Tapi aku malas berdebat dengan mereka. Kuambil dompet dari genggaman Ibu yang masih tetap saja diam dengan wajah linglungnya. Kuambil selembar uang kertas lima ribuan lalu memberikannya pada mereka yang lantas bersorak sambil berlari meninggalkanku dan Ibu.

***

Aku sadar, ada yang tidak beres dengan Ibu. Kebiasaan lupa Ibuku sudah lewat batas kewajaran. Apalagi di usianya yang baru menginjak 45 tahun. Ini bukan “pikun” yang biasa dialami oleh orang lanjut usia. Bahkan Kakekku yang 20 tahun lebih tua dari Ibu, tidak pernah sepelupa itu. Sebenarnya bukan hanya aku. Kakek bahkan Ibu sendiri menyadari bahwa ada yang tidak beres dengannya.

Saat penyakit lupa itu tidak bersamanya. Ibu akan berkata, “Ibu bingung, Ratih. Ibu ini kenapa sebenarnya? Jadi sering lupa seperti ini.”

Pernah satu ketika dengan polosnya aku bertanya balik, “Apa kepala Ibu pernah terbentur benda keras, Bu? Di sinetron, biasanya orang bisa hilang ingatan kalau kepalanya terbentur benda keras.”

Ibu terlihat berusaha mengingat-ingat. Tapi kemudian menggeleng, “Tidak. Kepala Ibu tidak pernah terbentur apa-apa,” ucap Ibu yakin.

Ah, ya! Mana mungkin aku tidak tahu jika terjadi apa-apa dengan Ibu. Lagi pula untuk apa aku menghubungkan sinetron dengan yang Ibu alami? Kurasa, ini dua kasus yang berbeda.

“Tidak salah lagi!” seru Kakek yang baru pulang dari ladang. Ia langsung duduk bersila di sebelahku untuk turut serta dalam obrolan kami. “Pasti ada orang yang tidak suka atau iri denganmu, Ratna. Kamu pasti diguna-guna!” lanjut Kakek.

“Bapak ini ngawur. Apa yang membuat orang iri pada Ratna? Orang kaya, bukan. Orang cantik, bukan. Ditinggal suami selingkuh. Jadi, orang gila mana yang kurang kerjaan guna-guna Ratna?” bantah Ibu.

“Lho, yang namanya manusia kita tidak pernah tahu! Bisa saja ada orang yang jail atau sakit hati sama kamu! Besok kita pergi ke rumah Mbah Kruhun. Kita cari tahu siapa orang yang guna-guna kamu!” Kakek tetap kukuh dengan pendapatnya bahwa Ibu diguna-guna.
“Tapi, Kek, apa yang Ibu katakan ada benarnya. Menurut Ratih, sebaiknya Ibu kita bawa ke dokter saja ...,” usulku.

“Dokter? Kamu tahu Ratih, kemarin anaknya Pak Somad yang sakit malah meninggal setelah dibawa ke dokter!” Kakek memotong kalimatku yang belum selesai.

“Itu karena anaknya Pak Somad terlambat mendapat penanganan, Kek,” kucoba memberi pengertian.

Tapi, lagi-lagi Kakek memotong kalimatku, “Sama saja! Lebih baik kita bertanya pada Mbah Kruhun di desa sebelah. Sudah terbukti banyak orang yang sembuh setelah berobat di sana! Kamu ingat Ratna, almarhumah Ibumu juga pernah mengalami yang kamu alami sekarang? Bahkan sampai ia meninggal. Apa kata orang pintar? Dia diguna-guna, bukan?!”
Aku menoleh pada Ibu. Bertanya lewat sorot mataku, Nenek juga pernah mengalami ini? Mungkinkah ini penyakit keturunan?

Ibu tertunduk. Sepertinya, Ibu juga baru ingat bahwa Nenek juga pernah mengalaminya.

