Senin, 30 Desember 2013



oleh : Maswha Faizah

*cerita fiksi ini terinspirasi dari acara Swara Liyan yang tayang di TVRI

Permadani hijau menghampar sepemandangan. Laksana hamparan asa ribuan jiwa. Gumpalan awan putih menghias cakrawala yang melengkung seolah hendak merengkuhnya. Laksana gumpalan do’a yang naik ke langit-Mu di sepertiga malam tadi. Menggantung. Berharap Kau memperkenankannya. Mentari telah naik ke sepenggalannnya. Bersama hangat sinarnya, membawa selaksa harapan terkabulnya do’a.

Di sepetak tanah berdiri bangunan megah. Beratapkan ilalang. Berdindingkan seng-seng. Beralaskan tanah. Puluhan pasang kaki kecil tanpa alas menjejak ke setiap sudut ruang penuh sempena. Menegakkan harapan untuk kehidupan lebih baik.

Sebelum benar-benar menjejakkan kaki di tempat ini. Mereka terlebih dahulu harus menjejakkan kaki di jalan terjal penuh bebatuan. Menerabas hutan. Menyusuri sungai. Menyisir tepi jurang. Bertaruh nyawa.
Para pemilik kaki kecil itu, kini duduk manis beralaskan permadani pandan pemberian seorang dermawan tiga tahun silam. Tangan kecil menggenggam pensil. Memangku buku tulis. Menjadikan paha sebagai penyangga. Menggurat aksara yang juga tergurat di papan tulis hitam. Di sinilah kami. Inilah bangunan megah tempat kami belajar. Mengeja aksara. Menghitung angka. Merajut asa hendak menjadikannya nyata. SD Sejuta Asa. Sekolah darurat di kaki gunung Rinjani.

Ini adalah sekolah darurat yang didirikan tiga tahun silam oleh Kak Falah dan seorang temannya dari kota, Kak Segara. Kak Falah adalah penduduk asli kaki gunung Rinjani yang bertuah mengenyam pendidikan hingga sarjana di kota. Ia kembali membawa sejuta asa. mengenalkan dunia pada generasi di kaki gunung Rinjani.

Sejuta Asa adalah satu-satunya sekolah yang ada di desa ini. Tidak semua desa di kaki gunung Rinjani memiliki sekolah darurat. Membuat tidak semua anak desa bisa mengenyam pendidikan. Meski sebatas baca-tulis. Pendidikan menjadi sesuatu yang teramat mahal di sini. Sekaligus sesuatu yang tidak dianggap penting. Bagaimana hendak merasa penting? Sudahlah sulit didapat. Tak ada sesuatu yang membuat mereka merasa perlu akan semua pengetahuan itu. Kami hidup dari hasil bercocok tanam disini, tanpa aksara dan untaian kata. Untuk apa pendidikan itu?

Padahal, seandainya mereka berpendidikan. Maka 500 Ha areal persawahan Rinjani tidak akan begitu saja jatuh ke tangan perusahaan. Lihatlah, bukan menjadi pemilik. Penduduk Rinjani justru menjadi buruh di sana. Seperti menjadi budak di rumah megah milik sendiri.

Maka, ketika Sejuta Asa berdiri. Bagian tersulit bukanlah pada saat mengajari kanak-kanak itu. Melainkan meyakinkan para orang tua tentang pentingnya pendidikan. Berbagai cara ditempuh Kak Falah dan Kak Segara. Mulai dari mengumpulkan mereka. Hingga mendatangi mereka satu persatu. Memberi penjelasan tentang arti pendidikan. Meyakinkan mereka tentang janji kehidupan yang lebih baik dengan ilmu.

Barang siapa ingin bahagia di dunia, harus dengan ilmu. Barang siapa ingin bahagia di akhirat, harus dengan ilmu. Barang siapa ingin bahagia dunia akhirat, harus dengan ilmu.

