Sabtu, 01 September 2012


Lelah dan kecewa untuk hal yang sama terulang kembali hari ini. Setelah mengikuti serangkaian tes, lengkap dengan bolak-balik memenuhi persyaratan ini dan itu, ternyata Adna harus gagal lagi mendapatkan beasiswa. Ia tidak mengerti kenapa kali ini pun harus gagal lagi, padahal ia sudah berusaha dan berdo’a.
Huh … raut kecewa itu hanya dihiasi dengan helaan nafas berat selama perjalanan pulang. Masalah klasik di Indonesia, mahalnya pendidikan yang memaksa ribuan atau bahkan jutaan anak Indonesia harus putus sekolah. Malangnya, Adna adalah satu dari jutaan anak itu. Beberapa temannya yang beruntung telah melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Adna tidak seberuntung mereka. Ia hanya seorang anak panti asuhan sederhana di pinggir Jakarta. Entah orang-orang masih menganggap keberadaan mereka atau tidak, pasalnya sudah setahun ini hanya beberapa orang yang datang, mereka adalah donatur yang memberi sebagian harta pada panti asuhan.
Tiba-tiba saja Adna teringat kejadian 8 tahun silam, saat ia masih duduk di kelas 4 SD. Ketika itu ada seorang janda kaya yang ingin mengadopsinya karena ia merasa kesepian. Tapi Adna menolaknya, “untuk apa diadopsi orang kaya tapi tidak ada orang yang bisa dipanggil ayah dan ibu di sana.” pikirnya.
Tapi saat ini, di dalam bus yang sesak, lagi-lagi Adna menghela nafas berat. “Harusnya waktu itu aku mau aja diadopsi tante itu!” sesalnya.
Pikirannya kembali melayang, berandai-andai tentang apa jadinya jika waktu itu ia benar-benar diadopsi oleh janda kaya itu. Mungkin saat ini ia sedang duduk di dalam mobil mewah, atau jalan-jalan, tidur di hotel berbintang atau…. Ah, bukan!! Adna hanya ingin punya kesempatan kuliah, mendalami Manajemen Informatika.
“Astaghfirullah!!” ucap Adna yang baru saja tersadar dari angan-angannya.
***
Adzan subuh mulai terdengar, seperti biasa Adna yang sudah bangun lebih awal harus membangunkan 10 orang adiknya yang masih duduk di bangku SD.
“Hei, ayo bangun!!” ucap Adna seraya menarik salah satu selimut adiknya.
Hm, setiap pagi Adna harus terapi kesabaran menghadapi ke-10 anak yang entah dari mana asalnya. Ada saja hal yang membuat Adna kesal, kalau sudah begitu, Bu Ratih, ibu yang mengasuh Adna dan yang lainnya di panti, cuma tersenyum lalu berkata, “Sabar, dulu kamu juga gitu.”.
“Tapi gak nyebelin kayak mereka kan, bu!” Adna membela diri.
Satu persatu anak-anak panti berangkat sekolah, tanda berakhirnya aktivitas pagi yang menyibukkan. Adna pun segera bergegas menuju warnet yang berada tidak jauh dari panti. Dia bekerja sebagai operator warnet di sana. Walaupun gaji sebagai operator warnet tidak seberapa, tapi Adna lebih senang melakukan ini ketimbang harus bekerja sebagai waitress atau SPG seperti yang dilakukan beberapa temannya. Di sini Adna dapat mencari informasi tentang beasiswa atau perguruan tinggi dan lainnya dengan gratis. Bosan menyelami facebook, Adna beralih mencari berita. “Apa kabarnya Indonesia hari ini?” gumam Adna.
“Anggota DPRD Jombang yang telah resmi berstatus terpidana kasus korupsi masih menerima gaji rutin.”. Adna terbelalak membaca berita hari ini di salah satu website.
“Makan gaji buta dong!, udah ngambil uang rakyat, digaji pula! Sejahtera banget nih orang!” Adna mencak-mencak melihat kelakuan orang-orang yang semakin jauh dari keadilan.
“Kenapa sih, di negeri ini yang sejahtera cuma sebagian orang aja, harusnya semua sejahtera dong !” Adna terus mengomentari artikel yang sedang ia baca, “negerinya kaya, rakyatnya miskin.” ucapnya lagi sambil menutup web tersebut.
Sesosok pria yang akrab dipanggil Mas Obi muncul dari pintu.
“Tumben mas, pagi-pagi gini udah dateng?” sapa Adna.
“Aku mau bayar telepon, eh, helmku ketinggalan di sini semalem.” sahut Mas Obi dengan logat jawanya sambil duduk di bangku yang ada di depan meja operator.