***

Dan Kakek tetap membawa Ibu pada Mbah Kruhun. Ibu, meski tidak ingin, tidak berani menolak. Tiap kali ke sana, pulangnya, Kakek dan Ibu pasti akan melakukan sesuatu, “nasihat” dari Mbah Kruhun. Menabur garam di sekeliling rumah. Menebang pohon jeruk limau yang ada di depan rumah. Namun, nyatanya itu tidak membuat Ibu bertambah baik. Penyakit lupa Ibu kian hari kian parah. Akhir-akhir ini, Ibu juga mengaku sering merasakan pusing yang tidak biasa secara tiba-tiba. Dan kemarin, untuk kali ketiga, Ibu kembali diantar pulang oleh sekawanan bocah.

Yang bertambah hanyalah omongan tetangga kanan-kiriku. Sejak Kakek membawa Ibu ke Mbah Kruhun, semakin banyak orang yang tahu tentang penyakit lupa Ibu. Desas-desus itu kini mulai terdengar menyakitkan. Secara tidak sengaja, sepulang sekolah, aku mendengar ibu-ibu di warung sembako membicarakan Ibuku. “Sepertinya, Ratna mulai gila!” celetuk salah satu dari mereka.

Bulir-bulir air mata tak mampu kebendung setelah mendengarnya. Teganya mereka berkata seperti itu tentang Ibu?! Kupercepat langkah sambil sesekali menyusut air mata. Tidak. Ibuku tidak gila. Ia hanya lupa. Tidak. Ibu tidak gila!

***

Baru saja masuk rumah, aku mendengar suara dari kamar mandi. Sambil menyusut air mata dengan kerudung putih, kulempar tas ke sembarang tempat. Buru-buru melangkah menuju kamar mandi. Pasti ada sesuatu yang terjadi di sana,  dugaku.

Aku tertegun melihat apa yang tengah terjadi. Ibu yang hanya berkemban kain sarung duduk di sebelah bak air berisi bebungaan. Meski wajahnya basah, aku masih bisa melihat air matanya. Di belakangnya, Kakek tengah mengguyur Ibu dengan air itu. Mulutnya sibuk melafalkan sesuatu. Entah apa, mungkin mantra. Mereka pasti baru pulang dari Mbah Kruhun itu lagi.

“Kek ...,” panggilku di tengah isak. Kakek menoleh galak. Ia tahu, sejak awal aku tidak setuju kalau Ibu dibawa ke Mbah Kruhun. “Apa lagi sekarang?” tanyaku, “Kakek tahu, gara-gara Kakek membawa Ibu ke sana, tetangga-tetangga kita sangka, Ibu ...,” ah, aku tak sanggup mengatakannya di depan Ibu. Ya, cukup aku yang mendengar. Ibu sudah cukup menderita dengan ini semua. “Ibu harus ke dokter Kek, bunga-bunga itu tidak akan menyembuhkan Ibu ....”

Kakek berhenti menyirami Ibu lalu membanting gayung. “Tahu apa kamu soal penyakit Ibumu?!” hardiknya kemudian berlalu pergi. Aku tahu, Kakek pun sudah hampir putus asa dengan usahanya. Entah sudah berapa uang yang dihabiskannya untuk ke dukun itu. Aku tahu, Kakek pasti sudah mendengar omongan-omongan tetangga yang tidak mengenakkan hati itu.

Sekali lagi, kususut air mataku lalu berjinjit meraih handuk yang tersampir di seutas tali. Buru-buru kuselimuti Ibu dengan handuk itu. Tangis Ibu akhirnya pecah juga. Tangannya mendekap mulut, seolah tak ingin suara tangisnya tak terdengar. Tanpa satu katapun terucap, kupeluk Ibu dari belakang. Air mataku kembali berurai. Pelukanku semakin erat.

***

Hari-hariku kini terasa begitu menyesakkan. Omongan tetangga kian nyaring terdengar. Kondisi Ibu juga kian memprihatinkan. Sekarang, Ibu semakin menarik diri dari lingkungan. Kadang, seharian penuh Ibu hanya duduk termenung di kamar. Ia marah pada diri sendiri, karena sering kali tidak bisa melakukan sesuatu dengan baik meski berulang kali kuberitahu caranya. Jika sudah begitu, aku hanya bisa menatap iba tanpa tahu harus melakukan apa.
Kuselonjorkan kaki di bawah pohon pinggir lapangan. Aku ingin menikmati semilir angin. Semoga ia berkenan menerbangkan  segala sesakku ini. Aku tahu Ibu tidak gila seperti dugaan tetangga-tetanggaku yang sekarang bahkan takut untuk bertemu Ibu. Dibantu Pipit, sahabatku, beberapa hari ini aku mencari informasi tentang “penyakit lupa” Ibu melalui internet. Kebetulan ada sebuah warung internet di belakang sekolah. Kudapati sejumlah informasi. Salah satunya, Alzheimer. Nama penyakit yang baru kudengar.