Pekerjaan ini memang takkan semudah membalik telapak tangan. Tapi lihatlah, berkat kesabaran, usaha itu mulai membuahkan hasil. Beberapa orang tua akhirnya menyadari pentingnya pendidikan. Setidaknya ada tiga puluh anak yang merajut asa di sini. Sepuluh di antaranya berasal dari desa tetangga. Kami menyebutnya para perajut asa. Semangat mereka bagai baja. Tangguh tak terkalahkan. Jarak yang jauh tak lagi menjadi halangan. Tidak juga cuaca. Meski hujan mengguyur derasnya. Meski jalan yang mereka lalui menjadi terasa lebih jauh dan licin. Mereka tetap datang.

Jangan kira semangat itu datang dengan sendirinya. Semangat itu adalah warisan dari Kak Falah dan Kak Segara. Mereka sengaja menularkan semangat kepada para perajut asa. Agar semangat itu menjadi berlipat. Menjadi kekuatan merajut harapan. Menjadikannya sejuta asa.
@
Aku Kinara. Baru dua hari lalu usiaku genap 18 tahun. Gadis kaki gunung Rinjani yang juga bertuah mengenyam pendidikan di kota. Kota, tempat di mana pembangunan dan kemajuan berada. Semua fasilitas, kebutuhan hidup atau apapun bisa didapat dengan mudah –kalau punya uang-. Amat berbeda dengan desaku. Jangankan untuk bermewah-mewahan. Untuk kebutuhan sehari-haripun tak semua orang mampu mendapatkannya. Jangankan mengenal teknologi. Baca-tulispun tak semua orang bisa melakukannya.
Aku tidak mengerti kenapa pembangunan itu hanya ada di kota? Kenapa kemajuan itu hanya ada di kota? Apakah orang desa seperti kami tidak layak mendapat itu semua? Termasuk mendapatkan pendidikan? Padahal, aku masih ingat tentang undang-undang Pasal 31 ayat 1 yang kupelajari di sekolah. Bunyinya, “tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. 

Sayangnya, aku tak sebertuah Kak Falah. Tamat SMA, aku tak memiliki kesempatan melanjutkan pendidikanku. Karena Sang Pemilik langit telah memanggil ibuku. Beliau meninggalkanku dengan dua adik yang masih amat kecil. Tak ada pilihan bagiku selain kembali ke desa. Membantu Ayah merawat dua adikku. Menjadi sosok pengganti ibu.

Aku sungguh marah! Mengapa Dia tega sekali melakukan ini padaku?! Walau tidak tahu harus bagaimana, tapi aku ingin menyelesaikan pendidikanku hingga perguruan tinggi.  Ingin menunjukan pada penduduk Rinjani bahwa pendidikan itu sungguh penting. Sekarang, musnah sudah semua asaku. Musnah tak bersisa berganti putus asa. Saat itulah Kak Falah dan Kak Segara datang. Percaya atau tidak, kata-kata mereka sungguh seperti sihir. Mengusir putus asa. Membangkitkan lagi semua asa.

“Tuhan sedang memberimu kesempatan untuk mewujudkan mimpimu, Kinara. Jika kau ingin menunjukkan bahwa pendidikan itu penting, tunjukkanlah sekarang. Kau bisa bergabung bersama kami. Bersama perajut asa. Ayolah, kita wujudkan mimpimu! Kita tidak akan berhenti sebelum mimpimu terwujud!”

Sejak saat itu kuputuskan untuk bergabung dengan mereka di Sejuta Asa. Dibandingkan Kak Falah dan Kak Segara, mungkin ilmuku tak ada apa-apanya. Yang kutahu, aku ingin melihat anak-anak desaku mengenal dunia. Walau yang bisa kubagi hanya mengeja aksara, menghitung angka. Bukankah, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya?
 
