Sabtu, 01 September 2012


Lelah dan kecewa untuk hal yang sama terulang kembali hari ini. Setelah mengikuti serangkaian tes, lengkap dengan bolak-balik memenuhi persyaratan ini dan itu, ternyata Adna harus gagal lagi mendapatkan beasiswa. Ia tidak mengerti kenapa kali ini pun harus gagal lagi, padahal ia sudah berusaha dan berdo’a.
Huh … raut kecewa itu hanya dihiasi dengan helaan nafas berat selama perjalanan pulang. Masalah klasik di Indonesia, mahalnya pendidikan yang memaksa ribuan atau bahkan jutaan anak Indonesia harus putus sekolah. Malangnya, Adna adalah satu dari jutaan anak itu. Beberapa temannya yang beruntung telah melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Adna tidak seberuntung mereka. Ia hanya seorang anak panti asuhan sederhana di pinggir Jakarta. Entah orang-orang masih menganggap keberadaan mereka atau tidak, pasalnya sudah setahun ini hanya beberapa orang yang datang, mereka adalah donatur yang memberi sebagian harta pada panti asuhan.
Tiba-tiba saja Adna teringat kejadian 8 tahun silam, saat ia masih duduk di kelas 4 SD. Ketika itu ada seorang janda kaya yang ingin mengadopsinya karena ia merasa kesepian. Tapi Adna menolaknya, “untuk apa diadopsi orang kaya tapi tidak ada orang yang bisa dipanggil ayah dan ibu di sana.” pikirnya.
Tapi saat ini, di dalam bus yang sesak, lagi-lagi Adna menghela nafas berat. “Harusnya waktu itu aku mau aja diadopsi tante itu!” sesalnya.
Pikirannya kembali melayang, berandai-andai tentang apa jadinya jika waktu itu ia benar-benar diadopsi oleh janda kaya itu. Mungkin saat ini ia sedang duduk di dalam mobil mewah, atau jalan-jalan, tidur di hotel berbintang atau…. Ah, bukan!! Adna hanya ingin punya kesempatan kuliah, mendalami Manajemen Informatika.
“Astaghfirullah!!” ucap Adna yang baru saja tersadar dari angan-angannya.
***
Adzan subuh mulai terdengar, seperti biasa Adna yang sudah bangun lebih awal harus membangunkan 10 orang adiknya yang masih duduk di bangku SD.
“Hei, ayo bangun!!” ucap Adna seraya menarik salah satu selimut adiknya.
Hm, setiap pagi Adna harus terapi kesabaran menghadapi ke-10 anak yang entah dari mana asalnya. Ada saja hal yang membuat Adna kesal, kalau sudah begitu, Bu Ratih, ibu yang mengasuh Adna dan yang lainnya di panti, cuma tersenyum lalu berkata, “Sabar, dulu kamu juga gitu.”.
“Tapi gak nyebelin kayak mereka kan, bu!” Adna membela diri.
Satu persatu anak-anak panti berangkat sekolah, tanda berakhirnya aktivitas pagi yang menyibukkan. Adna pun segera bergegas menuju warnet yang berada tidak jauh dari panti. Dia bekerja sebagai operator warnet di sana. Walaupun gaji sebagai operator warnet tidak seberapa, tapi Adna lebih senang melakukan ini ketimbang harus bekerja sebagai waitress atau SPG seperti yang dilakukan beberapa temannya. Di sini Adna dapat mencari informasi tentang beasiswa atau perguruan tinggi dan lainnya dengan gratis. Bosan menyelami facebook, Adna beralih mencari berita. “Apa kabarnya Indonesia hari ini?” gumam Adna.
“Anggota DPRD Jombang yang telah resmi berstatus terpidana kasus korupsi masih menerima gaji rutin.”. Adna terbelalak membaca berita hari ini di salah satu website.
“Makan gaji buta dong!, udah ngambil uang rakyat, digaji pula! Sejahtera banget nih orang!” Adna mencak-mencak melihat kelakuan orang-orang yang semakin jauh dari keadilan.
“Kenapa sih, di negeri ini yang sejahtera cuma sebagian orang aja, harusnya semua sejahtera dong !” Adna terus mengomentari artikel yang sedang ia baca, “negerinya kaya, rakyatnya miskin.” ucapnya lagi sambil menutup web tersebut.
Sesosok pria yang akrab dipanggil Mas Obi muncul dari pintu.
“Tumben mas, pagi-pagi gini udah dateng?” sapa Adna.