“Gimana kemarin hasilnya?” tanya Mas Obi.
“Sama kayak yang sebelumnya, mas.” jawab Adna pelan.
“Wah, ya ndak usah cemberut gitu.” ucap Mas Obi, “dua tahun yang lalu mas juga cuma mimpi punya usaha kayak gini, tapi sekarang Alhamdulillah, kamu bisa liat sendiri.” cerita Mas Obi untuk menyemangati Adna.
“Udah 3x mas.” Sahut Adna sambil mengacungkan tiga jari dengan raut wajah geram.
“Baru tiga kali, ya sabar aja, hidup emang gitu kadang bikin kesel, kadang bikin hepi. Kalo gak gitu ya gak seru, iya toh?, nikmatin aja.” Ujar Mas Obi.
“Amin…!!” sahut Adna seraya mengangkat kedua tangan layaknya orang yang sedang berdo’a.
“Lho, ini anak dibilangin kok malah ngeyel!” ucap Mas Obi lalu bangkit dari duduknya.
Adna tertawa kecil, “iya, bener sih. Tapi aku kan masih kecewa aja mas.”
“Ya udah, cari lagi aja. Banyak jalan menuju Roma.” sahut Mas Obi.
Adna menghela nafas lalu meletakkan dagu di atas tangannya yang dilipat di atas meja. “Aku udah lupain kalo aku pernah punya cita-cita untuk kuliah mas.” ucap Adna yang mulai merasa lelah atau hampir putus asa.
Mas Obi meraih helm lalu berkata, “kalo kata D’masiv, jangan menyerah!”
“Bisa aja mas!” sahut Adna.
“Ya udah, aku mau bayar telepon dulu ajalah.”
“Iya, hati-hati mas.”
Mas Obi keluar meninggalkan warnet, Adna kembali sibuk dengan komputernya, “chatting lagi….” gumamnya.
***
Jam 21:00, seharusnya ini waktu Adna untuk pulang. Tapi Mas Obi belum juga datang untuk menggantikan Adna menjaga warnet. Ditambah dengan ramainya pengunjung, tidak memungkinkan Adna untuk pulang.
Pluk ! gulungan poster jatuh di meja, tepat di depan mata Adna. Adna menoleh ke arah asal gulungan itu jatuh. Ternyata Mas Obi. “Apaan ni Mas?” tanya Adna sambil membuka gulungan poster tersebut.
“Tulis karyamu, dapatkan beasiswa.” Adna membaca tulisan pada poster.
“Itu dari temen mas, perusahaan tempat dia kerja lagi adain program beasiswa.” terang Mas Obi, “caranya kamu bikin artikel tentang pergaulan remaja saat ini, dikirim via pos, nanti artikel yang lolos seleksi bisa ikut tes selanjutnya.”
“O….” gumam Adna, “kalo aku ikut bisa lolos gak ya, mas?” tanya Adna, mengingat ia telah tiga kali gagal tes untuk program beasiswa.
“Ya dicoba aja dulu, gimana bisa tahu kalau belum dicoba.” sahut Mas Obi, “waktunya tinggal dua minggu lagi lho.”
Adna mengangguk. Tidak ada salahnya untuk mencoba, kalaupun gagal bukankah Adna sudah terbiasa menerima hasil seperti itu. Pikir Adna.
***
Sudah hampir satu minggu setelah mendapat info beasiswa dari Mas Obi, Adna benar-benar sibuk dengan artikelnya yang sampai hari ini belum juga selesai. Ia gunakan jam kerjanya yang tidak begitu menyita waktu untuk menulis artikel.
“Ah, kok gak enak banget dibacanya.” Keluhnya pada diri sendiri ketika ada kalimat yang menurutnya sedikit janggal, yang mengharuskannya menghapus kalimat tersebut dan menggantinya dengan kalimat baru. Sesekali Adna juga meminta pendapat dan masukan pada Mas obi.
“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga!” ucap Adna yang baru saja menyelesaikan artikelnya.
“Mas, minggu ini aku ambil libur besok ya. Aku mau kirim artikelnya nih.” pinta Adna pada Mas Obi yang sedang sibuk merakit PC.
“Jangan besok deh, besok siang aku mau ada perlu.”
“Yah, terus kapan dong?” tanya Adna dengan raut wajah kecewa.
“Atau kalau mau, kamu datang ke sini habis dzuhur aja, kalo pagi aku masih bisa gantiin kamu jaga.”
“Mm, iya deh.” sahut adna sambil tersenyum lalu sibuk dengan printer yang mengeluarkan artikelnya lembar perlembar.