@

Para perajut asa kembali menjejakkan kaki di jalan terjal penuh bebatuan. Menerabas hutan. Menyusuri sungai. Menyisir tepi jurang. Bertaruh nyawa. Kembali mengeja aksara. Menghitung angka. Merajut asa.
Semua masih sama. Berjalan dengan amat baik. Sebaik semangat baja perajut asa. Juga semangat kami bertiga. Aku, Kak Falah dan Kak Segara. Hingga takdir kejam itu datang.
Pagi itu hujan deras mengguyur Rinjani. Kaki-kaki kecil perajut asa, pemilik semangat baja, tetap melangkahkan kaki menuju Sejuta Asa. Kaki kecil itu lincah melewati jalan terjal. Menyusuri sungai. Naasnya kaki itu tidak cukup lincah saat menyisir tepi jurang. Satu di antara mereka terperosok. Panik. Berteriak meminta tolong. Tangannya berusaha menggapai akar pepohonan untuk menahan tubuh agar tidak terperosok semakin dalam.
“Rinai terperosok!” Teriak Arzak. Perajut asa berusia 10 tahun itu berusaha menggapai tangan teman yang terperosok. Apalah daya tangan kecil itu tak sampai. Semua ketakutan melihat ngarai yang dipenuhi belukar dan  akar besar.
“Kalian pergilah ke Sejuta Asa! Beri tahu Kakak-Kakak. Aku dan Fajar akan menunggu di sini sambil mencari cara lain untuk menolong Rinai. Cepat!” Perintah Arzak. Yang lain mengangguk segera melaksanakan intruksinya.
Tak lama setelah mendapat kabar dari perajut asa. Aku dan Kak Falah bergerak cepat membawa seutas tali ke tepian jurang. Kak Segara sejak dua minggu lalu sedang ke kota. Mencari dermawan. Rinai masih berpegangan akar yang nyaris putus tak kuat menahan berat tubuhnya. Kak Falah mengulurkan tali. Memerintahkan Rinai yang takut-takut mengulurkan tangan menggapainya. Amat menegangkan. Beruntung, Rinai berhasil terselamatkan. Masih di bawah guyuran hujan kami bersorak lega. Mengucap syukur.
Arzak mengulurkan tangan membantu Rinai berdiri. Ia memang perajut asa yang paling peduli dengan teman. Saat itulah takdir kejam itu menghampiri kami. Entah kenapa tanah yang sejak tadi dipijak Arzak runtuh tiba-tiba. Membuat Arzak terperosok.
“Arzak...!” Semua berteriak. Aku berusaha menggapai tubuhnya. Tapi terlambat. Tubuh Arzak jatuh semakin dalam. Tangannya tak sempat menggapai apapun. Termasuk seutas tali yang dilemparkan cepat oleh Kak Falah. Tubuhnya terperosok semakin dalam. Membentur akar-akar. Tubuhnya tersangkut di sana. Tak sadarkan diri.
Mendung pagi itu terus berlanjut. Bukan hanya di langit-Nya. Tapi juga di langit-langit Sejuta Asa. Setelah berkutat dengan peralatan sederhana. Dibantu beberapa warga. Jasad Arzak akhirnya dapat di keluarkan.
Ya, hanya jasad. Tidak ada lagi ruh dalam tubuh kecil itu. Ia mungkin tidak kuat menahan sakitnya. Wajah membiru. Tubuhnya lebam. Ada sobekan di sebelah kanan perutnya. Di pelipisnya. Kemeja putih yang dikenakannya berubah warna menjadi merah darah. Tubuh kecil itu terlihat amat mengenaskan.
@
Hari-hari berikutnya masih kelabu. Sejuta Asa sungguh hening meski belasan perajut asa yang lainnya masih datang. Tidak ada canda tawa. Tidak ada yang berani bersuara. Suasana sungguh menjadi amat kaku. Perajut asa menjadi pemurung. Berkali kucoba mencairkan suasana. Tapi sia-sia. Gurauanku hanya menjadi lelucon yang tak lucu. Ya, aku memang tidak sepandai Kak Falah dan Kak Segara dalam membangkitkan semangat.