“Aku mau bayar telepon, eh, helmku ketinggalan di sini semalem.” sahut Mas Obi dengan logat jawanya sambil duduk di bangku yang ada di depan meja operator.
“Gimana kemarin hasilnya?” tanya Mas Obi.
“Sama kayak yang sebelumnya, mas.” jawab Adna pelan.
“Wah, ya ndak usah cemberut gitu.” ucap Mas Obi, “dua tahun yang lalu mas juga cuma mimpi punya usaha kayak gini, tapi sekarang Alhamdulillah, kamu bisa liat sendiri.” cerita Mas Obi untuk menyemangati Adna.
“Udah 3x mas.” Sahut Adna sambil mengacungkan tiga jari dengan raut wajah geram.
“Baru tiga kali, ya sabar aja, hidup emang gitu kadang bikin kesel, kadang bikin hepi. Kalo gak gitu ya gak seru, iya toh?, nikmatin aja.” Ujar Mas Obi.
“Amin…!!” sahut Adna seraya mengangkat kedua tangan layaknya orang yang sedang berdo’a.
“Lho, ini anak dibilangin kok malah ngeyel!” ucap Mas Obi lalu bangkit dari duduknya.
Adna tertawa kecil, “iya, bener sih. Tapi aku kan masih kecewa aja mas.”
“Ya udah, cari lagi aja. Banyak jalan menuju Roma.” sahut Mas Obi.
Adna menghela nafas lalu meletakkan dagu di atas tangannya yang dilipat di atas meja. “Aku udah lupain kalo aku pernah punya cita-cita untuk kuliah mas.” ucap Adna yang mulai merasa lelah atau hampir putus asa.
Mas Obi meraih helm lalu berkata, “kalo kata D’masiv, jangan menyerah!”
“Bisa aja mas!” sahut Adna.
“Ya udah, aku mau bayar telepon dulu ajalah.”
“Iya, hati-hati mas.”
Mas Obi keluar meninggalkan warnet, Adna kembali sibuk dengan komputernya, “chatting lagi….” gumamnya.
***
Jam 21:00, seharusnya ini waktu Adna untuk pulang. Tapi Mas Obi belum juga datang untuk menggantikan Adna menjaga warnet. Ditambah dengan ramainya pengunjung, tidak memungkinkan Adna untuk pulang.
Pluk ! gulungan poster jatuh di meja, tepat di depan mata Adna. Adna menoleh ke arah asal gulungan itu jatuh. Ternyata Mas Obi. “Apaan ni Mas?” tanya Adna sambil membuka gulungan poster tersebut.
“Tulis karyamu, dapatkan beasiswa.” Adna membaca tulisan pada poster.
“Itu dari temen mas, perusahaan tempat dia kerja lagi adain program beasiswa.” terang Mas Obi, “caranya kamu bikin artikel tentang pergaulan remaja saat ini, dikirim via pos, nanti artikel yang lolos seleksi bisa ikut tes selanjutnya.”
“O….” gumam Adna, “kalo aku ikut bisa lolos gak ya, mas?” tanya Adna, mengingat ia telah tiga kali gagal tes untuk program beasiswa.
“Ya dicoba aja dulu, gimana bisa tahu kalau belum dicoba.” sahut Mas Obi, “waktunya tinggal dua minggu lagi lho.”
Adna mengangguk. Tidak ada salahnya untuk mencoba, kalaupun gagal bukankah Adna sudah terbiasa menerima hasil seperti itu. Pikir Adna.
***
Sudah hampir satu minggu setelah mendapat info beasiswa dari Mas Obi, Adna benar-benar sibuk dengan artikelnya yang sampai hari ini belum juga selesai. Ia gunakan jam kerjanya yang tidak begitu menyita waktu untuk menulis artikel.
“Ah, kok gak enak banget dibacanya.” Keluhnya pada diri sendiri ketika ada kalimat yang menurutnya sedikit janggal, yang mengharuskannya menghapus kalimat tersebut dan menggantinya dengan kalimat baru. Sesekali Adna juga meminta pendapat dan masukan pada Mas obi.
“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga!” ucap Adna yang baru saja menyelesaikan artikelnya.
“Mas, minggu ini aku ambil libur besok ya. Aku mau kirim artikelnya nih.” pinta Adna pada Mas Obi yang sedang sibuk merakit PC.
“Jangan besok deh, besok siang aku mau ada perlu.”
“Yah, terus kapan dong?” tanya Adna dengan raut wajah kecewa.
“Atau kalau mau, kamu datang ke sini habis dzuhur aja, kalo pagi aku masih bisa gantiin kamu jaga.”