***
Adna memeriksa sekali lagi berkas yang akan ia kirim sebelum berangkat ke kantor pos.
“Artikel, foto, biodata, foto kopi KTP … uh, berisik banget sih!” Adna merasa terganggu dengan suara adik-adiknya yang hari ini tidak masuk sekolah. Tapi kemudian Adna kembali memeriksa berkas yang akan dikirimnya.
“Ok, lengkap.” gumamnya lalu melirik jam di hand phone-nya, “udah jam delapan, harus cepet-cepet nih.”. Adna segera keluar rumah agar secepatnya bisa sampai ke kantor pos.
***
Adna turun dari angkot tepat di depan kantor pos, tapi ….
“Udah jam segini, kok masih tutup?” tanya Adna pada diri sendiri.
Mungkin memang hari ini agak telat, pikir Adna. Ia pun duduk di tangga depan kantor pos. Menunggu sambil main game di hand phone mungkin bisa jadi solusi.
Ah, cukup. Main game terlalu lama, cukup membosankan. Tapi kenapa sudah satu jam Adna menunggu, tidak ada tanda-tanda bahwa kantor pos akan buka.
“Haus banget.” keluhnya. Adna mengambil dompet dari dalam tas. Selagi mengambil uang, Adna melirik sebuah kalender berbentuk seperti kartu ATM di dompet. Ia melihat dengan jelas tanggal hari ini berwarna merah.
“Ya Allah, pantes aja kantor pos tutup!” seru Adna, “ah, kok aku gak nyadar kalo hari ini tanggal merah.” Keluhnya dengan hati kesal. Merasa apa yang ia lakukan sia-sia, Adna segera naik angkot menuju warnet.
***
“Ya emang hari ini tanggal merah.” sahut Mas Obi dengan santai setelah mendengar cerita Adna di kantor pos.
“Kok mas Obi gak bilang, aku cengo tahu nunggu sendirian di kantor pos!” protes Adna dengan wajah cemberut.
“Ya udah sini kasih ke aku, kebetulan besok aku mau ketemu temenku lagi, nanti aku titip ke dia.” ucap Mas Obi.
“Beneran mas?” raut wajah Adna langsung berubah ceria mendengarnya. Mas Obi hanya mengangguk.
“Kenapa gak bilang dari kemarin aja sih, mas!” Adna kembali protes, “tahu gitu aku kan gak usah repot-repot ke kantor pos.” lanjutnya.
“Aku mau tahu aja, berapa besar semangat kamu setelah tiga kali gagal.” sahut Mas Obi santai. Adna menyangga wajahnya dengan tangan, dalam hati ia membenarkan bahwa sebenarnya semangatnya kali ini tidak seperti pertama kali ia mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa.
“Kamu jangan nge-down karena itu, justru harusnya kamu lebih semangat. Kalau tiga tes kemarin kamu gagal, berarti kali ini kamu harus berhasil.” Mas Obi selalu memberi semangat pada Adna, “kamu tahu kenapa ukuran kaca depan mobil lebih besar dari pada kaca spion?”
“Ya iyalah mas, kalo nyetir kan mata kita ke depan, liat kaca spion palingan sesekali aja.” jawab Adna sekenanya.
“Hidup juga gitu, orang akan selalu memandang ke depan lebih penuh perhatian dan hanya akan melihat masa lalu sesekali saja. Jadi kamu jangan berpikiran negatif untuk tes kali ini, hanya karena kamu gagal tiga kali.”
Adna mengangguk. Ya, benar. Kenapa harus kehilangan semangat hanya karena masa lalu. Masa lalu mungkin tidak bisa diubah, tapi masih banyak kesempatan mengubahnya di masa depan.
***
Adna memejamkan mata, ia rasakan jantungnya berdetak lebih cepat menghadapi website yang mengumumkan artikel yang lolos seleksi program beasiswa. Perlahan ia membuka mata mencari-cari  namanya.
Kalau saja Adna tidak sedang di warnet, mungkin sekarang ia sedang berteriak kegirangan karena melihat namanya terpampang di web sebagai satu dari 50 orang yang lolos seleksi.
“Tes selanjutnya akan diadakan di kantor pusat pada hari senin 04 Juli 2011.” membaca sebaris info di web, Adna segera mencatat alamat perusahaan.
“Ternyata prosesnya cepet juga, baru hari ini diumumin, lusa udah tes lagi aja.” ujar adna, “semangat Adna, tes kali ini harus berhasil! Kalo tes kali ini berhasil, itu udah cukup untuk membayar tiga tes yang gagal.” ujarnya lagi.