Yang membuat suasana semakin kacau justru Kak Falah. Kak Falah menjadi pemurung nomor satu di Sejuta Asa. Ia masih amat menyesali dirinya yang tidak bisa menyelematkan Arzak. Ia masih bisa melihat dengan jelas tangan Arzak yang menggapai-gapai. Wajah ketakutan itu. Masih mendengar jelas suara minta tolong Arzak yang semakin melemah. Kak Falah amat frustasi. Kalau saja ia sedikit lebih cepat menangkap tubuh Arzak. Kalau saja ia tidak terlalu gembira dengan selamatnya Rinai hingga mebuatnya lengah. Kalau saja ....
Sempat kucoba untuk bicara. Meminta Kak Falah berhenti menyesali semuanya. Memberinya kembali semangat. Hingga memaki-makinya. Aku kesal dengannya yang tetap bergeming. Aku menuntut semua janjinya saat aku tengah putus asa dulu, Ayolah, kita wujudkan mimpimu! Kita tidak akan berhenti sebelum mimpimu terwujud!”. Percuma, tidak ada perubahan!
@
Belum usai masa berkabung kami. Siang itu, saat aku tengah mengajari perajut asa menulis.  Kami dikejutkan dengan suara gaduh di luar. Lamat-lamat kudengar teriakan-teriakan itu, “Falah, keluar kau!”. Kontan aku, Kak Falah dan 29 perajut asa keluar. Terkejut.
Puluhan bapak berwajah beringas membawa senjata digenggamannya. Golok. Kayu. Bambu. Cerulit. Entah apalagi.  Kami amat mengenali siapa mereka. Termasuk seorang bapak yang sedari tadi berteriak menyuruh Kak Falah keluar. Beliau adalah Ayah Arzak dan sekitar dua belas orang yang juga ayah dari perajut asa lainnya.
“Sejak awal kami tidak pernah setuju denganmu! Dengan sekolahmu ini!” Teriak salah seorang dari mereka.
“Kami tidak butuh pendidikan! Pendidikan tidak akan membuat hidup kami lebih baik! Buktinya, kau! Katanya kau sarjana! Tapi hidupmu tak jauh lebih baik dari kami! Untuk apa anak-anak kami bisa memegang pensil? Dewasa kelak, yang mereka pegang tetap cangkul seperti ayahnya!”
“Demi percaya dengan angan-angan kosongmu tentang kehidupan yang lebih baik jika mereka berpendidikan, anakku menjadi korban! Arzak seharusnya tetap hidup jika tak pergi ke tempat busuk ini! Tempat orang gila berhayal!” Teriak Ayah Arzak.
Sementara mereka berteriak. Perajut asa menangis ketakutan. Aku  juga menangis. Menggeleng lemah atas semua hardikan mereka. Mengguncang-guncang tubuh Kak Falah. Memintanya menjawab. Tapi, Kak Falah tetap saja diam.
Kesal tidak mendapat respon, Ayah Arzak menarik kerah kemeja Kak Falah. “Apa kau ingin anak-anak lainnya itu juga menjadi korban!”
Buk! Ayah Arzak menonjok wajah Kak Falah hingga membuatnya tersungkur. Kami berteriak ketakutan. Aku dan perajut asa langsung mendekati Kak Falah yang tak berdaya. Membantunya duduk. Hidungnya berdarah.
Tidak ada lagi kompromi. Dengan arogannya mereka membongkar dinding seng. Memukul-mukulnya dengan kayu dan golok. Hancur. Merobohkan plang nama Sejuta Asa. Mematahkan tiang penyangga atap. Membuat atapnya seketika jatuh. Rata dengan tanah. Tidak puas, mereka juga membakarnya. Sejuta Asa kami.
Para perajut asa menangis ketakutan. Aku dan Kak Falah menatap nanar peristiwa itu. Mimpi kami hancur bersama dinding seng yang mereka hancurkan. Harapan kami roboh bersama plang yang mereka robohkan. Semangat kami patah bersama tiang penyangga yang mereka patahkan. Cita-cita kami jatuh bersama atap yang seketika jatuh ke tanah karena tidak ada lagi penyangga. Sejuta Asa kami lenyap bersama api yang melahap.
@