“Mm, iya deh.” sahut adna sambil tersenyum lalu sibuk dengan printer yang mengeluarkan artikelnya lembar perlembar.
***
Adna memeriksa sekali lagi berkas yang akan ia kirim sebelum berangkat ke kantor pos.
“Artikel, foto, biodata, foto kopi KTP … uh, berisik banget sih!” Adna merasa terganggu dengan suara adik-adiknya yang hari ini tidak masuk sekolah. Tapi kemudian Adna kembali memeriksa berkas yang akan dikirimnya.
“Ok, lengkap.” gumamnya lalu melirik jam di hand phone-nya, “udah jam delapan, harus cepet-cepet nih.”. Adna segera keluar rumah agar secepatnya bisa sampai ke kantor pos.
***
Adna turun dari angkot tepat di depan kantor pos, tapi ….
“Udah jam segini, kok masih tutup?” tanya Adna pada diri sendiri.
Mungkin memang hari ini agak telat, pikir Adna. Ia pun duduk di tangga depan kantor pos. Menunggu sambil main game di hand phone mungkin bisa jadi solusi.
Ah, cukup. Main game terlalu lama, cukup membosankan. Tapi kenapa sudah satu jam Adna menunggu, tidak ada tanda-tanda bahwa kantor pos akan buka.
“Haus banget.” keluhnya. Adna mengambil dompet dari dalam tas. Selagi mengambil uang, Adna melirik sebuah kalender berbentuk seperti kartu ATM di dompet. Ia melihat dengan jelas tanggal hari ini berwarna merah.
“Ya Allah, pantes aja kantor pos tutup!” seru Adna, “ah, kok aku gak nyadar kalo hari ini tanggal merah.” Keluhnya dengan hati kesal. Merasa apa yang ia lakukan sia-sia, Adna segera naik angkot menuju warnet.
***
“Ya emang hari ini tanggal merah.” sahut Mas Obi dengan santai setelah mendengar cerita Adna di kantor pos.
“Kok mas Obi gak bilang, aku cengo tahu nunggu sendirian di kantor pos!” protes Adna dengan wajah cemberut.
“Ya udah sini kasih ke aku, kebetulan besok aku mau ketemu temenku lagi, nanti aku titip ke dia.” ucap Mas Obi.
“Beneran mas?” raut wajah Adna langsung berubah ceria mendengarnya. Mas Obi hanya mengangguk.
“Kenapa gak bilang dari kemarin aja sih, mas!” Adna kembali protes, “tahu gitu aku kan gak usah repot-repot ke kantor pos.” lanjutnya.
“Aku mau tahu aja, berapa besar semangat kamu setelah tiga kali gagal.” sahut Mas Obi santai. Adna menyangga wajahnya dengan tangan, dalam hati ia membenarkan bahwa sebenarnya semangatnya kali ini tidak seperti pertama kali ia mengikuti tes untuk mendapatkan beasiswa.
“Kamu jangan nge-down karena itu, justru harusnya kamu lebih semangat. Kalau tiga tes kemarin kamu gagal, berarti kali ini kamu harus berhasil.” Mas Obi selalu memberi semangat pada Adna, “kamu tahu kenapa ukuran kaca depan mobil lebih besar dari pada kaca spion?”
“Ya iyalah mas, kalo nyetir kan mata kita ke depan, liat kaca spion palingan sesekali aja.” jawab Adna sekenanya.
“Hidup juga gitu, orang akan selalu memandang ke depan lebih penuh perhatian dan hanya akan melihat masa lalu sesekali saja. Jadi kamu jangan berpikiran negatif untuk tes kali ini, hanya karena kamu gagal tiga kali.”
Adna mengangguk. Ya, benar. Kenapa harus kehilangan semangat hanya karena masa lalu. Masa lalu mungkin tidak bisa diubah, tapi masih banyak kesempatan mengubahnya di masa depan.
***
Adna memejamkan mata, ia rasakan jantungnya berdetak lebih cepat menghadapi website yang mengumumkan artikel yang lolos seleksi program beasiswa. Perlahan ia membuka mata mencari-cari  namanya.
Kalau saja Adna tidak sedang di warnet, mungkin sekarang ia sedang berteriak kegirangan karena melihat namanya terpampang di web sebagai satu dari 50 orang yang lolos seleksi.
“Tes selanjutnya akan diadakan di kantor pusat pada hari senin 04 Juli 2011.” membaca sebaris info di web, Adna segera mencatat alamat perusahaan.