***
“Sebelumnya saya ucapkan selamat pada kalian semua karena dari ratusan orang yang mengirim artikel, kalianlah yang terpilih untuk mengikuti tes kedua.” ucap seorang pria
berdasi di depan 50 orang yang akan mengikuti tes, termasuk Adna. “Tes kali ini ada dua tahap, tahap pertama interview dan kedua psikotes. Dari tes ini akan dipilih 30 orang yang berhak mengikuti tes terakhir. Infonya akan diumumkan lusa melalui website kami.” Lanjutnya.
Adna menarik nafas panjang, meyakinkan hati bahwa ia mampu melewati tes ini. Tes yang ternyata cukup memakan waktu membuat Adna dan peserta lainnya penat.setelah menyelesaikan tes mereka semua berhamburan keluar melepas kepenatan, begitupun Adna. Ia melihat peserta yang lain masuk masuk ke cafe depan gedung perusahaan. Tapi, dibandingkan dengan cafe Adna lebih senang masuk ke sebuah warteg di seberang jalan. Tentu bukan karena Adna tidak suka cafe, tapi ini agar ia bisa pulang tanpa harus jalan kaki. Ah, Adna tidak peduli dengan itu. Saat ini ia hanya ingin segera menemui hari lusa esok, melihat apakah namanya akan kembali terpampang di website itu lagi.
***
Rasa ini muncul lagi, rasa deg-degan saat mengahadapi website yang akan memberikan kabar tentang hasil tes kemarin. Perlahan Adna membuka matanya yang sejak tadi ia pejamkan. Adna hampir saja membuka mulutnya untuk berteriak karena ia kembali melihat namanya di website sebagai peserta yang berhak mengikuti tes terakhir, sadar ia sedang ada di warnet Adna mengurungkan niatnya dan menggantinya dengan ucapan syukur, “Alhamdulillah….”.
***
Pagi ini Adna menyiapkan diri untuk mengikuti tes terakhir. Entah bagaimana tes hari ini, yang jelas apapun hasilnya Adna bertekad bahwa ia harus menerimanya dan ia tidak boleh kehilangan semangat lagi jika kali ini ia gagal. Pikir Adna seraya memandang wajahnya di cermin.
Semangat !!!
Setelah mengejar bus, akhirnya Adna sampai di tempat tes meskipun sedikit terlambat. Selang beberapa detik setelah Adna mendapatkan kursi di baris belakang, seorang pria yang sama waktu ia mengikuti tes sebelumnya muncul dengan membawa setumpuk kertas.
“Ok, terima kasih kalian datang tepat waktu. Ini adalah tes terakhir yang akan memilih sepuluh orang terbaik dari kalian yang berhak mendapat beasiswa penuh dari kami. Kali ini kalian akan menyelesaikan studi kasus yang akan kami bagikan, dan kalian akan mempresentasikan hasilnya di depan lima orang penilai di ruang sebelah.” ucap pria itu.
Adna hanya bisa bengong setelah mendapatkan soal. Tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. “Harus bisa.” gumamnya, lalu mulai berkonsentrasi pada studi kasus yang ia terima.
Walaupun Adna menyerahkan pekerjaannya di detik-detik terakhir dari waktu yang diberikan untuk menyelesaikan studi kasus, yang penting bagi Adna, ia mampu menyelesaikannya. Dan setelah serangkaian tes hari ini berakhir, ke-30 peserta berkumpul kembali untuk mendengarkan pengumuman dari perwakilan perusahaan yang sejak awal menemani mereka melalui tes. “Terima kasih untuk kerja keras kalian hari ini, tapi walau bagaimanapun kami tetap harus memilih sepuluh dari kalian yang akan mendapatkan beasiswa. Tentu kami tidak bisa mengumumkannya hari ini, hasilnya akan kembali kami umumkan melalui website kami pada hari Rabu 13 Juli 2011. Bagi kalian yang nantinya terpilih, selamat. Dan yang tidak tetap semangat, karena kesempatan untuk kalian bukan hanya di sini.”
Adna hanya tersenyum mendengarnya, ia sudah mempersiapkan diri untuk itu sejak awal ia mengikuti tes ini.
***
Rabu, 13 Juli 2011
Lagi, rasa deg-degan saat mengahadapi website yang akan memberikan kabar tentang hasil tes muncul lagi, bahkan ini lebih dari yang ia rasakan kemarin. Ditemani Mas Obi, Adna melihat pengumuman hasil tes terakhir. Hanya dengan sekilas saja Adna bisa melihat dengan jelas bahwa namanya tidak lagi tercantum di web tersebut.