Sejuta Asa luluh lantak. Tak ada yang tersisa kecuali abu pembakaran, aku dan Kak Falah. Setelah pertistiwa tadi aku sengaja menyuruh para perajut asa pulang. Meski awalnya mereka menolak dan ingin tetap menemani kami di sini. Kami terdiam cukup lama. Hingga sebuah suara memecah keheningan.

“Ada apa ini?!” Seru Kak Segara. Ah, aku bahkan lupa bahwa hari ini jadwal Kak Segara kembali dari kota. Kak segara menatapku dan Kak Falah secara bergantian. Menatap tidak mengerti Sejuta Asa.

Kak Segara membanting dua buah kardus yang dibawanya. Itu pasti buku-buku dari para donatur. Sebelum berangkat Kak Segara bercerita akan mengambil buku sumbangan dari teman-temannya. “Ada apa?!”

“Kita akan membangunnya lagi kan, Kak? Kita akan membangun lagi Sejuta Asa. Iya, kan?” Tanyaku tanpa berharap mendapat jawaban. Aku tak sanggup lagi jika harus menceritakan semua yang terjadi selama kepergian Kak Segara. Itu amat menyakitkan.

Kak Segara terdiam. Bingung. Tidak mengerti. Entahlah!

Kak Falah menatapku lalu menggeleng. Aku terisak melihat jawaban itu. “Kenapa?! Bukankah Kak Falah yang bilang bahwa kita tidak akan berhenti sebelum mimpi kita terwujud?!”

“Tidak, jika demi mimpi itu aku harus membunuh seseorang,” sahut Kak Falah pelan.

“Tidak ada yang membunuh! Arzak meninggal karena terperosok di tepi jurang. Bukan karena Sejuta Asa, apalagi karena Kak Falah! Bahkan, tepi jurang itu sudah ada sejak dulu. Kak Falah tahu itu, kan?!”

Kak Segara terperanjat mendengarnya. Melotot menatapku, “apa kau bilang, Kinara? Arzak meninggal?”
Kak Falah mendengus, “ya. Arzak terperosok di tepi jurang seminggu yang lalu. Kalau saja aku lebih cepat menangkap tubuhnya. Lebih cepat melemparkan tali pada bocah itu. Arzak pasti tidak akan meninggal, kalau saja....”

“Cukup, Kak Falah! Berhenti menyalahkan diri sendiri. Tidak ada yang menduga bahwa tanah yang dipijak Arzak akan runtuh tiba-tiba.”

“Bagaimana bisa aku berhenti! Arzak terperosok karena memaksakan diri datang ke tempat ini saat hujan deras! Arzak jatuh di depan mataku tanpa aku bisa menolongnya! Mereka semua datang bertaruh nyawa hanya untuk mengeja aksara dan menghitung angka!” Kak Falah tersenyum kecut, “mahal sekali pendidikan di desa ini! Sekarang, semua orang menyalahkanku! Menyalahkan Sejuta Asa!

Untuk apa membuat mereka bisa baca-tulis? Mungkin orang tua mereka benar. Untuk bertahan hidup, yang mereka butuhkan hanyalah belajar memegang cangkul! Untuk apa kita peduli. Bukankah orang lain tak pernah peduli? Bahkan penguasa negeri inipun tak peduli!”

“Lalu bagaimana dengan mimpi kita?!”

“Mimpi? Persetan dengan mimpi itu! Ayah Arzak benar, itu hanya angan-angan kosong!”