“Ternyata prosesnya cepet juga, baru hari ini diumumin, lusa udah tes lagi aja.” ujar adna, “semangat Adna, tes kali ini harus berhasil! Kalo tes kali ini berhasil, itu udah cukup untuk membayar tiga tes yang gagal.” ujarnya lagi.
***
“Sebelumnya saya ucapkan selamat pada kalian semua karena dari ratusan orang yang mengirim artikel, kalianlah yang terpilih untuk mengikuti tes kedua.” ucap seorang pria
berdasi di depan 50 orang yang akan mengikuti tes, termasuk Adna. “Tes kali ini ada dua tahap, tahap pertama interview dan kedua psikotes. Dari tes ini akan dipilih 30 orang yang berhak mengikuti tes terakhir. Infonya akan diumumkan lusa melalui website kami.” Lanjutnya.
Adna menarik nafas panjang, meyakinkan hati bahwa ia mampu melewati tes ini. Tes yang ternyata cukup memakan waktu membuat Adna dan peserta lainnya penat.setelah menyelesaikan tes mereka semua berhamburan keluar melepas kepenatan, begitupun Adna. Ia melihat peserta yang lain masuk masuk ke cafe depan gedung perusahaan. Tapi, dibandingkan dengan cafe Adna lebih senang masuk ke sebuah warteg di seberang jalan. Tentu bukan karena Adna tidak suka cafe, tapi ini agar ia bisa pulang tanpa harus jalan kaki. Ah, Adna tidak peduli dengan itu. Saat ini ia hanya ingin segera menemui hari lusa esok, melihat apakah namanya akan kembali terpampang di website itu lagi.
***
Rasa ini muncul lagi, rasa deg-degan saat mengahadapi website yang akan memberikan kabar tentang hasil tes kemarin. Perlahan Adna membuka matanya yang sejak tadi ia pejamkan. Adna hampir saja membuka mulutnya untuk berteriak karena ia kembali melihat namanya di website sebagai peserta yang berhak mengikuti tes terakhir, sadar ia sedang ada di warnet Adna mengurungkan niatnya dan menggantinya dengan ucapan syukur, “Alhamdulillah….”.
***
Pagi ini Adna menyiapkan diri untuk mengikuti tes terakhir. Entah bagaimana tes hari ini, yang jelas apapun hasilnya Adna bertekad bahwa ia harus menerimanya dan ia tidak boleh kehilangan semangat lagi jika kali ini ia gagal. Pikir Adna seraya memandang wajahnya di cermin.
Semangat !!!
Setelah mengejar bus, akhirnya Adna sampai di tempat tes meskipun sedikit terlambat. Selang beberapa detik setelah Adna mendapatkan kursi di baris belakang, seorang pria yang sama waktu ia mengikuti tes sebelumnya muncul dengan membawa setumpuk kertas.
“Ok, terima kasih kalian datang tepat waktu. Ini adalah tes terakhir yang akan memilih sepuluh orang terbaik dari kalian yang berhak mendapat beasiswa penuh dari kami. Kali ini kalian akan menyelesaikan studi kasus yang akan kami bagikan, dan kalian akan mempresentasikan hasilnya di depan lima orang penilai di ruang sebelah.” ucap pria itu.
Adna hanya bisa bengong setelah mendapatkan soal. Tidak tahu harus bagaimana menyelesaikannya. “Harus bisa.” gumamnya, lalu mulai berkonsentrasi pada studi kasus yang ia terima.
Walaupun Adna menyerahkan pekerjaannya di detik-detik terakhir dari waktu yang diberikan untuk menyelesaikan studi kasus, yang penting bagi Adna, ia mampu menyelesaikannya. Dan setelah serangkaian tes hari ini berakhir, ke-30 peserta berkumpul kembali untuk mendengarkan pengumuman dari perwakilan perusahaan yang sejak awal menemani mereka melalui tes. “Terima kasih untuk kerja keras kalian hari ini, tapi walau bagaimanapun kami tetap harus memilih sepuluh dari kalian yang akan mendapatkan beasiswa. Tentu kami tidak bisa mengumumkannya hari ini, hasilnya akan kembali kami umumkan melalui website kami pada hari Rabu 13 Juli 2011. Bagi kalian yang nantinya terpilih, selamat. Dan yang tidak tetap semangat, karena kesempatan untuk kalian bukan hanya di sini.”
Adna hanya tersenyum mendengarnya, ia sudah mempersiapkan diri untuk itu sejak awal ia mengikuti tes ini.
