20
Mei, kerap diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS). Berbagai
kegiatan digelar untuk memperingati HARKITNAS, mulai dari upacara yang dihadiri
oleh seluruh komponen masyarakat hingga diisi dengan siraman rohani seperti
yang dilakukan Pemkab pacitan. Meski memperingati
HARKITNAS setiap tahun, namun ternyata kondisi Indonesia belumlah juga
mengalami kebangkitan. Hal ini terbukti dari apa yang kita lihat setiap hari,
baik secara langsung atau melalui media. Korupsi, kriminalitas, KDRT,
pornografi, kesenjangan social serta seabrek masalah lainnya kian menjangkit
dalam tubuh negeri ini. Bahkan kronis!. Wanita pun turut merasakan imbas dari
semua ini. Tentu sederetan fakta tersebut sangat jauh dari kata “Kebangkitan”,
bukan?
Karena
bicara kebangkitan –apalagi dalam konteks sebuah bangsa-, artinya kita bicara
tentang perpindahan posisi dari posisi sebelumnya kearah atau posisi yang lebih
baik. Maka akan menjadi aneh jika dengan kondisi yang ada saat ini ada orang
yang mengatakan bahwa negeri ini telah bangkit. Sedangkan kondisi Indonesia saat
ini tidaklah lebih baik dari sebelumnya –bahkan ketika Indonesia masih dijajah.
Satu hal yang pasti kebangkitan hakiki bukan dilihat dari prosentase pertumbuhan
ekonomi atau angka-angka belaka, melainkan dengan pergerakan real bangsa itu sendiri.
Sebelum
mencapai kebangkitan, tentu kita harus mempunyai gambaran terlebih dahulu
tentang seperti apa kebangkitan yang ingin kita capai?, terlebih lagi
kebangkitan dalam sebuah bangsa. Dan sejauh ini, sesungguhnya Indonesia belum
memiliki itu. Bahkan arti kebangkitan terasa kian kabur, hingga arah
kebangkitan semakin tidak jelas. Contohnya saja ketika kaum feminis menyatakan
bahwa saat ini perempuan mengalami diskriminasi dan ketidak adilan sosial.
Mereka menginginkan kesamaan posisi bagi laki-laki dan perempuan. Lalu
muncullah Rancangan Undang-Undang Kesetaraan Gender (RUUKG) yang bertujuan
untuk mewujudkan keadilan di segala bidang kehidupan bagi perempuan dan laki-laki.
Alih-alih membawa perempuan kearah yang lebih baik, jika RUUKG ini disahkan
justru akan menjadikan perempuan melalaikan tugas utamanya, Ummu Wa Robbah
al-bait (Ibu dan Pengurus Rumah Tangga), karena mereka akan disibukkan dengan
urusan di luar rumah. Padahal, jika tugas utama ini diabaikan sama saja
mengabaikan masa depan bangsa. Karena tidak adanya peran perempuan sebagai ibu
dalam mencetak generasi yang akan datang. Maka wajar jika generasi penerus yang
akan datang adalah generasi rusak dengan mental tempe. Hal ini disebabkan oleh
pemerintah yang disetir oleh asing. Memang begitulah karakteristik bangsa
pengekor dan mengemban sistem Demokrasi-Kapitalisme, segala tindak-tanduk,
keputusannya adalah pesanan asing.
Beda
kapitalis, beda Islam. Islam memandang bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan
adalah setara. Jika ada perbedaan, maka itu bukan diskriminasi melainkan
pembagian tugas semata. Karena memang pada faktanya, Allah menciptakan
perempuan dan laki-laki berbeda. Misalnya saja dalam hal menutup aurat, baik
laki-laki maupun perempuan wajib menutup aurat. Hanya saja aurat laki-laki dan
perempuan berbeda, sehingga cara menutup aurat bagi keduanya berbeda. Tentu
bukan diskriminasi, melainkan sebuah penghormatan yang akan memuliakan
perempuan. Terlepas dari itu, semua adalah sama. Laki-laki dan perempuan pun
akan mendapat pahala yang sama ketika menjalankan perintah Allah SWT.
Semua
ini akan terwujud ketika seluruh sistem Islam diterapkan dalam sistem
pemerintahan, yaitu khilafah. Ketika ini terlaksana, maka tidak akan muncul
masalah kesetaraan gender, karena Islam telah membagi porsi laki-laki dan
perempuan sesuai fitrahnya masing-masing. Hal ini telah dibuktikan oleh
generasi Islam sebelumnya, selama + 14 abad memimpin dunia dan mencapai
kebangkitan hakiki dalam naungan Khilafah. Dari pemaparan singkat diatas, maka
kita dapat melihat bahwa akar permasalahan dari seluruh masalah yang ada di
Indonesia bahkan dunia, bukanlah masalah tersendiri melainkan menyangkut sistem
yang diterapkan dalam bangsa tersebut. Permasalahan yang begitu menumpuk adalah
buah dari sistem yang rusak. Dan untuk memperbaikinya adalah mengganti sistem
yang rusak dengan sistem yang shahih, ketika akarnya telah diperbaiki maka
buahnyapun akan menjadi baik pula.
Atas
dasar inilah, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia pada Ahad, 20 Mei 2012 menggelar
Konferensi Intelektual Muslimah untuk Bangsa dengan tema “KHILAFAH : Jalan Baru
Melahirkan Generasi cemerlang”. Para intelektual muslimah (mahasiswa, dosen,
mufakkir, dll) yang hadir, sadar betul apa yang dibutuhkan ummat hari ini untuk
mencapai kebangkitan hakiki. Para intelektual muslimah menyatakan kerinduannya
pada sistem yang telah meyatukan ummat Islam terdahulu. Mereka merindukan
sistem yang mampu menjaga kehormatan dan kemuliaan perempuan, bahkan seluruh
ummat manusia –muslim, maupun non muslim. Mereka merindukan sistem yang mampu
memberikan pendidikan, pelayanan kesehatan, serta mendistribusikan kekayaan
secara adil, yang mampu menyejahterakan rakyatnya. Mereka rindu akan sistem
yang mampu membangun peradaban tinggi. Lebih dari itu, mereka rindu akan sistem
yang diridhoi Allah SWT. Maka di Konferensi Intelektual Muslimah Untuk Bangsa mereka
berkumpul menyuarakan satu suara, “Khilafah”. Karena hanya sistem Islamlah yang
mampu mengantarkan muslimah dan ummat pada kebangkitan hakiki. Kenapa begitu?,
tidak lain karena Islam adalah sistem yang diturunkan oleh Allah SWT yang
mengetahui betul apa yang terbaik untuk manusia, karena Dia-lah yang telah
menciptakan manusia. Sungguh, tidak ada lagi sistem yang mampu memberi
kebangkitan hakiki pada ummat manusia selain sistem Islam yang diterapkan
secara kaffah dalam bingkai khilafah.
RSS Feed
Twitter
Minggu, Mei 20, 2012
Unknown