Buk! Aku mendekap mulut. Terkejut. Tanpa kuduga Kak Segara menonjok wajah Kak Falah. Aku segera menahan tangan Kak Segara yang siap melayang lagi ke wajah Kak Falah. Kak Segara menatap tajam Kak Falah. Nafasnya tersengal menahan emosi. “Apa kau bilang! Persetan dengan mimpi itu! Kau lupa, mengapa kita menamakan sekolah darurat ini Sejuta Asa?! Karena jika kita kehilangan satu asa, kita masih punya sejuta asa lainnya! Kau ingat itu?!

Kematian seorang manusia bukan berada di tangan seseorang yang lain. Sekeras apapun kau berusaha, jika ajal itu sudah tiba, maka kau tidak akan pernah bisa memundurkannya atau memajukannya walau sedetikpun!

Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, seharusnya kita masih memiliki sejuta asa itu! Kau dan Kinara harusnya punya asa lebih dariku. Karena ini tempat kalian! Kau lupa dengan janji kita pada Kinara waktu itu? Kita tidak akan pernah berhenti sebelum mimpi kita terwujud! Kau ingat, hah?!”
Kak Falah berdiri. Mendorong Kak Segara hingga terjatuh. Bahkan aku yang sedang berdiri di sampingnya ikut terjatuh. Aku meringis menahan sakit. Kak Falah melangkah tidak peduli seraya berkata, “sudahlah! Anggap saja aku tidak pernah ikut andil dalam Sejuta Asa!”

Aku menatap lamat-lamat Kak Falah yang berjalan gontai. Menjauh hingga tak terlihat lagi. Kak Segara berdiri mendekati abu Sejuta Asa. Memaki-maki. Mengumpat. Menendang apa saja yang bisa ditendangnya. Membuat abu berhamburan. Membuat sisa-sisa seng melayang. Bahkan kemudian menendang dua dus yang dibawanya. Membuat buku-buku di dalamnya berserakan. Aku menangis. Menggeleng, tidak percaya akan semua ini. Berharap ini hanya mimpi buruk. Dan aku segera terbangun. Sayangnya, ini semua terlalu nyata untuk dikatakan mimpi buruk. 

Hari ini, sejak pagi Rinjani memang amat berbeda. Permadani hijau tertutup kabut. Gelap. Segelap asa ribuan jiwa. Gumpalan awan putih di cakrawalapun ikut kelabu. Sekelabu hati pemanjat do’a. Matahari enggan menyapa. Seolah pertanda tertundanya do’a.
@

Pasal 31 ayat 1
“Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.

Sekarang, aku benar-benar bertanya. Dan aku benar-benar membutuhkan jawaban. Untuk apakah undang-undang ini kalian buat? Apakah sekedar untuk menyenangkan kami, rakyat kecil? Jika ya, maka kami sungguh tidak butuh omong kosong ini!

Kalian tidak bisa menutup mata dan telinga. Realitanya, kami tidak menikmati apa yang disebutkan dalam pasal itu. Di mana kalian saat kami tengah berjuang mengenalkan aksara dan angka? Bahkan hampir putus asa karenanya! Kami tidak meminta fasilitas yang sama dengan mereka di kota. Setidaknya, berikan kami kemudahan mendapat pendidikan. Meski sekedar mengenal aksara dan angka.
Atau , memang kami yang salah, terlalu naif berharap pada kalian?!
Ah ya, memang benar. Hanya pada-Nya lah kami pantas menggantungkan harapan.

*kalau mau copy-paste harap mencatumkan nama penulis dan sumber aslinya. ok....
oleh : Maswha Faizah


Cinta, cinta, cinta. Hm, kalo udah ngomongin cinta yang ada di otak remaja n remaji pasti gak jauh-jauh dari PACARAN. Ya gak? Ya kan? Ya  iyalah! Plis deh! Hari gini gak pacaran? Nguras laut aja sana! Wow, itu sih kata para aktivis pacaran! Kalo gak punya pacar tuh ya, rasanya, kayak jatuh dari lantai atas gedung tertinggi, kesenggol burung bondol yang lagi terbang, terus jatuh dan masuk ke tempat sampah! O.M.G. Emang segitunya ya?
Ngomong-ngomong soal pacaran, kita semua udah tahulah ya, apa aja yang dilakuin sama mereka yang pacaran. Mulai dari pegangan tangan, ciuman, sampe berzina! (udah tau kan?) Kita juga tahu kalo pacaran itu udah jadi aktivitas wajib buat remaja sekarang. Termasuk remaja Islam. Nah, lho! Remaja Islam pacaran juga? Emang boleh?