***
Rabu, 13 Juli 2011
Lagi, rasa deg-degan saat mengahadapi website yang akan memberikan kabar tentang hasil tes muncul lagi, bahkan ini lebih dari yang ia rasakan kemarin. Ditemani Mas Obi, Adna melihat pengumuman hasil tes terakhir. Hanya dengan sekilas saja Adna bisa melihat dengan jelas bahwa namanya tidak lagi tercantum di web tersebut.
“Sabar, tetap semangat. Masih banyak kesempatan di tempat lain.” ujar Mas Obi.
“Iya mas, aku udah mempersiapkan diri untuk pengumuman hari ini.” Adna terlihat lemas. Lelah dan kecewa untuk hal yang sama terulang kembali untuk keempat kalinya hari ini. Setelah mengikuti serangkaian tes, lengkap dengan bolak-balik memenuhi persyaratan ini dan itu, ternyata Adna harus gagal lagi mendapatkan beasiswa.
“Ini,” Mas Obi memberikan selebaran pada Adna, “tadi aku dari kampus adikku, ada program beasiswa di sana.” jelasnya.
“Lagi, mas?” tanya Adna, Mas Obi hanya mengangguk. Awalnya Adna merasa tidak yakin untuk mengikutinya, ia sudah sangat lelah. Tapi mengingat tekadnya sebelum mengikuti tes terakhir untuk tidak kehilangan semangat lagi, Adna pun memutuskan untuk mencobanya.
“Tapi aku gak siap untuk gagal yang kelima kali.” ucap Adna.
“Kenapa?” Mas Obi mengernyitkan dahi, ia pikir Adna benar-benar tidak ingin mengikuti tes program beasiswa lagi.
“Karena kali ini aku harus berhasil!” sahutnya.
Mas Obi tersenyum, “jadi mau coba lagi?”
“Ok, kalo gak dicoba mana bisa tahu hasilnya.” gumamnya penuh semangat meskipun dalam hati Adna masih sangat lelah.
***
Maju Terus, Pantang Mundur !!

Cerpen ini bercerita tentang Adna, gadis berjilbab, 19 tahun, tinggal di sebuah panti asuhan sederhana dan ia bekerja sebagai operator warnet. Ia sangat berharap dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, tapi terbentur dengan ekonomi membuat Adna tidak bisa melakukannya. Itulah sebabnya Adna mencari beasiswa. Tapi ia harus merasakan kecewa untuk ketiga kalinya karena lagi-lagi ia gagal mendapatkan beasiswa. Padahal untuk mengikuti serangkaian tes, memerlukan tenaga, pikiran dan uang yang tidak sedikit. Hatinya lelah, ia tidak ingin mengikuti tes seperti ini lagi. Untuk apa?, hanya buang waktu.
Disaat Adna merasa putus asa dengan harapannya untuk melanjutkan pendidikan, Mas Obi membawa informasi tentang sebuah perusahaan yang sedang mengadakan program beasiswa pada Adna. Awalnya ia enggan, tapi dengan sisa semangat yang ada, Adna mencoba untuk mengikuti tes program beasiswa tersebut. Sebagai tes pertama Adna harus mengirimkan artikel. Ternyata ini tidak mudah, Adna menghabiskan waktu cukup lama untuk membuatnya. Sedikitpun tidak terbersit di pikiran Adna bahwa artikelnya akan terpilih, apalagi sampai mendapatkan beasiswa. Tapi tanpa disangka-sangka artikelnya lolos seleksi. Semangatnya yang hampir hilang mulai terpupuk kembali. Adna pun mengikuti tes kedua. Seperti tes pertama, pada tes kedua, meski menemui banyak kesulitan Adna mampu melewatinya.
Adna pun sampai pada tes terakhir. Sebelum berangkat Adna membulatkan tekad pada dirinya bahwa ia harus menerima apapun hasilnya, ia tidak boleh kehilangan semangat seperti saat ia gagal pada tiga tes sebelumnya. Jika kali ini gagal, ia tidak boleh putus harapan. Ia harus mendapatkan beasiswa, jika tidak di perusahaan itu, Adna akan mencarinya di tempat lain.
Awal perjalananpun Adna menemui masalah karena ia harus mengejar bus dan sedikit terlambat sampai tempat tes. Ketika tes berlangsung, walaupun ia ada di urutan terakhir yang menyelesaikan tes terakhir, tapi Adna yakin telah melakukan yang terbaik.
Hingga saatnya hari pengumuman melalui website perusahaan. Adna dengan penuh harapan membuka website tersebut, tapi ternyata ia tidak menemui namanya pada daftar peserta yang terpilih untuk mendapatkan beasiswa, untuk tes kali inipun Adna gagal. Hampir saja ia kehilangan semangat. Ah, ini benar-benar membuat Adna lelah!. Ia akan berhenti mencari beasiswa dan melupakan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan.
