Jumat, 24 Agustus 2012


Kamis, 16 Agustus 2012.
Bogor, H-3 lebaran, jalan sangat macet.
Biasanya hanya butuh waktu 1 jam untuk sampai ke toko buku langgananku. Tapi hari ini aku menghabiskan perjalanan 1,5 jam. Akibatnya aku terlambat, toko buku itu sudah tutup untuk istirahat shalat dzuhur. Akibatnya lagi, aku harus menunggu 1 jam sampai toko itu buka lagi. Aku menghempaskan nafas berat. Maklum, aku sudah setengah berlari untuk sampai ke toko. Mau nunggu di mana?, pikirku.
Kuputuskan untuk berjalan-jalan sebentar di Botani Square, lumayanlah untuk mengobati bĂȘte. Gramedia, toko buku yang sudah terkenal itu menarik langkahku setibanya di dalam Botani Square. Melihat buku yang entah berapa jumlahnya, mataku terbelalak bak melihat tumpukkan emas. Dari dulu aku memang menyukai buku, cita-citaku pun berhuubngan dengan buku. Aku ingin menjadi penulis. Sampai saat ini aku masih yakin bahwa aku pasti bisa menjadi penulis. Bukankah Allah sesuai prasangka hamba-Nya?.
Ku telusuri jajaran buku-buku ini. Buku fiqih, bukuk ini memang sudah menjadi incaranku hari ini. Tapi yang jelas aku tidak akan membelinya disini, aku akan membelinya di toko langgananku. Buku motivasi, komputer, novel, komik, biografi, buku-buku islami, humor, dan lainnya. Ah, seandainya uangku cukup untuk membeli setiap buku yang ku inginkan, pasti puluhan buku sudah ku bawa ke meja kasir. Ya, setidaknya aku punya budget untuk 1 buku di Gramedia ini.
Catatan Hati Si Setiap Do’aku, Sakinah Bersamamu, Twitografi Asma Nadia, Catatan Hati Yang Cemburu. Judul buku-buku ini menarik perhatianku, sangat. Satu-satunya alasan adalah karena semua buku ini adalah karangan seorang penulis favoritku, Asma Nadia, penulis best seller.
Suatu saat aku ingin menjadi sepertinya, bisikku dalam hati.
Ketertarikanku pada buku-buku itu tidak serta merta membuatku membelinya. Aku terlalu bimbang. Aku kembali melihat buku-buku yang lain.
“Yang ini aja Mbak.” Tegur seorang akhwat menunjuk sebuah buku, aku hanya tersenyum, “Cari buku apa, Mbak?”, ia melanjutkan.
Aku sedikit bingung, karena terlalu banyak buku yang ingin ku cari, akhirnya ku jawab sekenanya, “Mau cari buku sejarah perkembangan islam di Korea.”. Aku lirik lagi akhwat ini dari atas sampai bawah, cara berpakaiannya sama, jilbab dan kerudung, ku pikir kami se-harokah. Tapi, setelah obrolan berlanjut, ku piker tidak. Ia kembali bertanya, “Kenapa sejarah Islam di Korea?, kenapa gak sejarah Islam di Indonesia”
Aku tersenyum, “Ya, saya tertarik aja tentang sejarahnya ratu Deokman yang ternyata sezaman dengan Rasul dan Khulafaurrasyiddin.”
“Tapi kenapa harus sejarah di Korea, padahal orang-orang di Indonesia juga banyak yang belum tau sejarah awal masuknya Islam ke Indonesia lewat apa?, di mana?. Kalo menurut kamu kenapa sih orang-orang Islam saat ini tidak tahu tentang sejarah Islam itu sendiri?” Lagi, akhwat bernama Humaida ini bertanya.
Ah, entah kenapa aku aku mulai tidak menyukai obrolan ini. Aku merasa pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan bukan obrolan melainkan menguji. Meski begitu, aku tetap menjawabnya, “ya, itu kan problematika umat islam sekarang, umat Islam jauh dari Islam.”
“Tapi kamu sendiri yakin gak kalo suatu saat Islam akan kembali jaya seperti zaman nabi dulu”
“Yakin. Itu kan janji Allah ada di Al-Qur’an surah An-nur ayat 55, bahkan di hadits Rasul mengabarkan akan datangnya masa kekhilafahan yang mengikuti metode kenabian di akhir zaman.”
“O gitu ya, trus kalo menurut kamu, gimana kalo ternyata Allah menunjuk kamu sebagai pelaku perubahan?” tanyanya lagi.
Aduh, maaf yah Humaida sepertinya aku mulai bosan, hm, seandainya aku bisa mengatakannya.
“Saya? Wah, Subhanallah kalo gitu.”
“Tapi kalo kamu baca Al-Qur’an, trus liat artinya, suka kan baca Al-Qur’an?”
Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Ada gak sih ayat yang menurut kamu, itu untuk kamu. Yang bisa memotivasi kamu?”
Beneran nguji nih, batinku. Tapi tetap aku jawab dengan tersenyum, “ka nada ayat ‘Kuntum Khoiru Ummah’,”
“Kamu umat terbaik?” tanyanya, aku mengangguk mengiyakan.
Humaida terus melontarkan pertanyaan seperti seorang wartawan yang sedang mengungkap sebuah fakta. Meski semakin terasa membosankan, dengan tetap menjaga sikap aku tetap meladeninya. Sambil sesekali melihat dan mengomentari buku yang kami lihat. Tapi ia tetap fokus pada pertanyaan yang menurutku sebenarnya ia sudah mengetahui jawabannya. Nadanya, terdengar seperti sedang menguji. Di tengah-tengah perbincangan, aku teringat tujuanku datang ke Bogor, untuk mengunjungi toko  buku langgananku.
“Teh, aku kesitu dulu ya, mau ambil buku.” Ucapku seraya meninggalkan Humaida. Akhirnya kuputuskan untuk membeli buku “Catatan hati di setiap do’a ku” karya Asma Nadia. Setelah mendapatkan buku tersebut, aku kembali ke tempat tadi bertemu dengan Humaida. Tapi ia sudah tidak ada, ku edarkan pandangan ke setiap sudut toko, tapi tidak juga ku tangkap sosoknya. Hm, padahal aku ingin berpamitan dengannya. Sebagai tanda bahwa aku menyukai pertemuan ini, meski sedikit membosankan (he…). Setidaknya member kesan pada pertemuan ini. Tapi sudahlah, aku harus bergegas. Jangan sampai tokonya keburu tutup.
Terkadang, seseorang mampir begitu saja dalam hidup kita, lalu ia pergi dengan begitu saja. Humaida bukan orang pertama, aku sudah sering menemui orang yang sekedar mampir dalam kehidupanku. Kadang sebagian dari mereka ada yang member kesan tersendiri, dan ada juga yang berlalu begitu saja, lalu menghilang. Satu hal yang pasti, setidaknya dari pertemuan singkat itu kita dapat mengambil pelajaran, pengalaman, meski sedikit.