Asal usul Pacaran
Sebelum kita ngobrol jauh tentang pacaran. Kita harus tahu dulu, dari mana sih asal usul pacaran? Usut punya usut ternyata pacaran itu budayanya orang Nasrani. Karena menurut ajaran agama Nasrani“apa yang disatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia”. Jadi, orang yang sudah menikah gak boleh berpisah alias cerai. Jadilah muncul budaya pacaran di tengah-tengah masyarakat nasrani. Tujuannya supaya calon suami-istri bisa saling mengenal sedalam-dalamya dan seintim-intimnya, supaya gak salah pilih dan bercerai.

Pacaran Vs Ta’aruf
Beda Nasrani, beda Islam. Islam membolehkan cerai -walaupun menjadi sesuatu yang dibenci Allah-. Jadi, gak perlu tuh proses mengenal sedalam-dalamnya (apalagi mengenal luar-dalem :O) dengan pacaran. Dalam Islam, kalau ingin mengenal calon suami or istri, ada yang dinamakan dengan proses ta’aruf. Eits! Jangan samain ta’aruf dengan pacaran ya! Coz ta’aruf bedaa banget sama pacaran. Dalam proses ta’aruf, gak boleh tuh laki-laki dan perempuan berdua-duaan. Dan otomatis gak ada juga tuh, jalan berdua, nonton berdua, apalagi mojok berdua.
Karena Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah seorang laki-laki sendirian dengan seorang wanita yang tidak disertai mahramnya. Karena sesungguhnya yang ketiganya adalah syaitan.” (HR. Ahmad).

Gimana dengan pacaran? Beuh, tahu ndiri kalo udah berdua sama pacar rasanya dunia milik berdua (yang lain ngontrak, he...). Gak boleh diganggu! Kalo ada orang yang mau nimbrung sama mereka, harus izin dulu. Kecuali setan kali ya, kan gak keliatan. Jadi, setan bisa leluasa mendekati dan menggoda mereka untuk melakukan hal yang mendekati zina sampe mereka bener-bener berzina! (ckckck, nauzhu billah!) Makanya Islam melarang umatnya berkhalwat alias berdua-duaan!

Allah SWT berfirman dalam surah al-Isra’ ayat 32 yang artinya, “dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan sesuatu jalan yang buruk.”.

Tuh, kan! Deketin zina aja gak boleh, apalagi berzina! Tadi udah kita bahas kan, aktivitasnya orang pacaran itu ngapain aja. Yups, gak lain dari mendekati zina bahkan berzina! So, udah jelas dong bagaimana pandangan Islam tentang pacaran? Yups, dalam Islam gak ada yang namanya pacaran. Catet tuh, GAK ADA!

Apa? Pacaran Islami? Emang ada? Apa bedanya dengan pacaran biasa?
–gak ngapa-ngapain, cuma ngobrol aja, ngobrolnya di masjid juga kok... -

Tapi berduaan kan...? Ih, udah dibilangan eh, dibilangin, berduaan itu gak boleh, yang ketiganya setan! Mau di pojokan rumah kek, di masjid kek, di dalem sumur sekalipun, tetep gak boleh! Jadi, gak ada tuh yang namanya pacaran islami. Catet tuh, GAK ADA.