Tapi ia tidak bisa melakukannya, karena ia telah membulatkan tekad untuk menerima apapun hasilnya dan ia tidak boleh kehilangan semangat.

Jumat, 24 Agustus 2012


Kamis, 16 Agustus 2012.
Bogor, H-3 lebaran, jalan sangat macet.
Biasanya hanya butuh waktu 1 jam untuk sampai ke toko buku langgananku. Tapi hari ini aku menghabiskan perjalanan 1,5 jam. Akibatnya aku terlambat, toko buku itu sudah tutup untuk istirahat shalat dzuhur. Akibatnya lagi, aku harus menunggu 1 jam sampai toko itu buka lagi. Aku menghempaskan nafas berat. Maklum, aku sudah setengah berlari untuk sampai ke toko. Mau nunggu di mana?, pikirku.
Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar di Botani Square, lumayanlah untuk mengobati bĂȘte. Gramedia, toko buku yang sudah terkenal itu menarik langkahku setibanya di dalam Botani Square. Melihat buku yang entah berapa jumlahnya, mataku terbelalak bak melihat tumpukkan emas. Dari dulu aku memang menyukai buku, cita-citaku pun berhuubngan dengan buku. Aku ingin menjadi penulis. Sampai saat ini aku masih yakin bahwa aku pasti bisa menjadi penulis. Bukankah Allah sesuai prasangka hamba-Nya?.
Ku telusuri jajaran buku-buku ini. Buku fiqih, bukuk ini memang sudah menjadi incaranku hari ini. Tapi yang jelas aku tidak akan membelinya disini, aku akan membelinya di toko langgananku. Buku motivasi, komputer, novel, komik, biografi, buku-buku islami, humor, dan lainnya. Ah, seandainya uangku cukup untuk membeli setiap buku yang ku inginkan, pasti puluhan buku sudah ku bawa ke meja kasir. Ya, setidaknya aku punya budget untuk 1 buku di Gramedia ini.
Catatan Hati Si Setiap Do’aku, Sakinah Bersamamu, Twitografi Asma Nadia, Catatan Hati Yang Cemburu. Judul buku-buku ini menarik perhatianku, sangat. Satu-satunya alasan adalah karena semua buku ini adalah karangan seorang penulis favoritku, Asma Nadia, penulis best seller.
Suatu saat aku ingin menjadi sepertinya, bisikku dalam hati.
Ketertarikanku pada buku-buku itu tidak serta merta membuatku membelinya. Aku terlalu bimbang. Aku kembali melihat buku-buku yang lain.
“Yang ini aja Mbak.” Tegur seorang akhwat menunjuk sebuah buku, aku hanya tersenyum, “Cari buku apa, Mbak?”, ia melanjutkan.
Aku sedikit bingung, karena terlalu banyak buku yang ingin ku cari, akhirnya ku jawab sekenanya, “Mau cari buku sejarah perkembangan islam di Korea.”. Aku lirik lagi akhwat ini dari atas sampai bawah, cara berpakaiannya sama, jilbab dan kerudung, ku pikir kami se-harokah. Tapi, setelah obrolan berlanjut, ku piker tidak. Ia kembali bertanya, “Kenapa sejarah Islam di Korea?, kenapa gak sejarah Islam di Indonesia”
Aku tersenyum, “Ya, saya tertarik aja tentang sejarahnya ratu Deokman yang ternyata sezaman dengan Rasul dan Khulafaurrasyiddin.”
“Tapi kenapa harus sejarah di Korea, padahal orang-orang di Indonesia juga banyak yang belum tau sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia lewat apa?, di mana?. Kalo menurut kamu kenapa sih orang-orang Islam saat ini tidak tahu tentang sejarah Islam itu sendiri?” Lagi, akhwat bernama Humaida ini bertanya.
Ah, entah kenapa aku aku mulai tidak menyukai obrolan ini. Aku merasa pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan bukan obrolan melainkan menguji. Meski begitu, aku tetap menjawabnya, “ya, itu kan problematika umat islam sekarang, umat Islam jauh dari Islam.”
“Tapi kamu sendiri yakin gak kalo suatu saat Islam akan kembali jaya seperti zaman nabi dulu”
“Yakin. Itu kan janji Allah ada di Al-Qur’an surah An-nur ayat 55, bahkan di hadits Rasul mengabarkan akan datangnya masa kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian di akhir zaman.”