Alzheimer adalah sejenis sindrom yang menyebabkan penurunan fungsi saraf otak yang ditandai dengan sejumlah gejala. Dari artikel yang kubaca, pada tingkat ringan, gejalanya dapat berupa lupa akan hal-hal kecil. Seperti lupa di mana menyimpan barang, lupa hari, tanggal atau lupa hendak melakukan apa. Dan pada Alzheimer dengan tingkatan yang parah, penderita akan kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari. Seperti makan, mandi, berpakaian atau hal lainnya. Ia tidak lagi mengenali keadaan sekitar rumahnya. Dan kalian tahu apa yang membuatku semakin pilu? Penderita Alzheimer bahkan tidak bisa lagi mengenali rekan-rekan atau anggota keluarga terdekatnya. Aku tertegun untuk waktu yang lama. Jika benar Ibu mengidap penyakit ini, itu artinya, suatu saat Ibu bisa saja lupa padaku?

“Hanya berbekal artikel ini, kita tidak bisa menyimpulkan bahwa Ibumu mengidap Alzheimer, Ratih. Bahkan dokter pun harus melakukan serangkaian pemeriksaan medis sebelum memvonis seseorang mengidap Alzheimer. Lagipula, artikel itu bilang Alzheimer umumnya menyerang orang berusia 65 tahun ke atas,” ucap Pipit menenangkanku.

Kuhargai usaha Pipit menenangkanku. Walaupun kami sama-sama mengakui hampir semua gejala Alzheimer telah dialami Ibu. Tentang usia, jelas-jelas kami sama-sama membaca penderita Alzheimer termuda adalah Rebecca Doig, seorang perempuan Australia berusia 31 tahun.

Tapi, yang dikatakan Pipit juga benar. Tidak semudah itu memvonis seseorang mengidap 
Alzheimer. Perlu serangkaian pemeriksaan medis. Pemeriksaan medis? Bagaimana aku bisa membawa Ibu melakukan pemeriksaan yang membutuhkan uang banyak itu? Di tambah Kakek yang tidak pernah percaya pada dokter. Ah, bahkan jika Kakek percaya pun, kami tetap tidak akan punya cukup uang untuk itu. Di salah satu artikel menyebutkan, biaya pengobatan Alzheimer bahkan lebih mahal dari biaya pengobatan penyakit jantung.

Kalau boleh kusimpulkan, Alzheimer ternyata seperti angin. Yang perlahan menerbangkan ingatan seseorang kemudian membawa lupa. Akankah ia juga menerbangkan ingatan Ibu? Ah! Menikmati angin tak pernah sesesak ini. Kupejamkan mata, mencoba menikmati angin yang berhembus lembut sore ini. Namun entah mengapat terasa amat sulit hati ini bersyukur. Hanya sesakku yang kian bertambah.

Prang! Aku terperanjat dan kontan berlari panik saat mendengar suara dari dalam rumah. 
Dalam hitungan detik, aku sudah sampai di kamar Ibu. Terlihat pecahan gelas di sebelah meja rias. Dan Ibu ....

“Ibu!” Aku berseru panik melihat Ibu kejang di lantai. Kusambar tubuh Ibu dan memeluknya erat, “Ya Allah, Ibu kenapa, Bu?! Ibu!” ucapku sambil terisak.

Aku semakin panik lantaran kejang Ibu semakin hebat. Aku tidak tahu harus bagaimana. Kakek belum pulang. Ingin mencari pertolongan keluar, tapi tak tega meninggalkan Ibu sendiri. “Ibu, Ratih di sini, Bu. Ibu kenapa?” kupeluk Ibu lebih erat. Hingga lima menit kemudian kejangnya perlahan berhenti. Ibu terkulai lemah dipelukku.