-Atau ada juga yang bilang, pacaran itu sama kok kayak ta’aruf, cuma beda bahasa aja!-

Hati-hati sob, walaupun tujuannya sama-sama untuk mengenal si calon. Tapi pada faktanya pacaran dan ta’aruf berbeda. So, ngaco deh kalo ada yang bilang pacaran itu sama kayak ta’aruf.
Dan jangan lupa, pacaran itu budayanya orang Nasrani. Hayo, hati-hati tasyabuh loh, sob! Kan Rasul udah ngingetin kita, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.”. Na’udzubillah....

Cuma Islam yang Ngerti Kita
Ya gak sih? Iya banget.... Islam sebagai agama-Nya yang sempurna ngerti banget kalau manusia itu punya gharizah nau’ (naluri melestarikan jenis) yang akan melahirkan sebuah perasaan bernama C.I.N.T.A (cie, cie...:). Maka Islam mengatur manusia untuk memenuhinya dengan menikah. Bukan dengan pacaran yang diisi dengan segudang maksiat. Yang kan membuat pelakunya rugi di akhirat. Bener atau betul?

So, yuk benahi diri dengan mengaji. Menyelami ayat-ayat dalam kitab suci serta sunnahnya nabi. Karena dua perkara itulah yang akan menyelamatkan kita dari kefanaan dunia yang menguji diri. Agar kita menjadi pribadi yang pandai mengendalikan diri dan hati.

Setiap naluri termasuk gharizah nau’ (cinta) memang perlu dipenuhi. Tapi, tidak harus. Kenapa? Karena kalaupun tidak dipenuhi, ia hanya akan menimbulkan rasa gelisah atau galau. Tidak akan menyebabkan kematian. Percaya deh....

Ketika hati mulai mencinta, ingatlah pada Maha Pemberi cinta. Karena-Nya lah seharusnya kita mencinta. Kepada-Nya lah seharusnya cinta kita berlabuh, karena Dialah muara cinta. Dialah Allah, Rabb semesta.

Negara, tolong bantu kita dong....
Hello... kita lagi ngomongin pacaran keles, kok lari ke negara?!

Ups! Tapi ini ada hubungannya lho, sob. Budaya pacaran yang udah kadung meracuni remaja Islam semakin dilestarikan dengan pemerintah kita yang menganut liberalisme (paham bebas sebebas-bebasnya). Dengan menyediakan berbagai fasilitas seperti berdirinya mall-mall, tempat-tempat hiburan malam yang akhirnya digunakan remaja buat pacaran. Dengan membiarkan budaya kafir barat masuk baik lewat fashion, musik, film de el el deh. Negara bukannya melindungi justru menjerumuskan. Oalah! Piye to?!

Sekali lagi, itu karena negara kita menjadikan Demokrasi bin Kapitalisme bin Liberalisme sebagai sistem pemerintahan. Karena bebas, jadi mereka tidak merasa perlu mengatur pergaulan remaja. Akhirnya pergaulan remaja juga jadi pergaulan bebas. Padahal, Islam itu agama sempurna yang mengatur seluuruuh aspek kehidupan manusia, termasuk soal pergaulan dan pemerintahan. Kalau kita menjadikan Islam sebagai sistem pemerintahan, dijamin gak akan ada ceritanya negara memfasilitasi apalagi melesatarikan budaya pacaran.
Itulah Khilafah, negara yang akan menerapkan hukum Islam sebagai sistem pemerintahan. Itulah Khalifah yang akan memimpin dan melindungi umat Islam. Sebagai negeri yang mayoritas penduduknya islam, harusnya kita menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan. Bukan yang lain! Tapi, saat ini kita tidak punya khilafah. Kita tidak punya khalifah.

So, negara, please bantu remaja bebas dari pergaulan bebas dengan menerapkan Islam sebagai sistem kehidupan. And, buat remaja, Islam tidak akan tegak tanpa ada yang memperjuangkannya. Yuk, kita sama-sama berjuang demi tegaknya kembali syari’ah Islam yang hanya bisa terwujud dalam bingkai khilafah. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Wallahu’alam bisshowab.
#harap sertakan sumber/link kalo mau copas ya... terima kasih...
yuk, saling menghargai karya orang lain...