“O gitu ya, trus kalo menurut kamu, gimana kalo ternyata Allah menunjuk kamu sebagai pelaku perubahan?” tanyanya lagi.
Aduh, maaf yah Humaida sepertinya aku mulai bosan, hm, seandainya aku bisa mengatakannya.
“Saya? Wah, Subhanallah kalo gitu.”
“Tapi kalo kamu baca Al-Qur’an, trus liat artinya, suka kan baca Al-Qur’an?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Ada gak sih ayat yang menurut kamu, itu untuk kamu. Yang bisa memotivasi kamu?”
Beneran nguji nih, batinku. Tapi tetap aku jawab dengan tersenyum, “ka nada ayat ‘Kuntum Khoiru Ummah’,”
“Kamu umat terbaik?” tanyanya, aku mengangguk mengiyakan.
Humaida terus melontarkan pertanyaan seperti seorang wartawan yang sedang mengungkap sebuah fakta. Meski semakin terasa membosankan, dengan tetap menjaga sikap aku tetap meladeninya. Sambil sesekali melihat dan mengomentari buku yang kami lihat. Tapi ia tetap fokus pada pertanyaan yang menurutku sebenarnya ia sudah mengetahui jawabannya. Nadanya, terdengar seperti sedang menguji. Di tengah-tengah perbincangan, aku teringat tujuanku datang ke Bogor, untuk mengunjungi toko  buku langgananku.
“Teh, aku kesitu dulu ya, mau ambil buku.” Ucapku seraya meninggalkan Humaida. Akhirnya kuputuskan untuk membeli buku “Catatan hati di setiap do’a ku” karya Asma Nadia. Setelah mendapatkan buku tersebut, aku kembali ke tempat tadi bertemu dengan Humaida. Tapi ia sudah tidak ada, ku edarkan pandangan ke setiap sudut toko, tapi tidak juga ku tangkap sosoknya. Hm, padahal aku ingin berpamitan dengannya. Sebagai tanda bahwa aku menyukai pertemuan ini, meski sedikit membosankan (he…). Setidaknya member kesan pada pertemuan ini. Tapi sudahlah, aku harus bergegas. Jangan sampai tokonya keburu tutup.
Terkadang, seseorang mampir begitu saja dalam hidup kita, lalu ia pergi dengan begitu saja. Humaida bukan orang pertama, aku sudah sering menemui orang yang sekedar mampir dalam kehidupanku. Kadang sebagian dari mereka ada yang member kesan tersendiri, dan ada juga yang berlalu begitu saja, lalu menghilang. Satu hal yang pasti, setidaknya dari pertemuan singkat itu kita dapat mengambil pelajaran, pengalaman, meski sedikit.

Minggu, 20 Mei 2012


20 Mei, kerap diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS). Berbagai kegiatan digelar untuk memperingati HARKITNAS, mulai dari upacara yang dihadiri oleh seluruh komponen masyarakat hingga diisi dengan siraman rohani seperti yang dilakukan Pemkab pacitan.  Meski memperingati HARKITNAS setiap tahun, namun ternyata kondisi Indonesia belumlah juga mengalami kebangkitan. Hal ini terbukti dari apa yang kita lihat setiap hari, baik secara langsung atau melalui media. Korupsi, kriminalitas, KDRT, pornografi, kesenjangan social serta seabrek masalah lainnya kian menjangkit dalam tubuh negeri ini. Bahkan kronis!. Wanita pun turut merasakan imbas dari semua ini. Tentu sederetan fakta tersebut sangat jauh dari kata “Kebangkitan”, bukan?
Karena bicara kebangkitan –apalagi dalam konteks sebuah bangsa-, artinya kita bicara tentang perpindahan posisi dari posisi sebelumnya kearah atau posisi yang lebih baik. Maka akan menjadi aneh jika dengan kondisi yang ada saat ini ada orang yang mengatakan bahwa negeri ini telah bangkit. Sedangkan kondisi Indonesia saat ini tidaklah lebih baik dari sebelumnya –bahkan ketika Indonesia masih dijajah. Satu hal yang pasti kebangkitan hakiki bukan dilihat dari prosentase pertumbuhan ekonomi atau angka-angka belaka, melainkan dengan pergerakan real bangsa itu sendiri.