Usai membantu Ibu berbaring. Kubawakan teh hangat lalu membantu Ibu meminumnya. Meski wajahnya linglung. Setidaknya, Ibu sudah terlihat sedikit lebih tenang. “Ibu istirahat, ya,” ucapku.

Tapi anehnya, Ibu malah menatapku lekat-lekat seolah ini adalah pertemuan pertama kami, “Kamu ... siapa?”

Aku terkesiap mendengarnya. Refleks mendekap mulut. “Ibu ...,” aku menggeleng tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan.

“Ratih, Ratna ...,” Kakek yang baru pulang langsung melongok ke kamar. Mungkin lantaran tidak melihatku dan Ibu di ruang tengah.

Ibu menoleh ke arah Kakek lalu bergantian menatapku dengan wajah linglungnya. “Kalian ... siapa?”

“Ya Allah, Ibu ...,” lirihku seraya mendekati Ibu. Berharap, dengan jarak lebih dekat, Ibu dapat mengenaliku. Kuraih tangan kanan Ibu dan meletakkannya di pipiku. “Ini Ratih, Bu. Ratih anak Ibu ...,” lirihku lagi.

Sementara Kakek hanya terduduk lemah seraya menatap Ibu yang tetap berwajah linglung. Kalian harus tahu, kejadian sore itu adalah kejadian yang paling menyakitkan dalam hidupku. Bagaimana tidak? Orang yang amat kukasihi dan mengasihiku, tiba-tiba tak dapat mengenaliku.

***

Tapi di keesokan hari, saat adzan subuh berkumandang aku dikagetkan dengan suara lembut yang membangunkanku. Seperti mimpi, Ibu membangunkanku! Ingatan Ibu kembali! Sontak kupeluk Ibu. “Ibu, tidak lupa pada Ratih?” tanyaku untuk meyakinkan.

“Ibu mana yang lupa pada anaknya, Ratih?!” sahut Ibu seraya memukul lembut lenganku.

Aku tersenyum girang mendengarnya. Atau, kejadian sore kemarin hanya mimpi? Aku tak peduli! Kukecup pipi Ibu sebelum akhirnya beranjak untuk wudhu.

Namun, kembalinya Ibu mengenaliku, bukan berarti penyakit lupa Ibu sembuh. Penyakit lupa itu tetap menggerogoti memorinya. Aku dan Kakek juga tetap tidak mampu mengobatinya. Aku pasrah. Meski kian hari, Ibu kian kesulitan melakukan sesuatu dengan baik. Meski demi menjaga Ibu, aku dan Kakek akhirnya sepakat untuk aku keluar dari sekolah. Karena selain menjaga Ibu, aku juga harus mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan Ibu. Sungguh, itu tidak apa. Asal Ibu tetap mengingatku dan Kakek, itu cukup sudah.

***

“Bu,” panggilku yang baru saja kembali dari membeli sayuran pagi itu seraya mencari-cari sosoknya. Dan akhirnya aku dapat tersenyum lega setelah melihat Ibu yang ternyata tengah duduk di bawah pohon di pinggir lapangan belakang rumah. Aku tersenyum kecil. Mungkin, Ibu ingin menikmati angin. Atau mungkin, Ibu tengah mengingat kejadian saat aku protes, kenapa kita tinggal di desa?

“Ratih cari kemana-mana. Ternyata Ibu di sini. Ibu lagi apa?” tegurku seraya duduk di sebelahnya lalu memejamkan mata dan menghirup udara pagi. Ah, sudah lama sekali tidak duduk bersama Ibu di sini. Ini satu hal yang harus kusyukuri. Dan semoga penyakit lupa ibu ikut terbang bersama angin pagi ini. Kubuka mata dan menoleh pada Ibu yang ternyata tengah memperhatikanku.

Aku tersenyum.

Ibu semakin menatapku lekat-lekat, “Kamu ... siapa?”

***
Bogor, 25 Pebruari 2015
Maswha Faizah