“Sabar, tetap semangat. Masih banyak kesempatan di tempat lain.” ujar Mas Obi.
“Iya mas, aku udah mempersiapkan diri untuk pengumuman hari ini.” Adna terlihat lemas. Lelah dan kecewa untuk hal yang sama terulang kembali untuk keempat kalinya hari ini. Setelah mengikuti serangkaian tes, lengkap dengan bolak-balik memenuhi persyaratan ini dan itu, ternyata Adna harus gagal lagi mendapatkan beasiswa.
“Ini,” Mas Obi memberikan selebaran pada Adna, “tadi aku dari kampus adikku, ada program beasiswa di sana.” jelasnya.
“Lagi, mas?” tanya Adna, Mas Obi hanya mengangguk. Awalnya Adna merasa tidak yakin untuk mengikutinya, ia sudah sangat lelah. Tapi mengingat tekadnya sebelum mengikuti tes terakhir untuk tidak kehilangan semangat lagi, Adna pun memutuskan untuk mencobanya.
“Tapi aku gak siap untuk gagal yang kelima kali.” ucap Adna.
“Kenapa?” Mas Obi mengernyitkan dahi, ia pikir Adna benar-benar tidak ingin mengikuti tes program beasiswa lagi.
“Karena kali ini aku harus berhasil!” sahutnya.
Mas Obi tersenyum, “jadi mau coba lagi?”
“Ok, kalo gak dicoba mana bisa tahu hasilnya.” gumamnya penuh semangat meskipun dalam hati Adna masih sangat lelah.
***
Maju Terus, Pantang Mundur !!

Cerpen ini bercerita tentang Adna, gadis berjilbab, 19 tahun, tinggal di sebuah panti asuhan sederhana dan ia bekerja sebagai operator warnet. Ia sangat berharap dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, tapi terbentur dengan ekonomi membuat Adna tidak bisa melakukannya. Itulah sebabnya Adna mencari beasiswa. Tapi ia harus merasakan kecewa untuk ketiga kalinya karena lagi-lagi ia gagal mendapatkan beasiswa. Padahal untuk mengikuti serangkaian tes, memerlukan tenaga, pikiran dan uang yang tidak sedikit. Hatinya lelah, ia tidak ingin mengikuti tes seperti ini lagi. Untuk apa?, hanya buang waktu.
Disaat Adna merasa putus asa dengan harapannya untuk melanjutkan pendidikan, Mas Obi membawa informasi tentang sebuah perusahaan yang sedang mengadakan program beasiswa pada Adna. Awalnya ia enggan, tapi dengan sisa semangat yang ada, Adna mencoba untuk mengikuti tes program beasiswa tersebut. Sebagai tes pertama Adna harus mengirimkan artikel. Ternyata ini tidak mudah, Adna menghabiskan waktu cukup lama untuk membuatnya. Sedikitpun tidak terbersit di pikiran Adna bahwa artikelnya akan terpilih, apalagi sampai mendapatkan beasiswa. Tapi tanpa disangka-sangka artikelnya lolos seleksi. Semangatnya yang hampir hilang mulai terpupuk kembali. Adna pun mengikuti tes kedua. Seperti tes pertama, pada tes kedua, meski menemui banyak kesulitan Adna mampu melewatinya.
Adna pun sampai pada tes terakhir. Sebelum berangkat Adna membulatkan tekad pada dirinya bahwa ia harus menerima apapun hasilnya, ia tidak boleh kehilangan semangat seperti saat ia gagal pada tiga tes sebelumnya. Jika kali ini gagal, ia tidak boleh putus harapan. Ia harus mendapatkan beasiswa, jika tidak di perusahaan itu, Adna akan mencarinya di tempat lain.
Awal perjalananpun Adna menemui masalah karena ia harus mengejar bus dan sedikit terlambat sampai tempat tes. Ketika tes berlangsung, walaupun ia ada di urutan terakhir yang menyelesaikan tes terakhir, tapi Adna yakin telah melakukan yang terbaik.
Hingga saatnya hari pengumuman melalui website perusahaan. Adna dengan penuh harapan membuka website tersebut, tapi ternyata ia tidak menemui namanya pada daftar peserta yang terpilih untuk mendapatkan beasiswa, untuk tes kali inipun Adna gagal. Hampir saja ia kehilangan semangat. Ah, ini benar-benar membuat Adna lelah!. Ia akan berhenti mencari beasiswa dan melupakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan.
Tapi ia tidak bisa melakukannya, karena ia telah membulatkan tekad untuk menerima apapun hasilnya dan ia tidak boleh kehilangan semangat.