Sebelum mencapai kebangkitan, tentu kita harus mempunyai gambaran terlebih dahulu tentang seperti apa kebangkitan yang ingin kita capai?, terlebih lagi kebangkitan dalam sebuah bangsa. Dan sejauh ini, sesungguhnya Indonesia belum memiliki itu. Bahkan arti kebangkitan terasa kian kabur, hingga arah kebangkitan semakin tidak jelas. Contohnya saja ketika kaum feminis menyatakan bahwa saat ini perempuan mengalami diskriminasi dan ketidak adilan sosial. Mereka menginginkan kesamaan posisi bagi laki-laki dan perempuan. Lalu muncullah Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender (RUUKG) yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi perempuan dan laki-laki. Alih-alih membawa perempuan kearah yang lebih baik, jika RUUKG ini disahkan justru akan menjadikan perempuan melalaikan tugas utamanya, Ummu Wa Robbah al-bait (Ibu dan Pengurus Rumah Tangga), karena mereka akan disibukkan dengan urusan di luar rumah. Padahal, jika tugas utama ini diabaikan sama saja mengabaikan masa depan bangsa. Karena tidak adanya peran perempuan sebagai ibu dalam mencetak generasi yang akan datang. Maka wajar jika generasi penerus yang akan datang adalah generasi rusak dengan mental tempe. Hal ini disebabkan oleh pemerintah yang disetir oleh asing. Memang begitulah karakteristik bangsa pengekor dan mengemban sistem Demokrasi-Kapitalisme, segala tindak-tanduk, keputusannya adalah pesanan asing.
Beda kapitalis, beda Islam. Islam memandang bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara. Jika ada perbedaan, maka itu bukan diskriminasi melainkan pembagian tugas semata. Karena memang pada faktanya, Allah menciptakan perempuan dan laki-laki berbeda. Misalnya saja dalam hal menutup aurat, baik laki-laki maupun perempuan wajib menutup aurat. Hanya saja aurat laki-laki dan perempuan berbeda, sehingga cara menutup aurat bagi keduanya berbeda. Tentu bukan diskriminasi, melainkan sebuah penghormatan yang akan memuliakan perempuan. Terlepas dari itu, semua adalah sama. Laki-laki dan perempuan pun akan mendapat pahala yang sama ketika menjalankan perintah Allah SWT.
Semua ini akan terwujud ketika seluruh sistem Islam diterapkan dalam sistem pemerintahan, yaitu khilafah. Ketika ini terlaksana, maka tidak akan muncul masalah kesetaraan gender, karena Islam telah membagi porsi laki-laki dan perempuan sesuai fitrahnya masing-masing. Hal ini telah dibuktikan oleh generasi Islam sebelumnya, selama + 14 abad memimpin dunia dan mencapai kebangkitan hakiki dalam naungan Khilafah. Dari pemaparan singkat diatas, maka kita dapat melihat bahwa akar permasalahan dari seluruh masalah yang ada di Indonesia bahkan dunia, bukanlah masalah tersendiri melainkan menyangkut sistem yang diterapkan dalam bangsa tersebut. Permasalahan yang begitu menumpuk adalah buah dari sistem yang rusak. Dan untuk memperbaikinya adalah mengganti sistem yang rusak dengan sistem yang shahih, ketika akarnya telah diperbaiki maka buahnyapun akan menjadi baik pula.
Atas dasar inilah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia pada Ahad, 20 Mei 2012 menggelar Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa dengan tema “KHILAFAH : Jalan Baru Melahirkan Generasi cemerlang”. Para intelektual muslimah (mahasiswa, dosen, mufakkir, dll) yang hadir, sadar betul apa yang dibutuhkan ummat hari ini untuk mencapai kebangkitan hakiki. Para intelektual muslimah menyatakan kerinduannya pada sistem yang telah meyatukan ummat Islam terdahulu. Mereka merindukan sistem yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan, bahkan seluruh ummat manusia –muslim, maupun non muslim. Mereka merindukan sistem yang mampu memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, serta mendistribusikan kekayaan secara adil, yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Mereka rindu akan sistem yang mampu membangun peradaban tinggi. Lebih dari itu, mereka rindu akan sistem yang diridhoi Allah SWT. Maka di Konferensi Intelektual Muslimah Untuk Bangsa mereka berkumpul menyuarakan satu suara, “Khilafah”. Karena hanya sistem Islamlah yang mampu mengantarkan muslimah dan ummat pada kebangkitan hakiki. Kenapa begitu?, tidak lain karena Islam adalah sistem yang diturunkan oleh Allah SWT yang mengetahui betul apa yang terbaik untuk manusia, karena Dia-lah yang telah menciptakan manusia. Sungguh, tidak ada lagi sistem yang mampu memberi kebangkitan hakiki pada ummat manusia selain sistem Islam yang diterapkan secara kaffah dalam bingkai khilafah.